Wednesday 17 September 2014

Geographic disorientation

Ju’mat, 15 Agustus 2014
12.20 pm berangkat dari Pare tujuan Kediri-Ngronggo – naik motor , Jika normal 45 menit sudah sampai.

Kondisi jalan agak sepi, masjid belum selesai sholat Jum’at jadilah kecepatan miniml 60km/jam, jadi seharusnya maksimal 45 menit sudah sampai tujuan. Sudah pernah ke tempat tersebut dengan rute yang berbeda. Maksud hati mencari rute terdekat, sudah mempersiapkan rute yang telah diberikan.

Namun entah mengapa, saat tiba di sebuah perempatan bingung harus belok kemana, akhirnya mengikuti perasaan. Semakin jauh dan semakin bingung ada dimana, sedang menghadap ke arah mana. Memandang sekeliling berusaha mencari tulisan jalan atau nama desa, mencari bangunan yang mungkin mencolok, mencari sekolah yang mudah dikenali,menjumpai sebuah SD tapi masih merasa bingung dan asing. Sama sekali tak terpikir telpon atau sms karena benar-benar bingung, ini dimana ?

Akhirnya sampai pada tulisan selamat jalan “KOTA KEDIRI” berhenti dan mencerna tulisan besar di atas jalan, artinya jika terus akan semakin jauh meninggalkan kota Kediri tapi perasaan kok harusnya semakin mendekat ke Kediri. Menyerah, bertanya “ arah UNISKA mana ya ? “ insya Allah jika sudah ada di depan UNISKA bisa menyusun ingatan rute dari awal lagi. Tapi tetap saja merasa ada yang salah,sempat su’dzon orang tadi salah barangkali, kok belum sampai juga,  berusaha mengingat sambil beberapa kali berhenti dan bertanya. Akhirnya bertemu teman yang satu tujuan. Alhamdulillah. Benar-benar menyesakkan dada, tak tahu arah dan salah menentukan belok kanan-kiri karena ternyata jalan yang saya ambil salah kiri-kanan sejak awal. Seharusnya belok kiri saya ambil kanan, harunya ke kanan saya ke kiri. Sampai di tempat 13.22 pm jadi sudah muter-muter lebih dari satu jam.

Bukan pertamakali bingung ada dimana, tapi beberapa kali, sepertinya terakhir “tersesat’ sekitar 4 tahun yang lalu. Dari SMPN 2 Gurah harunya balik ke Pare tapi nyampe ke Puncu.

Sungguh rasanya tidak enak, bingung, tak tahu harus kemana, membutuhkan energy, waktu dan biaya yang tidak sedikit. Pernah mencoba untuk kembali ke awal, tapi namanya juga bingung tetap tak bisa ke tempat awal, muter terus.

Seharusnya bisa dihindari jika konsentrasi, memahami rute dengan cermat, tidak malu bertanya, tidak sekadar menuruti perasaan, tidak sombong sok PeDe, menyiapkan sarana penunjang semisal kompas, GPS dll.

Tersesat itu sengsara, menyesakkan dada, membuat pusing kepala…
Padahal tersesat di jalan karena bingung arah : Geographic disorientation.
Bagaimana jika tersesat dalam menjalani kehidupan?
Tentu tak hanya sekadar sengsara di dunia, tetapi juga di akhirat
Agar tidak tersesat dalam menjalani kehidupan manusia membutuhkan pedoman hidup
Pastikan apa yang kita lakukan ada pedomannya, bukan sekedar menuruti keinginan dan perasaan.
Karena hidup yang membuat Allah SWT maka tentu pedoman terbaik adalah pedoman dari Allah, Al Quran dan As Sunah.
Menjalani aktivitas mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi sesuai dengan aturan Allah
Segera kembali ke jalan yang benar / taubat ketika salah arah, bertanya kepada orang berilmu ketika tidak tahu
Dengan begitu kemungkinan tersesat menjalani hidup peluangnya sangat kecil.


