Wednesday 31 July 2019

Oposisi Karena Mencintai


Memilih atau tidak, memihak 1 atau 2, ada kewajiban yang sama bagi seorang muslim. Menasehati, memberi masukan, mengingatkan ketika ada aktivitas penguasa yang tidak dijalankan berdasarkan syariat agama Islam. Tetap ada kewajiban amar makruf nahi mungkar. Tetap wajib berdakwah.

Maka memilih oposisi bukan bermakna membenci, menjadi oposisi itu bukan untuk menjatuhkan, menjadi oposisi bukan berarti ingin menghancurkan. Menjadi oposisi itu sebuah konsekuensi dari kecintaan karena Allah, mengajak semua untuk sama-sama taat kepada Allah.

Menjadi oposisi bukan karena benci, bukan karena sakit hati, bukan karena tak menerima kekalahan sang pujaan hati. Tetapi untuk mengingatkan kewajiban agar terikat pada hukum Allah. Maka selama belum terikat pada hukum Allah masih ada kewajiban bagi yang lain untuk mengingatkan. Apalagi mengingatkan penguasa, ini juga sebuah kewajiban.


Bolehkah Menasehati Penguasa di Tempat Umum? Baik Secara Langsung Maupun Melalui Demonstrasi?
(Hafidz Abdurrahman)

Nasehat adalah hak setiap orang, mulai dari rakyat jelata hingga para penguasa. Artinya, mereka mempunyai hak untuk dinasehati, dan sebaliknya menjadi kewajiban bagi setiap orang Mukallaf, tatkala menyaksikan kemungkaran atau kezaliman yang dilakukan oleh orang lain; baik pelakunya penguasa maupun rakyat jelata. Inilah yang dinyatakan dalam hadits Nabi:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama adalah nasehat, untuk Allah, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslim, dan orang-orang awam.” (H.r. al-Bukhari dan Muslim).

Karena itu, nasehat sebagai upaya mengubah perilaku munkar atau zalim orang lain —baik penguasa maupun rakyat jelata— sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari konteks dakwah bi al-lisan (melalui lisan maupun tulisan), sebagaimana sabda Nabi:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ
“Siapa saja yang menyaksikan kemunkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka hendaknya dengan lisannya.” (H.r. Muslim).

Inilah yang dilakukan oleh para ulama Salaf as-Shalih terdahulu, seperti Abdullah bin Yahya an-Nawawi kepada Sultan Badruddin. Dalam Tahdzib al-Asma’, karya Abu Yahya Muhyiddin bin Hazzam disebutkan, tatkala Abdullah bin Yahya an-Nawawi mengirim surat kepada Sultan Badruddin, dan baginda menjawab suratnya dengan marah dan nada ancaman, ulama’ ini pun menulis surat kembali kepada baginda, “Bagiku, ancaman itu tidak akan mengancam diriku sedikitpun. Akupun tidak akan mempedulikan-nya, dan upaya tersebut tidak akan menghalangiku untuk mena-sehati Sultan. Karena saya berkeyakinan, bahwa ini adalah ke-wajibanku dan orang lain, selain aku. Adapun apa yang menjadi konsekuensi dari kewajiban ini merupakan kebaikan dan tambahan kebajikan.”

Adapun jenis kemunkaran yang hendak diubah, dilihat dari aspek bagaimana pelakunya melakukan kemunkaran tersebut dapat diklasifi-kasikan menjadi dua:
Pertama, kemunkaran yang dilakukan secara diam-diam, rahasia dan pelakunya berusaha merahasiakannya;

Kedua, kemunkaran yang dilakukan secara terbuka, demonstratif dan pelakunya tidak berusaha untuk merahasiakannya, justru sebaliknya.

Jenis kemunkaran yang pertama, dan bagaimana cara mengubah kemunkaran tersebut dari pelakunya, tentu berbeda dengan kemunkaran yang kedua. Orang yang tahu perkara tersebut hendaknya menasehatinya secara diam-diam, dan kemunkaran yang dilakukannya pun tidak boleh dibongkar di depan umum. Sebaliknya, justru wajib ditutupi oleh orang yang mengetahuinya. Nabi bersabda:
مَنْ سَتَرَ عَوْرَةً فَكَأَنَّمَا اِسْتَحْيَا مَوْءُوْدَةً مِنْ قَبْرِهَا
“Siapa saja yang menutupi satu aib, maka (pahalanya) seolah-olah sama dengan menghidupkan bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup dari kuburnya.” (H.r. Ibn Hibban)

Berbeda dengan jenis kemunkaran yang kedua, yaitu kemunkaran yang dilakukan secara terbuka, dan terang-terangan. Dalam kasus seperti ini, pelaku kemunkaran tersebut sama saja dengan menelanjangi dirinya sendiri dengan kemunkaran yang dilakukannya. Untuk menyikapi jenis kemunkaran yang kedua ini, sikap orang Muslim terhadapnya dapat dipilah menjadi dua:
1-  Jika kemaksiatan atau kemunkaran tersebut pengaruhnya terbatas pada individu pelakunya, dan tidak mempengaruhi publik, maka  kemaksiatan atau kemunkaran seperti ini tidak boleh dibahas atau dijadikan perbincangan. Tujuannya agar kemunkaran tersebut tidak merusak pikiran dan perasaan kaum Muslim, dan untuk menjaga lisan mereka dari perkara yang sia-sia. Kecuali, jika kemaksiatan atau kemunkaran tersebut diungkapkan untuk mengingatkan masyarakat akan bahaya orang fasik yang melakukan kemaksiatan tersebut. Maka, pengungkapan seperti ini boleh.
2-  Jika kemaksiatan atau kemunkaran tersebut pengaruhnya tidak terbatas pada individu pelakunya, sebaliknya telah mempengaruhi publik, misalnya seperti kemunkaran yang dilakukan oleh sebuah institusi, baik negara, organisasi, kelompok atau komunitas tertentu, maka  kemaksiatan atau kemunkaran seperti ini justru wajib dibongkar dan diungkapkan kepada publik agar mereka mengetahui bahayanya untuk dijauhi dan ditinggalkan supaya mereka terhindar dari bahaya tersebut. Inilah yang biasanya disebut kasyf al-khuthath wa al-mu’amarah (membongkar rancangan dan konspirasi jahat) atau kasyf al-munkarat  (membongkar kemunka-ran).

