Sunday 30 September 2018

Kamu Pasti Lelah Menghadang Khilafah!

Muktamar Khilafah 2013, Gelora Bung Karno

Setelah dicabutnya BHP HTI, bukannya tenggelam, nama HTI semakin melambung. Terakhir, nama HTI terus disebut dan dituduh menunggangi beberapa acara, menunggangi tokoh dan menunggangi partai politik lain. HTI juga terus dikaitkan dengan partai yang berseberangan dengan penguasa, masyarakat terus ditakut-takuti dengan sepak terjang HTI yang memanfaatkan pihak lain. Tak hanya berhenti sampai di sini, khilafah dan bendera Rasulullah pun juga menjadi sasaran. Ditambah dengan framing jahat media, jadilah HTI, khilafah dan panji Rasulullah dianggap sebagai sesuatu yang tak layak nampak. Bahkan ada yang denagn entengnya mencap HTI sebagai ormas terlarang, bahkan seenaknya memfitnah HTI, menyamakannya dengan PKI, sungguh terlalu.

Di berbagai kesempatan, para penghalang khilafah terus mengolok, mempersekusi, membombardir para pejuang khilafah dengan cara rendahan, cara preman, cara orang malas berpikir. Di media massa, dengan pongahnya menantang para pengemban khilafah dan mengancam akan digebuk, dengan tanpa pikir panjang mempersekusi orang-orang yang berbicara tentang khilafah, menuduh denagn tuduhan murahan orang-orang beratribut kalimat tauhid. Di jalanan para pembenci islam dan khilafah tak kalah brutalnya, omngan kasar nan rendah ringan terucap dari mulut beracun. Menghina Islam, menantang ormas lain, bahkan menghina khilafah sesuka hati.

Di media social, setiap ada yang posting tentang khilafah langsung diserang dengan akun abal-abal, mereka mempunyai karakter yang sama. Ringan, mudah dan biasa berkata kotor. Perhatikan saja, sumpah serapah, nama binatang, kalimat emosional bermunculan mengomentari. Menyerang pribadi pemilik status, tebar fitnah dan tuduhan, berkata rendahan tanpa pikir panjang. Tujuannya menjatuhkan harga diri orang yang menyampaikan khilafah, memancing emosi dan akhirnya menuruti alur berpikir mereka. Orang Jawa bilang, wis kadung edan sisan ngajak wong liyo edan. Ya, tujuannya untuk membuat kita yang menyampaikan kebaikan dan kebenaran berpikiran sama dengan pembenci Islam dan khilafah. Hamper mirip dengan iblis, iblis tak mau sendiri di neraka makanya mencari teman sebanyaknya.

Dan ternyata para pembenci khilafah tidak hanya sensitive dengan bahasan khilafah. Mereka juga sensitive dengan orang-orang yang kritis pada kebijakan penguasa. Setiap ada kritikan, setiap ada masukan untuk penguasa, pasukan yang mirip dengan pembenci khilafah satu-persatu akan bermunculan. Polanya hampir sama, menyulut emosi dan memancing kemarahan.

Maka semakin jelaslah, siapa yang memihak siapa, siapa yang menjadi alat siapa. Mungkin mereka menganut paham, musuh dari teman adalam musuh mereka juga.

Dan sampai kapan mereka akan terus bertahan dengan kebencian dan permusuhan terhadap Islam?

Tergantung pada level kualitas berpikir mereka. Orang yang di hati kecilnya masih ada setitik keimanan, masih ada harapan untuk berubah haluan, memang belum tentu langsung putar haluan, sedikit-demi sedikit. Lihat saja orang yang dulu mencacii HTI dengan ide khilafahnya, ada sedikit perubahan, mereka hanya membenci HTI dan tak berani membenci khilafah sepenuh hati, karena mereka tahu khilafah tidak salah, karena khilafah adalah ajaran Islam.orang seperti ini akan bilang : “ Saya hanya tidak suka dengan HTI, tapi tidak dengan khilafah, tapi bukan khilafah versi HTI”. Orang seperti ini sadar atau tidak masih ada pengakuan bahwa khilafah memang janji Allah, pasti tegak, walaupun akan ngeyel, bukan khilafah yang diperjuangkan HTI.  Tidak masalah, ini lumayan membuat kita bahagia, sabar saja, witing tresno jalaran soko kulino. Jika menemui orang seperti ini terutama di media social, cukup kasih senyuman. Tak perlu meladeni yang tak penting.  Sabarlah memberi penjelasan, terlepas dari dimengerti atau tidak, tetap hadapi dengan makruf.

