Friday, 16 March 2018

Carilah Tahu, Hati-hati Dengan Para Pendusta


      Akhirnya mampir masuk ke kampus UMY (24 Feb 2018) meski dalam hitungan menit setidaknya pernah mengunjungi dan masuk kampus ini. Setelah bertahun-tahun lamanya sekadar lewat, Alhamdulillah bias mengunjungi sebagian tempat di dalam kampus. Memang hanya sebentar melihat dan mengambil gambar, tidak lebih. Sesering apapun lewat jika belum pernah masuk ya tidak akan tahu apa saja yang ada di kampus. Dan tentu saja apa yag diketahui dengan hanya kunjungan sebentar belum seberapa jika dibandingkan dengan orang yang memang sahari-hari beraktivitas di kampus tersebut.



Menerima alamat, Balekambang Tanjung Kediri. Jujur belum pernah mendengar nama daerah tersebut, dengan PeDenya menyatakan itu bukan wilayah dagang saya (jadi ingat VOC dengan seenaknya memetakan wilayah di Indonesia kepada para pemilik company untuk dikeruk kekayaannya, mereka menguasai peta kekayaan SDA negeri ini, bekal untuk menjajah Indonesia), maklum sales kurang gaul, keliling beberapa daerah namun tetap saja masih ada yang kelewat. Tapi agak penasaran juga, setelah bertanya ke beberapa orang yang juga sering keliling Kediri, dapat info itu nama daerah di Kecamatan Pagu dan sering dilewati kalo ke kantor Kemenag Kab Kediri, konfirmasi ke link yang tinggal di Pagu, benar dan sekalian diberi rute lebih jelas. Balekambang Tanjung memang ada di kecamatan Pagu. Awal mendengar langsung konsen dengan nama Balekambang, yang juga merupakan nama pantai di Malang. Makanya dengan spontan merasa tidak ada nama daerah Balekambang di sekitar Kediri.

Begitulah, keterbatasan informasi atau kesalahan mencerna sebuah informasi sangat berpengaruh pada transfer informasi kepada orang lain. Meminta informasi tentang UMY kepada saya yang baru sekali mampir dan itu pun hanya sebentar tentu berbeda dengan gambaran UMY dari orang yang sudah lama berkecimpung di UMY. Bertanya tentang sebuah tempat kepada orang yang tinggal di daerah tersebut tentu lebih valid jika dibandingkan dengan sekadar searching di google map.

Maka telitilah dengan informasi yang masuk, jangan asal percaya apalagi jika hanya dari mulut para pembohong atau mulut ahli yang buta oleh kekuasaan dan materi.

Seperti apa yang dituduhkan beberapa saksi ahli yang didatangkan pemerintah dalam sidang gugatan HTI di PTUN, saksi yang katanya ahli namun penuh dengan tuduhan palsu tanpa bukti, penuh dengan rekayasa dan dipenuhi kata-kata bohong belaka. Sungguh ironi saksi yang dianggap ahli oleh pemerintah malah memberikan keterangan yang jelas jauh dari fakta. Keterangan dari para pembenci, memberi kesaksian seenak sendiri, berikut catatan dari saksi mata di sidang PTUN terkait kesaksian para ahli, jika di bawah sumpah di pengadilan saja masih berani melemparkan fitnah apalagi di luar sumpah, naudzubillah :

Pertama, kesaksian Guntur Romli yang menyatakan  telah mengkaji semua kitab HTI, baru membaca kitab HT selama 6 bulan saja sudah menyimpulkan dirinya paling tahu dengan apa yang dikaji di HTI, ibarat saya kasih info seputar UMY padahal saya hanya sebentar di UMY.
Kedua, kesaksian ahli yang tidak tepat hanya akan membuat yang diberi informasi akan tersesat, mendapat keterangan yang salah, dan kemungkinan salah jalan juga sangat besar. Wajar jika orang ga percaya dengan rute di daerah Pagu, Papar, Kayen Kidul yang saya berikan, karena saya kurang menguasai wilayah-wilayah tersebut. Beda jika tanya tentang Pare, insya Allah saya lumayan tahu dan menguasai. Jika ingin mendapat rute yang akurat, tanya orang yang tinggal dan pengalaman keliling di wilayah tersebut.
Maka bertanyalah  tentang HTI kepada ahli sebenar benar ahli, yang telah dengan sabar mengkaji ide-ide Hizbut Tahrir, missal bertanya kepada juru bicara HTI, orang-yang telah mengkaji dari orang-orang yang berhak menyarah kitab HT. bukan dari orang yang hanya tau HTI secara dangkal apalagi disertai rasa benci, bisa jadi hanya diberi informasi yang seujung kuku atau bahkan fitnah belaka