Ini didasarkan pada sebuah hadits Zaid bin al-Arqam yang menga-takan, “Ketika aku dalam suatu peperangan, aku mendengar Abdullah bin ‘Ubay bin Salul berkata: ‘Janganlah kalian membelanjakan (harta kalian) kepada orang-orang yang berada di sekitar Rasulullah, agar mereka meninggal-kannya. Kalau kita nanti sudah kembali ke Madinah, pasti orang yang lebih mulia di antara kita akan mengusir yang lebih hina. Aku pun menceritakannya kepada pamanku atau ‘Umar, lalu beliau menceritakan-nya kepada Nabi saw. Beliau saw. pun memanggilku, dan aku pun menceritakannya kepada beliau.” 

Apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Ubay, dan diketahui oleh Zaid bin al-Arqam, kemudian disampaikan kepada Rasulullah saw. adalah kemunkaran (kemaksiatan) yang membahayakan kemaslahatan Islam dan kaum Muslim, bukan hanya diri pelakunya. Abdullah bin Ubay sendiri ketika ditanya, dia mengelak tindakannya, yang berarti masuk kategori perbuatan yang ingin dirahasiakan oleh pelakunya, tetapi tindakan Zaid bin al-Arqam yang membongkar ihwal dan rahasia Abdullah bin Ubay tersebut  ternyata dibenarkan oleh Nabi. Padahal, seharusnya tindakan memata-matai dan membongkar rahasia orang lain hukum asalnya tidak boleh. Perubahan status dari larangan menjadi boleh ini menjadi indikasi, bahwa hukum membeberkan dan membongkar rahasia seperti ini wajib, karena dampak bahayanya bersifat umum.
Karena itu, tindakan mengkritik kebijakan zalim atau munkar yang dilakukan oleh penguasa, baik secara langsung ketika berada di hadapan-nya maupun tidak langsung, misalnya melalui tulisan, demonstrasi atau masirah, bukan saja boleh secara syar’i tetapi wajib.4 Kewajiban ini bahkan pahalanya dinyatakan sebanding dengan pahala penghulu syuhada’, yaitu Hamzah bin Abdul Muthallib, seperti dalam hadits Nabi:
سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ المُطَلِّبِ وَرَجُلٌ قَالَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ
“Penghulu syuhada’ adalah Hamzah bin Abdul Muthallib, dan orang yang berkata di hadapan seorang penguasa yang zalim, lalu dia memerintahkannya (pada kemakrufan) dan melarangnya (terhadap kemunkaran), kemudian penguasa itu membunuhnya.” (H.r. al-Hakim).

Apa yang dilakukan oleh para sahabat terhadap ‘Umar dalam kasus pembatasan mahar, pembagian tanah Kharaj, hingga kain secara terbuka di depan publik adalah bukti kebolehan tindakan ini. Adapun pernyataan ‘Irbadh bin Ghanam yang menyatakan, “Siapa saja yang hendak menasehati seorang penguasa, maka dia tidak boleh mengemuka-kannya secara terbuka, tetapi hendaknya menarik tangannya dan menyendiri. Jika dia menerimanya, maka itu kebaikan baginya, dan jika tidak, pada dasarnya dia telah menunaikannya.” 5 pada dasarnya tidak  menunjukkan adanya larangan mengkritik atau menasehati penguasa di depan publik, tetapi hanya menjelaskan salah satu cara (uslub) saja.

Dengan demikian, bisa disimpulkan, bahwa menasehati penguasa atau mengkritik kebijakan penguasa yang zalim, termasuk membongkar kemunkaran atau konspirasi jahat terhadap Islam dan kaum Muslim hukumnya wajib, hanya saja cara (uslub)-nya bisa beragam; bisa dilakukan langsung, dengan bertemu face to face, atau secara tidak langsung, dengan melalui tulisan, surat, demonstrasi atau masirah. Melakukan upaya dengan lisan, termasuk melalui tulisan, seperti surat terbuka, buletin, majalah, atau yang lain, baik langsung maupun tidak jelas lebih baik, ketimbang upaya bi al-qalb (dengan memendam ketidaksukaan), apalagi jika tidak melakukan apa-apa, sementara terus mengkritik orang lain yang telah melakukannya. Faliyadzu billah. 


Tuesday 30 July 2019

Cinta Kita Bukan Cinta Buta


Cinta karena Allah adalah mencintai hamba Allah karena keimanannya kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya. Benci karena Allah adalah membenci hamba Allah disebabkan kekufuran dan perbuatan maksiatnya.

Ada banyak dalil tentang kewajiban seorang muslim mencintai saudaranya seiman semata karena Allah, karena ketaatannya kepada Allah dan rasulullah.

Ada tujuh golongan yang akan dinaungi Allah di bawah naunganNya, pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, yaitu :
Pemimpin yang adil; Pemuda yang senantiasa beribadah kepada Allah semasa hidupnya; Seseorang yang hatinya senantiasa terpaut dengan Masjid; Dua  orang yang saling mencintai karena Allah, keduanya berkumpul dan berpisah kerena Allah; Seorang lelaki yang  diajak  oleh  seorang  perempuan  yang  cantik  dan berkedudukan untuk berzina tetapi dia berkata, “Aku takut kepada Allah!”;  Seorang  yang  memberi  sedekah  tetapi  dia merahasiakannya seolah-olah tangan kanannya tidak mengetahui apa  yang  diberikan  oleh  tangan  kirinya;  dan  seseorang  yang mengingat Allah di waktu sunyi sehingga bercucuran air matanya.

