Diambil dari website hizbut-tahrir.or.id (yang masih hibernasi), sambil nunggu putusan sidang PTUN, 5 April 2018 sidang terakhir menghadirkan saksi dari pemerintah yang lagi-lagi menghadirkan ahli yang tidak ahli. Sekali lagi mengharamkan khilafah di Indonesia. Pendapat serampangan, dan jika hakim tetap memutuskan bahwa pencabutan BHP yang otoriter adalah adalah sah, nyata sudah kedzaliman penguasa, namun terlepas dari itu dakwah terus berlanjut.
1.
Benarkah tidak ada dalil tentang kewajiban Khilafah ?
Kewajiban
adanya Khilafah telah disepakati oleh seluruh ulama dari seluruh mazhab. Tidak
ada khilafiyah (perbedaan pendapat) dalam masalah ini, kecuali dari segelintir
ulama yang tidak teranggap perkataannya (laa yu’taddu bihi). (Lihat Al
Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah, Bab Al Imamah Al Kubro, Juz 6
hlm. 163).
Disebutkan
dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah Juz 6 hlm. 164 :
أجمعت الأمّة على وجوب عقد الإمامة ،
وعلى أنّ الأمّة يجب عليها الانقياد لإمامٍ عادلٍ ، يقيم فيهم أحكام اللّه ،
ويسوسهم بأحكام الشّريعة الّتي أتى بها رسول اللّه صلى الله عليه وسلم ولم يخرج عن
هذا الإجماع من يعتدّ بخلافه
“Umat
Islam telah sepakat mengenai wajibnya akad Imamah [Khilafah], juga telah
sepakat bahwa umat wajib mentaati seorang Imam [Khalifah] yang adil yang
menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka, yang mengatur urusan mereka
dengan hukum-hukum Syariah Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Tidak ada
yang keluar dari kesepakatan ini, orang yang teranggap perkataannya saat
berbeda pendapat.”
Syaikh
Abdul Qadim Zallum (Amir kedua Hizbut Tahrir) menyebutkan, ”Mengangkat seorang
khalifah adalah wajib atas kaum muslimin seluruhnya di segala penjuru dunia.
Melaksanakan kewajiban ini – sebagaimana kewajiban manapun yang difardhukan
Allah atas kaum muslimin- adalah perkara yang pasti, tak ada pilihan di
dalamnya dan tak ada toleransi dalam urusannya. Kelalaian dalam melaksanakannya
termasuk sebesar-besar maksiat, yang akan diazab oleh Allah dengan azab yang
sepedih-pedihnya.” (Abdul Qadim Zallum, Nizhamul Hukm fi Al Islam, hlm.
34)
Kewajiban
Khilafah ini bukan hanya pendapat Hizbut Tahrir, tapi pendapat seluruh ulama.
Imam Ibnu Hazm menyebutkan bahwa, “Telah sepakat semua Ahlus Sunnah, semua
Murji`ah, semua Syiah, dan semua Khawarij akan wajibnya Imamah [Khilafah]…”
(Ibnu Hazm, Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz 4 hlm.78)
Khusus
dalam lingkup empat mazhab Ahlus Sunnah, Syaikh Abdurrahman Al Jaziri
menyebutkan,”Para imam mazhab yang empat [Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan
Ahmad] rahimahumullah, telah sepakat bahwa Imamah [Khilafah] itu fardhu,
dan bahwa kaum muslimin itu harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan
menegakkan syiar-syiar agama dan menolong orang yang dizalimi dari orang zalim.
Mereka juga sepakat bahwa kaum muslimin dalam waktu yang sama di seluruh dunia,
tidak boleh mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat atau bertentangan.” (Ibnu
Hazm, Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz 4 hlm.78)
Para
ulama menerangkan bahwa dalil-dalil kewajiban Khilafah ada 4 (empat), yaitu :
Al Qur`an, As Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qaidah Syar’iyyah.
