Saturday, 30 December 2017

Renungan Akhir 2017


2017 sebentar lagi berlalu, 2018 sudah di hadapan
Ada banyak hal yang belum bisa diwujudkan
Ada banyak hal yang tidak sesuai harapan
Namun selalu mengingat ada banyak kenikmatan
Jadi tak layak hidup berkubang penyesalan

Kembali mengingat siapa yang mencipkan kita
Untuk apa hidup di dunia
Kemana setelah tubuh tak lagi bernyawa
Apa saja yang sudah disiapkan sebagai bekal di alam baqa
Sudahkah menjalani hidup sesuai dengan syariatNya
Sudahkah menjauhi larangan yang sudah ditetapkanNya

Hidup di dunia hanya sementara
Tak seharusnya membuat kita lupa
Mengejar kebahagiaan dunia semata
Tanpa berpikir akan masuk surga atau neraka
Terjebak mengejar kenikmatan dunia yang hanya fatamorgana

Terus mensyukuri nikmat yang tak bisa dihitung
Terus memperbaiki diri sesuai dengan syariat dari Yang Maha Agung
Terus menambah ilmu agar tak seperti katak dalam tempurung
Berpedoman pada Alqur’an dan Hadits agar tidak bingung

Pare, 30 Desember 2017

Friday, 15 December 2017

Mubah Poligami Wajib Menafkahi

m.infospesial.net
(Abaikan banyaknya uang yang di gambar, nafkah itu tidak identik dengan banyaknya nominal)

Nulis ini karena dapat cerita dari orang yang diceritani orang lain (ga jelas kan?). Seorang istri yang dipoligami curhat pada temannya tentang nafkah belanja yang dia rasakan sangat kurang. Jika dapat cerita  seperti ini baper tingkat tinggi dech,  jujur tidak suka. Teorinya, menikah itu ibadah, ya sudah disyukuri saja ,sekuat mungkin tidak mengeluh ke orang lain. Masalah rumah tangga itu diusahakan diselesaikan secara personal dulu, langsung komunikasikan baik-baik dengan pasangan, belum tentu juga yang diceritani bisa langsung memberi solusi, belum tentu juga suaminya sadar akan kekurangannya. Beda lagi jika dalam system khilafah Islamiyah, dimana Negara bisa memberi tindakan tegas pada laki-laki mampu yang mangkir dari kewajiban memberi nafkah. Hari gini lapor ke pengadilan ,ke Komisi Perlindungan Anak dan Perempuan, lapor ke komnas HAM, lapor ke polisi ya hanya bikin susah saja. Tidak menyelesaikan masalah. Standarnya bukan hukum syara’.

Menanggapi tentang keluhan istri yang dipoligami, pertama tetap menghukumi poligami sebagai aktivitas mubah, dilakukan boleh tidak dilakukan juga boleh ( sudah ada dalam tulisan : Poligami dan Jika Tidak Poligami, Apa Alternatif Solusinya ? ). Namun salah satu hal yang harus selalu diperhatikan oleh suami adalah sikap agar tidak mendzalimi istri-istrinya :
Siapa  saja  yang  mempunyai  dua  orang  isteri,  lalu  ia  lebih cenderung kepada salah satu dan mengabaikan yang lain, niscaya ia akan datang pada hari Kiamat nanti berjalan sementara salah satu kakinya lumpuh atau pincang.” (HR Ibn Hibbân di dalam Shahîh-nya).

Salah satu kedzaliman yang mungkin terjadi adalah dalam hal nafkah belanja. Jadi masalah nafkah ini tidak boleh diabaikan begitu saja, apalagi Allah juga mengingatkan para suami agar memberikan yang terbaik untuk para istri : tempatkanlah (para istri) di tempat tinggal kalian, sesuai dengan kemampuan kalian, dan janganlah kalian menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka (QS: Ath Thalaq ayat 6).

Pada masa Rasulullah pernah ada yang mengadu :
Imam Bukhari dan Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Aisyah ra, bahwa Hindun binti Utbah mengatakan : Wahai Rasulullah, Abu Sufyan adalah orang yang bakhil, yang tidak pernah memberiku nafkah yang bisa mencukupiku serta anak-anakku, kecuali nafkah yang aku ambil darinya ketika dia tidak tahu (lengah). Jawab Nabi saw, “Ambillah, nafkah yang bisa mencukupimu serta anak-anakmu, sewajarnya saja.

Tidak hanya pada kasus poligami saja sih, monogami juga, intinya nafkah adalah kewajiban suami, jangan sampai yang wajib terlalaikan. Baiknya istri pandai bersyukur, suami maksimal memberikan yang terbaik. Lagian standar kecukupan nafkah itu sederhana saja tidak perlu dipersulit.


Terkait standar kecukupan nafkah bisa dibaca di tulisan K.H. Hafidz Abdurrahman berikut ini :
STANDAR KECUKUPAN NAFKAH & Siapa Yang Menafkahi Jika Suami Tidak Mampu?
Soal:
Apa ukuran dan kriteria kecukupan nafkah yang diberikan seorang suami kepada istri dan anak-anaknya menurut pandangan Islam? Siapa pula yang diwajibkan untuk memenuhi nafkah jika suami (atau ayah) tidak mampu?

Jawab:
            Salah satu kewajiban seorang suami terhadap anak-anak dan istrinya adalah kewajiban memberi nafkah. Allah Swt. memaparkannya di dalam al-Quran:

]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ[
Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. (QS al-Baqarah [2]: 233).

Yang dimaksudkan dengan rezeki pada ayat di atas adalah nafkah. Ibn Katsir menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut:

Seorang ayah harus memberikan nafkah dan pakaian kepada anak-anaknya (juga istrinya) dengan cara yang makruf. Yang dimaksud dengan makruf disini adalah yang sesuai dengan adat istiadat (kebiasaan) bagi para wanita di negeri tersebut, asalkan tidak boros dan tidak kekurangan; juga sesuai dengan kemampuan ayah (atau suami) secara proporsinal. (Ibn Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr, jld. I/351).

            Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa seorang suami atau ayah wajib hukumnya memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Cakupan pemberian nafkahnya meliputi: kebutuhan makan dan minum, pakaian, tempat tinggal, pembantu rumah tangga (jika istrinya tidak sanggup), dan kebutuhan-kebutuhan wajib/pokok lainnya yang biasa diperlukan bagi istri dan anak-anaknya. Hal ini diperkuat oleh firman Allah Swt. lainnya:

]أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ[
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu. (QS ath-Thalaq [65]: 6).

