Friday 27 May 2016

Maafkan


Hari-hari ke depan sepertinya akan lebih sering menjumpai atau mendapati apem

Bisa jadi apem contong, apem panggang, apem kukus. Bahannya sama, tepung beras dengan pengembang tape singkong. Cetakannya pun mungkin akan beragam. Tapi statusnya tetap apem.

Apem, yang katanya berasal dari kata afwan bertansformasi jadi afem terus hasil akhirnya menjadi apem. Jika memang benar apem  dari kata afwan, tidak terlalu heran. Karena apem selalu ada di makanan yang dibagikan ketika waktu-waktu tertentu, misalnya ketika kirim doa ( masalah sampai pa tidak doa kepada orang yang meninggal, masuk bahasan lain). Yang memberi apem bermaksud meminta maaf kepada orang yang diberi apem. Dan hari-hari ke depan, di saat bulan Sya’ban mendekati Ramadan apem akan semakin banyak beredar. Menghadapi bulan Ramadan, masyarakat akan saling memaafkan, tidak hanya melalui pemberian apem, tapi juga sepaket nasi dengan lauk, orang kampung saya bilang megengan (ada filosofinya sendiri). 

Terlepas dari itu semua, meski saya tidak membuat apem, apalagi masalah kue saya ga suka rempong. Bagi saya makan nasi plus lauk kenyang itu lebih menyenangkan. Makan kue sekenyang apapun rasa kenyangnya beda. Maklum lidah n perut wong ndeso, belum makan nasi ya belum dikatakan makan. Saya juga hendak meminta maaf. Meski pernah mendengar, meminta maaf dan memaafkan itu sangat mudah di mulut, namun menerimanya tidak semudah saat mengatakan, whatever lah. 

Yang pasti Allah SWT sudah menjanjikan : 
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. ( Ali Imran 133-134)

Di bulan Sya’ban ini, Rasulullah menganjurkan umatnya untuk memperbanyak kebaikan dan tentu juga menghindari kemaksiatan. Meskipun itu dianggap ringan. Menipu, berbuat curang, tidak amanah, korupsi waktu, menjadikan materi sebagai tujuan, semangat ketika mendapat imbalan materi, menggunjing. Dan lain sebagainya. 


Di bulan Sya’ban ini, tetap berusaha semangat menjalani semua kewajiban, tak terkecuali istikamah dakwah menyampaikan khilafah. Jika perlu semakin menambah semangat. Karena khilafah adalah satu-satunya system yang akan memfasilitasi penerapan Islam secara menyeluruh, catat : menyeluruh, bukan parsial. Menerapkan hukum Allah yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya, manusia dengan Allah dan manusia dengan sesamanya, di bidang poleksosbudhankam. Bukan demokrasi, bukan kapitalisme, juga bukan social komunis yang memberi Islam tempat. Hanya sistem khilafah saja. 

Untuk yang menentang khilafah, maaf kami tidak menyerah
Untuk yang menghalangi penyebaran opini khilafah, maaf kami akan terus berdakwah
Untuk yang belum sepenuhnya sepakat dengan khilafah, maaf kami akan terus menjalin ukhuwah
Untuk yang masih salah paham dengan khilafah, maaf kami akan terus meluruskan yang salah
Untuk yang masih suka memfitnah, insya Allah kami akan terus bersikap ramah
Untuk yang sukanya memancing rusuh, insya Allah kami tidak akan merasa kalah

Pare, 27 Mei 2016

Tuesday 24 May 2016

Mengunjungi Asrama Haji



Terakhir ada acara di Asrama Haji Sukolilo Surabaya bersamaan dengan acara manasik haji, ada yang masih muda namun lebih banyak yang tua, bahkan ada yang di atas kursi roda. Maka terinspirasi mengajak orang tua, yang memang belum berkesempatan menunaikan ibadah haji, masih daftar tunggu. Mumpung bapak ibu masih bisa berjalan sendiri, setidaknya tinggal mendampingi. Dan juga pelajaran Fikih kelas 5 juga ada bahasan Haji dan Umrah, jadi lumayan sedikit menguasai materi haji.  Jadilah mengunjungi Asrama Haji untuk sekadar main, dan sedikit ikutan latihan manasik. 