Dalil
Al Qur`an, antara lain firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ
أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
“Wahai
orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-NYa, dan Ulil Amri
di antara kamu.” (QS An-Nisaa`: 59)
Wajhul
Istidlal (cara penarikan kesimpulan dari
dalil) dari ayat ini adalah, ayat ini telah memerintahkan kaum muslimin untuk
mentaati Ulil Amri di antara mereka, yaitu para Imam (Khalifah). Perintah untuk
mentaati Ulil Amri ini adalah dalil wajibnya mengangkat Ulil Amri, sebab tak
mungkin Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk mentaati sesuatu yang tidak
ada. Dengan kata lain, perintah mentaati Ulil Amri ini berarti perintah
mengangkat Ulil Amri. Jadi ayat ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang Imam
(Khalifah) bagi umat Islam adalah wajib hukumnya. (Abdullah Umar Sulaiman Ad
Dumaiji, Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah,
(Kairo : t.p), 1987, hlm. 49.)
Dalil
Al Qur`an lainnya, adalah firman Allah SWT :
فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ
اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ عَمَّا جَاءكَ مِنَ الْحَقِّ
“Maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang
kepadamu.” (QS Al Maidah : 48)
Wajhul
Istidlal dari ayat ini adalah, bahwa Allah
telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk memberikan keputusan hukum di antara
kaum muslimin dengan apa yang diturunkan Allah (Syariah Islam). Kaidah ushul
fiqih menetapkan bahwa perintah kepada Rasulullah SAW hakikatnya adalah
perintah kepada kaum muslimin, selama tidak dalil yang mengkhususkan perintah
itu kepada Rasulullah SAW saja. Dalam hal ini tak ada dalil yang mengkhususkan
perintah ini hanya kepada Rasulullah SAW, maka berarti perintah tersebut
berlaku untuk kaum muslimin seluruhnya hingga Hari Kiamat nanti. Perintah untuk
menegakkan Syatiah Islam tidak akan sempurna kecuali dengan adanya seorang Imam
(Khalifah). Maka ayat di atas, dan juga seluruh ayat yang memerintahkan
berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, hakikatnya adalah dalil wajibnya
mengangkat seorang Imam (Khalifah), yang akan menegakkan Syariah Islam itu.
(Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji, Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis
Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49.
Dalil
Al Qur`an lainnya, adalah ayat-ayat yang memerintahkan qishash (QS Al Baqarah:
178), hudud (misal had bagi pelaku zina dalam QS An Nuur: 2; atau had bagi
pencuri dalam QS Al Maidah : 38), dan ayat-ayat lainnya yang pelaksanaannya
bergantung pada adanya seorang Imam (Khalifah). Ayat-ayat semisal ini, berarti
adalah dalil untuk wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah), sebab
pelaksanaan ayat-ayat tersebut bergantung pada keberadaan Imam itu.
Dalil
As Sunnah, banyak sekali, antara lain sabda Nabi SAW :
من مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة
جاهلية
“Barangsiapa
yang mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada seorang imam/khalifah),
maka matinya adalah mati jahiliyah.” (HR Muslim, no 1851).
Dalalah (penunjukkan makna) dari hadis di atas jelas, bahwa jika
seorang muslim mati jahiliyyah karena tidak punya baiat, berarti baiat itu
wajib hukumnya. Sedang baiat itu tak ada kecuali baiat kepada seorang imam
(khalifah). Maka hadis ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang imam (khalifah)
itu wajib hukumnya. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji, Al Imamah Al
‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49.)
Dalil
lain dari As Sunnah misalnya sabda Nabi SAW :
إذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم
“Jika
ada tiga orang yang keluar dalam suatu perjalanan, maka hendaklah mereka
mengangkat salah seorang dari mereka untuk menjadi amir (pemimpin).” (HR Abu Dawud).
Imam
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa jika Islam mewajibkan pengangkatan seorang amir
(pemimpin) untuk jumlah yang sedikit (tiga orang) dan urusan yang sederhana
(perjalanan), maka berarti Islam juga mewajibkan pengangkatan amir (pemimpin)
untuk jumlah yang lebih besar dan untuk urusan yang lebih penting. (Ibnu
Taimiyah, Al Hisbah, hlm. 11).