CATATAN KEDUSTAAN GUNTUR ROMLI
(Sebuah Catatan Kritis untuk Saksi Tersumpah)
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Koalisi 1000 Advokat Bela Islam
Guntur Romli memberikan keterangan sebagai saksi dalam persidangan PTUN Jakarta dibawah sumpah, yang dihadirkan pihak Pemerintah. Setelah berkali-kali gagal dengan narasi Khilafah ala HTI, Kemenkumham bersikeras untuk mencoba mengaitkan HTI dengan berbagai tuduhan palsu melalui keterangan saksi yang dihadirkan di persidangan.
Guntur Romli, secara fasih mengajukan berbagai tuduhan palsu terhadap HTI dipersidangan dengan berbagai keterangan yang diberikan. Kadangkala tudingan itu diklaim melalui penglihatan, pendengaran dan kejadian yang dialami sendiri. Kadangkala, juga ngeles tudingan didasarkan pada informasi yang diperoleh melalui internet.
Majelis hakim sempat mengingatkan, agar Guntur Romli fokus memberi keterangan seputar apa yang diketahui dan dialami sendiri oleh saksi, bukan mengutip informasi dari internet atau sarana lainnya. Artinya, sudah tepat hakim membatasi kesaksian hanya pada apa yang saksi ketahui atau alami sendiri. Bukan kesaksian testimoni de auditu.
Beberapa dusta yang dinyatakan Guntur Romli di persidangan, sejauh pengamatan penulis adalah sebagai berikut:
Pertama, Guntur mengaku telah mengkaji seluruh kitab HTI dalam waktu 6 (enam) bulan. Guntur juga berapi-api menjelaskan berbagai kesimpulan yang diperoleh dari kajian yang dilakukan.
Diantaranya, Guntur menyebut dalam kajian HTI tidak pernah dikaji Al Quran dan Al Hadits. Semua kajian yang dilakukan HTI diarahkan pada materi Khilafah. Semua pembahasan kitab-kitab kajian HTI hanya membahas tentang Khilafah.
Ketika dikonfirmasi oleh jubir HTI mengenai kajian yang dilakukan, apakah Guntur Romli mengkaji atau sekedar membaca? Guntur baru mengakui, dirinya tidak mengkaji melainkan hanya membaca.
Aneh memang, sebab bagaimana mungkin seseorang mampu mengkaji kitab-kitab Hizbut Tahrir hanya dalam tempo 6 (enam) bulan ? Padahal, setidaknya ada 13 (tiga belas) kitab muttabanat yang diadopsi Hizbut Tahrir sebagai kitab rujukan untuk membina kader dan umat untuk memahami syariat Islam.
Pengalaman penulis, untuk mengkhatamkan kajian kitab Nidzamul
Islam (peraturan hidup dalam Islam) yang merupakan kitab dasar dalam pembinaan di Hizbut Tahrir, setidaknya penulis membutuhkan waktu hampir 1,5 tahun untuk menyelesaikannya.
Maka klaim telah mengkaji dalam waktu 6 bulan, yang kemudian diralat dengan ungkapan "membaca" adalah bentuk kedustaan yang nyata seorang Guntur Romli. Betapapun ungkapan kajian telah diganti dengan membaca, penulis masih belum bisa mempercayainya, sebab tebal dan banyaknya kitab mutabanat HTI.
Kesimpulan HTI tidak pernah mengkaji Al Quran dan hadits dalam kajiannya juga terbantahkan. Guntur juga kembali kelabakan Ketika Jubir HTI menunjukan kitab Nidzamul Islam dimana bab awal tentang JALAN MENUJU IMAN, didalam kitab tersebut di kutip dalil Quran surat Ar Ra'du ayat 11, "sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum, sebelum kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka".
Sadar saksi ngarang dalam memberi keterangan, kuasa hukum Pemerintah berusaha melindungi Guntur dengan mengajukan pertanyaan apakah saat kajian kitab HTI, para pengkajinya juga membawa Al Quran ? Di jawab tidak.
Rupanya, untuk mengkaji Al Quran seolah dipersyaratkan harus membawa Al Quran. Bagaimana jika kajian fiqh dan hukum itu digali dari kitab-kitab klasik seperti Kitab Riyadus Shalihin karya Imam an Nawawi, Kitab Al Um milik Imam Syafi'i, atau kitab kitab kuning lain yang banyak dikaji di pondok pesantren. Apakah itu bisa diklaim tidak mengkaji Al Quran meskipun para Imam menukil dalil Quran dalam kitab yang mereka karang ?
