Salah satu surat favorit saya :
Reposting dari majalah al waie
Surat ini dinamakan surat asy-Syarh. Menurut Ibnu ‘Abbas dalam sebuah riwayat, surat yang terdiri dari delapan ayat ini turun setelah ad-Dhuha. 1 Karena itu, sebagaimana dijelaskan para mufassir, surat ini termasuk Makkiyyah.2 Bahkan ditegaskan asy-Syaukani dan Ibnu ‘Athiyyah, tidak ada perbedaan pendapat tentang itu.3
Tafsir Ayat
Setelah menjelaskan berbagai anugerah yang diberikan kepada Rasulullah saw., Allah SWT berfirman: Faidzâ faraghta fa[i]nshab (Jika kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh [urusan yang lain]). Kata faragha bermakna khalâ (kosong). Dengan demikian pengertian farghta adalah khalawta min asy-syughul (selesai dari aktivitas).22 Adapun an-nashab berarti at-ta’ab ba’da al-ijtihâd (letih setelah pencurahan tenaga dan pikiran). Ini seperti yang disebutkan dalam QS al-Ghasyiyah [88]: 2-3. Ungkapan an-nashab bisa digunakan untuk urusan dunia maupun akhirat.23
Meraih Kelapangan Hidup
Kedua: janji kemudahan setelah kesulitan kepada Rasulullah saw. Hampir setiap manusia pernah mengalami masa sulit, sempit dan susah. Namun, ayat ini memberikan kepastian kepada Nabi-Nya bahwa masa tersebut akan berlalu dan berganti dengan kemudahan, kelapangan dan kegembiraan. Bahkan sebagaimana diterangkan para mufassir, kemudahan dan kelapangan itu lebih besar dan lebih banyak daripada kesulitan dan kesempitan. Tak hanya kepada Nabi saw. Hal itu juga dijanjikan kepada orang-orang yang mau menaati syariah-Nya. Allah SWT berfirman:
Dengan demikian, setiap muslim harus senantiasa optimis dan bersemangat dalam hidupnya; bahkan ketika sedang didera kesulitan dan kesempitan sekalipun. Sebab, di dalam diri mereka senantiasa tersimpan harapan untuk mendapatkan kemudahan dan kelapangan. Di pelupuk matanya juga senantiasa dihiasai bayangan indah akan dekatnya pertolongan Allah SWT.
Catatan kaki:
Reposting dari majalah al waie
(QS asy-Syarh [94]:
1-8)
أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ
صَدْرَكَ، وَوَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَ، الَّذِي أَنْقَضَ ظَهْرَكَ، وَرَفَعْنَا
لَكَ ذِكْرَكَ، فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا، إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا،
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ، وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ
Bukankah Kami telah
melapangkan untuk kamu dadamu, telah menghilangkan dari dirimu bebanmu yang
memberatkan punggungmu dan telah meninggikan bagi kamu sebutan (nama)-mu?
Sebab, sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama
kesulitan itu ada kemudahan. Maka dari itu, jika kamu telah selesai (dari suatu
urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan yang lain). Hanya kepada
Tuhanmulah hendaknya kamu berharap (QS asy-Syarh [94]: 1-8).
Surat ini dinamakan surat asy-Syarh. Menurut Ibnu ‘Abbas dalam sebuah riwayat, surat yang terdiri dari delapan ayat ini turun setelah ad-Dhuha. 1 Karena itu, sebagaimana dijelaskan para mufassir, surat ini termasuk Makkiyyah.2 Bahkan ditegaskan asy-Syaukani dan Ibnu ‘Athiyyah, tidak ada perbedaan pendapat tentang itu.3
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Alam naysrah laka shadraka (Bukankah Kami telah
melapangkan untuk kamu dadamu)? Pada asalnya, kata asy-syarh
bermakna al-fash wa
at-tawsi’ah (lapang dan luas). Kemudian kata tersebut digunakan
untuk menyebut al-îdhâh (penjelasan),
juga digunakan untuk menunjuk surûr an-nafs (rasa
senang pada jiwa). 4
Adapun pengertian syarh ash-shadr menurut
asy-Syaukani adalah fat-huhu bi
idzhâb mâ yashuddu ‘an al-idrâk (membuka dada dengan menghilangkan
segala sesuatu yang bisa memalingkan dari pemahaman).5
Imam al-Qurthubi juga memaknai syarh
ash-shadr sebagai fat-huhu (membukanya).