Dengan
demikian, untuk kaum muslimin yang jumlahnya lebih dari satu miliar seperti
sekarang ini, dan demi urusan umat yang lebih penting dari sekedar perjalanan,
seperti penegakan hukum Syariah Islam, perlindungan umat dari penjajahan dan
serangan militer kafir penjajah, maka mengangkat seorang Imam (Khalifah) adalah
wajib hukumnya.
Adapun
dalil Ijma’ Shahabat, telah disebutkan oleh para ulama, misalnya Ibnu Khaldun
sebagai berikut :
نصب الإمام واجب ، وقد عرف وجوبه في
الشرع بإجماع الصحابة والتابعين
“Mengangkat
seorang imam (khalifah) wajib hukumnya, dan kewajibannya dapat diketahui dalam
Syariah dari ijma’ (kesepakatan) para shahabat dan tabi’in…” (Ibnu Khaldun, Muqaddimah,
hlm. 191).
Imam
Ibnu Hajar Al Haitami berkata :
اعلم أيضًا أن الصحابة رضوان الله
عليهم أجمعوا على أن نصب الإمام بعد انقراض زمن النبوة واجب، بل جعلوه أهم
الواجبات حيث اشتغلوا به عن دفن رسول الله
“Ketahuilah juga, bahwa para shahabat -semoga Allah meridhai
mereka- telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah
berakhirnya zaman kenabian adalah wajib, bahkan mereka menjadikannya sebagai
kewajiban paling penting ketika mereka menyibukkan diri dengan kewajiban itu
dengan meninggalkan kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW.” (Ibnu Hajar
Al Haitami, As Shawa’iqul Muhriqah, hlm. 7).
Adapun
dalil Qaidah Syar’iah, adalah kaidah yang berbunyi :
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
“Jika suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan
sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”
Sudah
diketahui bahwa terdapat kewajiban-kewajiban syariah yang tidak dapat
dilaksanakan secara sempurna oleh individu, seperti kewajiban melaksanakan
hudud, seperti hukuman had bagin pelaku zina dalam QS An Nuur: 2; atau hukuman
had bagi pencuri dalam QS Al Maidah: 38, kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam,
kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya. Kewajiban-kewajiban
ini tak dapat dan tak mungkin dilaksanakan secara sempurna oleh individu, sebab
kewajiban-kewajiban ini membutuhkan suatu kekuasaan (sulthah), yang tiada lain
adalah Khilafah. Maka kaidah syariah di atas juga merupakan dalil wajibnya
Khilafah. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji, Al Imamah Al ‘Uzhma
‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49).
2.
Apakah khabar dari Rasulullah tentang akan adanya khilafah ala minhajin nubuwah
(hadits Hudzaifah bin al Yaman) juga jadi dalil?
Dalil
wajib tegaknya khilafah sudah diuraikan di atas. Adapun hadits Hudzaifah bin al
Yaman adalah busyra atau kabar gembira Rasululullah tentang bakal kembalinya
khilafah di masa mendatang. Meski tidak mengandung tuntutan atau thalab,
tapi hadits tadi penting untuk diperhatikan. Logikanya, tidak mungkin sesuatu
itu, yakni Khilafah, dikabarkan oleh Rasulullah bakal kembali tegak bila
sesuatu itu bukan perkara penting dan wajib dalam agama ini.
3.
Secara ilmiah dan empiris, sebenarnya kemungkinan tegaknya khilafah di muka
bumi?
