Sengaja mengambil judul ini,
meski poin pembahasan ada pada berjabat tangan antara pria dan wanita non
mahram. Mencium tangan tentu saja sebelumnya bersalaman.
Di saat lebaran seperti ini,
salah satu kebiasaan masyarakat Indonesia adalah saling mengunjungi dan
berjabat tangan. Saya pribadi jika di sekolah atau ketemu dengan alumni siswa,
secara otomatis mereka menyalami dan mencium tangan, terkadang terbawa suasana saat
ada yang bersalaman membiarkan mereka mencium tangan, husnudzan saja mereka
pernah jadi murid saya. Jadi maaf jika terkadang ada yang seharusnya tak layak
mencium tangan saya, eeh saya biarkan begitu saja, dan baru sadar ketika sudah
terlanjur, baru terpikir, “ Lha tadi yang salaman dan cium tangan saya siapa
ya?”
Secara asal saya mengijinkan
orang lain mencium tangan saya, mencium tangan saja boleh apalagi cuma salaman,
ya silakan. Jadi kesimpulannya, untuk berjabat tangan ini saya ambil pendapat hukum
asalnya adalah mubah. Namun kembali kepada definisi mubah dilakukan boleh
ditinggalkan juga boleh, mubah jika mengantarkan pada kesunahan dan kewajiban
dilakukan, jika mengantarkan pada keharaman ditinggalkan. Sunah jika merupakan
bagian dari kasih sayang karena Allah, karena hormat kepada orang yang lebih
tua, hormat kepada guru, dan ulama. Haram jika disertai dengan hawa nafsu atau
syahwat. Jadi mubah dalam kondisi “cateris paribus” ga pake pikiran dan tujuan macam-macam.
Kembali pada mencium tangan,
biasanya materi ini saya selipkan pada adab kepada orang tua dan orang yang
lebih tua, juga masuk pada materi silaturahim. Menerangkan materi ini di kelas
MI membutuhkan waktu minimal satu kali pertemuan 1 x 35 menit. Kepada siapa
saja anjuran mencium tangan, teknis mencium tangan dan praktik. Praktik salaman
dan cium tangan penting, jika tidak diarahkan anak-anak lebih sering salah
kaprah, ketika bersalaman tangan yang dijabat dibiarkan begitu saja,
ditempelkan ke pipi atau dahi. Padahal namanya mencium ya menggunakan hidung,
jadi bersalaman, punggung tangan yang dijabat dicium, dan menarik tangan
sendiri untuk diusapkan ke dada. Setidaknya
disesuaikan dengan adat masyarakat yang memang tidak bertentangan dengan hukum
syara’.
Sekali lagi perlu digarisbawahi. Salaman
dan cium tangan harus dalam kondisi “cateris paribus” kondisi normal, tidak
demi kepentingan duniawi atau sekadar demi kebanggaan atau kesombongan.
Adapun salaman alias jabat tangan, saya ambil dari
buku Sistem Pergaulan dalam Islam bab Melihat
Wanita :
Adapun berkaitan dengan masalah
jabatan tangan (mushâfahah), maka sesungguhnya seorang pria boleh menjabat
tangan wanita dan demikian pula sebaliknya, seorang wanita boleh menjabat
tangan seorang pria; tanpa harus ada penghalang di antara kedua tangan mereka.
Kebolehan ini sesuai apa
yang dinyatakan di dalam Shahîh al-Bukhârî yang bersumber
dari ‘Ummu ‘Athiyah. ‘Ummu ‘Athiyah menuturkan:
“Kami membaiat Nabi SAW, lalu Beliau
membacakan kepada kami “bahwa
mereka tidak akan
menyekutukan sesuatupun dengan Allah” (TQS. Mumtahanah [60]: 12),dan
Beliau melarang kami untuk meratap.
Maka seorang wanita di
antara kami menarik kembali tangannya.”
Baiat tersebut
dilakukan dengan cara
berjabatan tangan (mushâfahah).
Kata ‘qabadhat yadahâ’(menarik kembali tangannya) maknanya adalah menarik
kembali tangannya yang sebelumnya ia ulurkan
untuk melakukan baiat tersebut. Kenyataan wanita itu ‘menarik kembali
tangannya’, pengertiannya bahwa wanita tersebut sebelumnya hendak membaiat
Rasulullah SAW dengan cara berjabat tangan. Kata ‘maka salah seorang wanita di
antara kami menarik kembali tangannya’, mafhumnya adalah bahwa wanita yang lain
tidak menarik kembali tangan mereka.
Ini berarti, para
wanita selain wanita
tersebut membaiat Rasulullah SAW
dengan cara berjabat tangan (mushâfahah).
Di samping itu, mafhum
(pengertian) firman Allah SWT:
“….Atau kalian telah menyentuh
perempuan.” (TQS an-Nisâ [4]: 43)
yang dinyatakan dengan lafazh
umum yang mencakup seluruh wanita dari sisi bahwa sentuhan yang membatalkan
wudhu, hal itu menunjukkan terbatasnya hukum pada masalah batalnya wudhu bagi
pria karena menyentuh wanita. Mafhum dari ayat tersebut menunjukkan bahwa menyentuh
wanita tanpa disertai syahwat tidaklah haram. Maka demikian juga berjabatan
tangan dengan wanita bukanlah sesuatu yang haram. Lebih dari itu, telapak
tangan wanita tidak termasuk aurat dan tidak diharamkan memandangnya tanpa
disertai syahwat. Maka, menjabat tangan wanita tidak diharamkan.
Jadi begitu ya, salaman hukum
asalnya mubah, silakan, namun tetap bertujuan sesuai dengan tuntunan syara’
bukan untuk main-main. Termasuk pula cium tangan, lihat dulu yang mau kita cium
tangannya, jangan main serobot saja. Dan jika ingin tetap menjaga wudlu, ya
pertimbangkan lagi sebelum salaman dengan non mahram.
Tentang hadits dari Ummul
Mukminin Aisyah ra, yang sering dipakai
untuk mengharamkan jabat tangan non mahram maka perlu pembahasan lebih detail,
terkait penggunaan dua hadits yang seolah bertentangan, bagaimana
mengkompromikannya, bagaimana menyikapi hadits dari sebuah peristiwa langsung yang melibatkan Rasulullah saw dan
terkait penuturan dari pihak kedua. Perlu ngaji lagi.
Pare, 18 Juni 2018
No comments:
Post a Comment