Mengunjungi asrama haji memang bukan untuk pertama kali, asrama haji lumayan dekat dengan kampus jaman kuliah dulu, juga sudah hafal daerahnya. Berhubung agak mendadak naik bis saja, tapi angkutan umumnya super lama sekali, super jarang sekali. Nunggunya lama banget, capek juga nunggu. Akhir-akhir ini memang jarang naik angkutan umum, apalagi di Pare. Jarang juga anguktannya. Namun jadi mikir, mungkin sepi penumpang, armada angkutan membatasi bis yang jalan. Mungkin hanya ramai kalo akhir minggu saja. Akhirnya naik bis Pare Surabaya (Patas) – turun PLN ganti bis Ijo- sampe Joyoboyo naik Lyn P, bener-bener napak tilas jaman kuliah. Pulang Alhamdulillah masih dapat travel, pesan pas berangkat. Surabaya, tambah padat saja kendaraannya, namun masih saja angkutan umumnya seadanya. Di satu sisi mobil bagus bersliweran, di sisi lain masyarakat kebanyakan harus rela berjejal dan kepanasan di angkutan umum. 

Kembali tentang haji, memang lagi tren paket umrah. Alhamdulillah, semoga sebanding dengan kesadaran untuk melaksanakan ibadah sunah. Ya, membutuhkan biaya tak sedikit, apalagi bagi orang yang hartanya pas-pasan. Semoga saja menjadi amal ibadah yang diterima Allah SWT. Tetapi masih saja ada yang umrah demi gaya hidup semata, umrah sebatas wisata religi. Umrah sebatas demi meningkatkan status social dalam pergaulan. Semoga orang-orang semisal ini mendapat hidayah. 

Namun tetap optimis, seiring berjalannya waktu, kesadaran untuk melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim semakin baik. Semoga juga diiringi dengan kesadaran untuk memberikan pelayanan terbaik bagi calon dan jamaah haji. Bukan pelayanan bermotif bisnis semata. Sebagaimana tren juga, memanfaatkan segala sesuatu demi teraih materi sebanyaknya. Tak peduli ibadah yang harusnya merealisasikan nilai ruhiah menjadi pelayanan yang mengejar nilai materi. Satu hal yang sangat mungkin terjadi saat pemikiran matre  mendominasi sebagian besar benak umat manusia. 

Semoga kesadaran untuk kembali menempatkan segala sesuatu sesuai dengan apa yang telah ditetapkan Allah semakin meningkat di tengah masyarakat. Masyarakat tidak lagi takut dengan penerapan syariat, masyarakat semakin rindu dengan penerapan Islam kaffah, semakin terbiasa dan mendukung perjuangan menegakkan khilafah yang akan mewujudkan Islam Rahmatan lil’alamin.


Pare, 24 Mei 2016

Wednesday 18 May 2016

Kapitalisme : Haram Tapi Dinilai Dengan Materi Tinggi


Pagi-pagi memilah sawi, “nglelesi”. Sawi yang mau dibuang sama pemiliknya, satu becak dibuang di tempat penampungan sampah sementara. Sudah tidak laku, harganya murah sekali. Daripada pusing ngurusi lebih baik dibuang saja. Memang tidak sekali ini saja, sayuran tak ada harganya dibuang begitu saja. Tomat, terong, mentimun juga pernah dibiarkan begitu saja. Jadi ingat berita dulu pernah di Brebes bawang merah dibuang di jalan-jalan.

Sekitar jam sembilan, bertemu wali murid yang pernah membayar keperluan sekolah anaknya, mengangsur dengan recehan. Ya, benar-benar recehan. Memang pernah mendengar bagaimana wali murid tersebut nyari tambahan uang, tapi ga mau mikir macem-macem, pekerjaan utamanya tukang becak.

