Di antara bab yang dibahas dalam
buku Sistem Pergaulan Dalam Islam yang paling menyedihkan adalah Talak (Perceraian). Cerai berarti mengakhiri
pernikahan, melepaskan simpul perkawinan yang
telah dibentuk ketika akad nikah. Cerai memang bukan perkara
haram,perkara yang diperbolehkan dalam Islam. Sebagaimana pernikahan,
perceraian juga diatur dalam Islam. Kebolehan talak semata karena telah
dinashkan Alquran dan hadits bukan karena sebab lain.
Batas
penjatuhan talak adalah tiga kali, talak satu dan dua boleh rujuk selama masih dalam masa iddah.
Ketika telah melampaui masa iddah maka telah menjadi talak ba’in sughra, suami boleh
merujuk istri dengan akad dan mahar baru. Namun jika telah jatuh talak tiga,
maka talak menjadi talak ba’in kubra, suami tidak boleh merujuk istri kecuali
setelah istri menikah dan berhubungan dengan pria lain kemudian bercerai dan
berakhir masa iddahnya.
*********************************************************************************
Talak – Sistem Pergaulan Dalam
Islam
“Talak (yang dapat dirujuki) dua
kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan
dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu
yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak
akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri)
tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah, maka
janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang
yang zalim. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua),
maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang
lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama
dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada
kaum yang (mau) mengetahui.” (TQS al-Baqarah [2]: 229-230).
Hak talak ada di tangan suami,
bukan di tangan isteri. Suamilah yang memiliki wewenang atas talak, bukan
isteri. Adapun kenapa hak menjatuhkan talak berada di tangan suami? Hal itu
karena Allah SWT memang telah menetapkan
talak di tangan
suami. Syara’ tidak menyatakan ‘illat apapun atas
hal itu, sehingga talak
tidak boleh dikaitkan dengan
‘illat apapun.
Hanya saja, keberadaan talak di
tangan suami sekaligus menjadi haknya
semata, tidak berarti bahwa
isteri tidak boleh menceraikan dirinya
sendiri dan melangsungkan perpisahan antara dirinya dengan suaminya. Akan
tetapi, artinya ialah bahwa wewenang talak di tangan suami semata sebagai
ketentuan asal yang bersifat mutlak, tidak dibatasi dengan situasi dan kondisi
apa pun. Bahkan seorang suami berhak menjatuhkan talak tanpa adanya sebab. Akan
tetapi, seorang isteri pun berhak untuk menceraikan dirinya dari suaminya, dan
mengadakan perpisahan antara dirinya dengan suaminya dalam kondisi-kondisi
tertentu, sebagaimana yang telah dinyatakan oleh syariah. Syara’ telah
membolehkan bagi wanita untuk memfasakh(membatalkan/merusak) ikatan pernikahan
dalam beberapa kondisi berikut:
1. Jika suami menyerahkan masalah talak di tangan isteri.
2. Jika isteri mengetahui bahwa suaminya memiliki cacat sehingga
tidak dapat melakukan
senggama, seperti impoten
atau telah dikebiri, sedangkan
isteri tidak memiliki cacat semacam itu.
3. Jika tampak bagi sang isteri –baik sebelum maupun sesudah
terjadi persetubuhan– bahwa suaminya
mengidap suatu penyakit yang tidak memungkinkan bagi dirinya tinggal
bersama suaminya itu tanpa adanya bahaya (dampak buruk) bagi dirinya.
4. Jika suami gila setelah akad nikah, isterinya berhak mengadukan
masalahnya kepada qâdhî(hakim) dan menuntut pemisahan dari suaminya.
5. Jika sang suami melakukan perjalanan (safar) ke suatu tempat,
baik dekat maupun jauh,
lalu ia menghilang dan tidak
ada kabarberitanya, sementara
isterinya terhalang untuk
mendapatkan nafkahnya, maka isteri berhak menuntut pemisahan dari suaminya
setelah berusaha keras
mencari dan menemukan
suaminya.
6. Jika suami tidak memberi nafkah isterinya, padahal suami mampu,
dan isterinya mengalami kesulitan memperoleh harta suaminya untuk keperluan
nafkah dengan berbagai macam cara, maka isteri berhak menuntut perceraian.
