Sumber gambar : bringislamback.com
Cinta Kepada Allah dan RasulNya,
adalah salah satu bab dalam buku Pilar-pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah yang ketika membahasnya selalu membuat
termehek-mehek, haru, dan merasa sangat kecil kecintaan kepada Allah dan
RasulNya jika dibandingkan dengan para sahabat Nabi. Sahabat dari kalangan
Muhajirin dan Anshar berlomba memberikan yang terbaik untuk Allah dan RasulNya,
berlomba menjadi yang tercepat ketika ada tawaran peluang menuju surga. Tanpa
berpikir panjang para sahabat selalu menjadi yang terdepan untuk taat kepada
Allah dan RasulNya. Itu semua dilakukan karena semata-mata mencintai Allah dan
RasulNya. Cinta bermakna taat, mengharapkan ridla dan ampunan dari Allah. Ridla
dengan semua perintah dan larangan keduanya. Cinta para sahabat Nabi kepada Allah dan
RasulNya memang tidak diragukan lagi. Cinta para sahabat kepada Nabi tidak ada
duanya.
Namun ketika Rasullah saw
meninggal, bukannya mendahulukan pemakaman Rasulullah, para sahabat lebih
mendahulukan mencari pengganti Rasulullah. Rasulullah sebagai nabi memang tak
tergantikan, tetapi rasulullah sebagai pemimpin umat Islam harus digantikan.
Maka sejak itulah umat Islam dipimpin oleh seorang khalifah, dengan system
pemerintahannya bernama khilafah. Khalifah bermakna pemimpin umat Islam
pengganti dan penerus Rasulullah saw. Khilafah terus ada hingga dihapus Mustafa
Kemal Pasha pada tahun 1924, Khilafah Utsmaniyah di Turki menjadi khilafah
terakhir, insya Allah akan digantikan dengan khilafah ‘ala minhajinnubuwwah.
Khilafah, satu-satunya system
pemerintahan yang diwariskan Rasulullah, yang menjadi satu-satunya pilihan para
sahabat untuk terus dijalankan. Bukan yang lainnya. Khilafah adalah bagian dari
ajaran Islam yang membahas tentang system pemerintahan, khilafah bukanlah
sebuah ideology seperti yang dituduhkan orang-orang fasik, munafik dan kafir
seperti saat ini. Para ulama sepakat, menegakkan khilafah adalah sebuah
kewajiban.
Khilafah itu bukan ideology,
khilafah adalah bagian dari ideology Islam. Sebagaimana pula demokrasi,
demokrasi itu bukan ideology namun menjadi pilihan system pemerintahan dalam
ideology kapitalisme. Dengan demokrasi, kapitalisme terus langgeng.
Ada perbedaan mendasar antara
khilafah dengan demokrasi. Dalam khilafah kedaulatan ada dalam hukum syariat.
Yang menentukan benar salah, baik buruk adalah syariat Allah dan RasulNya.
Bukan hawa nafsu manusia juga bukan suara mayoritas manusia. Meski kedaulatan
di tangan syariat pelaksana kekuasaan dalam khilafah adalah manusia. Manusia
berkuasa di bumi untuk menerapkan aturan Allah dan RasulNya.
Berbeda dengan demokrasi, dalam
demokrasi kedaulatan dan kekuasaan ada pada rakyat, meski ini hanya jargon saja
karena faktanya bukan rakyat yang menentukan kebijakan, para pemilik modal melalui penguasa boneka yang menentukan kebijakan.
Sebanyak apapun suara mayoritas, itu tidak akan berarti jika disandingkan
dengan kepentingan kaum kapitalis. Dalam demokrasi manusia sah membuat hukum
sesuai keinginan dan ini sejalan dengan akidah ideology kapitalisme,
sekularisme. Memisahkan agama dari kehidupan. Jangan membawa-bawa agama dalam
kehidupan bernegara. Jangan mencampuradukan agama dengan kekuasaan. Jangan
mengatur kehidupan dengan syariat Islam, atau dengan kata lain syariat Allah
dan RasulNya tidak layak diterapkan dan diperjuangkan penerapannya.
System khilafah dan demokrasi
bagaikan langit dan bumi, ada banyak hal substansial yang harus dipahami. Namun
sebagai seorang muslim layak bertanya dan berpikir, kelak yang dibanggakan Nabi
di akhirat apakah umatnya yang berjuang untuk menegakkan khilafah atau umatnya
yang melanggengkan demokrasi ?
Wallahu a’lam bishawab
Pare, 9 November 2017
No comments:
Post a Comment