             Berkaitan dengan seberapa besarnya nafkah yang diberikan kepada anak-anak dan istri, al-Quran menggunakan kata-kata bi al-ma‘rûf (dengan cara yang makruf), yaitu sesuai dengan kebutuhan istri dan anak-anaknya, atau sesuai dengan standar hidup masyarakat di negeri tempat tinggal istri dan anak-anaknya, atau sesuai dengan tingkat/derajat sosial istri dan anak-anaknya di tengah-tengah masyarakat. Semua itu menjadi unsur-unsur penting bagi seorang ayah atau suami dalam memberikan nafkahnya. Rasulullah saw. menjelaskan lebih detail bentuk makruf tersebut dalam hadis berikut. Mu‘awiyah menuturkan bahwa al-Qusyairi pernah berkata, “Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah hak seorang istri dari kami kepada suaminya?” Rasulullah saw. menjawab:

«أَطْعِمُوهُنَّ مِمَّا تَأْكُلُونَ وَاكْسُوهُنَّ مِمَّا تَكْتَسُونَ وَلاَ تَضْرِبُوهُنَّ وَلاَ تُقَبِّحُوهُنَّ»
Engkau memberinya makan sesuai dengan apa yang engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian. Janganlah engkau memukul mukanya. Janganlah engkau menjelek-jelekkannya. (HR Abu Dawud).

Imam Malik berpendapat bahwa besarnya nafkah itu tidak ditentukan berdasarkan ketentuan syariat, melainkan           berdasarkan keadaan masing-masing suami dan istri. Hal ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan tempat (negeri), waktu, dan keadaan. Demikian pula pendapat Imam Abu Hanifah. (Lihat: Ibn Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid, jld. II/41).
Rasulullah saw. pernah memperoleh pengaduan dari istri Abu Sufyan yang tidak memperoleh nafkah yang mencukupi bagi dirinya dan anak-anaknya. Padahal, status sosial dan ekonomi Abu Sufyan di tengah-tengah masyarakat sangatlah memadai.

«عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي إلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ فَقَالَ خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ»

Aisyah menceritakan bahwa Hindun binti Utbah pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang kikir. Ia tidak mau memberi nafkah kepadaku dan anakku, sehingga aku mesti mengambil (nafkah)-nya tanpa sepengetahuannya.” Rasulullah menjawab, “Ambillah apa yang mencukupi bagimu dan anakmu dengan cara yang makruf.”  (HR. Bukhari dan Muslim).

Teks hadis tersebut menegaskan bahwa nafkah adalah hak bagi istri dan anak-anak. Apabila seorang ayah atau suami tidak memberikan nafkah secara mencukupi, padahal ia mampu, maka Rasulullah saw. membolehkan bagi istri untuk mengambilnya (walaupun) tanpa sepengetahuan suaminya secara mencukupi, artinya tidak berlebih-lebihan.
            Meskipun demikian, apabila seorang suami atau ayah—setelah berusaha keras atau karena suatu sebab—tetap tidak mampu mencukupi kebutuhan (nafkah) bagi istri dan anak-anaknya, maka Allah Swt. tidak memaksakan hal itu kepadanya. Allah Swt. berfirman:

]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا[
Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.  (QS al-Baqarah [2]: 233).

            Lalu, kepada siapa beban untuk mencukupi nafkah tersebut berpindah? Di dalam sistem ekonomi Islam yang berkaitan dengan kewajiban nafkah, problematika semacam ini—yang biasa dijumpai di tengah-tengah masyarakat—dipecahkan secara jitu melalui tahap peralihan beban, yaitu:

1.   Jika seorang ayah atau suami tidak mampu lagi memberikan nafkah kepada orang-orang yang wajib ditanggungnya, maka kewajiban tersebut berpindah kepada saudara-saudaranya atau karib kerabatnya, seperti kakaknya (yang laki-laki), pamannya, dan seterusnya.

2. Jika pihak saudara juga tidak mampu, maka kewajiban tersebut berpindah kepada kaum Muslim yang menjadi tetangganya.

3. Jika masyarakat (tetangga) yang menjadi komunitas tempat tinggalnya juga tidak mampu (baik karena miskin atau fakir), maka Islam mengalihkan beban tersebut kepada negara atau khalifah. Rasulullah saw. bersabda:

«اَلإِمَامُ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ»
Seorang imam (khalifah) itu bagaikan penggembala (pemimpin). Ia bertanggung jawab terhadap (keadaan) apa yang dipimpinnya. (HR al-Bukhari dan Muslim).

            Dengan demikian, sistem Islam adalah satu-satunya sistem yang memecahkan masalah nafkah dengan cara terintegrasi. Islam tidak membiarkannya begitu saja ditangani oleh individu-individu, karena bisa saja seorang suami atau ayah berada dalam kondisi yang tidak mampu; baik karena cacat, sakit, tua renta, atau sebab-sebab lain. Negara atau khalifahlah yang menjadi penanggung jawab atas seluruh keadaan masyarakatnya, karena memang itulah fungsi dan kewajiban negara, yaitu mengatur dan memelihara urusan-urusan masyarakat; termasuk kecukupan nafkah setiap rakyatnya.
Wallâhu a‘lam[KH. Hafidz Abdurrahman]


Thursday, 14 December 2017

Subuh Spesial di Darul Falah

Pagi hari arah timur, lantai 2 masjid Darul Falah

Subuh hari ini agak special, di masjid Darul Falah, dipimpin imam membacakan dua kali al fatihah.
Yang pertama untuk salah seorang pengurus dan jamaah yang meninggal dunia, Pak Mujari . memang sudah sepuh, saya sendiri juga sudah agak lupa dengan wajahnya, masih mengingat beliau karena dulu juga berburu tanda tangan saat Ramadan, salah satunya ke Pak Mujari.

Fatihah kedua untuk pencuri kotak amal masjid sehari sebelumnya, kotak amal kayu yang lumayan besar dan berat diambil pencuri, tengah malam. Memang ada cctv tapi sepertinya, pencuri sudah tahu. Wajahnya sengaja ditutup dan selalu membelakangi kamera. Sengaja dibacakan al fatihah, mendokan semoga pencuri kotak amal masih diberi kesempatan untuk bertaubat.