7. Jika di antara suami-isteri terjadi pertentangan dan
persengketaan, maka isteri berhak
menuntut perpisahan (perceraian)
dengansuaminya. Qâdhî wajib menentukan hakam (juru damai) dari pihak
isteri maupun dari pihak suami. Majelis keluarga inilah yang akan
mendengarkan pengaduan dari
kedua belah pihak
dan mengerahkan segenap daya upaya untuk mengadakan perbaikan/
perdamaian (antara suami isteri itu). Jika tidak mungkin ada kata sepakat di
antara keduanya, maka majelis keluarga itu memisahkan keduanya.
Fakta beberapa kondisi di atas
terlihat bahwa asy-Syâri‘ (Sang Pembuat Hukum) telah memandang bahwa seorang
isteri merupakan sahabat bagi suaminya dalam kehidupan suami-isteri. Setiap
ketidakbahagiaan dan kebencian yang terjadi di dalam rumah tangga yang menimpa
isteri pasti juga menimpa suami. Maka harus ada jaminan bagi seorang isteri
untuk bisa melepaskan diri dari kesengsaraan, jika kesengsaraan itu
menimpa dirinya di dalam rumah
tangga, yakni dengan melepaskan
ikatan perkawinan oleh pihak isteri. Karena itu, Allah SWT tidak membiarkan
seorang isteri terpaksa tinggal bersama suaminya, jika dia tidak menemukan
kebahagian hidup suami-isteri. Maka syara’ telah memperbolehkan seorang isteri
untuk memfasakh ikatan pernikahan dalam sejumlah kondisi yang di dalamnya
terbukti tidak adanya peluang untuk hidup berumah tangga (yang baik), atau tidak
terwujud lagi kebahagiaan hidup suami-isteri.
Dengan ini jelaslah bahwa Allah
SWT telah menjadikan talak di tangan suami, karena ia adalah pemimpin (qawwam)
atas isterinya, sekaligus penanggung jawab rumah-tangganya. Sebaliknya, Allah
SWT juga telah memberikan
hak kepada isteri
untuk memfasakh perkawinannya
sehingga dia tidak
akan menderita dalam pernikahannya; dan sehingga rumah yang
seharusnya menjadi tempat kedamaian dan ketenteraman, tidak menjadi tempat
kesengsaraan dan kegelisahan bagi si isteri.
*********************************************************************************
Perceraian bisa jadi menjadi fase
menyedihkan dalam sebuah pernikahan, namun bisa juga menjadi permulaan baik
bagi pasangan yang bercerai. Dengan bercerai masih ada kesempatan untuk
mendapatkan kebahagiaan dengan pasangan yang baru. Setidaknya perceraian
menjadi pelajaran, agar tidak jatuh pada lubang yang sama. Namun meski perkara
yang halal, bukan berarti menjadikan pernikahan sebatas permainan karena toh
jika sudah tidak suka boleh bercerai.
Pernikahan adalah ibadah, maka
mengakhiri ibadah tentu tidak dengan
berpikir dangkal, membutuhkan pertimbangan yang dibenarkan asy syari’. Bukan
semata menuruti hawa nafsu. Cerai adalah perbuatan, perbuatan terikat pada
hukum syara’ dan apapun keputusannya akan dimintai pertanggungjawaban kelak di
akhirat. Meniatkan pernikahan semata untuk ibadah, dan jika harus bercerai juga
dalam rangka semakin mendekatkan diri pada Allah subhanahu wa ta’ala.
Perceraian bukan akhir segalanya,
terutama bagi pasangan yang sudah dikaruniai anak, masih ada hukum terkait
pengasuhan anak, pemberian nafkah anak, pembagian waris untuk anak, perwalian
anak dan seterusnya. Perceraian hanya mengakhiri hubungan suami istri, bukan
dengan anak. Maka kehidupan paska perceraian juga harus tetap terikat pada
hukum Allah subhanahu wa ta’ala. Tetap melanjutkan hidup sesuai dengan syariat.
Wallahu a’lam bishawab.
Pare, 19 Januari 2018
No comments:
Post a Comment