Thursday 12 July 2018

Diet, Sabarlah!


Masalah berat badan kadang jadi hal yang sensitif bagi wanita. Pernyataan-pernyataan berikut terkadang rasanya bagaimana gitu...bikin sensi dech, jadi sedikit jaga perasaan ya :
Wah..tambah gemuk sekarang
Astaghfirullah tambah melar aja
Tambah subur dech
Aduuh pipinya tambah tembem
Sekarang tambah makmur ya
Yang bikin pusing itu kalo sudah nikah gemuk dikritik kurus dibilang tak terurus. Lha terus maunya bagaimana?



Sudah, tak perlu dipikir hingga stress. Nikmati saja, yang penting sehat, energik, mobilitas lincah mau gemuk atau kurus silakan.

Tapi bukan berarti makan tanpa kendali atau diet hingga menyiksa diri. Tetaplah proporsional, tetaplah berpikir jernih, jangan semata makan menuruti hawa nafsu.

Untuk diet, bukan berarti anti dengan makanan tertentu. Tidak, diet semata untuk mengatur asupan gizi yang masuk ke dalam tubuh disesuailan dengan kebutuhan dan kondisi tubuh.

Pernah mengatur menu diet kolesterol, rendah garam dan kalium. Secara umum tidak ada pantangan dengan makanan tertentu, boleh-boleh saja makan apa saja, yang penting tidak berlebihan. Diatur sesuai dengan kebutuhan, kebutuhan kalori atau protein bagi lansia dengan anak kecil tentu berbeda namun keduanya tetap dibutuhkan. Jadi diet lebih bermakna menyesuaikan, bukan sama sekali meninggalkan.

Untuk usia produktif yang aktif bekerja, dengan kondisi keuangan mapan terkadang makan menjadi hal yang tak terkontrol, maunya yang enak, cepat, instant. Apalagi makan di luar (warung, restoran, ada acara) bisa jadi tak terasa makan berlebihan. Untuk usia di atas 30 tahun harus pandai-pandai mengatur makanan yang hendak dikonsumsi, tidak hanya menuruti apa yang disukai, antipati dengan yang tidak disuka. Sebisa mungkin makan makanan seimbang, terus mengingat, makan adalah aktivitas, yang akan dimintai pertanggungjawaban juga.

Yang sudah langsing tetap menjaga kesehatan, untuk yang gemuk pastikan fungsi  organ tubuh tak terhambat, imbangi dengan pengeluaran energi.

Jadi, kurus alhamdulillah, gemuk juga woles saja.

Gambarnya buat lucu-lucuan saja ya sis, ga usah dipikirin.

Wednesday 11 July 2018

Semanis Buncis


Anjuran makan dan minum dalam Islam sederhana saja, halal dan thayyib. Selama tidak ada dalil yang mengharamkan maka tak perlu menanyakan satu-persatu makanan dan minuman, apakah boleh dikonsumsi atau tidak.

Selain berkaitan dengan halal dan haram, motivasi memenuhi kebutuhan jasmani yang salah satunya makan ini, adalah agar bisa optimal dalam semua ibadah. Dengan makan yang halal dan thayyib setidaknya sudah mengupayakan kaidah sebab akibat menuju tubuh yang sehat.

Jika berpikir simple dalam hal makanan insya Allah tenaga, pikiran dan waktu tak hanya tercurah hanya untuk masalah urusan perut saja. Beda dengan saat ini, ada banyak masalah hanya karena masalah urusan harta demi bertahan hidup dengan sesuap nasi. Ditambah lagi dengan pola pikir yang sekular tanpa pikir cemerlang ada segelintir orang yang hobi kuliner, bangga dengan pesta pora, berakhir dengan membuang makanan sia-sia, namun juga ada banyak orang yang kelaparan. Ini bukan sekadar masalah individu, tapi juga masalah sistemik. Membudayanya pemikiran kapitalis sekular karena diberi ruang selebarnya sedangkan upaya menjaga pemikiran Islam sama sekali tidak ada bahkan dikekang hingga dikriminalkan dengan cap radikal, fundamental dan pengkhianat negeri.

