Thursday 9 November 2017

Khilafah dan Demokrasi, Mana Yang Dibanggakan Nabi?

Sumber gambar : bringislamback.com

Cinta Kepada Allah dan RasulNya, adalah salah satu bab dalam buku Pilar-pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah  yang ketika membahasnya selalu membuat termehek-mehek, haru, dan merasa sangat kecil kecintaan kepada Allah dan RasulNya jika dibandingkan dengan para sahabat Nabi. Sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar berlomba memberikan yang terbaik untuk Allah dan RasulNya, berlomba menjadi yang tercepat ketika ada tawaran peluang menuju surga. Tanpa berpikir panjang para sahabat selalu menjadi yang terdepan untuk taat kepada Allah dan RasulNya. Itu semua dilakukan karena semata-mata mencintai Allah dan RasulNya. Cinta bermakna taat, mengharapkan ridla dan ampunan dari Allah. Ridla dengan semua perintah dan larangan keduanya.  Cinta para sahabat Nabi kepada Allah dan RasulNya memang tidak diragukan lagi. Cinta para sahabat kepada Nabi tidak ada duanya.

Namun ketika Rasullah saw meninggal, bukannya mendahulukan pemakaman Rasulullah, para sahabat lebih mendahulukan mencari pengganti Rasulullah. Rasulullah sebagai nabi memang tak tergantikan, tetapi rasulullah sebagai pemimpin umat Islam harus digantikan. Maka sejak itulah umat Islam dipimpin oleh seorang khalifah, dengan system pemerintahannya bernama khilafah. Khalifah bermakna pemimpin umat Islam pengganti dan penerus Rasulullah saw. Khilafah terus ada hingga dihapus Mustafa Kemal Pasha pada tahun 1924, Khilafah Utsmaniyah di Turki menjadi khilafah terakhir, insya Allah akan digantikan dengan khilafah ‘ala minhajinnubuwwah.

Khilafah, satu-satunya system pemerintahan yang diwariskan Rasulullah, yang menjadi satu-satunya pilihan para sahabat untuk terus dijalankan. Bukan yang lainnya. Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam yang membahas tentang system pemerintahan, khilafah bukanlah sebuah ideology seperti yang dituduhkan orang-orang fasik, munafik dan kafir seperti saat ini. Para ulama sepakat, menegakkan khilafah adalah sebuah kewajiban.

Khilafah itu bukan ideology, khilafah adalah bagian dari ideology Islam. Sebagaimana pula demokrasi, demokrasi itu bukan ideology namun menjadi pilihan system pemerintahan dalam ideology kapitalisme. Dengan demokrasi, kapitalisme terus langgeng.

Ada perbedaan mendasar antara khilafah dengan demokrasi. Dalam khilafah kedaulatan ada dalam hukum syariat. Yang menentukan benar salah, baik buruk adalah syariat Allah dan RasulNya. Bukan hawa nafsu manusia juga bukan suara mayoritas manusia. Meski kedaulatan di tangan syariat pelaksana kekuasaan dalam khilafah adalah manusia. Manusia berkuasa di bumi untuk menerapkan aturan Allah dan RasulNya.

Berbeda dengan demokrasi, dalam demokrasi kedaulatan dan kekuasaan ada pada rakyat, meski ini hanya jargon saja karena faktanya bukan rakyat yang menentukan kebijakan, para pemilik modal melalui  penguasa boneka yang menentukan kebijakan. Sebanyak apapun suara mayoritas, itu tidak akan berarti jika disandingkan dengan kepentingan kaum kapitalis. Dalam demokrasi manusia sah membuat hukum sesuai keinginan dan ini sejalan dengan akidah ideology kapitalisme, sekularisme. Memisahkan agama dari kehidupan. Jangan membawa-bawa agama dalam kehidupan bernegara. Jangan mencampuradukan agama dengan kekuasaan. Jangan mengatur kehidupan dengan syariat Islam, atau dengan kata lain syariat Allah dan RasulNya tidak layak diterapkan dan diperjuangkan penerapannya.

System khilafah dan demokrasi bagaikan langit dan bumi, ada banyak hal substansial yang harus dipahami. Namun sebagai seorang muslim layak bertanya dan berpikir, kelak yang dibanggakan Nabi di akhirat apakah umatnya yang berjuang untuk menegakkan khilafah atau umatnya yang melanggengkan demokrasi ?

Wallahu a’lam bishawab

Pare, 9 November 2017




No comments:

Post a Comment