Wednesday 24 July 2019

Pinjaman Untuk Madrasah Hanya Akan Menimbulkan Masalah

Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama (Kemenag) telah mengusulkan program peningkatan kualitas madrasah melalui skema pembiayaan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN) Bank Dunia. Bank Dunia kemudian sepakat untuk memberikan pinjaman senilai Rp 3,7 triliun. Dirjen Pendidikan Islam, Kamaruddin Amin, mengatakan anggaran yang besar tersebut akan memberi dampak manfaat yang besar. "Manfaat itu bahkan menyasar hingga 50.000 madrasah. Kita ingin membangun sistem," kata Kamaruddin, dikutip dari laman resmi Kemenag, Selasa (25/6). Ia mengatakan, dana sebesar Rp 1,6 triliun di antaranya akan digunakan untuk bantuan block grant bagi madrasah dan kelompok kerja (KKG, MGMP, KKM, dan Pokjawas). Dikatakannya, block grant ditujukan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu madrasah berdasarkan need assessment, seperti pengembangan kapasitas guru dan tenaga kependidikan, pengadaan sarana prasarana penunjang pembelajaran, pengadaan peralatan laboratorium, pengadaan buku dan sumber belajar, dan lainnya. (Republika.co.id, 25/6/2019).

Disepakatinya pinjaman dari Bank Dunia ini mendapat sorotan dari PBNU dan PP Muhammadiyah. Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Maksum Machfoedz menanggapi soal penggunaan dana pinjaman dan hibah luar negeri (PHLN) untuk peningkatan mutu madrasah. Dia mengaku secara umum tidak mempermasalahkan ihwal peminjaman dana dari Bank Dunia itu. Namun, lanjut Maksum, yang menjadi fokus adalah, sejauh mana efektivitas penggunaan dana tersebut. "Pengalaman selama ini untuk urusan kualitas sosial seperti ini tidak jelas hasilnya. Banyak manipulasi dan tidak efektif. Ini menjadi tantangan," kata Maksum Machfoedz, Kamis (20/6). Dia menambahkan, bila efektivitas penggunaan dana tersebut tak jelas, maka yang muncul kemudian adalah mubazir. Bahkan, pada eksesnya dapat menimbulkan peluang terjadinya korupsi. Karena itu, menurut Maksum, tantangannya sekarang terletak pada soal perencanaan, penerapan rencana, pengelolaan dan sistem kontrol. Semua ini dinilainya harus mampu menjamain kejelasan penggunaan dana PHLN untuk madrasah. "Kalau tidak, ya tidak lebih dari sekadar menggali kuburan," simpul dia. (Republika.co.id, 20/6/2019).

Hampir senada dengan Waketum PBNU, Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Yunahar Ilyas mempertanyakan dari mana uang untuk membayar dana Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN) dari Bank Dunia untuk peningkatan kualitas madrasah. Dia mengaku belum melihat sumber dana yang bisa digunakan untuk membayarnya. "Bayarnya bisa apa enggak. Siapa yang bayar nanti. Dari mana Kementerian Agama dapat uang? Kalau untuk pembinaan madrasah pasti habis, uangnya enggak akan ada yang balik," kata dia, Kamis (20/6). Menurut Yunahar, Kementerian Agama (Kemenag) tentu berbeda dengan kementerian lainnya seperti Kementerian PUPR, Perdagangan dan Perindustrian. Penggelontoran dana pinjaman untuk kementerian tersebut bisa menghasilkan profit karena jenis pembangunannya bersifat komersial. Salah satunya jalan tol. (Republika.co.id, 20/6/2019).

                Kekhawatiran PBNU dan PP Muhammadiyah memang layak untuk dipertimbangkan. Utang luar negeri selama ini adalah alat efektif untuk menjajah negeri kaum muslimin. Tidak ada utang yang diberikan tanpa syarat, tidak ada utang yang diberikan secara cuma-cuma, no free lunch. Dengan utang luar negeri, lembaga internasional yang di belakanganya bersembunyi kapitalis Barat akan mendikte kebijakan instansi yang diberi pinjaman. Termasuk pula pinjaman untuk pengembangan mutu madrasah ini. Hal ini bisa ditelisik dari hasil  wawancara dengan Dirjen Pendidikan Islam Kementrian Agama, Prof. Kamaruddin Amin.  Pendidikan Islam di Indonesia saat ini dinilai sebagai lembaga pendidikan yang paling modern di dunia. Melalui pendidikan Islam inilah karakter keberagaman masyarakat Indonesia yang toleran dan moderat dibentuk. "Nuansa wasathiyah adalah penopangnya. Ruh keislaman ini disebarkan melalui pondok pesantren, perguruan tinggi, madra sah dan seterusnya," ujar Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama, Prof Kamaruddin Amin. Namun, akhir-akhir ini pendidikan Islam Indonesia tengah menghadapi tantangan pemahaman keagamaan yang datang dari luar, khususnya pemahaman yang yang radikal dan ekstrem. Pemahaman keagamaan tersebut mulai mencoba merasuki lembaga pendidikan Islam. Prof Kamaruddin mengatakan, radikalisme dan ekstremisme sejatinya adalah konsekuensi dari adanya globalisasi dan per kem bangan teknologi informasi. Namun, permasalahan itu direspons oleh pemerintah Indonedia. Untuk mengatasinya, menurut dia, Kementerian Agama tengah gencar mempromosikan moderasi beragama, yang merupakan konter terhadap narasi radikalisme dan ekstremisme tersebut. (Republika.co.id, 30/6/2019).