Penulis bisa memahami kondisi kuasa hukum Pemerintah yang tidak paham
Syariat Islam, sehingga keliru membuat kesimpulan dan bahkan keliru membangun pertanyaan di persidangan. Kemudian, secara serampangan kuasa hukum Pemerintah mengalihkan pertanyaan pada kajian Tafsir Quran. Ini yang disebut Jahil Murokab.
Kedua, Guntur berdusta atas klaim telah membaca semua kitab HTI. Setelah dirinci dengan pertanyaan apa sudah membaca kitab Ajhizah ketika berada di Mesir, Guntur menjawab tidak. Ini pengingkaran pada keterangan awal yang mengklaim telah mengkaji semua kitab-kitab HTI, kemudian berubah dengan klaim telah membaca semua kitab-kitab HTI. Dan terakhir, klaim atas pembacaan semua kitab HTI kembali didustaan oleh Guntur sendiri.
Ketiga, Guntur juga dusta perihal kitab-kitab HTI yang diklaim melulu membahas Khilafah. Padahal, kitab-kitab HTI sangat variatif. Ada kitab yang membahas masalah ekonomi Islam seperti kitab Nidzamul Iqtishodi fiil Islam. Ada kitab min muqowimat nafsiyah Islamiyah, kitab yang sengaja dikaji agar setiap muslim memiliki kepribadian Islam. Ada kitab yang membahas tentang interaksi sosial ditengah masyarakat, khususnya terkait hubungan pria dan wanita serta apa yang terkait dengannya, seperti dalam kitab Nidzamul ijtimai fiil Islam.
Setelah merasa gagal dan terbongkar dusta atas keterangannya, Guntur mencoba menutupinya dengan menyampaikan alasan semua kitab ujung-ujungnya diarahkan untuk membahas Khilafah.
Keempat, Guntur menuduh HTI menganut pemahaman takfiri yakni mudah menuding umat Islam lainnya kafir. Tapi lagi-lagi, setelah diselidiki jubir HTI, Guntur terdiam karena faktanya HTI tidak pernah mengkafirkan sesama muslim.
Jadi menuding sesama muslim kafir itu takfiri, tetapi jika menyatakan orang non muslim kafir ya memang faktanya non muslim dalam fiqh Islam disebut kafir. Maka ketika Pilkada DKI Jakarta, HTI tegas menolak Ahok karena Ahok kafir. Ini fakta bukan fitnah, Ahok memang kafir. Dan menyebut Ahok kafir itu bukan takfiri.
Merasa tersudut dan keliru atas tudingan takfiri, Guntur mengalihkan diskursus persidangan pada klaim HTI menyebut negara yang tidak menerapkan hukum Islam disebut Darul kufur, bukan Darul Islam. Artinya, Guntur memindahkan diskursus tentang orang, tentang persoalan personal, menuju pembahasan institusi negara. Tidak nyambung.
Lagi pula, pendapat tentang devinisi Darul Kufur adalah negara yang tidak menerapkan hukum Islam meskipun mayoritas penduduknya muslim, bukan melulu pendapat HTI. Jubir HTI kemudian menjelaskan kepada Guntur beberapa pendapat ulama mengenai definisi Darul Kufur.
Memang benar, untuk menutupi satu kedustaan seseorang akan membuat kedustaan lainnya. Sampai orang itu akan digelari pendusta, sebab banyaknya kedustaan yang diutarakan.
Kiranya, untuk Umat Islam perlu untuk merenungkan kembali hadits Nabi SAW yang berbunyi :
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda, Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara dia berdusta, jika berjanji dia mengingkari, dan jika diberi amanah dia berkhianat (HR. Al- Bukhari).
Kepada Guntur Romli penulis ingatkan, terhadap kedustaan yang dilakukannya berpotensi terkena delik pidana memberikan keterangan palsu didalam sebuah persidangan, sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 242 KUHP, dengan ancaman pidana 7 tahun penjara.


No comments:

Post a Comment