Mungkin judul yang dianggap lebay, utopis, terlalu tinggi. Ya,
bagi yang belum paham. Namun tidak masalah jika dianggap demikian.
Pare, entahlah… semakin rusak saja.
Saat hujan deras
genangan air selalu menghiasi beberapa wilayah. Di utara perempatan Garuda, di
utara pertigaan Brawijaya, di Jl. Anyelir sebelah barat, di jalan Aster, di
jalan Lamtana timur dam sungai, di jalan Glagah, di perempatan Tulungrejo. Itu beberapa
tempat yang setidaknya pernah saya lalui setelah hujan deras. Wajar, kampung semakin padat dengan bangunan,
tidak diiringi dengan penataan tata ruang, tidak diiringi kepeduliaan manusia
akan kelestarian lingkungan. Pamong tak
peduli, hanya pajak dan restribusi yang dipikirkan.
Pergaulan bebas, sudah biasa di Pare. Hamil di luar nikah di
antara sesama pendatang, pendatang menghamili penduduk setempat, penduduk
setempat menghamili warga asli. Zina di tempat tersembunyi, pacaran di tempat
ibadah, pacaran di ruang terbuka. Kafe buka hingga semalam suntuk,
genjrang-genjreng, nyanyi-nyai sepanjang malam. Ketika diingatkan tak ada perubahan
hingga masyarakat dan pamong cenderung membiarkan karena menganggap sudah tak ada
gunanya mengingatkan. Jan-jane iki kampunge sopo to? Dielengke ko malah
menthelengi.
Bisnis kursusan semakin menjamur. Belajar yang seharusnya
menjadi kewajiban bagi seorang muslim semata karena meraih ridho Allah karena
memang orang berilmu mempunyai kedudukan yang mulia, orang yang berilmu lebih
baik daripada orang bodoh. Maka menyedikan kursusan adalah ibadah karena
memfasilitasi orang mencari ilmu meski diperbolehkan menarik biaya karena
memang berakad ijarah. Mencari ilmu adalah ibadah, meski boleh saja mencari
ilmu untuk memudahkan mencari materi. Belajar
agar bias mencari pekerjaan yang layak, belajar untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi lagi. Namun, di Pare belajar bahasa Inggris menjadi
semata bisnis. Asal keuntungan materi teraih apapun dilakukan. Dahulu hampir semua
kursusan mewajibkan peserta kursus untuk berpakaian menutup aurat. Sekarang,
seiring menancapnya pemikiran liberal, pengagungan kebebasan, atas nama HAM,
kekhawatiran kehilangan rezeki dan entah karena alasan apalagi, semua itu tak berlaku. Asalkan mau membayar, silakan kursus.
Yang menyediakan kursusan matre yang kursus menganggap materi menyelesaikan
segalanya.
Orang-orang yang sebelumnya mempunyai idealisme tinggi dan
mulia pun juga tergerus dengan kerusakan. Menghabiskan waktu untuk kursus
dengan mengabaikan kewajiban berdakwah dan menambah tasqafah, menghabiskan
waktu untuk liburan dengan kunjungan ke berbagai tempat wisata. Maaf tidak bisa
ikut kajian : ada test, padahal Ahad. Program full. Ada kunjungan ke Kelud,
SLG, Bromo. Lagi di CFD. Seolah itu semua harus dinikmati saat ini, harus
dijalani saat di Pare. Lupakah bahwa itu
semua hanya nikmat sesaat di dunia saja.
Akhirat menunggu.
Kembali ke syariah, kembali ke aturan yang dibuat Allah al
khaliq al mudabbir. Terikat dengan hukum Allah, menerapakan dalam semua aspek
kehidupan. Amar makruf nahi munkar harus dilakukan. Jika dibiarkan akan semakin
rusak.
Menegakkan khilafah. Khilafah sistem warisan Rasululllah
yang dijalankan oleh para sahabat, hingga dimusnahkan oleh Mustafa Kemal sang pengkhianat. Khilafah, system pemerintahan yang menjadikan
akidah Islam sebagai landasan, menjadikan alquran dan hadits sebagai pedoman. Melindungi
semua warga negaranya baik muslim maupun non muslim. Khilafah merealisasikan
Islam sebagai rahmat untuk seluruh alam.