Dua sosok yang didoakan dengan profil yang bertolakbelakang. Semoga amal Pak Mujari diterima oleh Allah, dosanya diampuni, diluaskan kuburnya dan ditempatkan di surga. Aamiin

Sedangkan untuk pencuri kotak amal, semoga segera bertaubat, semoga hanya khilaf mencuri sekali saja. Namun ini membuat prihatin, kotak amal yang isinya belum tentu banyak menjadi sasaran, sudah mencuri, hasilnya sedikit, jelas berdosa. Tetapi namanya mencuri, sedikit banyak tetap saja berdosa.

Lemah iman miskin harta, maksiat biasa. Mungkin seperti itu. Dan tidak perlu malu mengakui, bisa jadi pencurinya juga muslim, muslim tapi tega banget mengambil harta umat Islam.

Inilah yang harus menjadi renungan kita, muslim di negeri ini mayoritas namun mayoritas pelaku kriminalitas juga muslim. seolah gelar terbaik untuk umat Islam tidak ada pengaruhnya sama sekali.

Dari segi individu, muslim yang terbiasa dengan kemaksaiatan karena tidak paham, tidak berpikir tentang konsekuensi syahadat, tidak paham dengan kewajiban taat kepada Allah dan Rasulullah. Tidak merasa dekat dengan Allah, ringan melanggar hukum syara’,  bisa jadi karena  tidak tahu dan tidak mau tahu, yang penting bertahan hidup, mau menjalani hidup seperti apa, mereka tidak berpikir panjang. Dan ini sangat berkaitan dengan system yang diterapkan dalam kehidupan.  Dalam system yang saat ini melingkupi negeri ini, edukasi untuk semakin paham dengan ajaran Islam menjadi tanggung jawab individu ulama, dan itu pun sangat dibatasi. Edukasi hanya sebatas hal-hal yang bersifat individual (ibadah mahdhah),  penyampaian Islam kaffah dari hal individu, hingga dalam segala bidang termasuk dalam hal politik dan pemerintahan belum optimal dilakukan. Dan ironinya ketika ada yang menyampaikannya geraknya dibatasi hingga dikriminalisasi. Negara yang mengadopsi pemikiran secular, mengatasnamakan bahwa Negara bukan milik satu agama saja berlepas tangan atas upaya pembentukan pribadi muslim selevel para sahabat,tabiin dan tabiut tabiin.

Memang jutaan hafidz masih lahir di negeri ini, musabaqah tilawatil quran pun sering digelar, namun menerapkan seluruh perintah dan larangan di dalam Alquran belum bisa dilaksanakan, jika hanya sebagian memang masih bisa.

Pesantren dan lembaga keislaman yang mengajarkan tsaqafah Islam masih mudah didapatkan, namun apa yang diajarkan lebih banyak sebatas teori belaka, ketika ingin menerapkan Islam secara kaffah dalam kehidupan selalu diberangus dengan dalih ini bukan Negara Islam. 

Karena begitulah karakter Negara secular, agama diakui namun tidak boleh dijadikan pedoman dalam seluruh sendi kehidupan. System seperti ini sangat berpeluang besar melahirkan banyak orang miskin namun dekat dengan maksiat, miskin tapi tidak takut dosa. Juga melahirkan orang kaya yang tidak pandai mensyukuri nikmat. Melahirkan pemimpin yang hanya berpikir pada kepentingan dunia, tidak bervisi hingga ke akhirat. Melahirkan individu yang hanya berpikir akan keselamatan diri sendiri,yang penting memperbaiki diri sendiri, cuek dengan permasalahan umat.

Sangat berbeda jika system Islam yang menjadi pijakan. System yang kedaulatan ada di hukum syara’ dan pelaksana kekuasaan tetap ada pada manusia. Dan system Islam akan bisa berjalan ketika system pemerintahannya berbentuk khilafah. Memang pelaksananya manusia bukan malaikat, bukan makhluk yang sempurna peluang terjadi penyimpangan juga sangat mungkin ada, namun setidaknya mengamalkan syariat adalah ibadah, meneladani Rasulullah adalah ibadah, menjalankan warisan dan wasiat Rasulullah adalah ibadah, mencintai Allah dan Rasulullah dengan menerapkan aturanNya adalah ibadah.

Apakah menjalankan demokrasi adalah ibadah?

Apakah menerapkan system secular adalah ibadah?


Pare, 14 Desember 2017

Friday, 8 December 2017

Meja Sekolahku dan Pembangunan Infrastruktur



Salah satu hal yang dibanggaakan di era pemerintahan saat ini adalah keberhasilan pembangunan infrastruktur. Secara teori infrastruktur adalah semua fasilitas public yang dibutuhkan yang akan menjadi katalisator dalam pembangunan.

Infrastruktur  diharapkan bisa menjadi penghubung masyarakat dengan sumber daya alam dan bisa meningkatkan produktivitas ekonomi, entahlah pusing  baca makalah  hasil searching salah satunya di sini eprints.undip.ac.id, kata kunci pembangunan infrastruktur kok teoritis banget. Langsung saja dihubungkan dengan realitas saat ini saja.


Anggaran pembangunan infrastruktur untuk tahun 2018 adalah sebesar 409 T rupiah, sedangkan tahun 2017  sebesar 387,7 T rupiah. Dana pembangunan infrastruktur dalam RPJM 2015-2019 yang dibuat Bappenas prosentasenya sebagai berikut : 41,3% pemerintah pusat dan daerah, 22,2% BUMN dan 36% swasta (indopremier.com, 05/12/2017). Jika dijumlah 99,5%  entahlah yang 0,5% ditanggung siapa. Pembangunan infrastruktur yang dikerjakan oleh BUMN hanya sebatas sampai selesai membangun, selebihnya pengeloaan akan diserahkan ke swasta. Entahlah, karena pemerintah tidak mampu mengelola atau memang sudah janjian dengan swasta sebagai balas budi karena swasta dulu pernah berjasa mengantarkan penguasa saat ini menuju tampuk kekuasaan. Dan atas arahan siapakah prioritas pembangunan infrastruktur di negeri ini? Permintaan mayoritas rakyat? Pemilik modal atau investor asing?