Tersesat itu…
Tersesat itu jika tidak melaksanakan apa yang telah ditetapkan Allah dan Rasulullah
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata ( QS Al Ahzab [33] : 36)
Tersesat itu jika tidak mau menggunakan hati-akal untuk memahami, tidak mau menggunakan mata untuk melihat, dan tidak menggunakan telinga untuk mendengarkan:  ayat-ayat Allah. Alias urip ning ndonya sak karepe udele dhewe.

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami dan mereka mempunyai mata tidak dipergunakannya untuk melihat , dan mereka mempunyai telinga tidak dipergunakannya untuk mendengar . Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.

Agar tidak tersesat…
Berpegang teguh pada petunjuk. Menjalani semua petunjuk, tidak setengah-setengah
Punya bekal ilmu, mencari tahu, berguru pada yang berilmu
Tidak menuruti hawa nafsu, tunduk patuh pada hukum syariah Allah
#YukNgaji

Tanah Papua Bak Mutiara, Bumi Andalas Pulau Emas

Bacanya dikit-dikit aja biar ga puyeng…

Catatan untuk mengingat hasil mengobrol secara langsung dengan orang-orang yang pernah tinggal di tempat-tempat di pelosok tanah air, baik asli maupun tinggal sementara waktu.
 Sekali lagi ini berdasarkan ingatan yang menjadi pijakan dari asumsi yang muncul, jadi sangat mungkin faktanya tidak seperti apa yang saya bayangkan.

Bisa ngobrol dengan orang-orang dari berbagai tempat dengan status :
-          Teman kuliah
-          Pare banyak dikunjungi orang dari berbagai penjuru tanah air ( ini yang paling banyak)
-          Sekadar bertemu, kalo bertemu dengan orang biasanya untuk SKSD tanya asalnya dulu
Sementara focus ke daerah di luar Jawa karena :
-           Saya memang belum pernah berkunjung, sementara ini luar pulau Jawa hanya Bali saja
-          Salut dengan semangat teman-teman dari luar Jawa ketika merantau demi ilmu atau kadang demi sesuap nasi
Yang sering saya tanyakan ketika ngobrol dengan orang-orang luar jawa adalah : kesan mereka ketika pertama kali datang di Jawa,  fasilitas pendidikan, seputar kehidupan masyarakat ( mata pencaharian, cara memenuhi kebutuhan sehari-hari), kursus di Pare memangnya di daerah asal tidak ada tempat kursus ( ini pertanyaan iseng, karena jawabannya sudah tahu krn hampir selalu sama, ingin merasakan kursus di Pare)

Tanah Papua
Hanya dapat cerita tentang sekitar Freeport dan Merauke
Freeport :
Bertahun-tahun yang lalu, ngobrol dengan senior kuliah di jurusan Teknik Lingkungan yang kerja praktik di Freeport, bagian pengolahan limbah. Limbahnya limbah manusia. Awalnya saya membayangkan sebuah tempat di Keputih Surabaya, sering disebut dengan Keputih Tinja. Kalo lewat daerah ini lari-selarinya, ngebut-sengebutnya, sambil bawa sapu tangan penutup hidung, tak berpikir macam-macam. Saya tipe orang yang makan  terpengaruh pikiran, dan pikiran terpengaruh fakta. Di Surabaya saya jarang mau makan kangkung dan iwak pe asap, bukan karena rasanya, tapi terbayang-bayang tempat hidup kangkung di Surabaya dan tempat pengasapan iwak pe di Kenjeran. Jadi kalo ada kangkung dan iwak pe asap saya selalu tanya dulu ini beli dimana ? 

Kembali ke Freeport, bayangan saya sangat jauh dengan kenyataan. Pengolahan limbah di Freeport super canggih, karena didukung fasilitas canggih pula. Sementara kagum dengan Freeport.
Cerita berlanjut bagaimana kondisi umum di Freeport. Bisa dibilang, Freeport ibarat Negara kecil di Indonesia fasilitas penunjang untuk hidup di Freeport sudah lengkap, tidak perlu khawatir dengan sarana dan prasarana, tapi ya harus punya uang banyak  karena harga barang di Freeport mahal-mahal, senior saya sempat beli tape recorder, harganya jauh banget dengan yang di Surabaya. 