Siang, jam 13.20  sampai lebih jam 14.30, editing baner, ongkosnya hanya delapan ribu rupiah. Ya, hanya delapan ribu rupiah. Harga yang begitu murahnya untuk ketrampilan disain meski sederhana. Mungkin saya ga telaten, tidak mau dan tidak bisa, apalagi selama satu jam hanya dibayar segitu, dulu ikut bantu ngerjakan analisis regresi mahasiswa jurusan “borju’ salah satu ptn saja dibalas dengan 2 loyang pizza bermerek ukuran sedang (sangat berkesan karena untuk pertama kalinya makan pizza yang iklannya ada di tivi). Padahal tidak minta imbalan, tapi setidaknya jadi tahu segitu ya mereka yang merasa butuh berani merogoh koceknya. 

Berbeda lagi, ketika bunga gelombang cinta buming, bibitnya baru ukuran cm saja sudah jutaan. Belum lagi buming ikan lohan, batu akik. Hanya demi tumbuhan, ikan, dan batu orang rela mengeluarkan uang yang tak masuk akal, bisa buat beli beras untuk orang sekampung. 

Begitulah, harga dalam system ekonomi kapitalisme sangat mudah dipermainkan. Nilai barang dan saja tidak diukur berdasarkan seberapa manusia membutuhkan, tapi berdasarkan seberapa manusia menginginkan. Maka tak heran, dibuatlah opini dan persepsi agar manusia menginginkan barang atau jasa tertentu, dan ketika manusia merasa pada puncak keinginan mereka rela mengeluarkan uang berapa pun besarnya. 

Sungguh ironi, di satu sisi ada benda atau jasa yang membutuhkan usaha tetapi sangat tak bernilai namun di sisi lain barang atau jasa yang bukan penentu hidup dan mati begitu melambung harganya. Usaha, tenaga dan biaya yang telah dikeluarkan seolah tak diperhitungkan sama sekali dengan alasan persediaannya melimpah dan manusia tidak menginginkannya. Maka, membuang barang yang halal  begitu saja dianggap tidak masalah, menjual barang haram namun diinginkan dianggap sah-sah saja, memberikan jasa haram tidak menjadi permasalahan. Selama masih ada yang menginginkan semua layak dimanfaatkan. Tidak memperdulikan lagi status halal haram. Miras dianggap barang ekonomi yang layak dipasarkan karena manusia menginginkan, pelacuran dianggap sah sebagai cara mencari uang selama ada yang menginginkan dan bersedia mengganti dengan uang.

Dalam system kapitalisme yang berasas manfaat dan sekularisme, sangat mungkin terjadi pekerjaan halal dengan pengorbanan tinggi tak dianggap bernilai ekonomi dan tak patut dihargai  namun sebaliknya, pekerjaan tanpa pengorbanan atau dengan pengorbanan yang sangat kecil dibuat sedemikian rupa agar diinginkan sehingga layak diberikan penghargaan materi melimpah. Puas itu ketika keinginan terwujud, ingin itu ketika kepuasan teraih. Anggapan yang wajar, karena kebebasan lah yang menjadi pendorong. Dan lagi-lagi kebebasan adalah salah satu ajaran inti dari ideology kapitalisme. 

Jika ini terus dibiarkan, yang kuat akan semakin bebas memiliki dan mengendalikan, yang bermodal akan semakin mencengkeram atas nama investasi. Yang lemah akan semakin terpuruk, yang miskin akan semakin tersisihkan. Yang kaya bebas menghamburkan kekayaan, yang miskin semakin hidup terhimpit. Yang kaya berpesta membuang makanan, yang miskin mengais sisa makanan di tempat sampah. 

Jangan dibiarkan, harus ada perubahan.

Bersambung

Pare, 17 Mei 2016

Friday 13 May 2016

Mengapa Khilafah Terus ?


