Sunday 8 December 2019

Tanggapan Tentang Hebohnya Soal Penilaian Akhir Semester Ganjil Fikih Kelas 12 di Kediri Yang Dimuat di FB Ag243


Pembuatan soal penilaian akhir semester itu biasanya ada ketentuan teknisnya. Pertama pembagian tugas penulis soal. Penentuan pembuat soal melalui rapat Kelompok Kerja Madrasah (KKM). Guru yang mendapat tugas akan diberikan pedoman penulisan, minimal berupa format kisi-kisi, dalam kisi-kisi setidaknya terdapat kompetensi dasar dan indikator. Yang keduanya merupakan bagian dari silabus mata pelajaran, sedangkan silabus pada umumnya guru langsung mengambil dari peraturan menteri yang sudah ada. Kedua, setelah selesai menulis soal, soal akan dikumpulkan ke KKM untuk selanjutnya ditelaah oleh tim khusus yang dibuat oleh KKM, cara paling mudah adalah melalui Kelompok Kerja Guru (KKG) mata pelajaran, yang memang sudah terbiasa mengajar pelajaran soal yang akan ditelaah. Telaah soal meliputi kesesuaian soal dengan kisi-kisi, bobot soal, proporsi soal, proporsi opsi pilihan ganda , kaidah EYD, hingga kunci soal dan lain sebagainya. Setelah ditelaah akan dikembalikan lagi kepada KKM. Ketiga, proses penggandaan. Yang berikutnya disalurkan kepada sekolah anggota KKM.

Jadi, ketika ada protes atau tuduhan sebuah soal fikih yang telah beredar di sekolah disusupi muatan yang dianggap tidak sesuai, maka yang perlu dievaluasi adalah peraturan menteri agama terkait pengembangan kurikulum, kerja KKM setempat, kerja KKG setempat, baru guru yang membuat soal. Tidak langsung terburu menuduh dan berpolemik tanpa memikirkan akibatnya. Usulan penarikan soal, pembuatan soal, ujian ulang itu usulan yang mengada-ada, mempersulit semua pihak. Seharusnya yang mengawali polemik tersebut mengedepankan proses pengkajian mendalam, bukan malah menimbulkan kontroversi yang sebenarnya tidak perlu bahkan berlebihan. 


Sedangkan kritik bagi pelapor pertama di antaranya, LBHNU ini seringkali menimbulkan kegaduhan mengatasnamakan banyak orang, misal dalam kasus PAS Ganjil Fikih kelas 12, menyatakan banyak keluhan dari wali siswa, harus diungkap berapa wali yang menolak dan berapa wali yang tidak mempermasalahkan. Pola ini menjadi kebiasaan LPBHNU, sekadar mengingatkan, beberapa waktu waktu yang lalu LPBHNU juga mengajukan penolakan terhadap sebuah acara kajian islam di Pare, yang berakhir pada pembatalan kajian, hampir sama salah satu alasannya, ditolak masyarakat sekitar, tidak sesuai dengan karakter masyarakat sekitar dan dikaitkan dengan HTI. Jelas seperti ini adalah alasan sepihak, penulis yang tinggal tidak jauh dari tempat acara, serta warga asli yang lama tinggal di sekitar tempat acara tidak menjumpai fakta asumsi tersebut. Apakah sebegitu rendahnya proses berpikir sebuah LBH?


Oleh karena itu, mari membiasakan diri untuk menelaah terlebih dahulu, tidak terjebak pada pendapat tanpa ilmu dan informasi. Untuk redaksi Ag243, jika memang apa yang ditayangkan di laman tersebut adalah tulisan jurnalistik, maka juga mempunyai kewajiban untuk memastikan apakah tulisan tersebut sudah sesuai dengan kaidah jurnalistik, sudahkah dimuat dengan kaidah berimbang, akurat dan bisa dipertanggungjawabkan? Semoga bisa menjadi bahan renungan kita semua untuk menuju Kediri lebih bermartabat. Aamiin.

Pare, 5 Desember 2019

No comments:

Post a Comment