Tuesday 12 June 2018

Caper, Laper, Baper

Peristiwa 1:

Waktu istirahat, saya di kelas murid-murid di luar.
Tiba-tiba ada murid masuk sambil teriak
A : “ Buuu ! B dan C berkelahi”
Me : “ Minta tolong dipisah ya, diberitahu, tidak boleh berkelahi”
A  : “ Iya Bu”.
A masuk lagi
A : “ Bu, B dan C tidak mau berhenti, masih berkelahi”
Me : “ Ya, Bu Nur ke sana”.
Saya pun keluar, dan suasana memang sudah gaduh, dua murid berkelahi dan murid yang lain heboh melihat.
Me : “ Sudah! Tidak boleh berkelahi. Ayo pisah!”
Yang berkelahi pun berhenti, dengan tatapan mata yang melotot, tangan menggenggam, memang masih terlihat ingin melanjutkan perkelahian mereka.
Me : “ Sudah, main lagi jangan bertengkar! Yang lain juga begitu. Sana ! istirahat di halaman jangan di depan kelas”

Saya masuk kelas lagi, melanjutkan pekerjaan, belum ada lima menit D tiba-tiba masuk kelas dan teriakannya tambah kencang.

D : “ Buu…! B dan C bertengkar lagi, duel”

Istilah duel bagi anak-anak, itu artinya berkelahi yang lumayan parah, bener-bener berkelahi bukan sekadar gurauan
Saya pun terpaksa keluar, sambil bawa sapu.  Sambil mengacungkan sapu, dan mengancam
Me  : “ Ayo, pisah! Berhenti! Kalo tidak berhenti malah Bu Nur pukul!”
( Terkadang terpaksa melakukan ancaman seperti ini meskipun lebih sering hanya sebatas ancaman saja, jika tidak katerlaluan  banget ya akhirnya membiarkan saja tanpa merealisasikan pukulan. Terkadang miris saja, sampai ancaman pukulan pun masih ada yang tidak menghiraukan. Mungkin mereka tahu guru lebih sering sebatas mengancam, karena faktanya memang guru akan berpikir beribu kali ketika akan memukul muridnya, tidak gampang bertindak dengan hukuman fisik). Jadi jika ada guru yang ringan memberi tangannya, sepertinya ada sesuatu yang salah, pasti ada masalah lain atau tumpukan masalah pemicu.

Akhirnya  B dan C pun menghentikan perkelahiannya. Dan saya juga kembali masuk kelas.
Dan tidak lama kemudian kegaduhan di luar kelas terjadi lagi.

Me : “ Astaghfirullah, sudah dibilang jangan berkelahi masih saja berkelahi! (Kali ini sudah tidak minat teriak-teriak). Sudah, yang  lainnya tidak boleh lihat, semua masuk kelas, sudah jam masuk. Biar B dan C berkelahi terus, kalo terluka berdarah-darah tidak usah ditolong,kalo mati tidak usah dikubur, buang saja ke sungai,lempar saja di kuburan ( sekolah memang  tidak jauh dari sungai dan kuburan).

He..he.. yang ini jelas ancaman, omong kosong. Secara, lihat murid berdarah sedikit saja langsung bingung cari P3K, ya tidak mungkinlah jika mereka terluka parah hanya dibiarkan saja, apalagi mati, ya diurus lah jenazahnya, fardhu kifayah. Tapi berkelahi sampai mati di sekolah,insya Allah tidak akan terjadi, karena sekolah adalah tempat kebaikan, apalagi sekolah dalam system Islam, sangat kondusif dalam membentuk anak didik pandai sekaligus berakhlak mulia.

Dan akhirnya tinggal mereka berdua di luar kelas, masih melanjutkan perkelahian. Namun beberapa saat kemudian menyusul masuk kelas, yang terlihat hanya wajah dan tubuh yang lelah saja, rasa dendam ingin bertengkar lagi sepertinya sudah hilang atau setidaknya mereda.

Tipe keributan seperti ini meski tidak disadari anak, lebih pada CAPER saja. Cari perhatian, jika tidak ada yang melihat, kasih sorak-sorai akhirnya berhenti sendiri.

Peristiwa 2 :
Saya posisi di ruang guru. Murid-murid persiapan salat dhuha. Murid menuju ke masjid, antri wudhu, masuk masjid. Dengan siswa ratusan, memang  membutuhkan waktu. Dan tak jarang mereka menunggu sambil  bergurau, senggol-senggolan yang  berakhir pada pertengkaran.

Seorang guru dengan kedua tangan menggandeng setengah mencengkeram lengan dua orang murid.
Guru A : “ Bu ini berkelahi di masjid, minta tolong ditangani.”

Dua anak yang sudah terkenal hobi bikin gara-gara. Berdiri dengan saling melotot dan sesenggukan menangis tersengal-sengal menahan emosi ingin melanjutkan berkelahi lagi.
Me : “ Sudah, duduk dulu!” Matanya kedip-kedip dulu, dihitung, berkedip lima kali. Jangan terus melotot!”
Kadang dengan sekali perintah sudah dilakukan, kadang harus mengulang-ngulang perintah baru dilakukan. Sengaja meminta berkedip agar otot matanya rileks.