Yang pasti pembangunan infrastruktur ini sangat menguntungkan para pemilik modal. Mereka menanamkan investasi ketika sudah jadi tinggal menikmati memalak rakyat yang dengan terpaksa mau tidak mau membutuhkan keberadaan infrastruktur. Namun ternyata tidak semua infrastruktur bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat, tidak semua rakyat membutuhkannya, tidak semua rakyat bias menikmatinya. Tidak semua butuh jalan tol, tidak semua butuh bandara, tidak semua butuh jalan trans sebagaimana dibangun di pulau luar Jawa.


Yang dibutuhkan rakyat adalah terpenuhinya kebutuhan pokok. Rakyat butuh makan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, rasa aman, rasa tenang beribadah dan mempersembahkan hidup ini semata untuk Allah SWT. Bukan sekadar terpenuhi materi yang faktanya juga sangat sulit dicari.

Tak perlu jauh-jauh, di tataran pendidikan, masih banyak sekali fasilitas pendidikan yang sangat kurang. Sarana dan prasarana seadanya banyak digunakan untuk mendidik generasi penerus bangsa. Padahal generasi adalah asset termahal masa depan negeri ini. Di sekolah saya yang dikelola sebuah yayasan swasta harus memutar otak sekuat tenaga ketika ingin memperbaiki sarana. Harus pandai mencari utang ketika dana BOS datang terlambat, harus memutar otak untuk mencari buku pegangan yang murah muriah agar tidak memberatkan orang tua siswa. Harus gigit jari ketika bantuan siswa miskin hanya di acc 10% dari ajuan. Entahlah, kami tidak menikmati hasil pembangunan infrastruktur yang selama ini digembor-gemborkan, amanah kami di sekolah rasanya masih berat dan kami pikul sendiri. Sudah ada donatur, sudah ada wali murid yang berbaik hati menyumbang, sudah ada infak harian untuk pembangunan, tapi tetap saja sarana dan prasarana  yang digunakan seadanya. Padahal kami tidak korupsi, padahal kami yang guru swasta biasa digaji jauh di bawah UMR.  Dan kami masih beruntung, masih banyak lagi sekolah yang keadaannya lebih memprihatinkan.

Kebijakan pembangunan Infrastruktur untuk masyarakat dalam Islam *)
Sistem ekonomi Islam dibangun di atas pondasi akidah Islam. Ini adalah akidah yang haq karena berasal dari Allah yang dibawa kepada umat manusia melalui Muhammad Rasulullah saw. Akidah Islam merupakan akidah yang memuaskan akal, menenteramkan jiwa, dan sesuai dengan fitrah manusia. Karenanya, peraturan yang terpancar dari akidah Islam, seperti sistem ekonomi Islam, memiliki karakter yang khas dan manusiawi.

Dalam konteks individu, kegiatan ekonomi dilandasi oleh nilai-nilai ibadah. Bukan materi yang menjadi orientasi (profit oriented), tetapi keridhaan Allah. Mencari materi merupakan perkara mubah dan menjadi wajib bagi seseorang yang menjadi penanggungjawab nafkah dalam keluarga. Mencari nafkah tentu tidak dengan menghalalkan segala cara melainkan harus terikat dengan hukum syariah. Dalam konteks negara, kegiatan ekonomi merupakan salah satu wujud pengaturan dan pelayanan urusan rakyat. Inilah tugas umum negara. Untuk merealisasikannya, negara menerapkan syariah Islam baik dalam urusan ekonomi di dalam negeri maupun di luar negeri.

Pembangunan berbagai macam infrastruktur merupakan tanggung jawab negara yang pengelolaannya harus di tangan negara bukan diserahkan kepada swasta, bukan sebagaimana banyak dilakukan saat ini. Infrastruktur yang dibangun negara . Ada empat poin penting pembangunan infrastruktur publik dalam Islam. Pertama, dalam sistem ekonomi Islam dan politik Islam, pembangunan infrastruktur adalah tanggung jawab negara bukan sebagai ajang mencari keuntungan atau melancarkan hubungan diplomatik dengan negara lain.  Prinsip ini sangat berbeda dengan pola pembangunan infrastruktur dalam sistem kapitalistik yang menjadikan proyek infrastruktur sebagai ajang mencari keuntungan.

Kedua ,sistem ekonomi Islam telah membahas secara rinci  pilar-pilar ekonomi Islam yaitu, kepemilikan, pengelolaan kepemilikan dan distribusi di tengah-tengah masyarakat. Dengan menerapkan sistem ekonomi Islam, Khilafah akan memiliki sumber kekayaan yang cukup untuk membiayai penyelenggaraan negara. Termasuk memastikan terpenuhinya kebutuhan seluruh kebutuhan dasar rakyat, baik kebutuhan pribadi maupun kelompok, seperti sandang, pangan dan papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan.

Ketiga, rancangan tata kelola ruang dan wilayah dalam Daulah Islam didesain sedemikian rupa sehingga mengurangi kebutuhan transportasi. Sebagai contoh, ketika Bahgdad dibangun sebagai ibu kota, dibangunlah masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri, tempat singgah bagi musafir, pemandian umum yang terpisah, pemakaman umum dan tempat pengelolaan sampah. Dengan demikian warga tak perlu menempuh perjalanan jauh hari untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, baik untuk menuntut  ilmu atau bekerja semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar dan semua memiliki kualaitas standar yang sama.

Keempat, pendanaan pembangunan infrastruktur khilafah berasal dari dana Baitul mal, tanpa memungut dana masyarakat hal ini memungkinkan karena kepemilikan umum dan negara secara umum dikelola oleh negara.
Negara menerapkan hukum-hukum Allah sebagai koridor kegiatan ekonomi dan bisnis untuk mencegah aktivitas ekonomi yang zalim, eksploitatif, tidak transparan, dan menyengsarakan umat manusia. Negara menerapkan politik ekonomi agar warga dapat hidup secara layak sebagai manusia menurut standar Islam. Negara juga menjalin hubungan secara global dan memberikan pertolongan agar umat manusia di seluruh dunia melihat dan merasakan keadilan sistem Islam.
Islam memiliki metode untuk membalikkan posisi krisis seperti yang dialami dunia saat ini menjadi sejahtera. Metode tersebut tentu dengan menerapkan sistem ekonomi Islam dalam pola hubungan ekonomi global melalui Khilafah Islamiyah.


*) Lupa sumbernya, sejak rezim represif anti Islam menutup banyak situs Islam yang kritis sulit mencari jejak artikel yang terlanjur tersimpan dalam bentuk word.