Ehm..ehm..ehm.. sepertinya khilafah semakin hangat diperbincangkan. Baik yang sangat kontra, sedikit kontra, bilangnya netral saja, mendukung tapi malu-malu, ragu untuk mendukung tapi agak sepakat, pro dan mendukung dengan sepenuh jiwa. Mau pilih yang mana ? Ya terserah saja, yang penting ga masuk kriteria fitnah, ga masalah. Toh semua keputusan kita sendiri yang dimintai pertanggungjawaban. Putuskan semua dengan ilmu bukan semata karena hawa nafsu. Saya pribadi insya Allah masuk yang terakhir, dan semoga tetap istiqamah. Amin.

Mungkin ada yang bertanya, “ Ngomongnya khilafah terus, ga da kerjaan lain apa? “. Waduh, ga gitu juga kali, kalo saya sih banyak kerjaan, banyak juga yang dipikirkan. Namun ketika sudah berazam untuk berdakwah melanjutkan kehidupan Islam, maka menjadikan dakwah sebagai poros adalah sebagai konsekuensi dari keputusan tersebut. Jika tidak menjadikannya poros ya hasilnya belum tentu optimal. Aktivitas selain dakwah ya tetap jalan, dakwah itu salah satu kewajiban bagi muslim, masih ada kewajiban-kewajiban lain yang kelak juga akan dimintai pertanggungjawaban. Tapi juga bukan berarti beranggapan, lebih baik optimalkan kewajiban-kewajiban lain, dakwah biar dilakukan orang-orang yang mampu saja. Tidak. Terus melayakkn diri untuk menjadi pengemban dakwah. Agar tetap bisa menyampaikan Islam, mencegah kemungkaran. Kuatkan aqliyah dan nafsiyah, insya Allah apapun masalahnya, bisa terus dihadapi.

Atau ada yang berkata, “ Tidak usah khilafah terus lah, apa-apa kok solusinya khilafah”. Sistem kehidupan di dunia ini yang akan menentukan corak kehidupan bermasyarakat dan bernegara setidaknya ada tiga : komunisme, kapitalisme dan Islam. Ketiga system tersebut mempunyai cara pandang yang khas dalam memaknai kehidupan. Secara akidah komunisme tidak mengakui keberadaan Allah, maka wajar tidak mau pake hukum Allah. Kapitalisme, mengakui agama dan pencipta tapi ga mau pake aturan dari Allah dalam kehidupan bernegara, maka wajar jika kapitalisme mengambil demokrasi mengatasnamakan rakyat dalam menentukan hukum. Islam, menjadikan rukun iman sebagai landasan. Allah sebagai pencipta sekaligus pengatur, Malaikat sebagai “penghubung” antara Allah dan manusia, Nabi dan Rasul sebagai pembawa risalah, kitab suci sebagai pedoman dalam kehidupan, sadar bahwa yang dijalani di dunia hanya sementara dan akan dimintai pertanggungjawaban setelah datangnya kiamat, pasrah dengan qadla Allah berusaha untuk optimal menjalankan potensi yang ditakdirkan Allah. Diantara ketiga system itu, secara logis akan membuat seorang muslim kaffah dalam beragama ya hanya system Islam. Dan Islam akan menjadi corak kehidupan ketika sistemnya khilafah. Dengan khilafah, semuanya menjadi jelas. Tidak setengah-setengah, tidak seperti saat ini ketika kapitalisme menjadi system yang mencengkeram di negeri ini. Keinginan untuk menerapkan Islam akan selalu saja dijegal. jangan bawa-bawa Islam, jangan sok suci, jangan memaksakan kebenaran, adanya begini ya sudah jalani saja. Akan terus begitu. Hukum Islam yang mengatur semua lini kehidupan, baik hubungan manusia dengan dirinya, hubungan bermasyarakat dan hubungan dengan Allah hanya bisa diterapkan secara sempurna dalam system Islam. Bukan system yang lain. Yang belum sepakat dengan khilafah memang wajar, namun juga harus bertanya. Benarkah demokrasi warisan Nabi, benarkah sekulerisme yang menjadi jalan para sahabat, benarkah system Islam begitu kejam dan buruknya hingga tak layak diterapkan kembali. Benarkah demokrasi kapitalisme adalah system yang diridhoi Allah SWT.

