Memilih atau tidak, memihak 1
atau 2, ada kewajiban yang sama bagi seorang muslim. Menasehati, memberi
masukan, mengingatkan ketika ada aktivitas penguasa yang tidak dijalankan
berdasarkan syariat agama Islam. Tetap ada kewajiban amar makruf nahi mungkar.
Tetap wajib berdakwah.
Maka memilih oposisi bukan
bermakna membenci, menjadi oposisi itu bukan untuk menjatuhkan, menjadi oposisi
bukan berarti ingin menghancurkan. Menjadi oposisi itu sebuah konsekuensi dari
kecintaan karena Allah, mengajak semua untuk sama-sama taat kepada Allah.
Menjadi oposisi bukan karena
benci, bukan karena sakit hati, bukan karena tak menerima kekalahan sang pujaan
hati. Tetapi untuk mengingatkan kewajiban agar terikat pada hukum Allah. Maka
selama belum terikat pada hukum Allah masih ada kewajiban bagi yang lain untuk
mengingatkan. Apalagi mengingatkan penguasa, ini juga sebuah kewajiban.
Bolehkah Menasehati Penguasa di
Tempat Umum? Baik Secara Langsung Maupun Melalui
Demonstrasi?
(Hafidz
Abdurrahman)
Nasehat
adalah hak setiap orang, mulai dari rakyat jelata hingga para penguasa.
Artinya, mereka mempunyai hak untuk dinasehati, dan sebaliknya menjadi
kewajiban bagi setiap orang Mukallaf, tatkala menyaksikan kemungkaran atau
kezaliman yang dilakukan oleh orang lain; baik pelakunya penguasa maupun rakyat
jelata. Inilah yang dinyatakan dalam hadits Nabi:
الدِّينُ
النَّصِيحَةُ لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama adalah nasehat, untuk Allah, Rasul-Nya, para pemimpin kaum
Muslim, dan orang-orang awam.” (H.r. al-Bukhari dan Muslim).
Karena itu, nasehat sebagai upaya mengubah perilaku munkar atau
zalim orang lain —baik penguasa maupun rakyat jelata— sesungguhnya tidak dapat
dilepaskan dari konteks dakwah bi
al-lisan (melalui lisan maupun tulisan), sebagaimana sabda
Nabi:
مَنْ
رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِلِسَانِهِ
“Siapa saja yang menyaksikan kemunkaran, hendaknya mengubahnya
dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka hendaknya dengan lisannya.” (H.r.
Muslim).
Inilah yang dilakukan oleh para ulama Salaf as-Shalih terdahulu,
seperti Abdullah bin Yahya an-Nawawi kepada Sultan Badruddin. Dalam Tahdzib al-Asma’,
karya Abu Yahya Muhyiddin bin Hazzam disebutkan, tatkala Abdullah bin Yahya
an-Nawawi mengirim surat kepada Sultan Badruddin, dan baginda menjawab suratnya
dengan marah dan nada ancaman, ulama’ ini pun menulis surat kembali kepada
baginda, “Bagiku, ancaman itu tidak akan
mengancam diriku sedikitpun. Akupun tidak akan mempedulikan-nya, dan upaya
tersebut tidak akan menghalangiku untuk mena-sehati Sultan. Karena saya
berkeyakinan, bahwa ini adalah ke-wajibanku dan orang lain, selain aku. Adapun
apa yang menjadi konsekuensi dari kewajiban ini merupakan kebaikan dan tambahan
kebajikan.”
Adapun
jenis kemunkaran yang hendak diubah, dilihat dari aspek bagaimana pelakunya
melakukan kemunkaran tersebut dapat diklasifi-kasikan menjadi dua:
Pertama, kemunkaran yang dilakukan
secara diam-diam, rahasia dan pelakunya berusaha merahasiakannya;
Kedua, kemunkaran yang dilakukan secara
terbuka, demonstratif dan pelakunya tidak berusaha untuk merahasiakannya,
justru sebaliknya.
Jenis
kemunkaran yang pertama, dan bagaimana cara
mengubah kemunkaran tersebut dari pelakunya, tentu berbeda dengan kemunkaran
yang kedua. Orang yang tahu perkara tersebut hendaknya menasehatinya secara
diam-diam, dan kemunkaran yang dilakukannya pun tidak boleh dibongkar di depan
umum. Sebaliknya, justru wajib ditutupi oleh orang yang mengetahuinya. Nabi
bersabda:
مَنْ
سَتَرَ عَوْرَةً فَكَأَنَّمَا اِسْتَحْيَا مَوْءُوْدَةً مِنْ قَبْرِهَا
“Siapa saja yang menutupi satu aib, maka (pahalanya) seolah-olah
sama dengan menghidupkan bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup dari
kuburnya.” (H.r. Ibn Hibban)
Berbeda
dengan jenis kemunkaran yang kedua, yaitu kemunkaran yang dilakukan secara
terbuka, dan terang-terangan. Dalam kasus seperti ini, pelaku kemunkaran
tersebut sama saja dengan menelanjangi dirinya sendiri dengan kemunkaran yang
dilakukannya. Untuk menyikapi jenis kemunkaran yang kedua ini, sikap orang
Muslim terhadapnya dapat dipilah menjadi dua:
1-
Jika kemaksiatan atau kemunkaran tersebut pengaruhnya terbatas pada individu
pelakunya, dan tidak mempengaruhi publik, maka kemaksiatan atau
kemunkaran seperti ini tidak boleh dibahas atau dijadikan perbincangan.