Wednesday, 6 December 2017

Karena Mereka Istimewa



Untuk pertama kalinya  jadi wali kelas, setelah belasan tahun menjadi guru. Dan Alhamdulillah berada di kelas special. Mau-tidak mau hampir setiap hari berada di kelas yang sama. Ada banyak suka dan duka, tapi yang lebih terasa adalah belum maksimal memberikan ilmu dan mendidik para siswa. Lebih sering sekadar mengajar saja. Entahlah berapa banyak ilmu yang bisa mereka serap dengan cara mengajar yang biasa saja.

Sekolah biasa dengan input tanpa seleksi akademis. Asal memenuhi syarat administrasi insya Allah pasti bisa masuk di madrasah ini, jika ditolak kemana lagi mereka harus menuntut ilmu?

Mengajar dalam sistem kapitalis dengan kurikulum yang secular memang akan banyak mengalami tantangan, ada banyak ketidakidealan dalam berbagai hal. Namun inilah realitas  yang harus dihadapi. Di satu sisi tetap memperbaiki sekuat tenaga, tetap memberikan yang terbaik, di sisi lain terus melakukan perubahan mendasar. Perubahan sistemik, berjuang menerapkan sistem Islam, menerapkan syariat  Islam secara kaffah.

Kembali ke siswa, tak bisa dipungkiri dalam satu kelas pasti ada banyak karakter siswa. Ada yang menyejukkan mata, ada yang menentramkan hati dan ada pula yang sering bikin makan hati. Namun dengan keyakinan bahwa mereka adalah manusia, ciptaan Allah yang dikaruniaiakal, insya Allah pasti ada jalan untuk membuat siswa bisa memahami ilmu yang diberikan. Pasti ada jalan untuk membuat mereka menjadi lebih baik . Optimis. Karena setiap siswa itu istimewa, pasti ada kelebihan yang bisa dikembangkan.

Siswa, senakal apapun, selama masih mau mendengarkan nasihat, terlepas nasihatnya digunakan atau sebatas melintas di telinga saja, siswa seperti ini insya Allah masih ada harapan untuk menjadi lebih baik. Namun jika kenakalan yang sudah pada pelanggaran hukum syara’ yang berulang dengan kesengajaan apalagi jika siswa sudah baligh, maka harus ada tindakan tegas. Akan tetapi, dalam dunia pendidikan, harus tetap mengedepankan edukasi dan menasehati.

Bagi guru,tak ada sedikit pun rasa ingin membuat siswa menjadi orang yang tak berguna atau bahkan menjadi ahli maksiat, setiap guru pasti menginginkan siswa menjadi yang terbaik, tentu terbaik dalam timbangan Allah dan Rasulullah. Dan arti bahagia bagi seorang guru itu sederhana melihat dan mendampingi siswa untuk terus menjadi anak saleh dan salihah. 

Namun mengandalkan guru di sekolah saja tidak cukup, perlu kerjasama dari orang tua, masyarakat dan Negara. Untuk menjadikan siswa menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berguna di dunia dan selamat diakhirat.
Mengajar di sekolah membutuhkan dukungan system yang manusiawi, system yang memuliakan manusia, system yang berasal dari Allah SWT Pencipta sekaligus Pengatur seluruh isi alam raya.
Bukan sistem kapitalisme yang tidak ada bedanya dengan hokum rimba. Yang kuat yang akan bertahan hidup, yang bermodal melahap kekayaan, yang miskin semakin terpinggirkan.



Thursday, 23 November 2017

Nur Aini


Nur Aini, bukan nama yang asing, coba ketik di pencarian medsos, akan muncul banyak sekali nama Nur Aini. Berarti Nur Aini adalah nama yang istimewa, buktinya banyak yang memakainya. Tapi tidak hendak narsis dengan nama sendiri sih. Selama tidak bermakna keburukan insya Allah siapapun namnya tidak masalah.
Sepanjang pengetahuan yang jelas terbatas, untuk nama tempat Nur Aini di Pare adalah nama sebuah RSIA, ada pengalaman dengan nama ini. Saat itu telp ke seseorang, eee dikira saya dari RSIA, dan yang terima telp agak kurang focus ngeyel menyimpulkan saya dari RSIA, hingga berulang mengatakan “ Saya Nur Aini, Bu. Itu nama saya, bukan dari RS Nur Aini”. Barulah penerima telp nyambung.

Nur dipake nama Masjid Agung di Pare, An Nuur. Pernah baca di sebuah tempat perhiasan, Nur juga dipake memberi nama toko emas, mungkin diasumsikan perhiasan yang dijual cahayanya berkilau.

Sedangkan Aini lebih banyak menjumpai digunakan menamai optic. Diantaranya di Bangil,  terakhir ambil foto 2015 di pertokoan sekitar Swadesi Alun-alun ada Aini Optik. Dahulu jika keluar dari Pondok Gontor Putri 1 Mantingan arah Jatim ada nama toko Aini tapi lupa toko apa.  

Jadi nama Nur Aini, Nur atau Aini lebih banyak digunakan untuk tempat-tempat yang insya Allah untuk kebaikan. Karena secara umum Nur Aini bermakna cahaya mata. Untuk panggilan bisa dipanggil lengkap atau satu suku kata saja tidak masalah, bahkan ada yang pernah memanggil “ Nung” tidak masalah juga.

Dan yang lagi lumayan jadi perhatian akhir-akhir ini adalah keputusan salah satu artis yang memutuskan untuk melepas kerudung (kerudung ya, bahasa Arabnya Khimar,bahasa Inggrisnya veil, bukan JILBAB, jilbab artinya sudah beda), kasus yang juga berbuntut pada protesnya orang-orang minim berilmu ketika salah seorang Ustadz dengan santainya memanggil artis tersebut dengan orang yang berhidung pesek. Sebutan pesek dianggap tidak sopan dan tidak layak diucapkan seorang ustadz. Padahal sebelumnya pesek menjadi ikon artis tersebut, malah dianggap mempunyai nilai jual, sebelumnya tidak masalah malah terkesan bangga jika diejek punya hidung pesek. Memang berurusan dengan orang kurang ilmu apalagi disertai dengan kesombongan harus ekstra sabar, tak perlu emosi. Ngomong dengan orang edan ga perlu melu edan.

