Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama (Kemenag) telah mengusulkan program
peningkatan kualitas madrasah melalui skema pembiayaan Pinjaman dan Hibah Luar
Negeri (PHLN) Bank Dunia. Bank Dunia kemudian sepakat untuk memberikan pinjaman
senilai Rp 3,7 triliun. Dirjen Pendidikan Islam, Kamaruddin Amin, mengatakan
anggaran yang besar tersebut akan memberi dampak manfaat yang besar.
"Manfaat itu bahkan menyasar hingga 50.000 madrasah. Kita ingin membangun
sistem," kata Kamaruddin, dikutip dari laman resmi Kemenag, Selasa (25/6).
Ia mengatakan, dana sebesar Rp 1,6 triliun di antaranya akan digunakan untuk
bantuan block grant bagi madrasah dan kelompok kerja (KKG, MGMP, KKM, dan
Pokjawas). Dikatakannya, block grant ditujukan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan
mutu madrasah berdasarkan need assessment, seperti pengembangan kapasitas guru
dan tenaga kependidikan, pengadaan sarana prasarana penunjang pembelajaran,
pengadaan peralatan laboratorium, pengadaan buku dan sumber belajar, dan
lainnya. (Republika.co.id, 25/6/2019).
Disepakatinya
pinjaman dari Bank Dunia ini mendapat sorotan dari PBNU dan PP
Muhammadiyah. Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
Maksum Machfoedz menanggapi soal penggunaan dana pinjaman dan hibah luar negeri
(PHLN) untuk peningkatan mutu madrasah. Dia mengaku secara umum tidak mempermasalahkan ihwal peminjaman
dana dari Bank Dunia itu. Namun, lanjut Maksum, yang menjadi fokus adalah,
sejauh mana efektivitas penggunaan dana tersebut. "Pengalaman selama ini
untuk urusan kualitas sosial seperti ini tidak jelas hasilnya. Banyak
manipulasi dan tidak efektif. Ini menjadi tantangan," kata Maksum
Machfoedz, Kamis (20/6). Dia menambahkan, bila efektivitas penggunaan dana
tersebut tak jelas, maka yang muncul kemudian adalah mubazir. Bahkan, pada
eksesnya dapat menimbulkan peluang terjadinya korupsi. Karena itu, menurut
Maksum, tantangannya sekarang terletak pada soal perencanaan, penerapan
rencana, pengelolaan dan sistem kontrol. Semua ini dinilainya harus mampu
menjamain kejelasan penggunaan dana PHLN untuk madrasah. "Kalau tidak, ya
tidak lebih dari sekadar menggali kuburan," simpul dia. (Republika.co.id,
20/6/2019).
Hampir
senada dengan Waketum PBNU, Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Yunahar
Ilyas mempertanyakan dari mana uang untuk membayar dana Pinjaman dan Hibah Luar
Negeri (PHLN) dari Bank Dunia untuk peningkatan kualitas madrasah. Dia mengaku
belum melihat sumber dana yang bisa digunakan untuk membayarnya. "Bayarnya
bisa apa enggak. Siapa yang bayar nanti. Dari mana Kementerian Agama dapat
uang? Kalau untuk pembinaan madrasah pasti habis, uangnya enggak akan ada yang
balik," kata dia, Kamis (20/6). Menurut Yunahar, Kementerian Agama
(Kemenag) tentu berbeda dengan kementerian lainnya seperti Kementerian PUPR,
Perdagangan dan Perindustrian. Penggelontoran dana pinjaman untuk kementerian
tersebut bisa menghasilkan profit karena jenis pembangunannya bersifat
komersial. Salah satunya jalan tol. (Republika.co.id, 20/6/2019).
Kekhawatiran PBNU dan PP
Muhammadiyah memang layak untuk dipertimbangkan. Utang luar negeri selama ini
adalah alat efektif untuk menjajah negeri kaum muslimin. Tidak ada utang yang
diberikan tanpa syarat, tidak ada utang yang diberikan secara cuma-cuma, no
free lunch. Dengan utang luar negeri, lembaga internasional yang di
belakanganya bersembunyi kapitalis Barat akan mendikte kebijakan instansi yang
diberi pinjaman. Termasuk pula pinjaman untuk pengembangan mutu madrasah ini.