Halal haram tidak lagi menjadi standar. Yang penting suka dan dianggap bermanfaat menurut akal manusia maka sah saja untuk diambil.

Kembali pada makanan, jika tidak terkooptasi dengan pemikiran rendahan, semisal makanan menuruti rasa gengsi, bangga dengan daya jelajah kuliner, hidup hanya sebatas dunia, maka hidup itu simple saja. Tidak pake repot, tidak pake cerewet, tidak pake ribet, halal pasti, thayyib relatif. Disesuaikan dengan kondisi personal.

Termasuk pula pertimbangan makanan seimbang dengan mengkonsumsi sayur. Namun fakta di lapangan, orang terkadang ada yang tidak suka sayuran. Jika pertimbangannya memang tidak baik untuk kesehatan, bisa dimaklumi, namun jika hanya karena asumsi belaka maka sungguh sayang.

Suka atau tidak pada makanan secara umum juga permasalahan yang terkait dengan pemikiran. Pemikiran akan membentuk pemahaman, pemahaman berpengaruh pada perbuatan, termasuk dalam hal memilih makanan. Pemikiran dipengaruhi informasi yang didapatkan.
Maka jika hendak membuat orang suka salah satunya adalah dengan memberikan pemahaman, memberikan informasi yang lengkap, itu untuk orang yang berakal yang masih bisa berpikir. Untuk selain yang berakal, anak kecil dan orang gila misalnya perlu diawali dengan pembiasaan.

Khusus untuk anak, pembiasaan dan memberi pemahaman juga disertai keteladanan. Peluangnya kecil ketika orang tua anti makanan tertentu anak menjadi suka, terutama sayuran. Jangan berharap lebih anak menjadi suka sayuran. Maka sebelum "memaksa" anak untuk konsumsi sayuran ada baiknya orang tua atau calon orang tua mengubah kebiasaan terkait makann, cukup gunakan standar sederhana, selama halal dan thayyib kenapa tidak suka? Jika memang belum terbiasa setidaknya tidak menunjukkan rasa tidak suka atau bahkan kebencian terhadap makanan tertentu secara berlebihan. Ini hanya masalah pemenuhan kebutuhan jasmani yang kadang disertai naluri, insya Allah bisa diatur.

Makan, bisa jadi perkara sepele, namun jika diabaikan bisa berpengaruh pada kesehatan, jika tidak sehat bagaimana akan optimal dalam aktivitas? Namun tetap ridla jika memang Allah memberi qadla yang kita anggap kurang menyenangkan, misal tidak bisa makan makanan tertentu karena alergi, ya sudah nikmati saja.

Pengalaman pribadi, alhamdulillah untuk saat ini bisa dibilang tidak ada makanan tidak suka, insya Allah secara umum tidak menolak semua makanan halal, untuk pertimbangan thayyib masih sedikit memilah, namun dalam kondisi tidak fit saja. Jika sehat, silakan menawari saya makanan apa saja. Atau ga perlu menawari, langsung beri saja he..hee. enak ya jadi omnivora itu, ga pake ribet.

Namun dahulu pernah tidak suka dengan buncis, tapi sekarang apa saja tidak masalah, termasuk dengan buncis. Dahulu jika menemukan buncis pasti dibuang atau disisihkan, jika termakan memilih memuntahkan. Entahlah...rasanya buncis itu tidak enak, mengerikan.

Tapi itu dahulu, awalnya terpaksa, dan akhirnya berpikir kenapa harus tidak suka, apa makan buncis bikin sakit, apa makan buncis bikin sengsara, bukannya malah tidak sehat  jika menghindar dadi sayuran dan seterusnya alhamdulillah terbiasa.
Sejak kapan suka buncis? Sejak jadi anak kos. Benar-benar merasakan sensasi jadi anak kos, melatih mandiri dan berpikir logis, tidak terbiasa dengan hal-hal serba praktis.