                Jelas sekali, pengucuran utang Bank Dunia ini adalah dalam rangka mengkampanyekan Islam moderat dan membendung radikalisme serta ekstrimisme. Umat Islam sudah tahu, Islam moderat adalah upaya untuk mencegah penerapan syariat Islam secara menyeluruh, karena Islam moderat tak lain hanyalah upaya mengkompromikan aturan Islam dengan ide sekularisme, pemisahan agama dari kehidupan. Sedangkan radikalisme dan ekstrimisme adalah narasi Barat untuk memojokkan umat Islam agar tidak menggaungkan penerapan Islam kaffah dalam naungan khilafah. Maka jelas sekali, utang dari Bank Dunia bukan untuk kepentingan madrasah namun semata demi kepentingan para penjajah Barat. Dan jelas utang dari Bank Dunia pasti ada bunganya, dan bunga adalah riba yang haram untuk dimanfaatkan umat Islam. Sudahlah berbahaya, berdosa pula.

Pembiayaan Pendidikan Tanggung Jawab Negara
                Pengajuan pinjaman dari Bank Dunia maupun lembaga keuangan lainnya untuk pembiayaan pendidikan, merupakan salah satu bentuk lepas tangannya negara dalam bidang pendidikan. Dalam Islam pendidikan adalah bidang yang sangat penting, tidak boleh sedikitpun disepelekan atau bahkan tidak diurus oleh negara. Pembangunan dan pengembangan bidang pendidikan seharusnya mendapatkan prioritas dari negara, karena pendidikan adalah salah satu pilar peradaban. Jika pendidikan telah dijajah Barat maka bisa dipastikan peradaban negeri ini juga akan berkiblat pada Barat. Menyerahkan pengelolaan pendiidkan kepada asing hanya akan membuka celah intervensi pendidikan Islam.

Dalam Islam, negara akan berupaya sekuat tenaga untuk memastikan terlaksananya pendidikan, karena pendidikan adalah sarana untuk mendapatkan ilmu, dan menuntut ilmu adalah kewajiban seluruh umat Islam dan hak seluruh warga negara. Kurikulum yang diterapkan semata untuk mewujudkan manusia berkarakter mulia, berakhlak, berkepribadian Islam dan menguasai IPTEK, sehingga modal untuk merealisasikan umat Islam sebagai umat terbaik dan memimpin peradaban dunia sudah ada di genggaman tangan. Negara juga akan membiayai dengan serius bidang pendidikan, agar semua warga negara dapat mengenyam pendidikan semaksimal mungkin.

Pembiayaan pendidikan diambilkan dari baitul mal. Ada beberapa pos pemasukan yang bisa dibelanjakan untuk kepentingan kemaslahatan rakyat, di antaranya adalah pendidikan. Di antara pos yang tersebut yaitu fa’i, kharaj dan pemasukan dari pengelolaan kepemilikan umum. Jika dari pos-pos tersebut belum mencukupi maka diperbolehkan menarik pajak, dengan catatan pajak hanya ditarik sementara sesuai kebutuhan, bukan seperti sistem saat ini yang menjadikan pajak sebagai penopang utama pemasukan APBN.

Untuk saat ini, di saat khilafah belum tegak, pos yang bisa dijadikan sebagai sumber pembiayaan adalah pos kepemilikan umum. Jika negara benar-benar peduli dengan pendidikan, maka akan segera mengevaluasi tata kelola kepemilikan umum yang salah satunya adalah sumber daya alam yang melimpah, atau SDA yang mengusai hajat hidup rakyat Indonesia. Memang ini membutuhkan kemauan luat dari pemerintah untuk mengambil alih pengeloaan SDA dari swasta-asing. Namun dengan karakter penguasa yang menerapkan sistem kapitalis-sekular, memang peluangnya sangat kecil. Oleh karena itu jika menginginkan perubahan total hanya bisa diwujudkan dengan sistem khilafah yang akan menerapkan Islam secara kaffah dan menjadikannya rahmat bagi seluruh alam. Wallahu a’lam bishawab.

No comments:

Post a Comment