Hadits dari Abû Hurairah riwayat Muslim, Rasulullah bersabda:
Sesungguhnya kelak di hari kiamat Allah akan berfirman, “Di mana orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini Aku akan memberikan naungan kepadanya dalam naunganKu disaat tidak ada naungan kecuali naungan-Ku”

Hadits  dari  Abû  Hurairah  yang  dikeluarkan  oleh  Muslim berkata, Rasulullah saw. bersabda:
Demi Dzat yang jiwaku ada ditangan-Nya, kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Belum sempurna keimanan kalian hingga  kalian  saling  mencintai.  Tidakkah  (kalian  suka)  aku tunjukkan pada satu perkara, jika kalian melakukannya niscaya kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian!
Sabda  beliau saw. ,  “Belum sempurna keimanan kalian hingga kalian saling mencintai,”adalah bentuk  dalâlahyang menunjukkan besarnya pahala saling mencintai karena Allah.

Maka cinta kita kepada manusia juga harus karena ketaatan kepada Allah dan RasulNya. Kita mencintai manusia karena orang tersebut adalah orang taat kepada Allah dan RasulNya, berpegang teguh pada syariatNya, haram hukumnya mencintai manusia yang bermaksiat, tidak boleh mencintai dengan sembarang cinta apalagi cinta buta.

Dan akhir-akhir ini, ukhuwah islamiyah semakin terkoyak hanya karena perbedaan pilihan pemimpin. Begitu mudahnya hujatan terlontar, begitu mudahnya kritik tanpa solusi diberikan, begitu ringannya tuduhan disematkan. Dan ini dilakukan secara tersistematis, sengaja dipelihara untuk membuat umat Islam semakin terpecah dan terkotak-kotak. Ironinya perpecahan ini terjadi karena cinta buta kepada pilihannya. Apapun yang dilakukan junjungannya dinilai baik semua, semua harus berbaik sangka dengan kebijakannya, tidak boleh ada yang mengkritiknya. Dan penguasa yang bertahta santai menikmatinya tanpa ada upaya serius menyelesaikannya. Bahkan berperan melanggengkannya. Yang memuja diberi tahta, yang mengkritik dihancurkan. Lengkap sudah, pendukungnya cinta buta, pemimpinnya memelihara kebencian tingkat dewa. Semua yang mengkritik yang memberi masukan, nampak sebagai pembenci yang hendak merebut kekuasaan dan hendak menjatuhkan mereka. Maka tak heran jika mereka pun mati-matian mempertahankan kekuasaannya.

Maka, kembalikan cinta kita semata karena Allah. Cintai apa yang dicintai Allah dan RasulNya. Merenungkan dan berpikir mendalam, apakah pemimpin yang terbukti sekadar mengobral janji dan seringkali ingkar janji menjadi kecintaan Allah dan RasulNya? Apakah pemimpin yang sewenang-wenang terhadap rakyat, tidak punya adab pada ulama yang berseberangan, terus menebar kebencian, terus mengkriminalkan ajaran Islam adalah sosok yang akan dicintai Allah dan RasulNya dan kelak akan dimasukkan ke surga? Apakah pemimpin yang tidak menjadikan kitabullah dan sunah sebagai pedoman layak untuk dibela?

Dzalimnya penguasa begitu nyata, ringan mengambil riba, melegalkan riba yang jelas haram hukumnya. Menyerahkan kekayaan alam yang dalam Islam merupakan kepemilikan umum kepada swasta bahkan asing. Menginvestigasi pengibar panji Rasulullah namun membela pengibar bendera pelangi lambang kemaksiatan. Ringan sekali melepas tanggaung jawab mengurus urusan umat saat berbagai kebutuhan hidup melambung ke angkasa. Cabai mahal tanam sendiri, listrik naik cabut saja meterannya, namun giliran utang negara jatuh tempo, rakyat dipalak sesukanya.

 “Sesungguhnya manusia yang paling dicintai oleh Allah pada hari kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah adalah seorang pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling dibenci oleh Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah seorang pemimpin yang zalim.” (HR. Tirmidzi)

“Tiga orang yang Allah enggan berbicara dengan mereka pada hari kiamat kelak. (Dia) tidak sudi memandang muka mereka, (Dia) tidak akan membersihkan mereka daripada dosa (dan noda). Dan bagi mereka disiapkan siksa yang sangat pedih. (Mereka ialah ): Orang tua yang berzina, Penguasa yang suka berdusta dan fakir miskin yang takabur.” (HR. Muslim)

“Barangsiapa yang diangkat oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, kemudian ia tidak mencurahkan kesetiaannya, maka Allah haramkan baginya surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hentikan cinta buta kepada pemimpin dzalim, karena kelak di akhirat kita akan dikumpulkan dengan orang yang kita cintai, sedangkan pemimpin dzalim diharamkan baginya surga, disiksa di neraka dengan siksa yang sangat pedih. Naudzubillah semoga kita terhindar dari siksa neraka.