Yang membaut hati tersayat adalah adanya “kasta” di Freeport. Ketika bercerita tentang fasilitas yang diberikan kepada pekerja rasanya ingin meneteskan air mata. Yang paling mencolok adalah makanan. Senior saya (selanjutya saya sebut Mbak saja) terkategori kasta kedua ( pribumi dan pendatang dengan pendidikan rata-rata S1). Kasta pertama adalah para manager dan hampir semua orang asing, kasta ketiga pekerja lapangan, kerja kasar lebih banyak orang papua asli. Kasta pertama menunya empat sehat lima sempurna dengan kualitas terbaik, kasta kedua juga empat sehat lima sempurna tapi kualitas di bawah kasta pertama. Yang melas kasta ketiga, empat sehat saja ( katanya sich ga dapat buah, coz senior saya selalu ngasih jatah buah dan roti ke pekerja lapangan yang selalu menemaninya, buat anaknya). Pekerja lapangan yang dijumpai Mbak adalah pekerja di sekitar pengolahan limbah, jadi yang turun ke bawah, ngobok-ngobok limbah adalah para pekerja ini, tak kuat membayangkan. Jadi resiko terkena penyakit lebih besar harusnya system imun tubuhnya juga lebih diperhatikan, harusnya makanannya juga lebih baik lagi. 

Tak tahulah, bayangan saya rakyat Papua itu seperti terjajah di tanahnya sendiri. Kekayaan melimpah tapi kemajuan tak terarah.

Merauke
Dapat cerita dari seorang ibu yang sejak kecil transmigrasi, dan sekarang menikah dan menetap di Jawa.
Waktu saya tanya kesan ketika di Jawa (Pare), kaget dengan tindak criminal di Jawa. Walah saya malah kaget lagi kok bisa seperti itu. Bayangan saya Papua itu orangnya barbar, suka bunuh sana-sini, perang antar suku, tak ramah pada pendatang. Jawab si Ibu, iya sih. Tapi di Papua kasus pembunuhannya “kstaria” membunuhnya saat perang suku, membunuh karena diganggu, membunuh untuk menuntut balas. Lagian kalo kelakukan orang Papua seperti itu pantes, masih primitive.  Tapi lihat berita di Jawa, ditemukan potongan tubuh di tempat sampah, paman membunuh keponakan, membunuh karena harta, membunuh karena tidak bisa membayar hutang, kakak memperkosa adik, anak kecil memperkosa. Orang Jawa kan berpendidikan tapi kelakuannya masak serendah itu… bener juga…

Di Merauke ( yang bukan kota. Tak bisa membayangkan bukan kota itu seperti apa. Kota saja minim fasilitas, apalagi bukan kota), kadang ada perang antar suku, tapi kalo perang mereka tahu mana musuh mana bukan musuh, jadi jarang dech salah bunuh. Lagian kalo akan ada serangan, pasti ada peringatan atau setidaknya isu, jadi yang tidak berkepentingan sadar diri tidak ikut campur, tidak keluar rumah. 

System sanksi adat di Papua sederhana, jika ada yang melanggar dikenai sanksi langsung. Bunuh balas bunuh, melanggar adat ada denda, tidak ada penjara. Simple, gak ngebek-ngebeki penjoro. 

Masalah fasilitas pendidikan, melas. SD dan SMP lumayan dekat, tapi SMA harus ngekos/mondok. Tidak berani PP, bisa-bisa jadi sasaran pemabuk di tengah hutan. Salah satu kebiasaan buruk orang Papua adalah ketika mereka dapat uang langsung dipake pesta, dan selalu ada miras di pesta. Pikirannya “cupet” nduwe dhuwit yo ndang dientekne. Punya uang itu untuk dihabiskan.

Pulau Sulawesi
Pernah ngobrol dengan orang dari beberapa wilayah di Sulawesi. Di Pare pendatang dari Sulawesi sangat banyak,bahkan anak-anak Sulawesi punya asosiai sendiri di Pare.  Paling banyak dari Sulawesi Selatan terutama Makassar, tapi bayangan saya Makassar itu tidak jauh berbeda dengan Surabaya jadi tidak terlalu menarik. Ada juga dari Palopo, Pare-pare, Mamuju.