Pasti
akan tegak. Mengapa? Pertama, khilafah itu sebuah kewajiban, bahkan dijanjikan
oleh Allah Swt. Dan semua janji Allah pasti akan terwujud asal kita memenuhi
semua syarat-syarat bagi terwujudnya janji-janji itu. Sebagaimana
jatuhnya Romawi Timur kepada Islam. Meski itu sangat sulit, tapi karena
keyakinan dari para sahabat, para pejuang Islam pada waktu itu bahwa jatuhnya
Romawi Timur ini adalah sebuah kemestian, sebuah kewajiban dan sekaligus
dijanjikan, maka misi sesulit itu tetap saja dilakukan. Ekspedisi untuk
menaklukkan Konstantinopel sudah di mulai semenjak Khalifah Usman bin Affan.
Dan Anda tahu, sejarah membuktikan Konstantinopel jatuh baru pada tahun 1453.
Jadi hampir 700 tahun kemudian. Ketika panglima Muhammad al-Fatih masuk ke
benteng Konstantinopel, dia teringat kepada hadist yang berbunyi Fala
ni’ma al-amir, amiruha. Fala ni’ma al-jaiz fadzalika al-jaiz (sebaik-baik
panglima perang adalah panglima perang yang menaklukkan Konstantinopel, dan
sebaik-baik tentara adalah tentara yang menaklukkan Konstantinopel). Hadis itu
dibaca oleh Muhammad al-Fatih, seolah-olah Nabi memuji dirinya. Padahal hadis
itu diucapkan pada 700 tahunan sebelum peristiwa besar itu terjadi.
Bila
untuk menaklukkan Konstantinopel yang merupakan jantung dari adikuasa Romawi
Timur saja akhirnya bisa dilakukan, meski harus melalui upaya yang luarbiasa
dan memakkan ratusan tahun, apalagi untuk sebuah khilafah yang itu sudah pernah
ada, dan tinggal membangkitkan memori umat, tentu insha Allah akan lebih mudah.
Dalam pengalaman gerak Hizbut Tahrir, pengalaman gerak saya di negeri ini
sekian tahun lamanya, saya mendapatkan respon yang luar biasa dari umat. Ketika
umat ini makin lama makin mendukung, apalagi ditambah dengan kondisi eksternal
seperti bagaimana Amerika Serikat dengan kejam menggempur Irak, juga
Afganistan tanpa bisa kita cegah sama sekali, dan konflik Israel dan Palestina
yang sudah lebih 50 tahun tidak juga kunjung selesai, para pemimpin umat pun
berfikir lalu solusinya apa? Apa yang bisa kita lakukan untuk membela diri? PBB
sudah terbukti lebih berpihak kepada negara-negara besar. Organisasi Konferensi
Islam (OKI) juga tidak punya gigi karena masing-masing anggota lebih mementingkan
negaranya sendiri-sendiri. Negara-negara Arab sama saja, ASEAN apalagi. Pada
puncaknya mereka, para pemimpin umat itu, akan melihat bahwa gagasan khilafah
ini yang paling pas. Meski cita-cita itu sangat sulit. Dan kesulitan itu juga
yang kami rasakan. Tapi semua masih sangat mungkin berubah, baik karena faktor
internal maupun tekanan eksternal. Ada banyak tokoh-tokoh Islam yang pada 20
tahun yang lalu ketika kami pertama kali muncul untuk menyampaikan ide khilafah
ini tidak mau mendengar atau bahkan mencibir dan sebagainya, sekarang berubah
total, mereka mendukung betul.
Pada
kenyataannya pengamat dunia internasional pun juga memperkirakan khilafah
Islam akan berdiri tidak lama lagi. National Intelligence Council (NIC)
yang bersidang di Amerika Serikat baru baru ini, menskenariokan bahwa pada
tahun 2020 Islamic Caliphate (khilafah Islam) akan berdiri. Mereka
menskenariokan empat kemungkinan pada tahun 2020. Pertama, dunia tetap
dipimpin oleh Amerika Serikat. Kedua, dunia dipimpin oleh India atau
China. Ketiga, dunia dipimpin oleh seorang tiran, entah dari mana. Lalu
yang keempat berdirinya Islamic Caliphate. Bila mereka saja bisa memprediksi
bahwa khilafah Islam akan berdiri, mengapa kita bilang itu tidak mungkin?
4.
