Friday 15 December 2017

Mubah Poligami Wajib Menafkahi

m.infospesial.net
(Abaikan banyaknya uang yang di gambar, nafkah itu tidak identik dengan banyaknya nominal)

Nulis ini karena dapat cerita dari orang yang diceritani orang lain (ga jelas kan?). Seorang istri yang dipoligami curhat pada temannya tentang nafkah belanja yang dia rasakan sangat kurang. Jika dapat cerita  seperti ini baper tingkat tinggi dech,  jujur tidak suka. Teorinya, menikah itu ibadah, ya sudah disyukuri saja ,sekuat mungkin tidak mengeluh ke orang lain. Masalah rumah tangga itu diusahakan diselesaikan secara personal dulu, langsung komunikasikan baik-baik dengan pasangan, belum tentu juga yang diceritani bisa langsung memberi solusi, belum tentu juga suaminya sadar akan kekurangannya. Beda lagi jika dalam system khilafah Islamiyah, dimana Negara bisa memberi tindakan tegas pada laki-laki mampu yang mangkir dari kewajiban memberi nafkah. Hari gini lapor ke pengadilan ,ke Komisi Perlindungan Anak dan Perempuan, lapor ke komnas HAM, lapor ke polisi ya hanya bikin susah saja. Tidak menyelesaikan masalah. Standarnya bukan hukum syara’.

Menanggapi tentang keluhan istri yang dipoligami, pertama tetap menghukumi poligami sebagai aktivitas mubah, dilakukan boleh tidak dilakukan juga boleh ( sudah ada dalam tulisan : Poligami dan Jika Tidak Poligami, Apa Alternatif Solusinya ? ). Namun salah satu hal yang harus selalu diperhatikan oleh suami adalah sikap agar tidak mendzalimi istri-istrinya :
Siapa  saja  yang  mempunyai  dua  orang  isteri,  lalu  ia  lebih cenderung kepada salah satu dan mengabaikan yang lain, niscaya ia akan datang pada hari Kiamat nanti berjalan sementara salah satu kakinya lumpuh atau pincang.” (HR Ibn Hibbân di dalam Shahîh-nya).

Salah satu kedzaliman yang mungkin terjadi adalah dalam hal nafkah belanja. Jadi masalah nafkah ini tidak boleh diabaikan begitu saja, apalagi Allah juga mengingatkan para suami agar memberikan yang terbaik untuk para istri : tempatkanlah (para istri) di tempat tinggal kalian, sesuai dengan kemampuan kalian, dan janganlah kalian menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka (QS: Ath Thalaq ayat 6).

Pada masa Rasulullah pernah ada yang mengadu :
Imam Bukhari dan Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Aisyah ra, bahwa Hindun binti Utbah mengatakan : Wahai Rasulullah, Abu Sufyan adalah orang yang bakhil, yang tidak pernah memberiku nafkah yang bisa mencukupiku serta anak-anakku, kecuali nafkah yang aku ambil darinya ketika dia tidak tahu (lengah). Jawab Nabi saw, “Ambillah, nafkah yang bisa mencukupimu serta anak-anakmu, sewajarnya saja.

Tidak hanya pada kasus poligami saja sih, monogami juga, intinya nafkah adalah kewajiban suami, jangan sampai yang wajib terlalaikan. Baiknya istri pandai bersyukur, suami maksimal memberikan yang terbaik. Lagian standar kecukupan nafkah itu sederhana saja tidak perlu dipersulit.


Terkait standar kecukupan nafkah bisa dibaca di tulisan K.H. Hafidz Abdurrahman berikut ini :
STANDAR KECUKUPAN NAFKAH & Siapa Yang Menafkahi Jika Suami Tidak Mampu?
Soal:
Apa ukuran dan kriteria kecukupan nafkah yang diberikan seorang suami kepada istri dan anak-anaknya menurut pandangan Islam? Siapa pula yang diwajibkan untuk memenuhi nafkah jika suami (atau ayah) tidak mampu?

Jawab:
            Salah satu kewajiban seorang suami terhadap anak-anak dan istrinya adalah kewajiban memberi nafkah. Allah Swt. memaparkannya di dalam al-Quran:

]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ[
Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. (QS al-Baqarah [2]: 233).

Yang dimaksudkan dengan rezeki pada ayat di atas adalah nafkah. Ibn Katsir menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut:

Seorang ayah harus memberikan nafkah dan pakaian kepada anak-anaknya (juga istrinya) dengan cara yang makruf. Yang dimaksud dengan makruf disini adalah yang sesuai dengan adat istiadat (kebiasaan) bagi para wanita di negeri tersebut, asalkan tidak boros dan tidak kekurangan; juga sesuai dengan kemampuan ayah (atau suami) secara proporsinal. (Ibn Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr, jld. I/351).

            Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa seorang suami atau ayah wajib hukumnya memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Cakupan pemberian nafkahnya meliputi: kebutuhan makan dan minum, pakaian, tempat tinggal, pembantu rumah tangga (jika istrinya tidak sanggup), dan kebutuhan-kebutuhan wajib/pokok lainnya yang biasa diperlukan bagi istri dan anak-anaknya. Hal ini diperkuat oleh firman Allah Swt. lainnya:

]أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ[
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu. (QS ath-Thalaq [65]: 6).