Pare, 30 Juli 2019

Thursday 25 July 2019

Karena Kita Di Jalan Allah

Mereka mempunyai kekuasaan
Mereka mempunyai kekuatan
Mereka mempunyai kekayaan

Sehingga mereka begitu kuasa memaksa
Sehingga dengan pongahnya bertahta
Sehingga begitu sombongnya membungkam dengan harta

Mereka kerahkan semua potensi
Mereka dzalim mempersekusi
Mereka berbuat sesuka hati

Mencaci, memfitnah, menyiksa
Kejamnya tiada jeda
Hatinya mati sekeras baja

Hanya satu tujuannya membungkam dakwah
Tak mau diatur dengan syariah
Menghalangi tegaknya khilafah

Benar mereka punya segalanya

Tapi kita
Ya, kita!
Kita punya Allah Yang Maha Segalanya

Tetap setia #Khilafah saja

Sebab dakwah kita untuk Allah, tumpuan kita semata kepada Allah, amal kita karena Allah
Karena kita kita berjuang di jalan Allah


Pare, 25 Juli 2019

Wednesday 24 July 2019

Meraih Kelapangan Hidup

Salah satu surat favorit saya : 

Reposting dari majalah al waie

(QS asy-Syarh [94]: 1-8)
أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ، وَوَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَ، الَّذِي أَنْقَضَ ظَهْرَكَ، وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ، فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا، إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا، فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ، وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ
Bukankah Kami telah melapangkan untuk kamu dadamu, telah menghilangkan dari dirimu bebanmu yang memberatkan punggungmu dan telah meninggikan bagi kamu sebutan (nama)-mu? Sebab, sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Maka dari itu, jika kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan yang lain). Hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap (QS asy-Syarh [94]: 1-8).

Surat ini dinamakan surat asy-Syarh. Menurut Ibnu ‘Abbas dalam sebuah riwayat, surat yang terdiri dari delapan ayat ini turun setelah ad-Dhuha.
1 Karena itu, sebagaimana dijelaskan para mufassir, surat ini termasuk Makkiyyah.2 Bahkan ditegaskan asy-Syaukani dan Ibnu ‘Athiyyah, tidak ada perbedaan pendapat tentang itu.3

Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Alam naysrah laka shadraka (Bukankah Kami telah melapangkan untuk kamu dadamu)? Pada asalnya, kata asy-syarh bermakna al-fash wa at-tawsi’ah (lapang dan luas). Kemudian kata tersebut digunakan untuk menyebut al-îdhâh (penjelasan), juga digunakan untuk menunjuk surûr an-nafs (rasa senang pada jiwa). 4
Adapun pengertian syarh ash-shadr menurut asy-Syaukani adalah fat-huhu bi idzhâb mâ yashuddu ‘an al-idrâk (membuka dada dengan menghilangkan segala sesuatu yang bisa memalingkan dari pemahaman).5 Imam al-Qurthubi juga memaknai syarh ash-shadr sebagai fat-huhu (membukanya). Dengan demikian ayat ini berarti: Alam naftah shadraka li al-Islâm (Bukankan Kami telah melapangkan dadamu kepada Islam).6
Dijelaskan Abu Hayyan al-Andalusi, syarh ash-shadr (membuka dada) yang disebutkan adalah dengan menyinari dada itu dengan hikmah dan melapangkannya untuk menerima apa yang diwahyukan kepada beliau.7 Bahkan Ibnu ‘Athiyah menegaskan, ini merupakan pendapat jumhur.8
Susunan kalimat ayat ini berupa al-istifhâm al-inkâri yang diiringi dengan an-nafiy, yang memberikan makna al-itsbât (penetapan).9 Dengan demikian ayat ini berarti: Sungguh Kami telah melapangkan untuk kamu dadamu.10 Menurut asy-Syaukani, maksud dari ayat ini adalah anugerah Allah SWT kepada Nabi saw. dengan melapangkan dan meluaskan dadanya hingga bisa mengerjakan dakwah yang disampaikan dan mampu memikul beban kenabian dan menjaga wahyu.11
Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, penyebutan berbagai kenikmatan dan kebaikan Allah SWT kepada Nabi saw. itu sebagai dorongan kepada beliau untuk mensyukuri semua itu agar Allah SWT memberikan tambahan kenikmatan.12
Kemudian disebutkan nikmat lainnya: wawadha’nâ ‘anka wizraka ([bukankah Kami] telah menghilangkan dari dirimu bebanmu). Secara bahasa, kata al-wizr berarti al-himl ats-tsaqîl (beban yang berat); bisa juga berarti adz-dzanb (dosa). Disebut demikian karena menjadi beban.13 Oleh karena itu, beberapa mufassir seperti al-Qurthubi, Ibnu Katsir, as-Samarqandi, dan lan-lain memaknai al-wizr dalam ayat ini sebagai dosa. Maknanya, Allah SWT telah mengampuni Rasulullah saw. atas dosa-dosa beliau, yang terdahulu maupun yang akan datang.14 Pengertian tersebut dinilai sejalan dengan firman Allah SWT dalam QS al-Fath [48]: 2.
Menurut Mahmud Shafi, ungkapan wadh’ al-wizr (penghilangan beban) merupakan kinâyah (kiasan) atas kemaksuman Nabi saw. dari dosa dan kebersihan beliau dari adnâs (dosa). Penjelasan senada juga dikemukakan as-Samarqandi.15
Namun, as-Sudi dan mufassir lainnya memaknai al-wizr sebagai ats-tsiql (beban) sehingga pengertian ayat ini adalah wahathathnâ ‘anka tsiqlaka ([bukankah Kami] telah menurunkan bebanmu dari dirimu).16 Al-Biqa’i juga menafsirkan wawadha’nâ sebagai hathathnâ wa asqatnâ wa abthalnâ (Kami telah menurunkan, menggugurkan dan membatalkan) hingga benar-benar tidak kembali dan tidak ada. Adapun frasa ‘anka wizraka berarti bebanmu yang berat, yang tidak sanggup kamu pikul, sebagaimana dijelaskan dalam ayat sesudahnya.17
Allah SWT berfirman: al-ladzî anqadha zhahraka (yang memberatkan punggungmu). Dijelaskan Muhammad Abdul Lathif, ayat ini berarti atsaqalahu (memberatkan dirimu).18
Kemudian Allah SWT berfriman: warafa’nâ laka dzikraka ([bukankah Kami] telah meninggikan bagi dirimu sebutan [nama]-mu). Ini merupakan kenikmatan lain yang diberikan kepada Rasulullah saw.: namanya diletakkan dalam posisi amat tinggi, yang tidak dapat ditandingi dan disamai oleh seorang pun.
Menurut al-Hasan, ayat ini memberikan pengertian bahwa Allah SWT tidak disebut dalam suatu tempat kecuali disebutkan pula bersama asma-Nya itu nama Rasulullah saw.19 Selain itu masih ada penjelasan beberapa mufassir mengenai fakta pengagungan sebutan/nama Rasul saw., seperti penyebutan perintah menaati Rasul saw. setelah perintah menaati Allah, perintah untuk bershalawat kepada Rasul, dan lain-lain.
Berikutnya Allah SWT berfirman: fainna ma’a al-‘usyri yusr[an] (karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan). Artinya, sesungguhnya bersama adh-dhayyiqah wa asy-syiddah (kesempitan dan kesulitan) ada yusr[an] (kemudahan), yakni sa’ah wa ghina (kelapangan dan kecukupan).20 Dijelaskan Sihabuddin al-Alusi, tanwin pada kata yusr[an] berfungsi li at-tafkhîm (untuk mengagungkan); seolah dikatakan bahwa sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan yang besar. Ini merupakan perkara yang dijanjikan Allah SWT kepada Nabi-Nya. Bahkan sebagaimana dijelaskan oleh sebagian mufassir, janji ini juga berlaku bagi umatnya.
Penegasan itu diulangi lagi dalam ayat berikutnya: inna ma’a al-‘usyri yusr[an] (sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan). Tikrâr (pengulangan) tersebut memberikan makna ta’kîd (penguatan).21
Menarik untuk dicermati adalah bentuk kata yang digunakan dalam kedua ayat tersebut. Pada kedua ayat tersebut, kata al-‘usr berbentuk al-ma’rifah, sedangkan kata yusr berbentuk an-nakirah. Dijelaskan asy-Syaukani dan al-Zujjaj, pengulangan bentuk ma’rifah pada ayat kedua menunjuk pada fakta yang sama dengan fakta yang disebutkan dalam ayat pertama. Sama saja apakah yang dimaksud dengan itu adalah al-jins (menunjukkan makna jenis) maupun al-‘ahd (menunjukan pada kata sebelumnya). Adapun bentuk an-nakirah, apabila diulangi, menunjukkan fakta yang berbeda dengan fakta yang disebutkan sebelumnya. Kesimpulan tersebut diperkuat dengan sabda Nabi saw.:
لَنْ يَغْلِبَ عُسْرٌ يُسْرَيْنِ
Satu kesulitan tidak akan mengalahkan dua kemudahan (HR al-Hakim dalam al-Mustadrak).