Bagaimana dengan adanya pihak yang mengatakan, khilafah bukan satu-satunya
jaminan bagi kejayaan umat Islam?
Kejayaan umat ditentukan oleh dua faktor. Yang pertama
adalah sistem yang baik. Dan yang kedua adalah kepemimpinan yang amanah. Sistem
yang baik itu adalah sistem yang berasal dari Dzat yang Maha Baik, yaitu Allah
SWT. Itulah syariah Islam. Dan pemimpin yang amanah adalah pemimpin yang mau
tunduk kepada sistem yang baik tadi, dan dia memimpin dengan penuh keadilan.
Secara
i’tiqadiy, Allah SWT telah menjamin syariah pasti akan membawa rahmat.
Nabi Muhammad diutus untuk membawa agama Islam sebagai rahmat bagi alam semesta
(rahmatan li al-‘alamin). Dari berbagai ayat dan hadits,
kita dapat disimpulkan bahwa ‘hinama yakunu asy-syar’u takunu
al-maslahah’, dimana ada hukum syariat di situ pasti ada kemaslahatan.
Sejarah pun membuktikan hal itu. Kejayaan Islam masa lalu pun diraih
ketika kehidupan Islam dimana di dalamnya diterapkan syariat terwujud
serta umat Islam bersatu dan bekerja keras di bawah kepemimpinan seorang
khalifah. Maka, kejayaan yang sama akan diraih kembali di masa yang akan datang
melalui jalan serupa.
Kalau
kita percaya bahwa Islam dengan akidah dan syariatnya datang untuk membawa
rahmat, dan rahmat adalah segala kebaikan yang kita angankan berupa
kedamaian, keadilan, kesejahteraan, kemajuan, kebersamaan dan sebagainya, maka
bagaimana mungkin rahmat itu akan terwujud kalau kemudian kita menolak
ketentuan syariat Islam itu sendiri di mana di dalam syariat itu ada perintah
agar kita bersatu.
Kejayaan
Islam dibawah Khilafah diakui oleh siapapun yang membaca sejarah dengan jujur.
Diantaranya, Will Durant, dalam The Story of Civilization, vol. XIII, ia menulis:
Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang
luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah itu
juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukannya dan
memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas.
Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman
mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan tersebar luas,
hingga berbagai ilmu, sastera, filsafat dan seni mengalami kemajuan luar biasa,
yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya
selama lima abad.
Jadi,
bila bukan dengan khilafah, lantas dengan apa umat Islam akan meraih kembali
kejayaannya?
5.
Bagaimana dengan pandangan yang tidak setuju dengan solusi yang ditawarkan oleh
HT menyangkut penyelesaian problematika umat Islam yakni perbaikan sistem dan
pemimpin sekaligus. Bagi mereka yang penting pribadi masyarakat bagus, nanti
otomatis sebuah negara/bangsa akan bagus.?
Itu
asumsi yang tampak indah, tapi tidak faktual. Nyatanya, orang akan cenderung
menjadi baik dalam lingkungan dan sistem yang baik. Begitu sebaliknya, orang
yang baik akan cenderung tergerus kebaikannya dalam lingkungan dan sistem yang
buruk. Lihatlah sekarang ini, dalam lingkungan yang korup banyak birokrat yang
baik, akhirnya terseret juga menjadi korup. Oleh karena itu dalam menyelesaikan
problem kita harus menggarap dua sisi sekaligus yakni sistem dan kepemimpinan.
6.
Bagaimana dengan tudingan bahwa HT mu’tazilah, khawarij, dan bukan bagian dari
Ahlu Sunnah wal Jamaah?