Dakwah khilafah, dimulai dengan penguatan akidah, mengajak
untuk terikat pada syariat, peduli dengan problematika umat, menjadi pelindung
untuk semua kebaikan. Mengontak semua elemen umat, berinteraksi dengan umat,
membina dengan tsaqafah Islam, menguatkan kesadaran untuk kembali pada hukum Allah.
Mengajak para ahlu quwwah untuk tunduk pada syariat.
Insya Allah tidak hanya kampung Inggris yang terselamatkan,
tapi berkah akan melingkupi seluruh bumi.
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan-tangan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS ar-Rum [30]: 41).
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Zhahara al-fasâd fî al-barr wa al-bahr (Telah tampak kerusakan di darat dan di laut). Dalam bahasa Arab, kata al-fasâd kebalikan dari al-shalâh (kebaikan).1 Segala sesuatu yang tidak terkagori sebagai kebaikan dapat dimasukkan ke dalam al-fasâd.
Berkaitan dengan kata al-fasâd dalam ayat ini, para mufassir berusaha mendeskripsikan kerusakan yang dimaksud. Al-Biqa’i menjelaskannya sebagai berkurangnya semua yang bermanfaat bagi makhluk.2 Menurut al-Baghawi dan al-Khazin, fasâd adalah kekurangan hujan dan sedikitnya tanaman.3 Al-Nasafi memberikan contoh berupa terjadinya paceklik; minimnya hujan, hasil panen dalam pertanian, dan keuntungan dalam perdagangan; terjadinya kematian pada manusia dan hewan; banyaknya peristiwa kebakaran dan tenggelam; dan dicabutnya berkah dari segala sesuatu.4
Selain keadaan tersebut, fasâd juga digambarkan az-Zamakhsyari dan al-Alusi dengan kegagalan para nelayan dan penyelam, sedikitnya manfaat, dan banyaknya madarat.5
Jika dicermati, penjelasan beberapa mufassir itu hanya merupakan contoh kejadian yang tercakup dalam fasad. Artinya, kerusakan yang dimaksud ayat ini bukan hanya peristiwa yang disebutkan itu. Sebab, sebagaimana ditegaskan asy-Syaukani, at-ta’rîf (bentuk ma’rifah) pada kata al-fasâd menunjukkan li al-jins (untuk menyatakan jenis). Artinya, kata tersebut mencakup semua jenis kerusakan yang ada di daratan maupun di lautan.6 Semua kerusakan dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, moral, alam, dan sebagainya termasuk dalam cakupan kata al-fasâd.
Demikian pula kata al-barr dan kata al-bahr. Huruf al-alif wa al-lâm pada kedua kata itu memberikan makna li al-jins7 sehingga menunjukkan makna semua daratan dan semua lautan. Dengan demikian, ayat ini memberikan pengertian bahwa telah tampak dengan jelas semua jenis kerusakan di seluruh muka bumi, baik di daratan maupun lautan.
Berbagai kerusakan itu tidak terjadi tiba-tiba. Pangkal penyebabnya disebutkan dalam firman Allah Swt. berikutnya: bimâ kasabat aydî al-nâs (disebabkan oleh perbuatan tangan manusia). Menurut ayat ini, pangkal penyebab semua kerusakan di seluruh muka bumi itu adalah ulah perbuatan manusia. Dijelaskan oleh para mufassir bahwa ulah perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan dosa dan maksiat.