Terkait nama, saya jadi buka-buka lagi materi dasar Bahasa Arab, salah satu isim makrifat adalah isim ‘alam, yang masuk isim alam diantaranya nama orang, negeri, tempat dsb’ nama orang terbagi lagi menjadi nama asli, gelar dan julukan.
Nama asli misalnya : Muhammad, Ali, Umar dll
Nama gelar (kunyah) misalnya :  Ibnu Jarir (anaknya Jarir), Ummu Kultsum (ibunya Kultsum) dll
Nama julukan (laqab) berupa gelar baik atau buruk berdasarkan sesuatu yang dimiliki misalnya : Harun ar Rasyid, Musailamah al Kadzab dll
Jadi mau pakai nama asli, kunyah atau laqab silakan saja.

Terkait dengan memanggil nama, juga ada adabnya. Diantaranya adalah : tidak mengandung ejekan, tidak mencela, mengandung umpatan, mengolok-olok.

Jika jika sebelumnya seseorang bangga dipanggil dengan nama yang memang menjadi karakternya dan tidak mempermasalahkan, boleh dipakai. Selama tidak ada indikasi keburukan di hadapan Allah. Namun tetap lebih baik lagi jika memanggil nama sekalian berdoa, atau mewujudkan rasa sayang karena Allah. Misalnya panggilan Rasulullah kepada istri-istrinya yang selalu ada maknanya. Wallahu a’lam

Semoga kita tidak mudah terpengaruh dengan keburukan, semoga selalu berusaha mencari ilmu sebelum berbuat. Amiin.



5 Sebelum 5


Long time ago, jaman masih kuliah. Ada adik angkatan, sering sharing dengannya, sering ngajak ke kajian, sering ngajak untuk ngaji Islam. Sharing jalan, datang ke kajian kadang-kadang, diajak ngaji rutin masih memberikan beribu alasan. Waktu pun berlalu jarang ketemu, hanya sekadar say hello,  dan akhirnya hampir selesai sidang akhir, tak sengaja ketemu di warung makan. Tanpa basa-basi adik angkatan yang sudah lama tidak ngobrol to the poin : “ Mbak, ada waktu saya ingin ngobrol, saya ingin ngaji?” Tentu dengan mantab dan senang hati saya jawab : “ Ada  dek, longgar banget, ayo ngaji”. Tak peduli meski TA masih perlu revisi, mendengar “Saya mau ngaji” rasanya sesuatu banget. Lama menunggu akhirnya terwujud juga. Si adik ingin ngaji karena merasa bersalah, belum bisa berbuat banyak untuk ayahnya yang baru saja meninggal, katanya ingin jadi anak salehah. Mau nunggu mati?

Diberi no kontak seseorang, diminta untuk mengundang orang tersebut kalo ada acara. Sms pertama kenalan, memberitahu kalo kapan-kapan mau ngundang kajian. Alhamdulillah respon bagus, namun undangan pertama, kedua, ketiga hingga entah berapa kali sudah mengundang, tak pernah bisa datang. Belum jodoh, sejak awal hingga entah kapan pertama kenalan belum sempat ketemu. Namun tetap selalu memberitahu ketika ada acara. Dan akhirnya, ketika terakhir mengundang balasannya di luar kebiasaan : “ Insya Allah saya datang mbak, kuliah sudah selesai jadi longgar”. Alhamdulillah tidak ada kata terlambat. Kapan terus menyibukkan diri?  Sampai kapan terus menyempitkan diri?

Dalam forum belajar Alquran, rata-rata ibu-ibu paruh baya, sering terucap : “ Maaf ya mbak ga lancar-lancar, maklum sudah tua lidahnya kaku”. Hanya tersenyum dan memotivasi untuk terus istiqamah belajar, Alhamdulillah masih semangat meski tak muda lagi. Yang muda, mau nunggu tua? Yang tua mau nunggu tambah tua?

Seorang ibu datang terlambat dalam sebuah acara, berjalan dengan tegak, namun pelan dan terlihat kaku. Ternyata sebelumnya habis kecelakaan, jatuh dari motor. Leher cidera. Padahal beliau ijin tidak datang pun tidak masalah, padahal tempat acara diganti di rumahnya pun juga tidak masalah . Yang masih sehat kenapa masih saja banyak alas an? Yang sakit,mau nunggu tambah parah?

Seorang ibu, dari segi ekonomi pas-pasan. “ Mbak saya nitip uang ya, buat ibu yang kemarin suaminya kecelakaan”. Uang dimasukkan dalam amplop, ternyata jumlahnya lumayan. Salut, meski lebih sering pas-pasan namun masih ringan membantu yang kesusahan. Yang kaya, nunggu bangkrut? Yang pas-pasan nunggu kaya melimpah? Yang miskin nunggu apa?

Untuk hal-hal yang memang bisa kita pilih, bisa diusahakan, teruslah berusaha, selama itu demi kebaikan lakukan segera.
Ingat 5 perkara sebelum lima perkara :
Muda sebelum tua
Sehat sebelum sakit
Kaya sebelum miskin
Lapang sebelum sempit
Hidup sebelum mati

Untuk hal-hal yang memang kita tak bisa memilih, terus bersabar. Ikhlas dan ridla dengan ketentuan dari Allah, insya Allah itu yang terbaik untuk kita.




Wednesday, 22 November 2017

Temani Aku Mengejar Janji Yang Bukan Mimpi



Ahad, sengaja memilih jalan yang tak biasa dilewati. Di salah satu tempat yang sepi namun sejuk, bertemu 3 remaja putri, agak jauh juga ada 3 remaja putra. Remaja putra ketika melihat saya langsung ngacir, mereka kenal saya. Remaja putri masih asyik bergaya berselfie di pinggir kali. Sengaja berhenti dan bertanya siapa mereka, rumahnya mana, dan sedang apa. Mereka tidak menjawab dengan lengkap. Saya hanya berpesan untuk tidak main di tempat tersebut, karena saya tau itu tempat yang sering digunakan untuk janjian pacaran. Dengan berat hati 3 remaja putri tersebut melangkah pergi sambil sesekali melihat ke arah saya, dugaan saya mereka salah arah. Yang mereka tuju bukan arah ke rumah mereka, juga mungkin nyari kemana ngacirnya 3 remaja putra. Sorenya peristiwa ini saya ceritakan ke murid kelas 6, memberi nasehat agar mereka menjaga pergaulan. Eee…malah dapat cerita versi lain, sebelumnya mereka juga melihat 3 remaja putra dan putri, tanpa rasa malu mereka bergantengan tangan putra-putri, padahal mereka masih kelas 7. Sesaklah dada ini, di antara mereka ada yang alumni murid saya. Saya tahu kemampuan akademik mereka tidak terlalu bagus, tapi begitu percaya dirinya berpacaran (kalo saya jadi remaja seusia mereka, ya nyarinya yang pinter, smart, keren ada yang dibanggakan, tapi saya dulu tidak seperti itu). Bukan berarti yang smart boleh pacaran.