Hal ini bisa ditelisik dari hasil wawancara dengan Dirjen Pendidikan
Islam Kementrian Agama, Prof. Kamaruddin Amin. Pendidikan Islam di
Indonesia saat ini dinilai sebagai lembaga pendidikan yang paling modern di
dunia. Melalui pendidikan Islam inilah karakter keberagaman masyarakat
Indonesia yang toleran dan moderat dibentuk. "Nuansa wasathiyah adalah
penopangnya. Ruh keislaman ini disebarkan melalui pondok pesantren, perguruan
tinggi, madra sah dan seterusnya," ujar Dirjen Pendidikan Islam
Kementerian Agama, Prof Kamaruddin Amin. Namun, akhir-akhir ini pendidikan
Islam Indonesia tengah menghadapi tantangan pemahaman keagamaan yang datang
dari luar, khususnya pemahaman yang yang radikal dan ekstrem. Pemahaman
keagamaan tersebut mulai mencoba merasuki lembaga pendidikan Islam. Prof
Kamaruddin mengatakan, radikalisme dan ekstremisme sejatinya adalah konsekuensi
dari adanya globalisasi dan per kem bangan teknologi informasi. Namun,
permasalahan itu direspons oleh pemerintah Indonedia. Untuk mengatasinya,
menurut dia, Kementerian Agama tengah gencar mempromosikan moderasi beragama,
yang merupakan konter terhadap narasi radikalisme dan ekstremisme tersebut.
(Republika.co.id, 30/6/2019).
Jelas sekali, pengucuran utang Bank Dunia ini adalah dalam rangka
mengkampanyekan Islam moderat dan membendung radikalisme serta ekstrimisme.
Umat Islam sudah tahu, Islam moderat adalah upaya untuk mencegah penerapan
syariat Islam secara menyeluruh, karena Islam moderat tak lain hanyalah upaya
mengkompromikan aturan Islam dengan ide sekularisme, pemisahan agama dari
kehidupan. Sedangkan radikalisme dan ekstrimisme adalah narasi Barat untuk
memojokkan umat Islam agar tidak menggaungkan penerapan Islam kaffah dalam
naungan khilafah. Maka jelas sekali, utang dari Bank Dunia bukan untuk
kepentingan madrasah namun semata demi kepentingan para penjajah Barat. Dan
jelas utang dari Bank Dunia pasti ada bunganya, dan bunga adalah riba yang haram
untuk dimanfaatkan umat Islam. Sudahlah berbahaya, berdosa pula.
Pembiayaan
Pendidikan Tanggung Jawab Negara
Pengajuan pinjaman dari Bank Dunia maupun lembaga keuangan lainnya untuk
pembiayaan pendidikan, merupakan salah satu bentuk lepas tangannya negara dalam
bidang pendidikan. Dalam Islam pendidikan adalah bidang yang sangat penting,
tidak boleh sedikitpun disepelekan atau bahkan tidak diurus oleh negara.
Pembangunan dan pengembangan bidang pendidikan seharusnya mendapatkan prioritas
dari negara, karena pendidikan adalah salah satu pilar peradaban. Jika
pendidikan telah dijajah Barat maka bisa dipastikan peradaban negeri ini juga
akan berkiblat pada Barat. Menyerahkan pengelolaan pendiidkan kepada asing
hanya akan membuka celah intervensi pendidikan Islam.
Dalam Islam, negara akan berupaya sekuat tenaga untuk memastikan
terlaksananya pendidikan, karena pendidikan adalah sarana untuk mendapatkan
ilmu, dan menuntut ilmu adalah kewajiban seluruh umat Islam dan hak seluruh
warga negara. Kurikulum yang diterapkan semata untuk mewujudkan manusia
berkarakter mulia, berakhlak, berkepribadian Islam dan menguasai IPTEK,
sehingga modal untuk merealisasikan umat Islam sebagai umat terbaik dan
memimpin peradaban dunia sudah ada di genggaman tangan. Negara juga akan
membiayai dengan serius bidang pendidikan, agar semua warga negara dapat
mengenyam pendidikan semaksimal mungkin.
Pembiayaan pendidikan diambilkan dari baitul mal. Ada
beberapa pos pemasukan yang bisa dibelanjakan untuk kepentingan kemaslahatan
rakyat, di antaranya adalah pendidikan. Di antara pos yang tersebut yaitu fa’i,
kharaj dan pemasukan dari pengelolaan kepemilikan umum. Jika dari
pos-pos tersebut belum mencukupi maka diperbolehkan menarik pajak, dengan
catatan pajak hanya ditarik sementara sesuai kebutuhan, bukan seperti sistem
saat ini yang menjadikan pajak sebagai penopang utama pemasukan APBN.
Untuk saat ini, di saat khilafah belum tegak, pos yang bisa
dijadikan sebagai sumber pembiayaan adalah pos kepemilikan umum. Jika negara
benar-benar peduli dengan pendidikan, maka akan segera mengevaluasi tata kelola
kepemilikan umum yang salah satunya adalah sumber daya alam yang melimpah, atau
SDA yang mengusai hajat hidup rakyat Indonesia. Memang ini membutuhkan kemauan
luat dari pemerintah untuk mengambil alih pengeloaan SDA dari swasta-asing.
Namun dengan karakter penguasa yang menerapkan sistem kapitalis-sekular, memang
peluangnya sangat kecil. Oleh karena itu jika menginginkan perubahan total
hanya bisa diwujudkan dengan sistem khilafah yang akan menerapkan Islam secara
kaffah dan menjadikannya rahmat bagi seluruh alam. Wallahu a’lam bishawab.
No comments:
Post a Comment