             Berkaitan dengan seberapa besarnya nafkah yang diberikan kepada anak-anak dan istri, al-Quran menggunakan kata-kata bi al-ma‘rûf (dengan cara yang makruf), yaitu sesuai dengan kebutuhan istri dan anak-anaknya, atau sesuai dengan standar hidup masyarakat di negeri tempat tinggal istri dan anak-anaknya, atau sesuai dengan tingkat/derajat sosial istri dan anak-anaknya di tengah-tengah masyarakat. Semua itu menjadi unsur-unsur penting bagi seorang ayah atau suami dalam memberikan nafkahnya. Rasulullah saw. menjelaskan lebih detail bentuk makruf tersebut dalam hadis berikut. Mu‘awiyah menuturkan bahwa al-Qusyairi pernah berkata, “Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah hak seorang istri dari kami kepada suaminya?” Rasulullah saw. menjawab:

«أَطْعِمُوهُنَّ مِمَّا تَأْكُلُونَ وَاكْسُوهُنَّ مِمَّا تَكْتَسُونَ وَلاَ تَضْرِبُوهُنَّ وَلاَ تُقَبِّحُوهُنَّ»
Engkau memberinya makan sesuai dengan apa yang engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian. Janganlah engkau memukul mukanya. Janganlah engkau menjelek-jelekkannya. (HR Abu Dawud).

Imam Malik berpendapat bahwa besarnya nafkah itu tidak ditentukan berdasarkan ketentuan syariat, melainkan           berdasarkan keadaan masing-masing suami dan istri. Hal ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan tempat (negeri), waktu, dan keadaan. Demikian pula pendapat Imam Abu Hanifah. (Lihat: Ibn Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid, jld. II/41).
Rasulullah saw. pernah memperoleh pengaduan dari istri Abu Sufyan yang tidak memperoleh nafkah yang mencukupi bagi dirinya dan anak-anaknya. Padahal, status sosial dan ekonomi Abu Sufyan di tengah-tengah masyarakat sangatlah memadai.

«عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي إلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ فَقَالَ خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ»

Aisyah menceritakan bahwa Hindun binti Utbah pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang kikir. Ia tidak mau memberi nafkah kepadaku dan anakku, sehingga aku mesti mengambil (nafkah)-nya tanpa sepengetahuannya.” Rasulullah menjawab, “Ambillah apa yang mencukupi bagimu dan anakmu dengan cara yang makruf.”  (HR. Bukhari dan Muslim).

Teks hadis tersebut menegaskan bahwa nafkah adalah hak bagi istri dan anak-anak. Apabila seorang ayah atau suami tidak memberikan nafkah secara mencukupi, padahal ia mampu, maka Rasulullah saw. membolehkan bagi istri untuk mengambilnya (walaupun) tanpa sepengetahuan suaminya secara mencukupi, artinya tidak berlebih-lebihan.
            Meskipun demikian, apabila seorang suami atau ayah—setelah berusaha keras atau karena suatu sebab—tetap tidak mampu mencukupi kebutuhan (nafkah) bagi istri dan anak-anaknya, maka Allah Swt. tidak memaksakan hal itu kepadanya. Allah Swt. berfirman:

]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا[
Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.  (QS al-Baqarah [2]: 233).

            Lalu, kepada siapa beban untuk mencukupi nafkah tersebut berpindah? Di dalam sistem ekonomi Islam yang berkaitan dengan kewajiban nafkah, problematika semacam ini—yang biasa dijumpai di tengah-tengah masyarakat—dipecahkan secara jitu melalui tahap peralihan beban, yaitu:

1.   Jika seorang ayah atau suami tidak mampu lagi memberikan nafkah kepada orang-orang yang wajib ditanggungnya, maka kewajiban tersebut berpindah kepada saudara-saudaranya atau karib kerabatnya, seperti kakaknya (yang laki-laki), pamannya, dan seterusnya.

2. Jika pihak saudara juga tidak mampu, maka kewajiban tersebut berpindah kepada kaum Muslim yang menjadi tetangganya.

3. Jika masyarakat (tetangga) yang menjadi komunitas tempat tinggalnya juga tidak mampu (baik karena miskin atau fakir), maka Islam mengalihkan beban tersebut kepada negara atau khalifah. Rasulullah saw. bersabda:

«اَلإِمَامُ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ»
Seorang imam (khalifah) itu bagaikan penggembala (pemimpin). Ia bertanggung jawab terhadap (keadaan) apa yang dipimpinnya. (HR al-Bukhari dan Muslim).

            Dengan demikian, sistem Islam adalah satu-satunya sistem yang memecahkan masalah nafkah dengan cara terintegrasi. Islam tidak membiarkannya begitu saja ditangani oleh individu-individu, karena bisa saja seorang suami atau ayah berada dalam kondisi yang tidak mampu; baik karena cacat, sakit, tua renta, atau sebab-sebab lain. Negara atau khalifahlah yang menjadi penanggung jawab atas seluruh keadaan masyarakatnya, karena memang itulah fungsi dan kewajiban negara, yaitu mengatur dan memelihara urusan-urusan masyarakat; termasuk kecukupan nafkah setiap rakyatnya.
Wallâhu a‘lam[KH. Hafidz Abdurrahman]


No comments:

Post a Comment