Jika ada tugas sampai malam, maka selalu keluar kampus malam pula dengan posisi belum makan malam. Maka pulang ke kosan tidak lupa beli makan malam, dan karena memang sudah malam tidak banyak pilihan warung, tapi tetap pertimbangan utama adalah pilih yang murah meriah.

Tapi celakanya hampir semua warung selalu ada menu oseng-oseng buncis, dan mirisnya jika malam sayuran yang tersisa hanya buncis. Awalnya memilih nasi lauk utama saja, lama-lama kok ngenes jadi jarang makan sayur. Dan sepertinya ibu warung juga hafal, akhirnya seringkali sedikit memaksa memberi buncis, dan sebagai iming-imingnya ditambahi bonus lauk lainnya. Ini salah satu keuntungan beli makan larut malam, ibu warung sadar bagaimana nasib anak kos, apa aja yang ada diberikan. Dan alhamdulillah akhirnya terbiasa, sekarang buncis itu juga serasa manis. Jadi yang masih milih-milih makanan, coba rasakan jadi anak kos, peluang jadi omnivora terbuka lebar. Kecuali memang sudah ga mau ribet.

Intinya nikmatilah makanan selama tidak membahayakan kesehatan. Sebelum badan harus membatasi konsumsi sayuran.
Jujur saya memilih sehat, memilih berusaha untuk bisa sehat, meski saat diberi sakit juga tetap tidak masalah, karena bisa jadi sakit itu menjadi pengingat, menjadi pelebur dosa karena banyaknya maksiat. Namun berusaha memanfaatkan sehat sebelum sakit, Insya Allah peluang beramal lebih banyak. Amal banyak saja belum tentu diterima apalagi amal sedikit.

Pare, 11 Juli 2018

Ganbar tumis buncis : vemale.com

Tuesday 10 July 2018

Diversifikasi Memasak


Bagi seorang muslim semua aktivitas kebaikan bisa bernilai ibadah, caranya dengan selalu menghadirkan "ruh" dalam setiap perbuatan, ruh bermakna idrak sillah billah , kesadaran akan hubungan dengan Allah, bahwa setiap perbuatan akan dihisab Allah, setiap perbuatan terikat pada hukum Allah.

Termasuk pula aktivitas memasak, mungkin bagi yang sibuk, punya anggaran dana lebih dari cukup, apalagi hobi kuliner, memasak bukan perkara ribet. Cukup beli jadi, namun bagi yang pas-pasan, yang harus muter otak untuk bisa memasak tentu akan berbeda.

Memasak juga bisa bernilai ibadah. Memasak makanan yang halal karena sadar keharaman makanan haram, memasak untuk memenuhi kebutuhan keluarga, memasak untuk memberikan nutrisi terbaik bagi keluarga terutama anak. Jika semua dilakukan semata karena Allah dan tetap terikat pada hukumnya Allah maka semua itu akan bernilai ibadah. Jadi "menikmati" memasak itu memang seharusnya dibiasakan, terutama bagi wanita. Yang memang salah satu tugasnya adalah mengatur urusan domestik rumah.

Akan tetapi meski sepele, terkadang memasak ini juga bisa menjadi aktivitas yang membingungkan, misalnya ketika tidak ada ide, tidak ada cukup waktu, tidak ada dana cukup dan lain sebagainya. Memang benar-benar harus kreatif dan diatur. Agar  asap dapur tetap mengepul.

Bagi orang-orang yang punya kesukaan makanan, memasak ini hal remeh. Karena sukanya tempe, ya ga peduli apapun suasananya, berapapun dananya ya tidak bingung, selalu masak tempe. Tentang tempe, dahulu ketika ngekos, ada teman yang sukanya tempe. Jadilah ketika dia giliran masak pasti selalu ada tempe. Tapi alhamdulillah, kreatif. Meski tempe jenis masakannya berbeda. Dipenyet, disambel goreng, disayur, dibuat bala-bala dsb. Ada saja masakannya, tapi bahannya selalu tempe.