Tujuannya agar kemunkaran tersebut tidak merusak pikiran dan perasaan kaum
Muslim, dan untuk menjaga lisan mereka dari perkara yang sia-sia. Kecuali, jika
kemaksiatan atau kemunkaran tersebut diungkapkan untuk mengingatkan masyarakat
akan bahaya orang fasik yang melakukan kemaksiatan tersebut. Maka, pengungkapan
seperti ini boleh.
2- Jika kemaksiatan atau kemunkaran tersebut pengaruhnya
tidak terbatas pada individu pelakunya, sebaliknya telah mempengaruhi publik,
misalnya seperti kemunkaran yang dilakukan oleh sebuah institusi, baik negara,
organisasi, kelompok atau komunitas tertentu, maka kemaksiatan atau
kemunkaran seperti ini justru wajib dibongkar dan diungkapkan kepada publik
agar mereka mengetahui bahayanya untuk dijauhi dan ditinggalkan supaya mereka
terhindar dari bahaya tersebut. Inilah yang biasanya disebut kasyf al-khuthath wa
al-mu’amarah (membongkar rancangan dan konspirasi jahat)
atau kasyf al-munkarat
(membongkar kemunka-ran).
Ini didasarkan pada sebuah hadits Zaid bin al-Arqam yang
menga-takan, “Ketika
aku dalam suatu peperangan, aku mendengar Abdullah bin ‘Ubay bin Salul berkata:
‘Janganlah kalian membelanjakan (harta kalian) kepada orang-orang yang berada
di sekitar Rasulullah, agar mereka meninggal-kannya. Kalau kita nanti sudah
kembali ke Madinah, pasti orang yang lebih mulia di antara kita akan mengusir
yang lebih hina. Aku pun menceritakannya kepada pamanku atau ‘Umar, lalu beliau
menceritakan-nya kepada Nabi saw. Beliau saw. pun memanggilku, dan aku pun
menceritakannya kepada beliau.”
Apa
yang dilakukan oleh Abdullah bin Ubay, dan diketahui oleh Zaid bin al-Arqam,
kemudian disampaikan kepada Rasulullah saw. adalah kemunkaran (kemaksiatan)
yang membahayakan kemaslahatan Islam dan kaum Muslim, bukan hanya diri
pelakunya. Abdullah bin Ubay sendiri ketika ditanya, dia mengelak tindakannya,
yang berarti masuk kategori perbuatan yang ingin dirahasiakan oleh pelakunya,
tetapi tindakan Zaid bin al-Arqam yang membongkar ihwal dan rahasia Abdullah
bin Ubay tersebut ternyata dibenarkan oleh Nabi. Padahal, seharusnya
tindakan memata-matai dan membongkar rahasia orang lain hukum asalnya tidak
boleh. Perubahan status dari larangan menjadi boleh ini menjadi indikasi, bahwa
hukum membeberkan dan membongkar rahasia seperti ini wajib, karena dampak
bahayanya bersifat umum.
Karena itu, tindakan mengkritik kebijakan zalim atau munkar yang
dilakukan oleh penguasa, baik secara langsung ketika berada di hadapan-nya
maupun tidak langsung, misalnya melalui tulisan, demonstrasi atau masirah, bukan saja
boleh secara syar’i tetapi wajib.4 Kewajiban ini bahkan pahalanya
dinyatakan sebanding dengan pahala penghulu syuhada’, yaitu Hamzah bin Abdul Muthallib, seperti
dalam hadits Nabi:
سَيِّدُ
الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ المُطَلِّبِ وَرَجُلٌ قَالَ إِلَى إِمَامٍ
جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ
“Penghulu syuhada’ adalah Hamzah bin Abdul Muthallib, dan orang
yang berkata di hadapan seorang penguasa yang zalim, lalu dia memerintahkannya
(pada kemakrufan) dan melarangnya (terhadap kemunkaran), kemudian penguasa itu
membunuhnya.” (H.r. al-Hakim).
Apa yang dilakukan oleh para sahabat terhadap ‘Umar dalam kasus
pembatasan mahar, pembagian tanah Kharaj, hingga kain secara terbuka di depan
publik adalah bukti kebolehan tindakan ini. Adapun pernyataan ‘Irbadh bin
Ghanam yang menyatakan, “Siapa
saja yang hendak menasehati seorang penguasa, maka dia tidak boleh
mengemuka-kannya secara terbuka, tetapi hendaknya menarik tangannya dan
menyendiri. Jika dia menerimanya, maka itu kebaikan baginya, dan jika tidak,
pada dasarnya dia telah menunaikannya.” 5 pada dasarnya
tidak menunjukkan adanya larangan mengkritik atau menasehati penguasa di
depan publik, tetapi hanya menjelaskan salah satu cara (uslub) saja.
Dengan demikian, bisa disimpulkan, bahwa menasehati penguasa
atau mengkritik kebijakan penguasa yang zalim, termasuk membongkar kemunkaran
atau konspirasi jahat terhadap Islam dan kaum Muslim hukumnya wajib, hanya saja
cara (uslub)-nya bisa
beragam; bisa dilakukan langsung, dengan bertemu face to face, atau
secara tidak langsung, dengan melalui tulisan, surat, demonstrasi atau masirah. Melakukan
upaya dengan lisan, termasuk melalui tulisan, seperti surat terbuka, buletin,
majalah, atau yang lain, baik langsung maupun tidak jelas lebih baik, ketimbang
upaya bi al-qalb (dengan
memendam ketidaksukaan), apalagi jika tidak melakukan apa-apa, sementara terus
mengkritik orang lain yang telah melakukannya. Faliyadzu billah.