Dengan demikian ayat ini berarti: Alam naftah
shadraka li al-Islâm (Bukankan Kami telah melapangkan dadamu kepada
Islam).6
Dijelaskan Abu Hayyan al-Andalusi, syarh ash-shadr (membuka
dada) yang disebutkan adalah dengan menyinari dada itu dengan hikmah dan
melapangkannya untuk menerima apa yang diwahyukan kepada beliau.7
Bahkan Ibnu ‘Athiyah menegaskan, ini merupakan pendapat jumhur.8
Susunan kalimat ayat ini berupa al-istifhâm al-inkâri yang diiringi
dengan an-nafiy, yang memberikan makna al-itsbât (penetapan).9
Dengan demikian ayat ini berarti: Sungguh Kami telah
melapangkan untuk kamu dadamu.10
Menurut asy-Syaukani, maksud dari ayat ini adalah anugerah Allah SWT kepada
Nabi saw. dengan melapangkan dan meluaskan dadanya hingga bisa mengerjakan
dakwah yang disampaikan dan mampu memikul beban kenabian dan menjaga wahyu.11
Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari,
penyebutan berbagai kenikmatan dan kebaikan Allah SWT kepada Nabi saw. itu
sebagai dorongan kepada beliau untuk mensyukuri semua itu agar Allah SWT
memberikan tambahan kenikmatan.12
Kemudian disebutkan nikmat lainnya: wawadha’nâ ‘anka wizraka ([bukankah
Kami] telah menghilangkan dari dirimu bebanmu). Secara bahasa, kata al-wizr berarti al-himl ats-tsaqîl (beban
yang berat); bisa juga berarti adz-dzanb (dosa).
Disebut demikian karena menjadi beban.13
Oleh karena itu, beberapa mufassir seperti al-Qurthubi, Ibnu Katsir,
as-Samarqandi, dan lan-lain memaknai al-wizr dalam
ayat ini sebagai dosa. Maknanya, Allah SWT telah mengampuni Rasulullah saw.
atas dosa-dosa beliau, yang terdahulu maupun yang akan datang.14
Pengertian tersebut dinilai sejalan dengan firman Allah SWT dalam QS al-Fath
[48]: 2.
Menurut Mahmud Shafi, ungkapan wadh’ al-wizr (penghilangan beban)
merupakan kinâyah (kiasan) atas
kemaksuman Nabi saw. dari dosa dan kebersihan beliau dari adnâs (dosa). Penjelasan senada
juga dikemukakan as-Samarqandi.15
Namun, as-Sudi dan mufassir lainnya
memaknai al-wizr sebagai ats-tsiql (beban) sehingga
pengertian ayat ini adalah wahathathnâ
‘anka tsiqlaka ([bukankah Kami] telah menurunkan bebanmu dari
dirimu).16
Al-Biqa’i juga menafsirkan wawadha’nâ sebagai
hathathnâ wa asqatnâ wa abthalnâ (Kami
telah menurunkan, menggugurkan dan membatalkan) hingga benar-benar tidak
kembali dan tidak ada. Adapun frasa ‘anka wizraka berarti
bebanmu yang berat, yang tidak sanggup kamu pikul, sebagaimana dijelaskan dalam
ayat sesudahnya.17
Allah SWT berfirman: al-ladzî anqadha zhahraka (yang
memberatkan punggungmu). Dijelaskan Muhammad Abdul Lathif, ayat ini berarti atsaqalahu (memberatkan dirimu).18
Kemudian Allah SWT berfriman: warafa’nâ laka dzikraka ([bukankah
Kami] telah meninggikan bagi dirimu sebutan [nama]-mu). Ini merupakan
kenikmatan lain yang diberikan kepada Rasulullah saw.: namanya diletakkan dalam
posisi amat tinggi, yang tidak dapat ditandingi dan disamai oleh seorang pun.