Sorenya ngobrol dengan remaja-remaja kursusan, pas bahasan tentang pakaian dan pergaulan dalam Islam. Membahas aurat sesama wanita dan hikmah menutup aurat. Karena semua jomblowati sedikit saya singgung terkait perjuangan mendapat “calon suami idaman”, saingan jomblowati sekarang tidak hanya sesama jomblowati, tapi juga jomblowan macho yang suka sesama jomblowan. Eee…salah satu peserta diskusi cerita kalo teman SMP nya menjadi pelaku penyuka sesama jenis. Sesak banget dada ini, jika dahulu kasus LGBT menyasar usia mapan, saat ini pelakunya sudah merambah ke remaja-remaja tanggung.

Berforum dengan guru SMP dan SMA, guru SMP menceritakan muridnya kelas 7, seorang siswi yang mengejar lelaki impiannya, ketua kelas di kelas lain, demi mengejar sang pujaan hati rela menuruti kemauan pangeran impiannya. Ketika sang idaman iseng (katanya ingin menguji dan mencoba mencari tau sejauh mana si cewek berbuat untuknya) meminta foto bagian terlarang, dan ternyata dituruti sama si cewek. Aduh…tambah sesak nafas ini mendengar cerita seperti itu. Eee…guru SMA menimpali, muridnya kelas sepuluh tambah parah, koleksi di HP nya foto-foto mengerikan, katanya untuk diberikan kepada pacarnya, juga bercerita sekolahnya mengeluarkan beberapa siswa kelas 10 karena terlibat jaringan narkoba (tidak perlu bahas HAM untuk masalah ini, mengeluarkan siswa demi menyelamatkan ratusan temannya lebih menjadi prioritas). Waduh…dada ini semakin sesak…bagaimana masa depan anak-anak kita nanti.

Ngobrol dengan dosen, pernah mengingatkan mahasiswanya yang pergaulannya sudah di luar batas. Dengan entengnya mahasiswa mejawab “ Kan kami sudah punya ilmunya biar tidak hamil Bu, kalo tidak hamil tidak apa-apa kan?” Tambah serasa mau pecah kepala ini dapat cerita ironis.

Serangkaian masalah hanya dalam hal pergaulan, belum masalah lain. Seharusnya membuat kita berpikir, ada yang tidak tepat dengan generasi kita. Dan tentu ini bukan semata menjadi masalah bagi generasi, ini adalah masalah bagi generasi sebelumnya. Keluarga yang menaungi, lingkungan tempat tinggal, kebijakan pemimpin, semuanya berperan memicu permasalahan remaja.

System yang mengagungkan kebebasan (merupakan salah satu ciri system kapitalisme yang menjadikan liberalism sebagai pijakan) telah membuat anak-anak bebas mengakses informasi tanpa bekal akidah yang kuat, tanpa bekal iman yang tebal. Persaingan ekonomi telah membuat orang tua focus mencukupi materi namun tak punya waktu dan bekal untuk mendampingi setiap langkah kehidupan sang buah hati. Kurikulum pendidikan yang hanya mencetak generasi berilmu namun tak punya kepribadian kuat dan tangguh yang siap menghadapi problematika kehidupan sesuai dengan syariat. System pemerintahan yang hanya dijalankan berdasarkan politik transaksional, tidak ada lawan dan kawan abadi yang ada adalah kepentingan bersama yang membuat penguasa dan politisi begitu mudah menjilat ludah sendiri mengabaikan janji manis kampanye, begitu mudah berpindah ke lain hati menyeberang kepada pihak yang memfasilitasi. Syariat Islam diabaikan, ajaran Islam dijadikan bahan olokan.

Yang jelas jauh hari Allah SWT sudah mengingatkan, kerusakan di muka bumi adalah akibat ulah manusia, sebuah negeri tidak akan mendapatkan berkah dari langit dan bumi ketika penduduknya mendustakan ayat-ayat Allah. Rasulullah pun juga sudah berpesan, jika ingin selamat tidak tersesat harus berpegang teguh pada Alquran dan Hadits. Dan jika saat ini negeri ini tidak berkah, mengalami kehancuran di berbagai bidang kehidupan, salah satunya karena kita mengabaikan hukum-hukum Allah. Sombong dan bangga dengan mencukupkan diri diatur dengan aturan batil.

Apakah akan berdiam diri? Tidak.
Berusaha untuk menjadikan syariat sebagai pijakan, berjuang agar kehidupan Islam terwujud kembali, berjuang untuk melanjutkan kehidupan Islam, hingga kiamat menghentikan langkah. Yakin dan optimis, semua akan menjadi baik ketika kita taat pada aturan Allah SWT, menjadikan Rasulullah sebagai teladan dalam kehidupan. Tidak ragu dengan pertolongan Allah yang telah berjanji kepada umatnya yang beriman akan menjadikan mereka berkuasa untuk memperbaiki kondisi.

Terwujudnya kebangkitan Islam, kejayaan Islam dalam naungan khilafah adalah janji Allah bukan sekadar mimpi, maka upaya untuk mewujudkan janji itu akan bernilai istimewa di hadapan Allah, akan berbeda dengan orang yang yakin namun hanya sebatas menunggu terwujudnya janji kemenangan, dan sangat berbeda dengan orang yang malah menghalangi kebangkitan Islam.

Maka, tidak ada pilihan lain. Mari bersama menjemput janji Allah, menjadi bagian dari perjuangan Islam.
Bersama berlomba dalam kebaikan,
bersama bergandengan tangan menjemput kemenangan,
bersama menjadlani kehidupan dengan penuh ketaatan.
Berjuang bersama meraih ridha ilahi.
Karena perjuangan ini tak mungkin dilakukan sendiri.