Setelah menjelaskan berbagai anugerah yang diberikan kepada Rasulullah saw., Allah SWT berfirman: Faidzâ faraghta fa[i]nshab (Jika kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh [urusan yang lain]). Kata faragha bermakna khalâ (kosong). Dengan demikian pengertian farghta adalah khalawta min asy-syughul (selesai dari aktivitas).
22 Adapun an-nashab berarti at-ta’ab ba’da al-ijtihâd (letih setelah pencurahan tenaga dan pikiran). Ini seperti yang disebutkan dalam QS al-Ghasyiyah [88]: 2-3. Ungkapan an-nashab bisa digunakan untuk urusan dunia maupun akhirat.23
Di dalam ayat ini tidak dijelaskan secara spesifik urusan yang telah selesai dilakukan dan urusan lain yang harus segera dipersiapkan. Oleh karena itu, para mufassir berbeda pendapat dalam tentang hal ini. Ibnu ‘Abbas dan Qatadah menyatakan bahwa pengertian ayat ini: “Jika sudah selesai shalat maka segeralah bersungguh-sungguh dalam berdoa.” Menurut Ibnu Mas’ud, “Jika telah selesai dari kewajiban maka bersungguh-sungguhlah dalam shalat malam.” Adapun al-Kalbi mengatakan, “Jika telah selesai menyampaikan risalah maka segera meminta ampun untuk dosamu, dosa kaum Mukminin dan Mukminat.”24
Meskipun tampak berbeda, semua penjelasan tersebut saling berdekatan; bahwa ketika seorang muslim telah menyelesaikan suatu urusan, dunia maupun akhirat, maka dia harus segera bersiap untuk mengerjakan urusan lainnya.
Surat ini diakhiri dengan firman-Nya: wa ilâ Rabbika fa[i]rghab (dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap). Menurut az-Zamakhsyari, ayat ini berarti: “Jadikanlah raghbah-mu (permohonanmu yang sungguh-sungguh) hanya khusus kepada Allah. Kamu tidak meminta kecuali keutamaan-Nya dengan benar-benar bertawakal kepada-Nya.” Pengertian fa[i]rghab adalah tadharru’ wa stawakkul wa[i]j’al raghbataka bil-Lâh fî jamî’ syu’ûnika (merendahkan diri dan bertawakallah serta jadikanlah permohonanmu yang sungguh-sungguh kepada Allah dalam semua urusanmu).25

Meraih Kelapangan Hidup
Ada beberapa perkara yang perlu ditandaskan terkait surat ini. Pertama: ihwal dada Rasulullah saw. Dilapangkan. Sebagaimana dijelaskan para mufassir, dada beliau dilapangkan kepada Islam dan segala perkara yang diwahyukan kepada beliau. Meskipun tidak sama persis, ini juga bisa dianugerahkan kepada siapa saja yang ditunjuki pada Islam. Hal ini berkebalikan dengan orang yang Allah sesatkan; dadanya dibuat sesak dan sempit. Allah SWT berfirman:
فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ
Siapa saja yang Allah kehendaki untuk diberi petunjuk niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Siapa saja yang Allah kehendaki Allah untuk disesatkan niscaya Dia menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit (QS al-An’am [6]: 125).