Al-Jazairi menafsirkannya: bi zhulmihim wa kufrihim wa fisqihim wa fujûrihim (karena kezaliman, kekufuran, kefasikan dan kejahatan mereka). Al-Baghawi menyebutnya bi syu’ dzunûbihim karena keburukan dosa-dosa mereka).8 Tidak jauh berbeda, Ibnu Katsir memaknainya bi sabab al-ma’âshî (karena kemaksiatan-kemaksiatan).9 Al-Zamakhsyari dan Abu Hayyan menuturkan bi sabab ma’âshîhim wa dzunûbihim (karena perbuatan maksiat dan dosa mereka).10
Meskipun dengan ungkapan yang agak berbeda, pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Syihabuddin al-Alusi, al-Baidhawi, al-Samarqandi, al-Nasafi, al-Khazin, dan al-Shabuni.11Menurut al-Alusi, kesimpulan tersebut sejalan dengan firman Allah Swt.:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Musibah apa saja yang menimpa kalian adalah akibat perbuatan tangan kalian sendiri (QS asy-Syura [42]: 30).
Dengan demikian, ayat ini memastikan bahwa pangkal penyebab terjadinya seluruh kerusakan di muka bumi adalah pelanggaran dan penyimpangan manusia terhadap ketentuan syariah-Nya.
Kemudian Allah Swt. berfirman: liyudzîqahum ba’dha al-ladzî ‘amilû (supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari [akibat] perbuatan mereka). Ibnu Jarir ath-Thabari menjelaskan bahwa frasa ini memberikan pengertian: Agar Dia menimpakan kepada mereka hukuman atas sebagian perbuatan dan kemaksiatan yang mereka lakukan.12 Al-Baghawi juga mengatakan bahwa itu adalah hukuman atas sebagian dosa yang telah mereka kerjakan.13 Pendek kata, kerusakan yang timbul akibat kemaksiatan dan kemungkaran itu merupakan hukuman bagi pelakunya di dunia sebelum mereka mendapat hukuman di akhirat.14
Patut dicatat, hukuman di dunia itu, betapa pun dahsyatnya, sesungguhnya masih baru sebagian. Sebab, kata ba’dha al-ladzî ‘amilû menunjukkan, azab yang mereka rasakan saat ini belum seluruhnya. Azab secara keseluruhan akan ditimpakan kepada pelakunya kelak di akhirat.15 Meski begitu, kerusakan yang kasatmata itu seharusnya menyadarkan mereka untuk bertobat. Allah Swt. berfirman: la’allahum yarji’ûna (agar mereka kembali [ke jalan yang benar]).
Kata yarji’ûna berarti bertobat. Demikian penafsiran banyak mufassir, seperti al-Hasan sebagaimana dikutip ath-Thabari dan asy-Syaukani.16 Tobat tersebut dilakukan dengan menyesali kesalahannya, berhenti dari segala kemaksiatan, dan kembali taat pada ketentuan syariah-Nya.
Kemaksiatan dan Kerusakan
Telah maklum, dunia kini sedang dilanda krisis ekonomi. Meningkatnya pengangguran, banyaknya perusahaan yang bangkrut dan gulung tikar, meluasnya kemiskinan, anjloknya daya beli masyarakat, dan berbagai dampak ikutan lainnya telah menjadi ancaman yang mencemaskan bagi dunia. Meskipun berbagai langkah telah ditempuh untuk mengatasinya, hingga kini belum menunjukkan tanda-tanda berhasil. Kalaupun suatu saat tampak reda, itu hanyalah bersifat sementara. Krisis yang sama, bahkan lebih besar akan kembali berulang.
Bagi kaum Muslim, semestinya tidak sulit mengurai persoalan tersebut. Sebab, ayat ini telah memberikan panduan amat jelas dalam memandang dan menyikapi setiap kerusakan yang terjadi di muka bumi. Ada dua perkara penting dari ayat ini yang patut dijadikan sebagai patokan ketika melihat kerusakan.
Pertama: pangkal penyebab kerusakan. Menurut ayat ini, penyebab semua kerusakan tersebut adalah ulah tangan manusia (bimâ kasabat aydî al-nâs). Sebagaimana dijelaskan para mufassir, ulah tangan manusia yang dimaksud adalah kemaksiatan dan perbuatan dosa manusia. Pelanggaran manusia terhadap dînul-Lâh, baik akidah maupun syariah, itulah yang menjadi penyebab kerusakan. Kesimpulan ini kian jelas jika dikaitkan dengan ayat sebelum dan sesudahnya, serta nash-nash lainnya.