Atau bagi keluarga petani, ketika musim panen terkadang jenis sayurannya monoton. Panen kacang panjang, maka kacang panjang ada hampir tiap hari, begitu pula ketika panen terong, kangkung, sawi, jagung dsb, bisa dipastikan menunya tidak jauh-jauh dari panenan. Dan tetangga petani pun sepertinya juga merasakan imbasnya. Sering diberi.

Apalagi di saat panen raya, harga sayuran jatuh, jadilah sayuran tertentu melimpah ruah, dengan harga jual murah. Tak jarang sayur berakhir dengan sia-sia. Maka di sini juga "ruh" penting dihadirkan.
Keikhlasan memasak seadanya, mengesampingkan rasa bosan, namun tetap memberikan masakan yang terbaik untuk keluarga. Selain dalam hal memasak juga diperlukan "ruh" ketika makan bagi anggota keluarga. Makan dalam rangka beribadah kepada Allah, selama halal dan thayyib selalu bersyukur dan menikmati masakan. Insyaallah dengan prinsip ini memasak dan makan itu jadi aktivitas yang menyenangkan.

Ini hanya sebatas persoalan individu, namun masalahnya fakta yang ada manusia saat ini sulit menghadirkan ruh. Kehidupan sekular alias memisahkan agama dari kehidupan sering kali membuat manusia berpikir menuruti hawa nafsu semata, seringkali abai dengan aturan yang ada. Dan ini juga berimbas pada karakter kehidupan di tengah masyarakat dan kebijakan negara.

Di negeri ini tidak ada upaya tersistematis untuk mengedukasi perempuan agar siap menjadi al umm wa rabbatul bait, menjadi ibu dan pengatur rumah yang jelas penuh dengan lika-liku dan seluk-beluk masalah. Yang salah satu masalah yang pasti dihadapi adalah masalah dapur. Memang tidak harus menjadi perempuan sempurna yang ahli segalanya, namun setidaknya ada upaya pembekalan ilmu, dan lagi bagi seorang muslim tak ada yang sia-sia dengan ilmu.

Tidak hanya masalah individu, ketersediaan bahan makanan dengan harga yang terjangkau juga merupakan masalah yang akan mudah diselesaikan oleh penguasa, jika ada kesungguhan.
Edukasi kepada para petani agar menanam tidak bersamaan, memberikan ketrampilan teknik tanam, pemenuhan kebutuhan bercocok tanam, juga edukasi teknologi paska panen agar ketika panen raya tidak terbuang dengan percuma, juga butuh kemudahan distribusi hasil panen (transportasi,  data base geografi tanaman khas dll) yang jelas ini membutuhkan kepedulian dan peran negara.

Dan sekali lagi, pengurusan negara dalam urusan rakyatnya jika dihadirkan ruh juga akan menjadi ibadah. Menjalankan semua aktivitas mulai individu hingga bernegara sesuai dengan aturan Allah subhanahu wata'ala.

Memang semua butuh azzam kuat jika sekadar berpikir diri sendiri dan solusi pribadi mungkin sederhana saja. Namun tidak seperti itu, ada kewajiban yang terkait dengan pengurusan urusan umat, peduli dengan sesama manusia, karena Islam agama sempurna yang seharusnya diterapkan dalam kehidupan, bukan sekadar ada dalam khayalan.

Catatan :
Nulis ini karena sementara bahan sayuran yang selalu ada adalah bayam. Sayang jika tidak diambil, tanamannya cepat berbunga. Jadilah hampir tiap hari ada menu bayam. Disayur bening dengan kombinasi berganti (labu, gambas, wortel,jagung dll), direbus saja dengan sambel variasi (pecel, tomat, lombok ijo, petis, teri dll), disayur bobor. Yang agak tahan lama dibuat rempeyek bayam. Jika tatarannya petani maka perlu pengolahan paska panen dan distribusinya, maka akan meningkatkan income petani
Yang sekitar Pare silakan jika minat, bayam tanpa pestisida, Insya Allah lebih sehat.

