Cara mengajar tiap guru bisa jadi
tidak sama, ada banyak tipe, menyesuaikan materi pelajaran dan kemampuan siswa.
Begitu juga menurut pandangan saya, selama tidak jatuh pada keharaman terserah
mau pakai gaya mengajar bagaimana.
Khusus pembelajaran matematika
saya melarang keras siswa untuk hanya sekadar membayangkan cara penyelesaian,
wajib memegang alat tulis dan kertas hitungan, dan terkadang kertas hitungan
saya minta untuk dikumpulkan dan bisa menambah poin nilai. Karena untuk
pembelajaran matematika itu tak akan selesai hanya dengan membayangkan saja,
apalagi jika sudah negative thinking
bahwa matematika itu sulit, matematika itu rumit, pasti dapat soal hanya
ditinggal bengong saja.
Berbeda halnya ketika materi
sudah selesai, tinggal ujian akhir atau persiapan olimpiade. Maka akan ada
tambahan cara cepat mengerjakan soal atau bahkan cara kilat menjawab soal,
hanya dengan melihat soal saja sudah tahu jawabannya. Sekali lagi ini hanya
pada kondisi semua materi sudah diberikan, siswa sudah mempunyai modal, jadi
cara cepat dan kilat atau hanya dalam bayangan saja sudah bisa menjawab soal
bisa diterapkan. Namun tidak semua boleh memakai cara membayangkan. Hanya untuk siswa yang
mempunyai kemampuan. Dalam hal ini saya membagi siswa hanya berdasarkan dua
kemampuan saja, kemampuan akademik sangat bagus dan selainnya tidak. Yang tidak
ini termasuk siswa dengan kemampuan sedang, lambat atau bahkan rendah. Untuk
kelompok “TIDAK” harus mengerjakan sesuai prosedur normal. Sedangkan kelompok
sangat bagus sebaliknya, menggunakan cara cepat hingga hanya dengan melihat
secara kilat, baru jika masih ada waktu mengecek dengan cara normal.
Begitulah, matematika. Dengan
jalan normal, mengikuti prosedur pengerjaan yang berurutan insya Allah jaminan selamat lebih besar. Jadi ketika ada
siswa yang protes dengan prosedur normal, minta cara singkat saya hanya
tersenyum saja. Biarlah tipe guru kuno, yang penting siswa selamat menjalani
proses pengerjaan soal, mempunyai bekal konsep. Termasuk dalam soal cerita,
saya masih suka tipe bertele-tele : diketahui, ditanya, jawab, jadi. Karena
bisa jadi kita memang harus melalui itu semua, melatih kesabaran, memantabkan
ilmu, bukan sekadar mendapatkan hasil akhir semata.
Bagaimana dengan kehidupan? Jelas
lebih rumit daripada matematika. Bagaimana dengan setelah kehidupan? Lebih
sederhana, hanya ada surga dan neraka saja, tidak ada yang lainnya.
Namun hidup juga bisa dibuat
sederhana, cukup jalani sesuai dengan prosedur dari Allah subhanahu wata’ala.
Berhasil, gagal, sukses, suka, duka,ujian, musibah semua diajalani dengan sabar
dan ikhlas, memang mudah berteori namun bukan berarti sulit untuk dijalani.
Bagaimana dengan kiamat yang merupakan awal dari kehidupan abadi? Maka cukup
mengetahui cara mempersiapkan menghadapinya saja, tak perlu hanya sibuk dengan
perkiraan kapan kiamat datang.
Seorang laki-laki pernah bertanya
kepada Rasulullahsaw. Tentang kiamat. Ia berkata, “Kapan terjadinya kiamat ya
Rasulullah?” Rasul berkata, “Apa yang telah engkau siapkan untuknya?” Laki-laki
itu berkata, “Aku tidak menyiapkan apa pun kecuali sesungguhnya aku mencintai
Allah dan Rasul-Nya.” Rasul saw. berkata, “Engkau bersama apa yang engkau
cintai.” Anas berkata; Kami tidak pernah merasa bahagia dengan sesuatu pun yang
membahagiakan kami seperti bahagianya kami dengan perkataan Nabi, “Engkau
bersama apa yang engkau cinta”,
Anas kemudian berkata, “Maka aku mencintai Nabi, AbĂ» Bakar,
dan Umar. Dan aku berharap akan bersama
dengan mereka karena
kecintaanku kepada mereka meskipun aku
belum bisa beramal seperti mereka.”
(Mutafaq‘alaih).
Rasulullah ketika ditanya tentang
kapan terjadinya kiamat tidak memberitahu malah menanyakan bekal untuk
menyambut kiamat. Karena memang datangnya kiamat adalah keyakinan, pasti datang,
sedangkan upaya persiapan menyambutnya adalah pilihan, membutuhkan usaha.
Dan pernah dalam satu hari dalam
forum berbeda dan dengan orang berbeda mendapat pertanyaan dan pernyataan
tentang akhir zaman, tentang huru-hara menjelang kiamat, tentang Imam Mahdi,
tentang Dajjal dan hampir semuanya membayangkan bahwa jaman itu begitu
mengerikan, begitu menakutkan. Dan jawaban saya sederhana, sudah tak perlu
dibayangkan, siapkan bekal untuk menghadapinya, ilmu dan amal. Dan ketika masih
saja bingung dalam membayangkan akhir jaman dan bertanya bagaimana keadaannya
nanti, saya hanya bisa menjawab wallahu a’lam. Jika masih belum puas, to the
point saja, saya ajak belajar bersama, cari bekal. Jika masih ngeyel atau nolak
diajak ngaji, kasih senyum saja.
Ada banyak hal yang tidak cukup
dengan hanya membayangkan saja, atau bahkan tak perlu membayangkan. Cukup
jalani dengan ketentuan yang ada, berusaha memperbaiki ketika apa yang dijalani
belum menghasilkan yang terbaik.
Kehidupan memang penuh liku,
jalani dan terus memohon untuk selalu diberi petunjuk menuju jalan yang lurus.
Pare, 18 Januari 2018
No comments:
Post a Comment