Menurut al-Hasan, ayat ini memberikan pengertian
bahwa Allah SWT tidak disebut dalam suatu tempat kecuali disebutkan pula
bersama asma-Nya itu nama Rasulullah saw.19
Selain itu masih ada penjelasan beberapa mufassir mengenai fakta pengagungan
sebutan/nama Rasul saw., seperti penyebutan perintah menaati Rasul saw. setelah
perintah menaati Allah, perintah untuk bershalawat kepada Rasul, dan lain-lain.
Berikutnya Allah SWT berfirman: fainna ma’a al-‘usyri yusr[an]
(karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan). Artinya,
sesungguhnya bersama adh-dhayyiqah wa
asy-syiddah (kesempitan dan kesulitan) ada yusr[an] (kemudahan), yakni sa’ah wa ghina (kelapangan dan
kecukupan).20 Dijelaskan Sihabuddin al-Alusi, tanwin pada kata yusr[an] berfungsi li at-tafkhîm (untuk mengagungkan);
seolah dikatakan bahwa sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan yang besar.
Ini merupakan perkara yang dijanjikan Allah SWT kepada Nabi-Nya. Bahkan
sebagaimana dijelaskan oleh sebagian mufassir, janji ini juga berlaku bagi
umatnya.
Penegasan itu diulangi lagi dalam ayat
berikutnya: inna ma’a al-‘usyri yusr[an] (sesungguhnya
bersama kesulitan itu ada kemudahan). Tikrâr (pengulangan)
tersebut memberikan makna ta’kîd (penguatan).21
Menarik untuk dicermati adalah bentuk
kata yang digunakan dalam kedua ayat tersebut. Pada kedua ayat tersebut, kata al-‘usr berbentuk al-ma’rifah, sedangkan kata yusr berbentuk an-nakirah. Dijelaskan asy-Syaukani
dan al-Zujjaj, pengulangan bentuk ma’rifah
pada ayat kedua menunjuk pada fakta yang sama dengan fakta yang disebutkan
dalam ayat pertama. Sama saja apakah yang dimaksud dengan itu adalah al-jins (menunjukkan makna jenis)
maupun al-‘ahd (menunjukan pada kata
sebelumnya). Adapun bentuk an-nakirah, apabila diulangi, menunjukkan
fakta yang berbeda dengan fakta yang disebutkan sebelumnya. Kesimpulan tersebut
diperkuat dengan sabda Nabi saw.:
لَنْ يَغْلِبَ عُسْرٌ
يُسْرَيْنِ
Satu kesulitan tidak
akan mengalahkan dua kemudahan (HR al-Hakim dalam
al-Mustadrak).
Setelah menjelaskan berbagai anugerah yang diberikan kepada Rasulullah saw., Allah SWT berfirman: Faidzâ faraghta fa[i]nshab (Jika kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh [urusan yang lain]). Kata faragha bermakna khalâ (kosong). Dengan demikian pengertian farghta adalah khalawta min asy-syughul (selesai dari aktivitas).22 Adapun an-nashab berarti at-ta’ab ba’da al-ijtihâd (letih setelah pencurahan tenaga dan pikiran). Ini seperti yang disebutkan dalam QS al-Ghasyiyah [88]: 2-3. Ungkapan an-nashab bisa digunakan untuk urusan dunia maupun akhirat.23
Di dalam ayat ini tidak dijelaskan
secara spesifik urusan yang telah selesai dilakukan dan urusan lain yang harus
segera dipersiapkan. Oleh karena itu, para mufassir berbeda pendapat dalam
tentang hal ini. Ibnu ‘Abbas dan Qatadah menyatakan bahwa pengertian ayat ini:
“Jika sudah selesai shalat maka segeralah bersungguh-sungguh dalam berdoa.”