Pare, 10 Juli 2018

Monday 9 July 2018

Masih Tentang Para Pencari Nafkah

Dakta.com
(Dari dulu suka dengan pemandangan di swah) 

Pagi-pagi di dua hari yang berbeda

Pagi istimewa, karena akhir-akhir ini jarang ke Kediri motoran sendiri, alhamdulillah ada yang berbaik hati mbarengi. Naik motor Pare-Kediri, kecepatan sedang. Pagi yang sangat dingin sekali, jalan memang tidak sangat ramai, namun sudah banyak pengendara lain. Sesekali mendahului para pengendara sepeda angin, berkali-kali didahului pengendara motor, berkali-kali didahului pengendara mobil. Sengaja dengan kecepatan sedang, waktu masih longgar meski resikonya semakin lama menempuh perjalanan, mau nambah kecepatan dinginnya semakin menusuk tulang.

Terbanyak didahului pengendara motor, lebih terlihat terburu-buru, mungkin memburu waktu menuju tempat kerja. Beberapa di antaranya pengendara laki-laki, sedikit di antaranya para wanita. Dari penampilannya memang hampir semuanya keluar bekerja.

Ada rasa kagum kepada mereka, pagi-pagi sudah meninggalkan rumah. Hanya bisa mendoakan semoga mereka para lelaki atau suami diberi rezeki yang barakah, semoga mereka para wanita bisa membantu keluarga mencari nafkah dan terhitung sedekah.

Masih dalam suasana pagi-pagi di lain hari. Sedang bertamu, di Pare saja, duduk di ruang tamu menunggu tuan rumah. Tiba-tiba ada lelaki muda, sepertinya mau masuk rumah tetapi urung ketika melihat saya, mencari tuan rumah. Karena yang punya rumah sedang di belakang, saya minta untuk menunggu dulu. Si pemuda dengan wajah lusuh terlihat tidak sabar, dan bilang keperluannya hanya minta uang saja, menyebut nominal 2000 rupiah, katanya buat beli nasi. Agak kaget, ternyata peminta ( sementara tidak pake kata pengemis, dapat cerita asal-usul kata pengemis, artinya jauh berbeda dengan fakta saat ini, tulisan menyusul). Karena sejak awal mencari tuan rumah dan faktanya saya tidak punya uang 2 ribuan, tetap saya sarankan untuk nunggu dulu. Tanpa disangka si peminta langsung balik badan keluar, ketika ambil sandal terlihat marah, sendalnya sendiri ditendang. Sudahlah bikin kaget karena tiba-tiba muncul, pergi tanpa pamit sambil marah. Jadi suudzan, jangan-jangan kalau tidak ada saya, dia berencana mencuri, karena suasana rumah sepi. Modus pencurian dengan pura-pura mencari orang/ teman kos sudah sering terjadi, jadi hati-hatilah yang di Pare.

Untuk fakta kedua, rasanya malah kasihan. Masih muda malah minta-minta. Mungkin tidak punya ketrampilan tapi setidaknya masih punya tenaga, masih bisa mencari barang bekas misalnya. Jika hanya untuk beli nasi satu kali makan rasanya tidak terlalu butuh banyak uang. Apalagi laki-laki, wajib mencari nafkah terlepas berapa pun yang didapat. Hanya dengan niat ikhlas dalam bekerja saja pahalanya sungguh luar biasa. Ya, lelaki yang bekerja lillahi ta'ala akan mendapat kedudukan yang mulia, sebagaimana pujian Rasulullah kepada seorang lelaki yang kasar tangannya karena bekerja yang kelak akan dibalas dengan surga.

Untuk para wanita yang hukum asalnya tidak wajib bekerja, semoga tetap berada pada keberkahan. Bekerja bukan semata demi dunia, namun ada visi akhirat, mendapat materi untuk menambah pahala bukan untuk kesenangan. Bekerja tanpa meninggalkan kewajiban, bekerja dengan tetap menjauhi keharaman.

