Thursday 19 December 2019

Mendidik Anak Laki-laki Calon Imam



Berita-berita yang membuat prihatin, tawuran siswa SD, keroyokan siswa SD, terkadang meski hanya sebatas candaan akhirnya ada yang menangis ada yang berujung pertaruhan nyawa dan mayoritas pelakunya adalah anak laki-laki. Namanya anak-anak, perilaku mereka yang seringkali tanpa pikir panjang melakukan sesuatu, tanpa berpikir akibat terburuk. Selain di dunia nyata, tak sedikit  dari anak-anak SD yang sudah aktif di medsos, bahkan bertngkar dengan temannya di medsos, terutama anak usia antara 10-12 tahun, memang berbeda dengan anak laki-laki jaman dahulu. Ada yang sudah baligh, dan bisa dibilang mereka saat ini menuju masa puber. Emosinya tak terkendali, maunya menang sendiri, tak mendengar ketika dinasehati. Masa dimana eksistensinya minta diakui. Lucunya kalo merasa tersakiti baik sakit fisik maupun sakit hati, masih saja mereka menangis tersedu-sedu. Secara fisik mereka menuju masa puber, namun secara pemikiran, masih seperti anak kecil.
Mendampingi anak laki-laki tentu tidak sama dengan anak perempuan, namun dari aspek hamba ada kesamaan, mendidik mereka untuk sama-sama taat kepada Allah, sama-sama siap mengemban tugas sebagai hamba Allah. Akan tetapi dari aspek tanggungjawab, ada perbedaan, laki-laki adalah imam dalam rumah tangga, laki-laki menjadi imam di masjid mengimami jamaah laki-laki dan perempuan, imam bagi semua jamaah, laki-laki berhak menjadi khalifah, wali dan pejabat pemerintahan yang tidak boleh dijabat wanita, laki-laki wajib menafkahi. Maka menyiapkan mereka untuk siap menerima tanggung jawab kelak ketika dewasa mau tidak mau harus dimulai sejak dini.
Namun tantangan mendidik anak, terutama anak laki-laki saat ini bukan perkara yang mudah diselesaikan, tapi meski tidak mudah pasti bisa, optimis. Menjelang dan saat masa puber gharizah nau’ dan baqa’ nya  begitu dominan. Terutama terkait rasa suka pada lawan jenis dan eksistensi diri. Sukanya tebar pesona meski dengan modal dengkul, sukanya umbar tantangan, petantang-petenteng ngajak duel. Tapi urusan belajar, menuntut iilmu, menambah tsaqafah malasnya luar biasa. Mau sekolah jika dibelikan kendaraan ( kalo SD masih minta sepeda, kalo SMP SMA bisa-bisa minta motor baru yang kece badai), dibelikan HP di belikan ini itu, ga cukup dibelikan, jatah perawatan motor, pulsa dan paket data pun menjadi imbalan kepergian mereka ke sekolah. Emang yang butuh belajar dan menuntut ilmu siapa? Pengorbanan dan kerja keras orang tua seolah tak ada nilainya.
Di antara yang bisa dilakukan dalam rangka mendidik anak adalah bekal iman, terus menguatkan aqidah, mengingatkan Allah Maha Segalanya, mengingatkan malaikat yang selalu mencatat. Agar tidak terus mengancam dengan hukuman, agar tidak kepo memeriksa speedometer tiap hari, sudah main sejauh mana. Memberi bekal ilmu dengan mengajak ke majelis ilmu, menyediakan majelis ilmu, memberi ilmu secara langsung jika memang mumpuni. Dan yang tak kalah pentingnya adalah sedini mungkin mengenalkan Alquran pada anak, memperbaiki bacaan dan terus menambah hafalan. Tidak berhenti sampai sekadar hafal, memberi pemahaman Alquran sesuai dengan usia juga sangat penting.
Ya, dekat dengan Alquran adalah bekal selanjutnya untuk anak. Dekat dengan Alquran bermakna bisa membaca, menghafalkan, mentadaburi ayat-ayatnya, memahami,mengamalkan dan menyampaikan kepada orang lain, mendakwahkannya agar diterapkan secara kaffah. Memang butuh proses, perlu langkah bertahap. Untuk anak-anak setidaknya bisa membaca dan menghafal, dengan modal minimal ini paling tidak anak laki-laki sudah disiapkan menjadi calon imam salat. Mumpung masih kecil segera perbaiki kualitas bacaan anak, mumpung masih belum banyak memori yang terisi segera targetkan hafalan Alquran, usia-usia keemasan “ golden age” tak seharusnya dilewatkan. Dan yang juga penting meski tidak semuanya bias menjadi imam, setidaknya anak laki-laki mempunyai keberanian untuk adzan dan iqamah di masjid atau mushala. Karena terkadang ada anak laki-laki yang tidak bisa dan tidak berani tampil untuk adzan dan iqamah. Ini juga bagian dari menyiapkan mental anak agar percaya diri.
Selain peningkatan kualitas ruhiyah, bekal kesehatan dan kekuatan fisik juga tidak boleh diabaikan. Sebagaimana pesan Rasulullah salallahu ‘alaihi wassalam, anak-anak sejak dini dengan menyesuaikan umur, segera dikenalkan dengan olehraga berkuda, berenang dan memanah.  Dan tentu aktivitas fisik lain yang melatih raga, dalam rangka menyiapkan generasi pejuang.

Untuk mendampingi anak laki-laki dan mendidiknya, tentu dibutuhkan orang tua tangguh, lingkungan yang kondusif dan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang terbaik. Anak kita bukanlah robot yang bisa dikendalikan dengan remote control, bukan benda mati yang tak punya hati, fisik dan pikiran mereka akan terus berkembang serta dipengaruhi lingkungan mereka tinggal. Maka menyiapkan berbagai hal agar upaya mendidik anak tidak sia-sia dan semakin berat juga merupakan hal yang sangat penting. Melakukan perubahan dengan dakwah amar makruf nahi munkar dalam setiap bidang, agar kebaikanlah yang dijumpai anak-anak kita. Sebagaimana generasi salaf terdahulu dididik dalam suasana sistem Islam, menjadi ulama dunia dan akhirat, menjadikan mereka umat terbaik. Maka saat ini pun juga juga dibutuhkan sistem yang sama, sistem yang memberikan kesempatan diterapkannya secara kaffah, yaitu sistem khilafah. Sistem yang nyata mencetak generasi terbaik dalam sepanjang masa, generasi mujtahid, generasi ilmuwan dalam segala bidang. Maka perjuangan untuk mewujudkan sistem Islam tidak bisa diabaikan, selain sebagai konsekuensi keimanan, juga untuk memastikan anak-anak kita menjalani masa depan mereka dalam naungan aturan Allah subhanahu wata’ala. Wallahu a’lam bishawab.

No comments:

Post a Comment