Kedua
: janji kemudahan setelah kesulitan kepada Rasulullah saw. Hampir setiap manusia pernah mengalami masa sulit, sempit dan susah. Namun, ayat ini memberikan kepastian kepada Nabi-Nya bahwa masa tersebut akan berlalu dan berganti dengan kemudahan, kelapangan dan kegembiraan. Bahkan sebagaimana diterangkan para mufassir, kemudahan dan kelapangan itu lebih besar dan lebih banyak daripada kesulitan dan kesempitan. Tak hanya kepada Nabi saw. Hal itu juga dijanjikan kepada orang-orang yang mau menaati syariah-Nya. Allah SWT berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Siapa saja yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan bagi dirinya kemudahan dalam urusannya (QS ath-Thalaq [65]: 4).

Dengan demikian, setiap
muslim harus senantiasa optimis dan bersemangat dalam hidupnya; bahkan ketika sedang didera kesulitan dan kesempitan sekalipun. Sebab, di dalam diri mereka senantiasa tersimpan harapan untuk mendapatkan kemudahan dan kelapangan. Di pelupuk matanya juga senantiasa dihiasai bayangan indah akan dekatnya pertolongan Allah SWT.
Ketiga: tidak membiarkan waktu senggang terlalu lama. Ketika telah usai mengerjakan sebuah urusan, harus segera bersiap mengerjakan urusan berikutnya. Tentu semua urusan tersebut dikerjakan sesuai dengan ketentuan syariah, termasuk aspek awlâwiyah (prioritasnya).
Ini adalah prinsip yang harus dipegang teguh dan diamalkan kaum Mukmin. Waktu, kesempatan dan usia yang diberikan Allah SWT harus benar-benar dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tidak boleh kesempatan dibiarkan terbuang sia-sia tanpa guna. Tidak boleh ada waktu berlalu kecuali diisi dengan amal salih yang Allah SWT ridha. Tidak boleh usia berkurang kecuali mendatangkan pahala. Seorang muslim yang baik akan meninggalkan semua yang tidak berguna. Rasulullah saw. bersabda:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ
Di antara tanda kebaikan keislaman seseorang adalah dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat bagi dirinya (HR at-Tirmidzi).
Keempat: hanya kepada Allah SWT manusia wajib berharap dan bertawakal. Untuk menyelesaikan setiap urusan, manusia memang diperintahkan untuk berusaha. Akan tetapi, segala urusan dan peristiwa hanya terjadi atas izin dan kehendak-Nya. Dia pula yang berkuasa atas segala sesuatu. Jika Dia menghendaki, niscaya tidak ada satu pun yang bisa mencegah dan menghalangi. Inilah keyakinan yang harus dimiliki setiap manusia. Oleh karena itu, manusia wajib menjadikan Allah SWT sebagai tempat bersandar bagi dirinya dalam semua urusan. Hanya kepada Allah SWT pula manusia wajib bertawakal, menyerahkan semua urusannya; juga memohon dengan sungguh-sungguh seluruh doa dan permohonannya. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb. []

Catatan kaki:
1 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 385. Pendapat ini juga diambil oleh az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1987), 770.
2 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 32 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats, 2000), 205; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’an al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 415; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihyâ’ at-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 274.
3 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 562; Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 496. Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 104.
4 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 385.
5 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 562.
6 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20, 104.
7 Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, vol. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H), 499.
8 Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 496.
9 Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 22 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 117.
10 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 562.
11 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 562.
12 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24 (tt: Muassah al-Risalah, 2000), 493.
13 Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 5 (Beirut: Dar Shadir, tt), 282.
14 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 416.
15 Mahmud Shafi, Al-Jadwal fî I’râb al-Qur’ân al-Karîm, vol. 30 (Damaskus: Dar Rasyid, 1998), 358; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 489.
16 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20, 106.
17 Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 22, 120
18 Muhammad Abdul Lathir, Awdhah at-Tafâsîr (Kairo: Mathba’ah Mishriyyah, 1964), 754.
19 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 563.
20 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 107.
21 Al-Wahidi an-Naisaburi, Al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz (Damaskus: Dar al-Qalam, 1995), 1212; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 490.
22 Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’ashirah, vol. 3 (tt: ‘Alam al-Kitab, 2008),
23 Asy-Syinqiti, Adhwâ’ al-Bayân, vol. 8 (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), 578.
24 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 109.

25 Az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 293.

Pinjaman Untuk Madrasah Hanya Akan Menimbulkan Masalah

Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama (Kemenag) telah mengusulkan program peningkatan kualitas madrasah melalui skema pembiayaan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN) Bank Dunia. Bank Dunia kemudian sepakat untuk memberikan pinjaman senilai Rp 3,7 triliun. Dirjen Pendidikan Islam, Kamaruddin Amin, mengatakan anggaran yang besar tersebut akan memberi dampak manfaat yang besar. "Manfaat itu bahkan menyasar hingga 50.000 madrasah. Kita ingin membangun sistem," kata Kamaruddin, dikutip dari laman resmi Kemenag, Selasa (25/6). Ia mengatakan, dana sebesar Rp 1,6 triliun di antaranya akan digunakan untuk bantuan block grant bagi madrasah dan kelompok kerja (KKG, MGMP, KKM, dan Pokjawas). Dikatakannya, block grant ditujukan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu madrasah berdasarkan need assessment, seperti pengembangan kapasitas guru dan tenaga kependidikan, pengadaan sarana prasarana penunjang pembelajaran, pengadaan peralatan laboratorium, pengadaan buku dan sumber belajar, dan lainnya. (Republika.co.id, 25/6/2019).

