Wednesday 22 January 2020

Mencegah Perundungan Di Sekolah Dengan Penguatan Akidah

sumber gambar : tribunnews.com

Dunia pendidikan kembali berduka,seorang siswa SMP di Jakarta melompat dari lantai empat di sekolahnya. Setelah dirawat nyawa siswa tersebut akhirnya tidak terselamatkan. Dugaan awal, siswa melompat dalam rangka bunuh diri karena tidak tahan dengan perundungan yang dialami. Ironi, sekolah yang seharusnya menjadikan siswa mendapat bekal kehidupan malah menjadi tempat yang mencelakakan. Ini bukan hal yang mengherankan. Dengan kondisi negeri yang semakin liberal, dimana kebebasan begitu mudahnya dijumpai, maka sekolah pun akhirnya menjadi tempat pelampiasan perilaku kebebasan, bahkan tidak memungkinkan menjadi tempat bertemunya berbagai karakter anak yang terasah dengan pola pengasuhan yang serba bebas. Kehidupan yang liberal yang dijalani anak di lingkungannya akan mudah diekspresikan di sekolah, apalagi saat ini teman di sekolah adalah orang yang paling berpengaruh bagi anak. Baik buruknya anak bisa dikatakan sangat tergantung pada komunitas temannya, salah satunya teman sekolah. Oleh karena itu perlu adanya pencegahan sejak dini perilaku perundungan di sekolah dan penguatan mental anak agar tidak mudah menyerah saat mengalami masalah.
Mengatasi kasus perundungan di sekolah, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengusulkan pembentukan sistem pengaduan  korban dan saksi perundungan. Memang usul yang patut dipertimbangkan, namun ini sebatas upaya kuratif. Yang tak kalah pentingnya adalah langkah preventif. Jika tidak ada perundungan maka sistem perlindungan korban dan saksi perundungan tidak diperlukan. Yaitu mencegah anak dari perilaku yang tidak layak semisal melakukan perundungan. Upaya preventif ini memang membutuhkan peran serta banyak pihak, karena tidak dipungkiri perilaku perundungan lahir dari lingkungan anak dibesarkan. Untuk itu pihak yang harus bekerjasama untuk mencegah perundungan adalah orang tua dan keluarga, masyarakat serta sekolah, dan yang tak kalah pentingnya adalah pemerintah. Pihak-pihak tersebut memang mempunyai peran masing-masing, akan tetapi dibutuhkan kerjasama dan mempunyai satu visi, yakni menguatkan akidah anak, agar anak siap menjalani kehidupan, mengetahui tujuan hidup, dan tidak putus asa ketika masalah menyapa.
Pertama, orang tua dan keluarga, adalah tempat pertama bagi anak mengenal kehidupan. Maka bekal pertama yang perlu diberikan adalah penguatan akidah dasar. Diantaranya adalah pengenalan kepada Allah SWT, cara mendekat kepada Allah, agar anak mengetahui mengapa dia diciptakan dan sadar harus menjalani kehidupan dengan aturan yang telah ditetapkan Sang Pencipta, ini berfungsi untuk mencegah agar anak tidak dengan mudah berbuat sesuka hati apalagi ringan melakukan pelanggaran dan membuat masalah bagi dirinya serta orang lain. Dengan teladan orang tua dan keluarga yang selalu mempertimbangkan akidah, yaitu pertimbangan akhirat, kemungkinan anak tak terkendali akan bisa diminimalisir. Semua anggota keluarga akan mempertimbangkan dosa dan pahala bukan sekadar menuruti hawa nafsu belaka. Kedua, sekolah dan masyarakat, di era kapitalisme seperti saat ini, orang tua tak jarang lebih memberikan curahan perhatian berupa pemenuhan materi dan tak punya waktu yang proporsional menemani anak karena lebih banyak kesibukan mencari penghidupan di luar rumah, di sinilah waktu anak lebih banyak dihabiskan di lingkungan, baik di sekolah maupun di masyarakat. Maka sekolah dan lingkungan juga perlu dipastikan menjadi tempat penguatan akidah bagi anak. Penguatan akidah di sekolah menjadi bekal anak agar menjalani hidup dengan iman dan takwa, menuntut ilmu dengan dorongan yang benar, yaitu untuk meninggikan derajat sebagai manusia, bukan demi kepentingan dunia semata. Maka selain fungsi sekolah sebagai tempat transfer ilmu, sekolah juga menjadi tempat pembentukan kepribadian siswa, dan modal utama pembentukan kepribadian adalah kekuatan akidah, keyakinan bahwa manusia mempunyai kewajiban untuk terikat syariat dan kesadaran pertanggungjawaban di akhirat. Untuk itu, pemikiran sekular yang menjauhkan siswa dari suasanan keimanan harus dibuang jauh-jauh, akidah harus menjadi standar perbuatan.
Yang terakhir adalah pentingnya peran pemerintah, pemerintah adalah pihak yang bertanggungjawab atas semua yang terjadi pada warga negaranya. Kebijakannya akan menentukan masa depan bangsa. Kebebasan arus informasi harus dihentikan, pemerintah harus tegas dengan berbagai kontain media online yang begitu mudahnya merusak pemikiran anak. Pemerintah juga harus memastikan bahwa sekolah adalah tempat yang aman dan nyaman bagi siswa, memberikan fasilitas terbaik agar siswa mendapat bekal utuh, ilmu, iman dan takwa. Oleh karena itu, semua kegiatan dan hal yang membuat siswa jauh dari ilmu, iman dan takwa tidak perlu ada di sekolah. Sebaliknya, pemerintah memberikan fasilitas penuh agar siswa menikmati proses transfer ilmu serta mendapat bekal iman dan takwa. Maka perlu menjadi pertimbangan bagi Kemenag dan Kemendikbud, sebagai pihak yang bersentuhan langsung dengan dunia pendidikan untuk fokus pada pemastian bahwa siswa di sekolah benar-benar mendapat ilmu dan menjadi manusia yang berakhlak mulia, bukan malah menjauhkan sekolah dari suasana keimanan atas nama pencegahan radikalisme dan tindakan terorisme dengan membatasi kegiatan kegamaan yang bertujuan memperkuat akidah siswa. Mencegah perundungan di sekolah karena pengaruh liberalisme yang menguat dalam sistem kapitalisme lebih penting daripada sebatas jualan radikalisme yang begitu absurd. Masa depan anak bangsa harus menjadi pertimbangan utama, bukan malah sibuk dengan agenda pesanan asing semisal radikalisme. Dengan demikian, perlu gerak cepat dari keluarga, sekolah dan masyarakat serta negara, menguatkan akidah seluruh warga, memperbaiki sistem yang karut marut, dan melakukan perubahan sistemik demi keselamatan dan keberkahan seluruh bangsa Indonesia.

Nur Aini, Guru
Pare Kediri Jawa Timur


No comments:

Post a Comment