Dalam ayat sebelumnya, diberitakan bahwa manusia itu diciptakan Allah Swt. Dia pula yang memberikan rezeki, mematikan, dan menghidupkan manusia. Tidak ada andil sedikit pun dari sesembahan orang-orang yang menyekutukan-Nya. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan (lihat QS al-Rum [30]: 40).
Di samping mengandung berita, ayat tersebut juga bermakna celaan bagi orang-orang musyrik. Dijelaskan Fakhruddin ar-Razi, aspek hubungan tersebut dengan sesudahnya (ayat 41), bahwa syirik merupakan sebab kerusakan.17 Dalam ayat sesudahnya (ayat 42) manusia diperintahkan untuk memperhatikan kesudahan kaum yang menyekutukan-Nya. Akibat buruk yang dialami kaum musyrik sebelumnya kian mengukuhkan bahwa kerusakan yang merata di daratan dan di lautan itu disebabkan oleh kemusyrikan dan kekufuran. Tak aneh jika Qatadah dan as-Sudi pun menafsirkan kata fasâd dalam ayat ini sebagai syirik.18
Kekufuran dan kemusyrikan merupakan kemaksiatan terbesar. Kesesatan akidah inilah yang melahirkan, memproduksi, dan membawa berbagai kemaksiatan lainnya. Tak berlebihan jika kekufuran dan kemusyrikan disebut sebagai biang utama kerusakan. Kerusakan yang disebabkan oleh kemusyrikan dan kekufuran itu juga dapat dijumpai dalam ayat lain (Lihat, misalnya, QS Maryam [19]: 89-91).
Di samping kekufuran dan kemusyrikan, ada beberapa kemaksiatan lainnya yang disebutkan secara spesifik dapat menyebabkan kehancuran masyarakat. Rasulullah saw. bersabda:
إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ ، فَقَدْ أَحَلُّوا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
Jika zina dan riba telah tampak di suatu kampung maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan diri mereka dari azab Allah (HR ath-Thabrani dan al-Hakim).
Oleh karena kekufuran, kemaksiatan, dan perbuatan dosa merupakan penyebab terjadinya kerusakan, tidak jarang al-Quran pun menyebut semua tindakan itu dengan kerusakan. Seruan terhadap kaum munafik agar tidak berbuat kerusakan dalam QS al-Baqarah [2]: 11, misalnya, mengandung makna sebagai larangan berlaku kufur, syirik, dan maksiat.
Kedua: solusi atas kerusakan yang terjadi. Frasa penutup ayat ini mengisyaratkan, solusi satu-satunya agar kerusakan di muka bumi tidak berlanjut adalah kembali pada syariah-Nya. Sebab,pangkal penyebab terjadinya semua kerusakan di muka bumi adalah perbuatan maksiat dan dosa. Karena itu, untuk menghentikannya pun dengan cara berhenti dari maksiat, selanjutnya berjalan sesuai dengan tuntunan syariah. Selama kemaksiatan terus berjalan, jangan berharap pula kerusakan bisa berhenti.
Berkaitan dengan hal ini, menarik untuk disimak pemaparan Abu al-Aliyah yang dikutip Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat ini:
Siapa saja yang bermaksiat kepada Allah di muka bumi, sungguh dia telah melakukan kerusakan di muka bumi. Sebab, baiknya bumi dan langit disebabkan karena ketaatan. Oleh karena itu, dalam hadis yang diriwayatkan Abu Daw dinyatakan:
لَحَدٌّ يقَامُُ بِهِ فِي اْلأَرْضِ أََحَبُّ إِلَى أَهْلِهَا مِنْ أَنْ يُمْطَرُوا أَرْبَعِينَ صَبَاحًا
Sungguh hukum hudûd yang ditegakkan di muka bumi lebih disukai penduduknya daripada mereka diguyur hujan selama empat puluh pagi).