Disepakatinya pinjaman dari Bank Dunia ini mendapat sorotan dari PBNU dan PP Muhammadiyah. Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Maksum Machfoedz menanggapi soal penggunaan dana pinjaman dan hibah luar negeri (PHLN) untuk peningkatan mutu madrasah. Dia mengaku secara umum tidak mempermasalahkan ihwal peminjaman dana dari Bank Dunia itu. Namun, lanjut Maksum, yang menjadi fokus adalah, sejauh mana efektivitas penggunaan dana tersebut. "Pengalaman selama ini untuk urusan kualitas sosial seperti ini tidak jelas hasilnya. Banyak manipulasi dan tidak efektif. Ini menjadi tantangan," kata Maksum Machfoedz, Kamis (20/6). Dia menambahkan, bila efektivitas penggunaan dana tersebut tak jelas, maka yang muncul kemudian adalah mubazir. Bahkan, pada eksesnya dapat menimbulkan peluang terjadinya korupsi. Karena itu, menurut Maksum, tantangannya sekarang terletak pada soal perencanaan, penerapan rencana, pengelolaan dan sistem kontrol. Semua ini dinilainya harus mampu menjamain kejelasan penggunaan dana PHLN untuk madrasah. "Kalau tidak, ya tidak lebih dari sekadar menggali kuburan," simpul dia. (Republika.co.id, 20/6/2019).

Hampir senada dengan Waketum PBNU, Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Yunahar Ilyas mempertanyakan dari mana uang untuk membayar dana Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN) dari Bank Dunia untuk peningkatan kualitas madrasah. Dia mengaku belum melihat sumber dana yang bisa digunakan untuk membayarnya. "Bayarnya bisa apa enggak. Siapa yang bayar nanti. Dari mana Kementerian Agama dapat uang? Kalau untuk pembinaan madrasah pasti habis, uangnya enggak akan ada yang balik," kata dia, Kamis (20/6). Menurut Yunahar, Kementerian Agama (Kemenag) tentu berbeda dengan kementerian lainnya seperti Kementerian PUPR, Perdagangan dan Perindustrian. Penggelontoran dana pinjaman untuk kementerian tersebut bisa menghasilkan profit karena jenis pembangunannya bersifat komersial. Salah satunya jalan tol. (Republika.co.id, 20/6/2019).

                Kekhawatiran PBNU dan PP Muhammadiyah memang layak untuk dipertimbangkan. Utang luar negeri selama ini adalah alat efektif untuk menjajah negeri kaum muslimin. Tidak ada utang yang diberikan tanpa syarat, tidak ada utang yang diberikan secara cuma-cuma, no free lunch. Dengan utang luar negeri, lembaga internasional yang di belakanganya bersembunyi kapitalis Barat akan mendikte kebijakan instansi yang diberi pinjaman. Termasuk pula pinjaman untuk pengembangan mutu madrasah ini. Hal ini bisa ditelisik dari hasil  wawancara dengan Dirjen Pendidikan Islam Kementrian Agama, Prof. Kamaruddin Amin.  Pendidikan Islam di Indonesia saat ini dinilai sebagai lembaga pendidikan yang paling modern di dunia. Melalui pendidikan Islam inilah karakter keberagaman masyarakat Indonesia yang toleran dan moderat dibentuk. "Nuansa wasathiyah adalah penopangnya. Ruh keislaman ini disebarkan melalui pondok pesantren, perguruan tinggi, madra sah dan seterusnya," ujar Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama, Prof Kamaruddin Amin. Namun, akhir-akhir ini pendidikan Islam Indonesia tengah menghadapi tantangan pemahaman keagamaan yang datang dari luar, khususnya pemahaman yang yang radikal dan ekstrem. Pemahaman keagamaan tersebut mulai mencoba merasuki lembaga pendidikan Islam. Prof Kamaruddin mengatakan, radikalisme dan ekstremisme sejatinya adalah konsekuensi dari adanya globalisasi dan per kem bangan teknologi informasi. Namun, permasalahan itu direspons oleh pemerintah Indonedia. Untuk mengatasinya, menurut dia, Kementerian Agama tengah gencar mempromosikan moderasi beragama, yang merupakan konter terhadap narasi radikalisme dan ekstremisme tersebut. (Republika.co.id, 30/6/2019).

                Jelas sekali, pengucuran utang Bank Dunia ini adalah dalam rangka mengkampanyekan Islam moderat dan membendung radikalisme serta ekstrimisme. Umat Islam sudah tahu, Islam moderat adalah upaya untuk mencegah penerapan syariat Islam secara menyeluruh, karena Islam moderat tak lain hanyalah upaya mengkompromikan aturan Islam dengan ide sekularisme, pemisahan agama dari kehidupan. Sedangkan radikalisme dan ekstrimisme adalah narasi Barat untuk memojokkan umat Islam agar tidak menggaungkan penerapan Islam kaffah dalam naungan khilafah. Maka jelas sekali, utang dari Bank Dunia bukan untuk kepentingan madrasah namun semata demi kepentingan para penjajah Barat. Dan jelas utang dari Bank Dunia pasti ada bunganya, dan bunga adalah riba yang haram untuk dimanfaatkan umat Islam. Sudahlah berbahaya, berdosa pula.