Level yang berikutnya adalah yang bergerak karena kebutuhan materi. Sudah watak dari ideology kapitalisme, orang -orang yang bergerak di bawah kepemimpinan ideology ini mempunyai prinsip kepuasan dan makna sa’adah, standar kebahagiaan adalah ketika teraihnya materi. Orang-orang pada level ini akan semangat ketika iming-iming materi atau materi ada di hadapan, ketika suntikan dana turun semangat mereka sangat luar biasa. Dan jangan khawatir, ketika dana mereka surut dan menipis semangat mereka pun juga akan berbanding lurus. Menghadapai orang seperti ini juga tak perlu menguras energy, cukup sabar menunggu asupan dana mereka habis, maka otomatis gerakan mereka akan melemah. Sabar dan yakin, Qarun dan Tsa’labah saja tak berkutik ketika Allah berkendak memusnahkan harta mereka.

Level yang berikutnya adalah orang yang mempunyai harta sekaligus berkuasa. Level ini memang pantas sombong, pantas dzalim. Karena mereka merasa berkuasa dan bias mengendalikan siapa saja. Untuk menghadapai level ini memang membutuhkan argument lebih cerdas, namun tetap dibutuhkan kesabaran dan luasnya wawasan. Tak perlu terpancing, cukup dengan ilmu dan keyakinan, patahkan logika dan pemikiran sesat mereka. Dan terus saja sabar, toh sesombong dan sekuat Fir’aun pasti mati, pasti berakhir. Masa berkuasa dan Berjaya mereka pasti ada batasnya. Terus berusaha, terus berdoa, dan terus lantunkan salawat asyghil. Sedikit demi sedikit mereka akan hancur lewat kesombongan dan perpecahan di antara mereka.

Jadi para penghalang khilafah pasti lelah. Kekuatan mereka pasti melemah dan daya juang mereka akan semakin redup. Sekuat apapun usaha mereka tak akan mampu membendung janji Allah. Maka bersabarlah di jalan kebenaran, bersabarlah di jalan dakwah. Terus perkuat diri dengan ilmu, mendekat kepada Allah, abaikan celaan orang-orang yang suka mencela.

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang kafir sesudah itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS An Nuur 55)

Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam Jahannamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan ( QS Al Anfal 36)


Pare, 30 September 2018


Tuesday 18 September 2018

Demokrasi, Demi Kesejahteraan atau Kekayaan ?