Menurut Ibnu Mas’ud, “Jika telah selesai dari kewajiban maka
bersungguh-sungguhlah dalam shalat malam.” Adapun al-Kalbi mengatakan, “Jika
telah selesai menyampaikan risalah maka segera meminta ampun untuk dosamu, dosa
kaum Mukminin dan Mukminat.”24
Meskipun tampak berbeda, semua
penjelasan tersebut saling berdekatan; bahwa ketika seorang muslim
telah menyelesaikan suatu urusan, dunia maupun akhirat, maka dia harus segera
bersiap untuk mengerjakan urusan lainnya.
Surat ini diakhiri dengan firman-Nya: wa ilâ Rabbika fa[i]rghab (dan
hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap). Menurut az-Zamakhsyari, ayat
ini berarti: “Jadikanlah raghbah-mu (permohonanmu yang
sungguh-sungguh) hanya khusus kepada Allah. Kamu tidak meminta kecuali
keutamaan-Nya dengan benar-benar bertawakal kepada-Nya.” Pengertian fa[i]rghab adalah tadharru’ wa stawakkul wa[i]j’al raghbataka
bil-Lâh fî jamî’ syu’ûnika (merendahkan diri dan bertawakallah
serta jadikanlah permohonanmu yang sungguh-sungguh kepada Allah dalam semua
urusanmu).25
Meraih Kelapangan Hidup
Ada beberapa perkara yang perlu
ditandaskan terkait surat ini. Pertama:
ihwal dada Rasulullah saw. Dilapangkan. Sebagaimana dijelaskan para mufassir,
dada beliau dilapangkan kepada Islam
dan segala perkara yang diwahyukan kepada beliau. Meskipun tidak sama persis,
ini juga bisa dianugerahkan kepada siapa saja yang ditunjuki pada Islam.
Hal ini berkebalikan dengan orang yang Allah sesatkan; dadanya dibuat sesak dan
sempit. Allah SWT berfirman:
فَمَنْ يُرِدِ
اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ
يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي
السَّمَاءِ
Siapa saja yang
Allah kehendaki untuk diberi petunjuk niscaya Dia melapangkan dadanya untuk
(memeluk agama) Islam. Siapa saja yang
Allah kehendaki Allah untuk disesatkan niscaya Dia menjadikan dadanya sesak
lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit (QS al-An’am [6]: 125).
Kedua: janji kemudahan setelah kesulitan kepada Rasulullah saw. Hampir setiap manusia pernah mengalami masa sulit, sempit dan susah. Namun, ayat ini memberikan kepastian kepada Nabi-Nya bahwa masa tersebut akan berlalu dan berganti dengan kemudahan, kelapangan dan kegembiraan. Bahkan sebagaimana diterangkan para mufassir, kemudahan dan kelapangan itu lebih besar dan lebih banyak daripada kesulitan dan kesempitan. Tak hanya kepada Nabi saw. Hal itu juga dijanjikan kepada orang-orang yang mau menaati syariah-Nya. Allah SWT berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ
اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Siapa saja yang
bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan bagi dirinya kemudahan dalam
urusannya (QS ath-Thalaq [65]: 4).
Dengan demikian, setiap muslim harus senantiasa optimis dan bersemangat dalam hidupnya; bahkan ketika sedang didera kesulitan dan kesempitan sekalipun. Sebab, di dalam diri mereka senantiasa tersimpan harapan untuk mendapatkan kemudahan dan kelapangan. Di pelupuk matanya juga senantiasa dihiasai bayangan indah akan dekatnya pertolongan Allah SWT.