Memang perlu waktu untuk meyakinkan bahwa seharusnya umat menuntut tegaknya khilafah bukan yang lainnya. Terus menyadarkan bukan malah menghentikan. Terus berada pada thariqah dakwah Rasulullah. Maka teruslah mengkaji agar semakin tahu bagaimana khilafah rasyidah tegak dengan metode yang syar’I, bagaimana khilafah bisa memberi solusi, bagaimana khilafah memperlakukan non muslim, bagaimana khilafah bisa mewujudkan Islam sebagai rahmat untuk seluruh alam.


Pare, 13 Mei 2016



Sunday 8 May 2016

Dakwah, Menapaki Sirah Nabi



Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam jilid I, buku yang menjelaskan Sirah Rasulullullah saw, mulai dari Nasab Nabi Muhammad hingga Syair-syair di Perang Badar. Di buku ini pula dengan gamblang diceritakan perjalanan hidup Rasulullah. Awal dakwah Rasulullah saw menyampaikan Islam, stigma negative yang disematkan kepada beliau, siksaan, pengusiran, cacian, makian dan semua ujian dakwah. Rasulullah saw terus menyampaikan Islam, terus menyampaikan ajaran tauhid, terus mengajak manusia untuk menyembah dan melaksanakan perintah Allah SWT. Tidak peduli dengan penolakan kaum jahiliyyah, tidak peduli dengan hujatan. Berbekal keyakinan bahwa yang disampaikan adalah wahyu Allah, yang disampaikan adalah perintah Allah, yang disampaikan adalah ajakan untuk mengeluarkan manusia dari kebodohan. 

Dakwah Rasulullah tak berhenti, terus berdakwah apapun resikonya, terus menyampaikan apapun akibat yang diterima. Penolakan pembesar Qurasy tidak menyurutkan langkah, konspirasi menentang dakwah tidak membuat dakwah berhenti. Kematian dan siksaan pun menjadi resiko di depan mata. Dan sekali lagi, dakwah tidak berhenti.

Hingga pertolongan Allah SWT datang, baiat Aqabah I dan II serta sambutan penduduk Madinah menjadi puncak penerapan Islam. Dan setelah itu, Rasulullah mulai membuat strategi demi keberlangsungan dakwah. Menyelesaikan urusan dengan Yahudi, menyiapkan pasukan untuk menyelesaikan hambatan fisik yang menghalangi dakwah. Rasulullah berperang, terjun ke medan jihad, berada pada kancah pertumpahan darah. Bukan demi hobi perang dan kepuasan menumpahkan darah, namun demi memastikan tidak ada halangan fisik ketika dakwah menyampaikan Islam dilakukan.
Rasulullah juga menerapkan Islam di Madinah. Mengirimkan surat dakwah kepada kepala suku, kaisar, raja. Mengajak mereka untuk bersama tunduk pada hukum Allah SWT. Ketika mereka mau tunduk, maka seluruh jiwa, harta dan darah mereka akan dilindungi. 

Jika benar kita mencintai Rasulullah, jika benar kita menghendaki syafaat beliau di akhirat kelak, maka tidak ada pilihan lain, meneladani Rasulullah dalam semua aspek kehidupan adalah perkara yang mutlak. Menapaki jejak perjalanan hidup beliau, paham dengan konsekuensi yang akan diterima ketika menapaki jalan itu. Termasuk pula dalam dakwah, siap dengan semua hal yang dahulu juga pernah dirasakan Rasulullah. Dan itu pula yang dilakukan para sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in dan ulama-ulama saleh lainnya. 

Jadi, yakinlah. Menapaki jalan dakwah yang telah dicontohkan Rasulullah saw tidak akan pernah sia-sia. Apapun resikonya tetaplah pada jalan dakwah Rasulullah saw. Hingga syariat yang beliau bawa, kembali menjadi tuntunan dalam kehidupan di bumi milik Allah SWT ini. 


Pare, 8 Mei 2016