Khawarij
mempunyai beberapa sebutan. Kadang disebut Haruriyyah karena mereka keluar di
suatu tempat yang bernama Harura’. Mereka juga disebut warga Nahrawan, karena
Imam Ali memerangi mereka di sana. Di antara kelompok Khawarij ada yang
beraliran Abadhiyyah, yaitu para pengikut Abdullah bin Abadh; ada juga yang
beraliran Azariqah, yaitu para pengikut Nafi’ bin al-Azraq, dan aliran
an-Najadat, yaitu para pengikut Najdah al-Haruri. Merekalah kelompok yang
pertama kali mengkafirkan kaum Muslim karena sejumlah dosa. Karenanya, mereka
juga telah menghalalkan darah kaum Muslim. Mereka mengkafirkan Ali bin Abi
Thalib, Utsman bin Affan, dan siapa saja yang loyal kepada keduanya. Mereka
telah membunuh Ali bin Abi Thalib setelah menyatakan bahwa beliau halal untuk
dibunuh. Secara umum mereka berpandangan bahwa status orang hanya ada dua,
Mukmin atau kafir. Mukmin adalah siapa saja yang telah melakukan semua
kewajiban dan meninggalkan keharaman. Siapa saja yang tidak seperti itu berarti
kafir, ia kekal di dalam neraka. Mereka pun kemudian memvonis kafir siapa saja
yang berbeda dengan pandangan mereka. Mereka menyatakan bahwa Utsman dan Ali
telah berhukum pada selain hukum yang diturunkan oleh Allah dan zalim. Karena
itu, mereka kafir.[1] Bahkan, sekte an-Najadat tegas menolak kewajiban
mengangkat imam atau khalifah.[2]
Berdasarkan
fakta-fakta di atas, jelas sekali perbedaan Khawarij dengan Hizbut Tahrir,
antara lain: Pertama, dalam masalah iman dan kufur, Hizbut Tahrir
berpegang pada prinsip pembuktian yang qath‘i (al-burhân al-qâthi‘). Karena
itu, Hizbut Tahrir tidak dengan mudah memvonis orang Islam dengan vonis
kafir.[3] Kedua, Hizbut Tahrir juga berkeyakinan bahwa
umat Islam saat ini masih memeluk akidah Islam, betapapun kotor dan rapuhnya
akidah tersebut. Dengan kata lain, Hizbut Tahrir tidak pernah menganggap umat
ini tidak lagi berakidah Islam, karena anggapan seperti justru sangat
berbahaya, dan membahayakan.[4] Karena itu, Hizbut Tahrir tidak pernah
menghalalkan darah kaum Muslim sehingga boleh dibunuh. Bahkan, tumpahnya darah
seorang Muslim dianggap masih jauh lebih berharga ketimbang dunia dan seisinya,
sebagaimana sabda Nabi saw.:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى
اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
Sesungguhnya
hilangnya dunia (dan seisinya) benar-benar lebih ringan bagi Allah ketimbang
terbunuhnya seorang Muslim. (HR
at-Tirmidzi).
Ketiga,
Hizbut Tahrir menyatakan bahwa semua
Sahabat adalah adil (kullu ash-Shahâbah ‘udul). Meski seorang Sahabat bisa saja
berbuat salah, hal itu tetap tidak akan menghilangkan status keadilannya.[5] Apatah lagi, memvonis Sahabat dan para pengikutnya
dengan vonis kafir. Na‘ûdzu billâh.
Keempat,
Hizbut Tahrir juga menyatakan bahwa
Utsman dan Ali sebagai kepala negara Islam tetap berhukum pada hukum yang
diturunkan oleh Allah. Adapun kasus tahkîm yang terjadi antara Ali dan Muawiyah,
yang masing-masing mengangkat Abu Musa al-Asy‘ari dan Amr bin al-Ash, justru
untuk menjalankan perintah Allah dalam masalah tahkîm, bukan sebaliknya.