Dari Sulawesi Selatan  ada cerita yang masih membekas. Yaitu cerita dari Pare-pare.
Kendaraan sehari-hari anak kursusan di Pare adalah sepeda pancal. Banyak anak kos yang beli atau sekadar sewa sepeda ( jadi sewa sepeda bisnis yang lumayan menjanjikan). Tapi ada anak Pare-pare yang kemana-mana boncengan sama temannya, gak bisa naik sepeda katanya. Seminggu berlalu akhirnya bisa naik sepeda meski berkali-kali terjatuh, cara naik sepedanya pun lucu, naiknya dari kanan padahal kebiasaan di Pare naik sepeda itu diawali dari kiri. Memang di kampong halamannya ga pernah naik sepeda, jalannya bergelombang dan naik turun, tidak nyaman buat pengendara sepeda. Apalagi menurut ceritanya, banyak jalan rusak. Ketika di Pare bisa naik sepeda, senangnya bukan main. Di kampong halamannya kemana-mana seringnya diantar. Awalnya sempat su’udzon, manja. Tapi ternyata memang kendala jalan.
Di Pare memang masih ada beberapa jalan yang belum aspal, tapi tetap nyaman untuk sepeda. 

Kolaka Utara 
Waktu kenalan dengan anak Kolaka Utara saya sampe meminta untuk ditunjukkan di peta, he..he.. tidak familiar dengan nama daerah ini, karena ternyata tidak sama dengan Kolaka.Dua daerah yang berbeda.
Yang menarik adalah dia datang ke Pare bersama rombongan. Jadi mereka mendapat fasilitas beasiswa dari pemda untuk kursus di Pare. Walah-walah kursus saja dapat beasiswa, enak banget. Memang ada syaratnya, setelah selesai kursus wajib kembali ke Kolaka Utara, ga boleh menetap di Jawa. Bersedia mengamalkan ilmunya di Kolaka Utara, tidak terikat harus bekerja dimana yang penting memberikan ilmunya idi sana.  Memberi beasiswa merupakan salah satu cara pemda untuk memotivasi agar semangat menuntut ilmu, bagus juga. Memang minat menuntut ilmu di Kolaka Utara masih minim. Yang laki-laki paling-paling berakhir di ladang atau kebun, yang perempuan paling-paling jadi IRT, jadi sekolah apalagi kursus dianggap tidak terlalu penting.
Pernah juga ngobrol dengan anak Gorontalo, Kendari, Palu, tapi tinggalnya di Kota jadi bayangan saya ya tidak jauh berbeda dengan Pare. 

Pulau Kalimantan
Pangkalanbun, Kalteng
Salah satu cerita menarik adalah kondisi tanah di Pangkalanbun. Perkebunan sawit dan karet mendominasi. Katanya, karakter sawit adalah menyerap air tanah jadi jika semakin luas perkebunan kelapa sawit bisa jadi lama-lama daerah disekitarnya jadi kering. Begitu cerita salah seorang anak kursusan. Waktu itu di rumah lagi banyak rambutan, makanya dia cerita kalo dulu ayahnya juga biasa tanam rambutan, tapi sejak beberapa tahun ini banyak yang mati,kekurangan air. Cerita juga bagaimana penduduk setempat atau pendatang yang modalnya sedikit kesulitan mengelola perkebunannya, kalah dengan perkebunan yang dikelola perusahaan-perusaan asing, terutama dari Malaysia, akhirnya dari pada merugi petani kecil lebih memilih menjual perkebunannya. Untuk menyambung hidup mereka menyewa lahan. Oaalaah kok yo soro ning omahe dhewe…

Ada cerita juga dari orang Amuntai, Berau, Banjarmasin.  Dari cerita mereka yang saya bayangkan adalah sering mati lampu dan kualitas lembaga pendidikan yang rendah,mengelola  sekolah  dengan segala keterbatasan sehingga berpengaruh pada output. 

