Monday 18 June 2018

Silakan Mencium Tangan



Sengaja mengambil judul ini, meski poin pembahasan ada pada berjabat tangan antara pria dan wanita non mahram. Mencium tangan tentu saja sebelumnya bersalaman.

Di saat lebaran seperti ini, salah satu kebiasaan masyarakat Indonesia adalah saling mengunjungi dan berjabat tangan. Saya pribadi jika di sekolah atau ketemu dengan alumni siswa, secara otomatis mereka menyalami dan mencium tangan, terkadang terbawa suasana saat ada yang bersalaman membiarkan mereka mencium tangan, husnudzan saja mereka pernah jadi murid saya. Jadi maaf jika terkadang ada yang seharusnya tak layak mencium tangan saya, eeh saya biarkan begitu saja, dan baru sadar ketika sudah terlanjur, baru terpikir, “ Lha tadi yang salaman dan cium tangan saya siapa ya?”

Secara asal saya mengijinkan orang lain mencium tangan saya, mencium tangan saja boleh apalagi cuma salaman, ya silakan. Jadi kesimpulannya, untuk berjabat tangan ini saya ambil pendapat hukum asalnya adalah mubah. Namun kembali kepada definisi mubah dilakukan boleh ditinggalkan juga boleh, mubah jika mengantarkan pada kesunahan dan kewajiban dilakukan, jika mengantarkan pada keharaman ditinggalkan. Sunah jika merupakan bagian dari kasih sayang karena Allah, karena hormat kepada orang yang lebih tua, hormat kepada guru, dan ulama. Haram jika disertai dengan hawa nafsu atau syahwat. Jadi mubah dalam kondisi “cateris paribus” ga pake pikiran  dan tujuan macam-macam.

Kembali pada mencium tangan, biasanya materi ini saya selipkan pada adab kepada orang tua dan orang yang lebih tua, juga masuk pada materi silaturahim. Menerangkan materi ini di kelas MI membutuhkan waktu minimal satu kali pertemuan 1 x 35 menit. Kepada siapa saja anjuran mencium tangan, teknis mencium tangan dan praktik. Praktik salaman dan cium tangan penting, jika tidak diarahkan anak-anak lebih sering salah kaprah, ketika bersalaman tangan yang dijabat dibiarkan begitu saja, ditempelkan ke pipi atau dahi. Padahal namanya mencium ya menggunakan hidung, jadi bersalaman, punggung tangan yang dijabat dicium, dan menarik tangan sendiri untuk diusapkan ke dada.  Setidaknya disesuaikan dengan adat masyarakat yang memang tidak bertentangan dengan hukum syara’.

Sekali lagi perlu digarisbawahi. Salaman dan cium tangan harus dalam kondisi “cateris paribus” kondisi normal, tidak demi kepentingan duniawi atau sekadar demi kebanggaan atau kesombongan.  


Adapun salaman alias jabat tangan, saya ambil dari buku Sistem Pergaulan dalam Islam bab  Melihat Wanita :
Adapun berkaitan dengan masalah jabatan tangan (mushâfahah), maka sesungguhnya seorang pria boleh menjabat tangan wanita dan demikian pula sebaliknya, seorang wanita boleh menjabat tangan seorang pria; tanpa harus ada penghalang di antara kedua tangan mereka. Kebolehan ini  sesuai  apa  yang  dinyatakan  di dalam Shahîh al-Bukhârî yang bersumber dari ‘Ummu ‘Athiyah. ‘Ummu ‘Athiyah menuturkan:

 “Kami membaiat Nabi SAW, lalu Beliau membacakan kepada kami “bahwa  mereka  tidak  akan  menyekutukan  sesuatupun  dengan Allah” (TQS. Mumtahanah [60]: 12),dan Beliau melarang kami untuk meratap.  Maka  seorang wanita  di  antara  kami  menarik kembali tangannya.”
Baiat  tersebut  dilakukan  dengan  cara  berjabatan  tangan (mushâfahah). Kata ‘qabadhat yadahâ’(menarik kembali tangannya) maknanya adalah menarik kembali tangannya yang  sebelumnya ia ulurkan untuk melakukan baiat tersebut. Kenyataan wanita itu ‘menarik kembali tangannya’, pengertiannya bahwa wanita tersebut sebelumnya hendak membaiat Rasulullah SAW dengan cara berjabat tangan. Kata ‘maka salah seorang wanita di antara kami menarik kembali tangannya’, mafhumnya adalah bahwa wanita yang lain tidak menarik kembali tangan mereka.  Ini  berarti,  para  wanita  selain  wanita  tersebut  membaiat Rasulullah SAW dengan cara berjabat tangan (mushâfahah).

Di samping itu, mafhum (pengertian) firman Allah SWT:
“….Atau kalian telah menyentuh perempuan.” (TQS an-Nisâ [4]: 43)
yang dinyatakan dengan lafazh umum yang mencakup seluruh wanita dari sisi bahwa sentuhan yang membatalkan wudhu, hal itu menunjukkan terbatasnya hukum pada masalah batalnya wudhu bagi pria karena menyentuh wanita. Mafhum dari ayat tersebut menunjukkan bahwa menyentuh wanita tanpa disertai syahwat tidaklah haram. Maka demikian juga berjabatan tangan dengan wanita bukanlah sesuatu yang haram. Lebih dari itu, telapak tangan wanita tidak termasuk aurat dan tidak diharamkan memandangnya tanpa disertai syahwat. Maka, menjabat tangan wanita tidak diharamkan.

Jadi begitu ya, salaman hukum asalnya mubah, silakan, namun tetap bertujuan sesuai dengan tuntunan syara’ bukan untuk main-main. Termasuk pula cium tangan, lihat dulu yang mau kita cium tangannya, jangan main serobot saja. Dan jika ingin tetap menjaga wudlu, ya pertimbangkan lagi sebelum salaman dengan non mahram.

Tentang hadits dari Ummul Mukminin  Aisyah ra, yang sering dipakai untuk mengharamkan jabat tangan non mahram maka perlu pembahasan lebih detail, terkait penggunaan dua hadits yang seolah bertentangan, bagaimana mengkompromikannya, bagaimana menyikapi hadits dari sebuah peristiwa  langsung yang melibatkan Rasulullah saw dan terkait penuturan dari pihak kedua. Perlu ngaji lagi.



Pare, 18 Juni 2018

No comments:

Post a Comment