Hal itu karena jika hudûd ditegakkan dapat membuat manusia—sebagian besar atau kebanyakan manusia—meninggalkan perbuatan yang diharamkan. Sebaliknya, jika manusia melakukan maksiat, maka itu menjadi sebab bagi lenyapnya berkah dari langit dan bumi.19
Berhenti dari maksiat dan kembali pada syariah Islam itu haruslah secara total. Jika belum total, berarti masih ada ruang bagi mereka dalam maksiat.
Patut ditegaskan, syariah Islam bersifat sempurna, mengatur totalitas aspek kehidupan manusia (lihat QS al-Nahl [16]: 86, al-Maidah [5]: 3). Syariah mengatur seluruh hubungan manusia, baik dengan Tuhannya, dirinya; maupun sesamanya. Di samping berisi hukum-hukum tentang ibadah, makanan, pakaian, dan akhlak; syariah juga memberikan sistem pemerintahan, ekonomi, pendidikan, politik luar negeri, pidana, dan sebagainya. Semua hukum itu wajib diterapkan. Jika itu dikerjakan, kerusakan akan lenyap, berganti dengan kehidupan penuh berkah (Lihat: QS al-A’raf [7]: 96).
Sekularisme-Kapitalisme: Biang Krisis
Tak dapat dipungkiri, dunia kini sedang dicengkeram ideologi sekularisme. Ideologi ini telah melahirkan berbagai paham dan sistem yang merusak kehidupan. Dalam penetapan baik-buruk, ideologi ini mendasarkan pada asas manfaat material (materialisme), bahkan oleh selera dan kesenangan (hedonisme). Ketika paham itu mendominasi, apalagi ditetapkan dalam institusi negara, sudah pasti ia menyebabkan kerusakan. (Lihat: QS al-Mukminun [23]: 71).
Dalam sistem pergaulan, ideologi ini menuhankan kebebasan (freedom). Sebagai konsekuensinya, pornografi, free sex, dan homoseksual dianggap sebagai kewajaran; bukan sebagai kejahatan yang harus diberantas. Perilaku amoral itu pun memunculkan aneka masalah, mulai dari merebaknya penyakit kelamin, HIV/AIDS, aborsi, runtuhnya bangunan rumah tangga hingga meningkatnya kriminalitas.
Dalam ekonomi, ideologi ini melahirkan sistem ekonomi Kapitalisme. Sistem ekonomi ini menjadikan riba, pasar saham, pemberlakuan mata uang kertas, dan kebebasan kepemilikan sebagai pilarnya; yang semaunya melanggar syariah. Faktanya, semua pilar itu menjadi penyebab terjadinya krisis ekonomi global. Ketamakan sistem ekonomi juga menyebabkan kerusakan alam yang amat parah. Nyatalah, kerusakan global tidak akan bisa diatasi kecuali mengubah sistemnya secara total: dari Sekularisme-Kapitalisme menuju Islam, di bawah naungan Daulah Khilafah ‘ala Minhâj an-Nubuwwah.
Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
Catatan kaki:
- Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 3 (Beirut: Dar ash-Shadir, tt).
- Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 631.
- Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 417; al-Khazin,Lubâb at-Ta’wîl fi Ma’âni at-Tanzîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 393,
- An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 31.
- Az-Zamaksyari, Al-Kasysyâf, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 466-467;al-Alusi,Rûh al-Ma’ânî, vol. 11 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 48.
- Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 4 (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 284.
- Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 11 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 48.
- Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 3, 417
- Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 1438.
- Az-Zamaksyari, Al-Kasysyâf, vol. 3, 467; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth,vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 360.
- Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 11, 48; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 14; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, vol. 2, 31; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fi Ma’âni at-Tanzîl, vol. 3, 393; ash-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 442.
- Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 10 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 192.
- Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 3, 418.
- Penjelasan demikian bisa dilihat dalam Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth,vol. 4, ; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 11, 48.
- Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 3, 417.
- Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 10, 192; al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 4, 284.
- Fakhruddin ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 25 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 112.
- Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 14 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 28
- Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 3, 1438.