Ada juga hal menarik, tapi lupa dari Kalimantan mana. Senior waktu kuliah, jika pulang kampong buat list terlebih dahulu. Daftar barang yang mau dibeli, daftar pesanan keluarga, trus belanja di Pasar Turi. Saya sampe terheran-heran. Apa tidak ada di Kalimantan to mbak, ke Pasar Turi kok belanja kebutuhan sehari-hari di bawa pulkam. Ada, tapi kadang kehabisan dan harganya mahal. 

Tentang belanja sebelum pulkam, juga dilakukan anak Lombok Timur dan Sumbawa. Nanya-nanya rute ke Surabaya, ternyata mau belanja ke Pasar Turi, berarti Pasar Turi terkenal ya…

Ingin cerita tentang Tenggarong, tapi masih belum banyak maklumat. Ini daerah asal Pak Kalend direktur BEC ( cikal bakal kursusan di Pare), ceritanya lebih ke sejarah. Kehidupan kerajaan kutai dan awal masuk agama Islam ke Kutai. Bayangan saya seperti Yogya.

Bumi Andalas di Wikipedia Sumatra juga punya nama lain Pulau Emas.
Cerita tentang Mesuji-Palembang dan Bengkulu saja
Tidak tau tepatnya di Mesuji mana, harga tanah satu hektar 12 juta saja. Murah banget. Air tidak sulit, tanah tidak tandus. Bayangan saya, tidak masalah, selama ada air masih mudah bertahan hidup. Tapi jalan masuknya ke tanah yang murah itu sekitar tiga km jalan tanah yang kalo hujan lengket, jadilah kendaraan tidak bisa keluar, terisolasi. Memang terkadang ada kendala dari orang suku pedalaman. Tapi selama mengerti kebiasaan mereka, tidak masalah. Lagian primitive, dengan sebuah keris yang dicap sakti saja sudah takut.

Sedikit tentang Bengkulu dan Sawahlunto

Ngobrol dengan orang dari Bengkulu (kurang tau tepatnya dimana) dan Sawahlunto. Ada kemiripan cerita tentang sekolah. Jumlah sekolah sangat sedikit, kalo pun ada jaraknya sangat berjauhan. Harus melintas hutan dan menyeberangi sungai. Jam belajar dan jarak tempuh gak sumbut, kelamaan di jalan. Makanya lebih memilih merantau ke Jawa untuk sekolah. 

Di Pare juga ada pendatang yang mayoritas berasal dari NTT bahkan dulu Timur Leste. Di Desa Darungan dan Bendo, mereka kuliah akademi kesehatan dan STIKES. Banyak banget, tapi berhubung agak  jauh tidak pernah ngobrol dengan mereka.

Semakin lama ceritanya menyusut, sudah capek. Kalo tidak langsung diselesaikan bisa-bisa selamanya ada di folder My Plan .
Namanya juga asumsi dan bayangan saya,kalo ada salah mohon maaf yang sebesarnya, silakan mengingatkan dan memberi masukan. Juga tidak dalam rangka men-generalisir semua pasti begini…

Jadi…
Semua daerah yang saya ceritakan semuanya adalah wilayah NKRI. Semua statusnya adalah warga Negara Indonesia. Namun menurut saya pembangunan lebih terpusat di Pulau Jawa. Jika itu di Luar Jawa harus punya cadangan SDA yang melimpah baru ada perhatian, tapi SDA yang melimpah belum menjamin dan berkorelasi positif dengan kesejahteraan penduduknya. Karena lagi-lagi pemilik modal lah yang menguasai, pribumi hanya gigit jari. Daerah dengan SDA melimpah menjadi sasaran pemilik modal. Pembangunan fasilitas hanya demi kepentingan eksploitasi bukan kesejahteraan rakyat. Jadi jika ada sebuah daerah yang sebelumnya tidak ada aliran listrik, jalan rusak, tiba-tiba ada listrik, jalan diperbaiki padahal di daerah tersebut tidak ada pejabat, jangan bergembira dulu, wah pemerintah peduli dan baik hati. Tunggu dulu, bisa dipastikan akan ada pembangunan perusahaan investasi swasta bahkan asing. Bukan membangun daerah tersebut demi kepentingan masyarakat, tapi menyiapkan fasilitas n sarana untuk melancarkan misi eksploitasi kekayaan alam daerah tersebut. 