Memang di saat sistem ekonomi berbasis kapitalisme seperti saat ini, para pemilik modal tinggal mengembangkan harta sedangkan orang tanpa kekayaan dipaksa bersaing memeras keringat membanting tulang bertahan hidup. Tak peduli lelaki atau wanita, semua dipaksa mencari materi. Kondisi yang jauh dari suasana keimanan dan ketakwaan, ketika pemikiran sekular sudah merasuk, bisa jadi motivasi ibadah dalam mencari nafkah tak ada dalam benak, bekerja ya mencari harta, maka tak heran jika ada yang rela melakukan keharaman demi harta, kurang sungguh-sungguh.

Ya, realita yang harus diubah. Di satu sisi menguatkan diri, di sisi lain berusaha mewujudkan sistem yang manusiawi, sistem kehidupan yang dijalani sesuai dengan tujuan penciptaan manusia. Yaitu sistem Islam, sistem terbaik dari Alkhaliq.
Sistem yang ramah, sebagaimana para khalifah dahulu, mendorong para lelaki untuk bekerja, memberi lapangan kerja, dan menyantuni orang-orang yang memang punya udzur. Seperti khalifah yang menyediakan rumah tepung, dimana para musafir dan orang yang membutuhkan mengambil bahan makanan dengan cuma-cuma, sehingga tak membuat orang terpikir untuk minta-minta atau mencuri, mengapa harus mencuri jika ada fasilitasnya, dan jika benar mencuri karena lapar ada perbedaan pemberian sanksi tidak dipukul rata.

Berusaha mewujudkan sistem Islam memang membutuhkan perjuangan, terlepas dari berbagai fitnahan dan tuduhan miring, perjuangan itu tak kan berhenti begitu saja. Semangat itu akan tetap ada, bukan karena manusia namun semangat semata lillahi ta'ala.

O ya, menulis ini jadi teringat dengan kasus penjambretan penumpang ojol, meninggal. Meski info terakhir penjambret sudah menyerahkan diri. Mungkin menyesal teramat sangat, sudahlah hasil tidak seberapa korbannya kehilangan nyawa, resiko hukuman yang tak ringan. Beda  dengan koruptor, hasilnya menggunung namun hukumannya tak berefek jera, ironis lagi masih ada yang terpilih jadi bupati.

Teringat juga dengan seseoarang  di daerah terminal lama Kediri, sering melihat orang ini di samping gang masuk kelurahan Banaran, seperti mengatur parkir atau mungkin jadi "polisi cepek", laki-laki dengan badan tidak normal, sepertinya menderita tumor di punggungnya, tubuhnya kurus kecil. Tapi ketika melihat sekilas bukan orang yang diam pasrah dengan keadaan. Terakhir lewat, pagi-pagi hari itu, tak melihatnya, mungkin karena masih pagi sekali, dan siangnya ketika lewat pulang tidak terlalu memperhatikan, kendaraan padat dan terburu-buru. Salut dengan mereka yang Allah berikan ujian namun tetap tegar menjalani kehidupan. Wallahu'alam karena hanya sekilas memandang, memilih husnudzan saja.

Juga teringat dengan seorang ibu dengan keranjang dagangan di belakang menempuh perjalanan dengan sepeda pancalnya, dahulu sering berpapasan di daerah Garuda ke barat, kadang berpapasan di Cangkring kadang di wilayah Tegowangi menuju arah Pare. Bukan jarak yang dekat, dengan kiri kanan sawah membentang naik sepeda pancal itu butuh perjuangan. Btw, saya kalau ke sekolah juga lebih sering gowes, tapi jangan ditanya jaraknya he..he..anjuran bike to work sudah biasa bagi saya. Tidak perlu nunggu sosok Bu Risma di Surabaya atau Wagub Sandiaga Uno kasih contoh dulu.

Terakhir, semoga semua tetap dalam keberkahan. Semoga pertolongan Allah untuk kejayaan umat Islam segera turun. Aamiin

Pare, 9 Juli 2018