Kelima, dalam konteks pengangkatan imam dan khalifah, termasuk di
dalamnya kewajiban menegakkan Khilafah,[6]
jelas Hizbut Tahrir sangat berbeda dengan sekte an-Najadat, yang dengan tegas
menolak kewajiban tersebut.Tinggal satu masalah, apakah tindakan Hizbut Tahrir
menasihati penguasa dan mengkritik kebijakan mereka secara terbuka sama dengan
tindakan kaum Khawarij? Tentu tidak. Kaum Khawarij, sebagaimana namanya, adalah
mereka yang melawan para penguasa (Khalifah) yang nyata-nyata menjalankan hukum
Allah, bukan para penguasa yang tidak menjalankan hukum Allah. Sebaliknya,
Hizbut Tahrir menasihati penguasa dan mengkritik kebijakan mereka secara
terbuka justru karena mereka tidak mau tunduk dan patuh pada hukum Allah.
Umumnya, mereka adalah para penguasa boneka dan kaki tangan negara penjajah,
pengkhianat Allah dan Rasul-Nya, serta seluruh kaum Muslim.
Dalam
melakukan misinya, kaum Khawarij menggunakan cara-cara fisik dan kekerasan,
bahkan sampai membunuh lawannya, sebagaimana yang mereka lakukan terhadap Ali
bin Abi Thalib. Sebaliknya, Hizbut Tahrir, sebagai entitas intelektual, tidak
pernah menggunakan cara-cara tersebut. Sekalipun para anggotanya banyak yang
telah dianiaya, dizalimi dan dibunuh di dalam penjara-penjara para penguasa
despot, Hizbut Tahrir tetap hanya menjalankan aktivitas intelektual dan
politik; tanpa sedikitpun menggunakan cara-cara kekerasan, apalagi anarkis.
Semua itu dilakukan bukan karena tidak berani atau tidak mampu, tetapi
semata-mta karena Hizbut Tahrir berpegang teguh pada garis perjuangan Nabi saw.
dan tidak ingin menyimpang sedikitpun, meski hanya seutas rambut.
Lalu,
dari mana Hizbut Tahrir dan aktivitasnya disamakan dengan Khawarij, padahal
keduanya berbeda sama sekali? Ataukah mereka yang membuat tuduhan itu memang
tidak paham tentang Khawarij dan juga Hizbut Tahrir? Atau mungkin mereka paham,
tetapi sengaja melakukan penyesatan, karena ada pesanan, sehingga bisa membuat
analogi yang sama sekali keliru, yang bahkan membuktikan rendahnya kadar
intelektualitas mereka?
Hizbut
Tahrir juga berbeda dengan Muktazilah, antara lain: Pertama,
dalam masalah akal. Muktazilah dan Asy’ariyah, sama-sama menggunakan akal tanpa
batas, sehingga digunakan melampaui kapasitasnya, sebagaimana dalam pembahasan
tentang Sifat Allah; apakah sifat sama dengan Zat (Muktazilah), atau berbeda
dengan Zat (Asy’ariyah). Kedua, dalam masalah perbuatan. Muktazilah
menyatakan, seluruh perbuatan manusia berasal dari manusia, tanpa membedakan
mana yang wilayah ikhtiyari dan ijbari. Ini jelas ditolak oleh
Hizb. Ketiga, dalam masalah tawallud al-af’al (konsekuensi
perbuatan), yang dinisbatkan kepada manusia. Ini juga berbeda dengan pandangan
Hizb. Keempat, dalam masalah takwil. Muktazilah cenderung
menakwilkan ayat-ayat Mutasyabihat yang tidak sejalan dengan pandangannya,
sehingga mengorbankan ayat-ayat yang lain. Dengan kata lain, takwil didasarkan
pada cocok dan tidak dengan logika, bukan didasarkan pada nas. Ini juga ditolak
oleh Hizb. Dengan demikian, jelas sudah, bahwa Hizbut Tahrir tidak bisa
dipersamakan dengan Muktazilah. Mempersamakan Hizbut Tahrir dengan Muktazilah
hanya menunjukkan kejahilan tentang Muktazilah dan tentang Hizbut Tahrir.
7.
Mengapa HT tidak banyak berkembang di Timur Tengah, apakah karena idenya
tidak diterima atau karena faktor lain?