Teruntuk saudaraku seakidah, saudaraku seperjuangan dalam dakwah :
Temani aku untuk menjadi hamba yang taat pada Allah dan Rasulullah
Temani aku untuk menjadi insan salehah berbakti pada orang tua dan suami di rumah
Temani aku menjemput janji Allah yang pasti
Temani aku berbuat untuk menyelamatkan generasi
Temani aku untuk sabar dalam kebaikan
Temani aku agar istiqamah dalam ketaatan
Temani aku untuk taat di dunia
Temani aku hingga kita berjumpa di surga


Pare, 22 November 2017

Monday, 20 November 2017

Merindukan "Nur"


Dahulu ketika di kampus, ada petugas lab computer yang selalu memanggil dengan “cahaya mata” bukan Nur Aini. Memang terkadang panggilan  “Nur” itu terdengar tidak keren, ndeso. Padahal artinya special, sebuah doa agar pemilik nama menjadi cahaya.

Pagi-pagi buta sudah “perang” dengan semut terbang. Satu lampu dinyalakan langsung diserang. Akhirnya memadamkan semua lampu, padahal masih diperlukan. Ketika gelap gulita, cahaya sangat dirindukan.

Jadi ingat setiap pendahuluan pidato selalu disertakan “ salawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw yang telah membawa kita dari jaman jahiliyah menuju jaman terang benderang dengan cahaya Islam”.

Begitulah seharusnya, Islam adalah cahaya kehidupan, akan menjadi penerang bagi siapa saja. Akan membantu menunjukkan arah, akan menuntun manusia menuju hidayah. Namun cahaya Islam hanya akan bersinar terang ketika Islam diterapkan secara menyeluruh, diterapkan secara kaffah, dan Islam hanya bisa diterapkan secara menyeluruh dalam system khilafah, bukan system kapitalis demokrasi atau sosialis komunis. Karena dua system terakhir tersebut, tidak akan pernah memberi ruang pada aturan dari Allah al Khaliq sekaligus al mudabbir, pencipta dan pengatur kehidupan.

Menuju penerapan Islam kaffah, cukuplah Rasulullah sebagai teladan. Mengembalikan kekuatan akidah Islam, mengambil Islam dalam kepemimpinan berpikir, menstandarkan seluruh aktivitas dalam kehidupan dengan syariat. Mengajak umat Islam untuk menerapkan Islam dalam naungan institusi warisan Rasulullah saw. Membina umat dengan tsaqafah Islam, membongkar kosnpirasi musuh Islam, melakukan pergolakan politik, memastikan urusan umat diurus sesuai dengan syariat. Hingga akhirnya, sebagaimana yang terjadi di Madinah, umat pun rela kehidupannya diatur dengan syariat Islam. Saat itulah kekuasaan menjadi milik umat Islam, kekuasaan untuk menerapkan system Islam, kekuasaan untuk melanjutkan kehidupan Islam.

Kemenangan Islam adalah kepastian, janji Allah yang tak mungkin diingkari. Maka tinggal kita yang memilih. Menjadi orang yang mengajak pada cahaya Islam atau malah mengajak pada kegelapan, menjadi orang yang membela cahaya Islam atau malah menjadi penghalang cahaya Islam. Jika memilih mengajak pada kegelapan atau menjadi penghalang cahaya Islam, maka sungguh itu akan menjadi usaha yang sia-sia. Cahaya Islam akan terus menembus dan mencari celah, cahaya Islam tidak akan bisa dibendung dan dipadamkan, karena janji Allah pasti akan terwujud. Maka jadilah bagian dari perjuangan untuk menjadikan Islam sebagai cahaya di muka bumi ini, agar kelak kita juga bersama Rasulullah saw, nurul aini, nurul mustofa.  Amiin ya rabbal ‘alamin.

Semoga Nur Aini menjadi cahaya mata yang menyejukkan
Semoga Nur Hayati menjadi cahaya dalam kehidupan
Semoga Nur Hidayah menjadi cahaya petunjuk menuju kebaikan
Semoga Nur Rohmah menjadi cahaya kasih sayang yang tak terlupakan
Semoga Nur Halimah menjadi cahaya lemah lembut yang dirindukan

Begitu pula dengan nur-nur lainnya. Semoga cahaya kita menerangi dunia, menuju keselamatan akhirat Amiin.


Pare, 20 November 2017

Teruntuk Para Lelaki Pencari Nafkah : Kami Bangga Padamu

Penjual buah yang dahulu berjualan keliling  di Kampung Inggris  Pare, saat ini sudah tidak terlihat lagi

Tema 4 kelas 4 : Berbagai Pekerjaan
Ada 5 pertanyaan untuk siswa  :
Apa pekerjaan orang tuamu?
Dimana orang tuamu bekerja?
Mengapa orang tuamu bekerja ?
Banggakah kamu dengan pekerjaan orang tuamu?
Apa yang kamu lakukan untuk membalas kebaikan orang tuamu ?

Ada 20 siswa dalam kelas yang menjawab. Yang menarik jawaban pertanyaan untuk pertanyaan pertama, keempat dan kelima.

Pertanyaan pertama jawabannya beragam : tukang laundry, tukang eskrim, tukang becak, tukang fotokopi, pedagang buah, jualan es, jualan nasi, kuli, tukang bangunan, jualan es buah, petani, buruh tani. 

Pertanyaan keempat semuanya menjawab : Bangga. Jadi apapun pekerjaan orang tuanya, selama halal  mereka bangga.

Pertanyaan kelima jawabannya beragam : membantu, dipijat, diidek-idek, membuatkan the, bantu ganti popok adik, menurut kepada orang tua, ikut nunggu warung, memberi makan kepada ayah saat kelaparan, memujinya, mendengarkan nasehatnya.

Teruntuk para lelaki pencari nafkah
Teruntuk para suami yang bekerja mencukupi kebutuhan tanpa lelah
Kami bangga padamu berapa pun nafkah yang engkau bawa pulang ke rumah

Kami hanya bisa mendoakan
Semoga tiap tetes keringatmu mendapat balasan
Semoga Allah selalu melimpahkan rezeki yang penuh kebaikan

Dan sungguh tanganmu kelak akan menjadi saksi di surga
Sungguh kelak peluhmu akan berakhir bahagia
Sungguh pekerjaan halalmu akan menjadikanmu sebagai lelaki mulia
Rindukanlah pujian dari Nabi tercinta
Pujian bagi lelaki yang mencari nafkah dengan sepenuh jiwa

Hendaklah  orang  yang  mampu  memberi  nafkah  menurut kemampuannya.” (TQS ath-Thalâq [65]: 7)

Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu. (TQS al-Baqarah [2]: 233)




Pare, 20 November 2017

Baca juga :