Me : “ Ayo duduk sini, satu di kursi sebelah kiri satunya lagi kursi kanan. Wah, mau kue tidak ini tadi ada Bu Guru yang bawa kue. Ini, kuenya satu dulu. Ayo B! Kuenya bagi dua, C dikasih. Dan mereka pun berbagi kue.

Me : “ Sudah makan kuenya ? Bu Nur ambilkan minum dulu.

Dan mereka pun minum, suasana sudah berubah 180 derajat. Mereka sudah ngobrol seperti biasa.

Tipe pertengkaran seperti ini pemicunya rasa lapar  LAPER sehingga mudah tersulut emosinya. Apapun pemicu awalnya, karena lapar lebih mendominasi. Tinggal diberi sesuatu yang  bisa mengurangi rasa lapar atau membuat kenyang, masalah selesai.

Peristiwa 3 (pendek saja, ga bertele-tele) :

Di dalam kelas saat pelajaran. Suasana tenang mengerjakan tugas tiba-tiba gaduh. Gubrak-gubrak, ada yang lari-lari nyenggol meja, naik kursi kejar-kejaran. A dipukuli B. Usut-punya usut A memaksa meminjam rautan B, awalnya B tidak mau meminjami karena A terkenal kurang bertanggung jawab, ada saja alat yang rusak setelah dipinjam A.  Karena  A  benar-benar butuh rautan akhirnya main ambil saja. B tidak terima akhirnya mengejar dan memukul. Dan jika terus dibiarkan, setelah B memukul maka A juga akan balas memukul, terus saja berbalas seperti itu.

Tipe keributan seperti ini lebih didominasi rasa BAPER, coba  A pinjam baik-baik, tanggung jawab. B juga husnudzan, mengingatkan baik-baik agar rautannya jangan sampai rusak, keributan bisa dihindarkan.

Tidak jauh berbeda dengan kehidupan di masyarakat. Tipe-tipe kehebohan dan kegaduhan yang terjadi, latar belakangnya juga tidak jauh dari sekadar CAPER, LAPER dan BAPER.

Cari perhatian, mungkin tidak sekadar cari perhatian tanpa tujuan. Caper ini bisa jadi untuk mengalihkan isu, untuk mengetahui respon masyarakat akan kasus tertentu, atau agar pencari perhatian ini menjadi pusat perhatian setelah mereka seolah merasa terabaikan. Jika proses caper selesai meredalah keributannya.

Lapar, urusan perut. Bisa jadi karena memang sedang lapar atau memang pembuat gara-gara menjadikan imbalan untuk mencukupi kebutuhan perut. Jadi sengaja menjadikannya sebagai mata pencaharian. Jika kepentingannya yang terkait erat dengan urusan perut ini terselesaikan baik sementara maupun permanen, mereka berhenti bikin keributan.

Baper, ini tukang bikin gaduh yang mengedepankan perasaan dan emosional belaka, tanpa pikir panjang mudah terprovokasi, mudah membuat gara-gara. Hanya gara-gara idolanya tidak dapat panggung, baper dengan kelompok lain yang idolanya mendapat hati di tengah masyarakat, hanya karena ada kelompok yang berhasil mengopinikan sesuatu yang merugikan kepentingan mereka, mereka pun baper tingkat tinggi. Misal, lebay dengan ide yang dibawa kelompok yang sedang naik daun, baper ketika apa yang mereka anggap utopis akhirnya mendapat tempat di tengah umat.

Bisa juga dianalogkan dengan kondisi saat ini, saat pengemban ide  khilafah dianggap bermasalah. Dibuatlan keributan di sana-sini. Tidak perlu terbawa suasana. Dalami dulu tipe keributan yang dibuat di tengah para pengemban dakwah khilafah. Apakah masuk caper, laper atau baper? Penyikapannya tidak sama. Pilihlah cara penyelesaian yang paling cocok.

Menghadapi tukang ribut yang caper, santai saja, dia emosi jangan ikit emosi, woles. Tetap berpikir jernih, mempunyai pola penyampaian ide yang runut dasari hujjah dengan dalil bukan emosi semata. Begitu pula dengan yang laper dan baper. Tetap sabar hadapi, jika tetap saja keras kepala tinggalkan sementara, tidak perlu menguras perhatian dan tenaga. Bisa jadi ada pihak-pihak yang menciptakan ke caper an, ke lapera an dan ke baper an  yang memang ada dibalik semua keributan. Focus pada musuh sejati, bukan boneka yang  hanya diberi arahan belaka. Lawan politik mabda Islam itu kapitalisme dan komunisme, bukan muslim yang lagi caper, laper apalagi tukang baper.

Pare, 12 Juni 2018

No comments:

Post a Comment