Ketiga: tidak membiarkan waktu
senggang terlalu lama. Ketika telah usai mengerjakan sebuah urusan, harus
segera bersiap mengerjakan urusan berikutnya. Tentu semua urusan tersebut
dikerjakan sesuai dengan ketentuan syariah,
termasuk aspek awlâwiyah (prioritasnya).
Ini adalah prinsip yang harus dipegang
teguh dan diamalkan kaum Mukmin. Waktu, kesempatan dan usia yang diberikan
Allah SWT harus benar-benar dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tidak boleh kesempatan
dibiarkan terbuang sia-sia tanpa guna. Tidak boleh ada waktu berlalu kecuali
diisi dengan amal salih yang Allah SWT ridha. Tidak boleh usia berkurang
kecuali mendatangkan pahala. Seorang muslim
yang baik akan meninggalkan semua yang tidak berguna. Rasulullah saw. bersabda:
مِنْ حُسْنِ
إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ
Di antara tanda
kebaikan keislaman seseorang adalah dia meninggalkan hal-hal yang tidak
bermanfaat bagi dirinya (HR
at-Tirmidzi).
Keempat: hanya kepada Allah SWT
manusia wajib berharap dan bertawakal. Untuk menyelesaikan setiap urusan,
manusia memang diperintahkan untuk berusaha. Akan tetapi, segala urusan dan
peristiwa hanya terjadi atas izin dan kehendak-Nya. Dia pula yang berkuasa atas
segala sesuatu. Jika Dia menghendaki, niscaya tidak ada satu pun yang bisa
mencegah dan menghalangi. Inilah keyakinan yang harus dimiliki setiap manusia.
Oleh karena itu, manusia wajib menjadikan Allah SWT sebagai tempat bersandar
bagi dirinya dalam semua urusan. Hanya kepada Allah SWT pula manusia wajib
bertawakal, menyerahkan semua urusannya; juga memohon dengan sungguh-sungguh
seluruh doa dan permohonannya. Wal-Lâh a’lam bi
al-shawâb. []
Catatan kaki:
1 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 385. Pendapat ini juga diambil oleh
az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1987), 770.
2 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 32
(Beirut: Dar Ihya’ al-Turats, 2000), 205; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’an al-‘Azhîm, vol. 8
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 415; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5 (Beirut:
Dar Ihyâ’ at-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 274.
3 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5
(Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 562; Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 496. Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol.
20 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 104.
4 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 385.
5 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 562.
6 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol.
20, 104.
7 Abu Hayyan
al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, vol. 10
(Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H), 499.
8 Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol.
5, 496.
9 Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 22 (Kairo: Dar
al-Kitab al-Islami, tt), 117.
10 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 562.
11 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 562.
12 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol.
24 (tt: Muassah al-Risalah, 2000), 493.
13 Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 5 (Beirut: Dar
Shadir, tt), 282.
14 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8,
416.
15 Mahmud Shafi, Al-Jadwal fî I’râb al-Qur’ân al-Karîm, vol.
30 (Damaskus: Dar Rasyid, 1998), 358; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 489.
16 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol.
20, 106.
17 Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 22, 120
18 Muhammad Abdul
Lathir, Awdhah at-Tafâsîr (Kairo:
Mathba’ah Mishriyyah, 1964), 754.
19 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 563.
20 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol.
20, 107.
21 Al-Wahidi
an-Naisaburi, Al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz (Damaskus:
Dar al-Qalam, 1995), 1212; as-Samarqandi, Bahr
al-‘Ulûm, vol. 3, 490.
22 Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’ashirah, vol.
3 (tt: ‘Alam al-Kitab, 2008),
23 Asy-Syinqiti, Adhwâ’ al-Bayân, vol. 8 (Beirut:
Dar al-Fikr, 1995), 578.
24 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol.
20, 109.
25 Az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Beirut:
Dar al-Fikr, 1998), 293.
No comments:
Post a Comment