Di usia yang ke 69 tahun, seharusnya negeri ini bisa lebih baik lagi. Namun system yang ada tak kunjung bisa mewujudkan perubahan. Perubahan menuju kesejahteraan hakiki, kesejahteraan hidup sehingga bisa menikmati hidup sesuai dengan tujuan manusia diciptakan. Sedangkan Allah menciptakan manusia semata untuk ibadah

Kerja bernilai ibadah tidak sekadar demi kekayaan
Makan bernilai ibadah tidak sekadar perut terganjal
Menuntut ilmu bernilai ibadah tidak sekadar demi kebanggaan
Penguasa mengurus rakyat bernilai ibadah tidak sekedar demi kembali modal
Rakyat taat penguasa bernilai ibadah bukan karena ketakutan
Berdakwah dan jihad menyebarkan rahmat Islam bernilai ibadah bukan demi ego ingin terkenal

Maka sebagai bukti cinta kepada negeri ini, seharusnya kita berusaha keras untuk merubah kondisi negeri ini. Tidak menutup mata dengan perubahan yang sahih, perubahan menuju ridha Allah, perubahan menuju diterapkannya syariat Allah secara kaffah  dalam naungan khilafah rasyidah ‘ala minhajinnubuwwah.

Bagaimana pun juga #IndonesiaMilikAllah

Kesan :
Allah maha kaya, Allah maha adil dimana pun kita hidup insya Allah ada jaminan rezeki.
Tak peduli di Jawa atau di luar Jawa, di kota atau di pedalaman selalu ada jalan untuk sukses. Yang penting menjalaninya dengan memperhatikan kaidah sebab akibat, masalah hasil qadla Allah.
Selama ini selalu membayangkan kondisi di luar Jawa mengenaskan, tapi bagaimana pun juga selalu ada kesempatan yang bisa dimanfaatkan disaat ada athg( pertama mengenal ATHG pas bahas wawasan nusantara, tapi lupa waktu kelas berapa)

Jika dikaitkan dengan dakwah, pedalaman juga tak masalah. Memang secara alami peluang  perubahan ada di kota besar akan tetapi tidak selalu perjuangan berhasil ditempat yang diharapkan. Jadi ingat dakwah Rasul di Mekkah, tapi berhasil mendirikan daulah di Madinah. So, dimana pun kita berada tetaplah berusaha dan berjuang. Dan Alhamdulillah salut dengan saudara2 seperjuangan di berbagai penjuru tanah air yang Mei – Juni kemarin berhasil menggelar Konferensi Islam dan Peradaban di 70 kota di Indonesia, termasuk di Luar Pulau Jawa. 

Untuk putra – putri daerah, memang tak ada salahnya untuk punya komitmen kembali ke daerah. Daerah, terutama pedalaman berhak mendapat sentuhan kemajuan. Sorry, kasarane wis ga usah ngebek-ngebeki Jowo, mumet lan sumpek  yen kabeh pingin urip ning Jowo. Orang non Jawa ngerti gak ya ?
Tapi sepertinya perlu ditinjau ulang program transmigrasi, kalo perlu bedol desa biar banyak temannya…
Tp lg mikir, jauh dr kota kl barang elektronik rusak servis dmn ya ( tp otomatis ga tergantung pd barang elektronik mungkin, lha wong biasanya listrik byar pet kan… ?), Ada sinyal ga ? de el el…

Nulis juga sekalian mengamati peta koridor ekonomi Masterplan Percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (mp3ei) 2011-2025. Mungkin lebih tepatnya MASTERPLAN PERCEPATAN(eksploitasi SDA) dan PERLUASAN (penjajahan kapitalis)(berkedok) PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA. Bisa jadi tulisan panjang lagi kl bahas mp3ei ini….
Yen dijarke, anak putu ga keduman opo2….  Harus ada perubahan.

Biar semakin tergambar dengan perubahan yang sahih dan mulianya hidup dalam naungan khilafah #YukNgaji
Terimakasih untuk yang sudah bersedia membaca….
End.