Pembiayaan Pendidikan Tanggung Jawab Negara
                Pengajuan pinjaman dari Bank Dunia maupun lembaga keuangan lainnya untuk pembiayaan pendidikan, merupakan salah satu bentuk lepas tangannya negara dalam bidang pendidikan. Dalam Islam pendidikan adalah bidang yang sangat penting, tidak boleh sedikitpun disepelekan atau bahkan tidak diurus oleh negara. Pembangunan dan pengembangan bidang pendidikan seharusnya mendapatkan prioritas dari negara, karena pendidikan adalah salah satu pilar peradaban. Jika pendidikan telah dijajah Barat maka bisa dipastikan peradaban negeri ini juga akan berkiblat pada Barat. Menyerahkan pengelolaan pendiidkan kepada asing hanya akan membuka celah intervensi pendidikan Islam.

Dalam Islam, negara akan berupaya sekuat tenaga untuk memastikan terlaksananya pendidikan, karena pendidikan adalah sarana untuk mendapatkan ilmu, dan menuntut ilmu adalah kewajiban seluruh umat Islam dan hak seluruh warga negara. Kurikulum yang diterapkan semata untuk mewujudkan manusia berkarakter mulia, berakhlak, berkepribadian Islam dan menguasai IPTEK, sehingga modal untuk merealisasikan umat Islam sebagai umat terbaik dan memimpin peradaban dunia sudah ada di genggaman tangan. Negara juga akan membiayai dengan serius bidang pendidikan, agar semua warga negara dapat mengenyam pendidikan semaksimal mungkin.

Pembiayaan pendidikan diambilkan dari baitul mal. Ada beberapa pos pemasukan yang bisa dibelanjakan untuk kepentingan kemaslahatan rakyat, di antaranya adalah pendidikan. Di antara pos yang tersebut yaitu fa’i, kharaj dan pemasukan dari pengelolaan kepemilikan umum. Jika dari pos-pos tersebut belum mencukupi maka diperbolehkan menarik pajak, dengan catatan pajak hanya ditarik sementara sesuai kebutuhan, bukan seperti sistem saat ini yang menjadikan pajak sebagai penopang utama pemasukan APBN.

Untuk saat ini, di saat khilafah belum tegak, pos yang bisa dijadikan sebagai sumber pembiayaan adalah pos kepemilikan umum. Jika negara benar-benar peduli dengan pendidikan, maka akan segera mengevaluasi tata kelola kepemilikan umum yang salah satunya adalah sumber daya alam yang melimpah, atau SDA yang mengusai hajat hidup rakyat Indonesia. Memang ini membutuhkan kemauan luat dari pemerintah untuk mengambil alih pengeloaan SDA dari swasta-asing. Namun dengan karakter penguasa yang menerapkan sistem kapitalis-sekular, memang peluangnya sangat kecil. Oleh karena itu jika menginginkan perubahan total hanya bisa diwujudkan dengan sistem khilafah yang akan menerapkan Islam secara kaffah dan menjadikannya rahmat bagi seluruh alam. Wallahu a’lam bishawab.

Tuesday 23 July 2019

Nyata Anti Islam Masih Saja Mengelak

alo dokter.com


Dahulu kala saat menyuapi keponakan, sekitar umur 5 tahunan. Menu sayur sup bakso sapi. Satu, dua suap, kemudian :
Keponakan         : Bulek nggak mau pake seledri dan bawang goreng
Saya                       : Ya (Memilah seledri dan bawang)
Satu, dua suap
Keponakan         : Bulek nggak mau pake kubis
Saya                       : Ya (Memilah seledri, bawang goreng dan kubis)
Satu, dua suap
Keponakan         : Bulek nggak mau pake                wortel
Saya                       : Ya (Memilah seledri, bawang goreng, kubis, dan wortel)
Satu, dua suap
Keponakan         : Bulek nggak mau pake bakso
Saya                       : Lha terus pake apa? Nasi saja?
Keponakan         : Nggak mau makan (lari meninggalkan saya main ke rumah tetangga)
Saya                       : Bengong lihat nasi yang masih banyak.

Tidak mau makan, itu intinya.

Dan kelakuan anak kecil semisal keponakan saya itupun sekarang sedang dipraktikkan rezim saat ini. Menolak sekuat tenaga dicap sebagai rezim anti Islam namun nyata-nyata satu-persatu ajaran Islam ditolak, dilarang disampaikan, dicegah diterapkan hingga dikriminalkan.

Perda miras dibatalkan, aturan baca alquran untuk pejabat diminta dihilangkan, busana syar’I dikritik habis-habisan. Tempat parkir, tangga sekolah, penunggu pasien rumah sakit dipisah pria dan wanita  dituduh mendiskriminasikan. Keras kepala mengatakan bendera tauhid bendera organisasi terlarang, mengancam memenjarakan penyampai khilafah, seenaknya bilang khilafah sebagai ideology.

Sejelas ini menolak islam masih saja mengelak dikatakan rezim anti Islam. Berbagai pembelaan diluncurkan

Dalam Islam miras itu haram, maka tak boleh beredar di tengah masyarakat
Dalam Islam muslim wajib mengenal kitab sucinya, didorong membaca sebanyaknya, mengamalan isinya.
Dalam Islam menutup aurat itu kewajiban.
Dalam Islam pergaulan laki-laki dalam perempuan itu tidak dibiarkan bebas begitu saja.

Dalam silam muslim itu wajib masuk Islam secara kaffah
Dalam Islam Rasulullah itu panutan dalam segala bidang termasuk pula dalam bidang pemerintahan. Bendera Rasulullah itu bertuliskan kalimat tauhid, khilafah itu warisan Rasulullah.

jadi,jika rezim malah melakukan yang sebaliknya dengan apa yang ada dalam Islam jelas sudah mereka itu anti Islam.

Maka tak layak untuk dipertahankan, jika dibiarkan hanya akan mengantarkan pada kesengsaraan.

Maka ganti saja dengan sistem khilafah. Kepemimpinan yang tidak didasari ketaqwaan, semata takut kepada Allah SWT layak untuk dihentikan, bukan karena semata benci namun karena wujud ketaqwaan.



Pare, 23 July 2019