Tujuh puluh tiga tahun sudah bangsa ini merayakan HUT RI, seharusnya semakin bertambah usia, kondisi negeri ini semaikn membaik, rakyatnya semakin sejahtera. Namun ironisnya, lagi-lagi rakyat disuguhi dengan kasus yang memilukan hati, yaitu semakin bertambahnya pejabat  yang  terjerat  kasus  korupsi. Bukannya fokus pada kepentingan rakyat, para pejabat korup tersebut malahan memperkaya diri. Sebut saja kasus terakhir yang semakin membuat mata terbelalak, mantan Mensos Idrus Marham dan mantan walikota Depok Nur Mahmudi. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Di saat rakyat harus berjuang untuk bertahan hidup dalam kondisi perekonomian yang semakin mencekik, masih saja ada pejabat tidak amanah, dan mereka adalah pejabat yang selama ini selalu memberi janji manis saat menuju tampuk kekuasaan.
Memang, pejabat korup hanyalah oknum, namun ternyata oknum itu jumlahnya tidak sedikit, maka tentu ini menjadi pertanyaan besar dalam benak kita, demokrasi yang terus disanjung sebagai sistem paripurna untuk mengatur negeri ini masihkah mampu membuat rakyat negeri ini sejahtera? Tentu pengamatan, data dan fakta selama negeri ini mengenyam kemerdekaan cukup menyadarkan kita, demokrasi hanya mencetak pejabat dengan mulut manis saat mengemis kekuasaan namun melupakan rakyat saat mereka memangku jabatan. Rakyat hanya dibutuhkan saat mereka meminta dipilih, segala cara dilakukan untuk membujuk rakyat, salah satunya dengan mengeluarkan modal yang sangat besar, yang terkadang secara nalar tak seimbang dengan gaji yang akan mereka dapatkan. Apakah mereka semua adalah pejabat yang semuanya tulus ikhlas melayani? Kemungkinannya sangat kecil, karena rakyat negeri ini didominasi pemikiran sekular, dimana aturan agama dalam seluruh aspek kehidupan tak dihiraukan. Tuhan hanya diingat dalam aspek invidu saja, nama Tuhan hanya disematkan dalam seremonial formal saja, selebihnya aturanNya dicampakkan. Lagi-lagi semua atas nama demokrasi, orang-orang sekular terus berlindung dibalik jargon suara rakyat adalah suara Tuhan.
Padahal sejatinya demokrasi hanyalah cara para pemilik modal alias kaum kapitalis memanfaatkan rakyat untuk mengumpulkan kekayaan. Buktinya, Indonesia dengan potensi SDA yang luar biasa, rakyatnya masih saja banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan, dan di sisi lain segelintir konglomerat yang menguasai sebagian besar kekayaan semakin berjumawa. Ya, sistem kapitalis yang dipelihara demokrasi hanya akan memberi kesempatan kepada para pemilik modal untuk semakin memperkaya diri dan semakin membuat orang miskin semakin jatuh dalam jurang kemiskinan. Dan golongan ekonomi menengah pun semakin terengah-engah mengumpulkan sisa-sisa kekayaan.
Maka, seharusnya kita semakin menyadari, demokrasi tidak akan pernah mengantarkan pada kesejahteraan, demokrasi hanya akan mencetak pejabat yang berebut kekuasaan demi kepentingan dunia, demi kekayaan, meski dengan jalan korupsi, karena itu sudah menjadi konsekuensi politik dalam sistem demokrasi, mengatasnamakan kesejahteraan rakyat namun sejatinya menjerumuskan rakyat. Sebagai muslim tentu kita tidak akan berdiam diri, janji yang  terucap setiap hari akan mendedikasi hidup dan mati hanya untuk Allah SWT perlu direalisasikan. Bukan sekadar ucapan rutin di mulut belaka, janji tanpa bukti. Kembali berpikir dan merenung, jika Nabi sallallahu ‘alaihi wassalam masih hidup, relakah beliau dengan keadaan kita saat ini? Dimana banyak teladan dari beliau tidak kita terapkan dalam kehidupan. Tidakkah ingin mewujudkan seruan Allah SWt untuk menerapakan Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan? Tidakkah kita takut dengan penghidupan yang sempit dan kesengsaraan di akhirat saat kita mengabaikan peringatan dari Allah? Tidakkah kita ingin bersama  Rasulullah di surga? Ataukah kita akan terus bertahan dengan sitem demokrasi dan hanya membiarkan pergantian pemimpin semata? Puaskah hanya mengganti pemimpin dengan tetap mengabaikan aturan  Allah ? tentu jangan seperti Bani Israel yang banyak tanya namun tak melaksanakan perintahNya. Kita sebagai muslim, cukup dengan kami mendengar dan kami taat, memperjuangkan ketaatan dengan menapaki kembali jalan kehidupan yang berdasar pada peninggalan agung baginda Nabi, Alquran dan Hadits, tentu tidak berharap pada demokrasi, namun percaya diri dengan sistem warisan Nabi,khilafah. Wallahu a’lam bishawab.

Nur Aini, S.Si
Pare Kediri Jawa Timur