sumber gambar : tribunnews.com
Dunia pendidikan kembali berduka,seorang siswa SMP di Jakarta melompat
dari lantai empat di sekolahnya. Setelah dirawat nyawa siswa tersebut akhirnya
tidak terselamatkan. Dugaan awal, siswa melompat dalam rangka bunuh diri karena
tidak tahan dengan perundungan yang dialami. Ironi, sekolah yang seharusnya
menjadikan siswa mendapat bekal kehidupan malah menjadi tempat yang
mencelakakan. Ini bukan hal yang mengherankan. Dengan kondisi negeri yang semakin
liberal, dimana kebebasan begitu mudahnya dijumpai, maka sekolah pun akhirnya
menjadi tempat pelampiasan perilaku kebebasan, bahkan tidak memungkinkan
menjadi tempat bertemunya berbagai karakter anak yang terasah dengan pola
pengasuhan yang serba bebas. Kehidupan yang liberal yang dijalani anak di
lingkungannya akan mudah diekspresikan di sekolah, apalagi saat ini teman di
sekolah adalah orang yang paling berpengaruh bagi anak. Baik buruknya anak bisa
dikatakan sangat tergantung pada komunitas temannya, salah satunya teman
sekolah. Oleh karena itu perlu adanya pencegahan sejak dini perilaku
perundungan di sekolah dan penguatan mental anak agar tidak mudah menyerah saat
mengalami masalah.
Mengatasi kasus perundungan di sekolah, Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) mengusulkan pembentukan sistem pengaduan
korban dan saksi perundungan. Memang usul yang patut dipertimbangkan,
namun ini sebatas upaya kuratif. Yang tak kalah pentingnya adalah langkah
preventif. Jika tidak ada perundungan maka sistem perlindungan korban dan saksi
perundungan tidak diperlukan. Yaitu mencegah anak dari perilaku yang tidak
layak semisal melakukan perundungan. Upaya preventif ini memang membutuhkan
peran serta banyak pihak, karena tidak dipungkiri perilaku perundungan lahir dari
lingkungan anak dibesarkan. Untuk itu pihak yang harus bekerjasama untuk
mencegah perundungan adalah orang tua dan keluarga, masyarakat serta sekolah,
dan yang tak kalah pentingnya adalah pemerintah. Pihak-pihak tersebut memang
mempunyai peran masing-masing, akan tetapi dibutuhkan kerjasama dan mempunyai
satu visi, yakni menguatkan akidah anak, agar anak siap menjalani kehidupan,
mengetahui tujuan hidup, dan tidak putus asa ketika masalah menyapa.
Pertama, orang tua dan keluarga, adalah tempat pertama bagi anak mengenal
kehidupan. Maka bekal pertama yang perlu diberikan adalah penguatan akidah
dasar. Diantaranya adalah pengenalan kepada Allah SWT, cara mendekat kepada
Allah, agar anak mengetahui mengapa dia diciptakan dan sadar harus menjalani
kehidupan dengan aturan yang telah ditetapkan Sang Pencipta, ini berfungsi
untuk mencegah agar anak tidak dengan mudah berbuat sesuka hati apalagi ringan
melakukan pelanggaran dan membuat masalah bagi dirinya serta orang lain. Dengan
teladan orang tua dan keluarga yang selalu mempertimbangkan akidah, yaitu
pertimbangan akhirat, kemungkinan anak tak terkendali akan bisa diminimalisir.
Semua anggota keluarga akan mempertimbangkan dosa dan pahala bukan sekadar
menuruti hawa nafsu belaka. Kedua, sekolah dan masyarakat, di era kapitalisme
seperti saat ini, orang tua tak jarang lebih memberikan curahan perhatian
berupa pemenuhan materi dan tak punya waktu yang proporsional menemani anak
karena lebih banyak kesibukan mencari penghidupan di luar rumah, di sinilah
waktu anak lebih banyak dihabiskan di lingkungan, baik di sekolah maupun di
masyarakat. Maka sekolah dan lingkungan juga perlu dipastikan menjadi tempat
penguatan akidah bagi anak. Penguatan akidah di sekolah menjadi bekal anak agar
menjalani hidup dengan iman dan takwa, menuntut ilmu dengan dorongan yang
benar, yaitu untuk meninggikan derajat sebagai manusia, bukan demi kepentingan
dunia semata. Maka selain fungsi sekolah sebagai tempat transfer ilmu, sekolah
juga menjadi tempat pembentukan kepribadian siswa, dan modal utama pembentukan
kepribadian adalah kekuatan akidah, keyakinan bahwa manusia mempunyai kewajiban
untuk terikat syariat dan kesadaran pertanggungjawaban di akhirat. Untuk itu,
pemikiran sekular yang menjauhkan siswa dari suasanan keimanan harus dibuang jauh-jauh,
akidah harus menjadi standar perbuatan.
Yang terakhir adalah pentingnya peran pemerintah, pemerintah adalah pihak
yang bertanggungjawab atas semua yang terjadi pada warga negaranya.
Kebijakannya akan menentukan masa depan bangsa. Kebebasan arus informasi harus
dihentikan, pemerintah harus tegas dengan berbagai kontain media online yang
begitu mudahnya merusak pemikiran anak. Pemerintah juga harus memastikan bahwa
sekolah adalah tempat yang aman dan nyaman bagi siswa, memberikan fasilitas
terbaik agar siswa mendapat bekal utuh, ilmu, iman dan takwa. Oleh karena itu,
semua kegiatan dan hal yang membuat siswa jauh dari ilmu, iman dan takwa tidak
perlu ada di sekolah. Sebaliknya, pemerintah memberikan fasilitas penuh agar
siswa menikmati proses transfer ilmu serta mendapat bekal iman dan takwa. Maka
perlu menjadi pertimbangan bagi Kemenag dan Kemendikbud, sebagai pihak yang
bersentuhan langsung dengan dunia pendidikan untuk fokus pada pemastian bahwa
siswa di sekolah benar-benar mendapat ilmu dan menjadi manusia yang berakhlak
mulia, bukan malah menjauhkan sekolah dari suasana keimanan atas nama
pencegahan radikalisme dan tindakan terorisme dengan membatasi kegiatan
kegamaan yang bertujuan memperkuat akidah siswa. Mencegah perundungan di
sekolah karena pengaruh liberalisme yang menguat dalam sistem kapitalisme lebih
penting daripada sebatas jualan radikalisme yang begitu absurd. Masa depan anak
bangsa harus menjadi pertimbangan utama, bukan malah sibuk dengan agenda
pesanan asing semisal radikalisme. Dengan demikian, perlu gerak cepat dari
keluarga, sekolah dan masyarakat serta negara, menguatkan akidah seluruh warga,
memperbaiki sistem yang karut marut, dan melakukan perubahan sistemik demi
keselamatan dan keberkahan seluruh bangsa Indonesia.
Nur Aini, Guru
Pare Kediri Jawa Timur
No comments:
Post a Comment