Di
sepanjang kekuasaan rezim represif di seluruh negara Timur Tengah, bukan hanya
HT, gerakan Islam lain yang bersifat politik juga tidak berkembang. Jadi tidak
berkembangnya HT bukan karena idenya tidak diterima, tapi lebih karena tekanan
penguasa yang memang tidak membiarkan gerakan apapun yang mungkin akan
mengancam kekuasaan mereka itu berkembang. Tapi setelah para penguasa itu
tumbang, HT dengan cepat berkembang lagi di Mesir, Tunisia, Lybia dan
negara-negara Timur Tengah lain.
8.
Mengapa HT sering dipojokkan?
HT
memang sering dipojokkan. Ini aneh, karena dalam perjuangannya HT tidak pernah
menggunakan kekerasan atau merugikan orang lain. Gagasan-gasannya juga cukup
jelas. Bisa dibaca dan didiskusikan dengan terbuka. Jadi, mengapa HT sering
dipojokkan, ada banyak kemungkinan. Bisa karena mereka itu tidak paham
substansi dari perjuangan HT, yang intinya bagaimana mewujudkan kembali
kehidupan Islam masyarakat dan negara melalui penerapan syariah dalam bingkai
khilafah agar kerahmatan Islam bisa dirasakan oleh semua. Bisa juga karena
memang tidak suka pada ide ini. Mereka yang tidak paham, insha allah tidak
sulit dipahamkan. Dengan sedikit penjelasan, biasanya mereka akan mudah
memahami apa sesungguhnya ancaman yang tengah menimpa negeri ini dan apa itu
substansi syariah dan khilafah yang tidak lain adalah justru untuk
menyelamatkan negeri ini dari ancaman itu.
Sementara
yang tidak suka bisa jadi karena ada penyakit dalam hatinya, bisa juga karena
mereka telah diuntungkan oleh sistem sekuler yang ada sekarang ini. Dari sini
sebenarnya kita bisa mengatakan bahwa mereka yang menentang ide syariah dan
khilafah itulah berarti orang yang tidak menginginkan Indonesia yang
berpenduduk mayoritas muslim dan mengakui bahwa kemerdekaan negeri terjadi atas
berkat rahmat Allah, menjadi lebih baik di masa mendatang. Mereka juga berarti
menginginkan penjajahan (baru) tetap terus berlangsung karena mereka turut
diuntungkan meski itu telah menyengsarakan rakyat banyak.
9.
Siapa yang ada di balik upaya itu?
Ada dua. Pertama anasir-anasir di dalam negeri, baik muslim
maupun non muslim, yang tidak menginginkan Islam tegak. Bila non muslim, pasti
mereka tidak memahami esensi perjuangan HT dengan baik dan sudah keblanjur ada
kedengkian dan ketakutan tanpa dasar. Sementara bila muslim, pasti mereka
adalah muslim yang telah tersekulerkan. Bagaimana mungkin seorang muslim justru
menentang perjuangan bagi tegaknya syariah dan khilafah yang akan membawa
Islam kembali jaya.
Kedua,
adalah negara Barat, yang memang akan terus berusaha melanggengkan
hegemoninya di dunia Islam, termasuk di Indonesia, demi kepentingan politik dan
ekonomi mereka. Mereka akan menghantam habis setiap kekuatan politik muslim
yang berpotensi akan mengganggu hegemoni mereka itu. Dan dalam operasinya
mereka akan berkolaborasi dengan kelompok pertama dan kedua tadi.
10.
Bagaimana HT menghadapi itu semua?
HT
menghadapi semua itu dengan tenang dan tegar. HT tidak takut menghadapi semua
itu. HT memahami semua itu sebagai salah satu tantangan, hambatan dan rintangan
dalam dakwah. Bila karena belum atau salah paham, HT akan datang memahamkannya.
Bila itu fitnah, HT akan menjernikah fitnah itu. Dan dalam menghadapi semua
tantangan itu, HT yakin sekali akan pertolongan Allah SWT yang pasti akan
diberikan kepada para pejuang agamaNya. (Lajnah Tsaqofiyah Hizbut Tahrir
Indonesia)