Tuesday 3 March 2020

Bandara Kediri, Siapa Yang Menikmati?




Bandara Kediri yang diinisiasi perusahaan rokok PT Gudang Garam Tbk (GGRM) akan mulai dibangun pada April 2020. Bandara baru ditargetkan bisa melayani 2,5 juta penumpang, lalu berkembang bertahap hingga 10 juta penumpang per tahun. Pembangunan diperkirakan berlangsung dua tahun dengan target bandara beroperasi pada 2022. Gudang Garam menjadi investor berkolaborasi dengan pemerintah, baik pusat maupun pemda, dalam proyek pembangunan Bandara Kediri. Pembangunan bandara itu menggunakan skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), dimana dana pembangunan bandara seluruhnya dibiayai Gudang Garam. “Pertama kali swasta full menginvestasikan suatu bandara. Dan inipun dilakukan dengan KPBU. Artinya bagian tanah-tanah tertentu diserahkan ke kita, terus Gudang Garam mendapatkan suatu konsesi bisa 30 tahun atau 50 tahun,” kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dalam keterangannya, Minggu (16/2/2020). (Kompas.com)[1]. Dari rencana tersebut, setidaknya ada tiga hal yang perlu dikritisi dari pembangunan bandara ini, pertama terkait pelibatan penuh swasta, kedua skala prioritas pembangunan dan ketiga lepasnya negara dari peran mengurusi rakyat.

Swasta Menguasai Infrastruktur
Pembangunan bandara Kediri yang seluruh dananya dibiayai oleh swasta yang dalam hal ini adalah Gudang Garam adalah bukti nyata bahwa pembangunan infrastuktur dikuasai oleh swasta, maka jelas yang akan mengambil keuntungan lebih adalah pihak swasta bukan negara. Ini bukan hal pertama di Indonesia. Sudah banyak infrastruktur yang dibangun dengan menggunakan dana swasta atau bahkan investasi asing. Untuk bandara Kediri memang kesepakatannya adalah konsensi antara 30 hingga 50 tahun. Maka selama itu pula pihak swasta lah yang akan sangat diuntungkan. Dan bukan rahasia lagi, ketika swasta menguasai pengelolaan infrastruktur maka hilanglah fungsi pelayanan publik, yang ada relasi antara perusahaan dengan konsumen, yaitu hitungan untung rugi, bukan mengabdi demi kepentingan seluruh rakyat. Iming-iming keberadaan bandara akan berkontribusi pada kesejahteraan warga sekitar, akan mendongkrak roda perekonomian sejatinya hanyalah pemanis saja, jika pun ada keuntungan maka rakyat hanya menikmati recehan atau bahkan tetesan keuntungan yang kecil sekali jika dibandingkan dengan keuntungan yang didapatkan perusahaan swasta pengelola.

Masyarakat Kediri harusnya belajar dan membuka mata dengan fakta penguasaan pembangunan dan pengelolaan infrastruktur oleh swasta atau asing di negeri ini. Dengan penguasaan swasta atau asing maka mereka pulalah yang menjadi penentu kebijakan pengelolaan, maka jangan heran ketika suatu saat nanti komersialisasi fasilitas yang dibutuhkan rakyat akan menguras kantong rakyat. Dan rakyat yang merasa butuh tanpa bisa berbuat apa-apa hanya bisa menerima. Tidak hanya itu, penguasaan infrastruktur oleh sekelompok orang saja juga akan sangat mungkin terjadi, Gudang Garam berhak memilih pihak yang akan diajak kerjasama dalam mengelola bandara, boleh menggandeng PT Angkasa Pura boleh juga bekerjasama dengan konsorsium yang dibentuk oleh Gudang Garam. Lagi-lagi ini juga bukan rahasia lagi, dalam sistem kapitalisme tidak mungkin relasi antar perusahaan pengelola sebatas tolong-menolong tanpa imbalan, namun jelas demi mengejar keuntungan sebesarnya. Dan rakyat hanya bisa gigit jari. Masyarakat harus membuka mata dengan keputusan pemerintah yang telah banyak menyerahkan pengelolaan berbagai infrastruktur ke tangan  BUMN, swasta atau asing. Penyerahan kepada BUMN pun masih membuka celah penguasaan saham oleh swasta asing meski tidak mendominasi, apalagi jika pengelolaan infrastruktur diserahkan kepada swasta atau asing sepenuhnya.

Bisa jadi pemerintah akan berkelit menggunakan alasan bahwa pengelolaan swasta pada infrastruktur strategis hanya sebatas Hak Pengelolaan Terbatas (Limited Concession Scheme/LCS). Yang berarti pemerintah masih menjadi pemilik sah infrastruktur. Tentu saja alasan ini tak seindah faktanya, pemerintah hanya sebagai pemilik di atas kertas selama masa konsensi belum berakhir, dengan kata lain memiliki namun tak menikmati. Ini dari aspek keuntungan pengelolaan. Sedangkan dari pemanfaatan, tentu tidak semua warga Kediri dan sekitarnya membutuhkan keberadaan bandara. Malah dengan adanya bandara penguasaan swasta pada perekonomian juga akan semakin menguat. Roda perekonomian yang digerakkan oleh para pemilik modal diprediksi akan semakin kencang berputar, arus investasi dan pengelolaan  SDA  di jalur selatan semisal potensi emas di Trenggalek dan potensi bentang alam di Tulungagung akan semakin mudah. Tentu ini menguntungkan perusahaan yang telah mendapatkan hak untuk mengelola dan mengeruk kekayaan alam. Dengan demikian bisa disimpulkan, yang menikmati bandara Kediri bukanlah seluruh warga Kediri dan sekitarnya, bukan rakyat namun segelintir konglomerat.

Bandara, Perlu Namun Belum Penting
Dinas Kesehatan Jawa Timur pada April 2019 merilis data  12  kabupaten di Jawa Timur yang mengalami stunting, 3 di antaranya adalah Kediri, Nganjuk dan Trenggalek[2]. Memang sudah ada upaya untuk menurunkan angka stunting, akan tetapi ketiga kabupaten yang masuk 12 besar Jawa Timur tersebut adalah wilayah yang menjadi sasaran pengaruh pembangunan Bandara Kediri. Artinya, ada permasalah penting yang seharusnya menjadi perhatian, yaitu memastikan tidak adanya kasus stunting, karena membiarkan kasus stunting berarti telah mengabaikan hak warga dan menggadaikan masa depan generasi.

Tidak hanya masalah stunting, pembangunan yang belum merata di daerah seharusnya menjadi skala prioritas. Pembangunan jalan yang layak hingga seluruh pelosok desa, menambah fasilitas kesehatan, pendidikan dan memberikan dukungan dana untuk pengembangan dan peningkatan kualitas SDM lebih dibutuhkan rakyat daripada sekadar rasa bangga memiliki bandara. Menambah jumlah puskemas yang memiliki sarana lengkap, RS dengan fasilitas terbaik namun bisa dijangkau rakyat, pemberian gaji terbaik untuk tenaga kesehatan dan sebagainya. Mengingat pula Kediri dan sekitarnya adalah wilayah yang menjadi langganan beberapa penyakit semisal DBD. Berikutnya adalah memperbaiki dan melengkapi fasilitas pendidikan. Tidak bisa ditutupi, banyak sekolah negeri yang hanya menikmati fasilitas seadanya, sedangkan sekolah swasta harus mati-matian bertahan, jika ingin melengkapi fasilitas hanya bisa membebankan kepada orang tua siswa. Sedangkan kebutuhan SDM di beberapa bidang juga sangat diperlukan, terutama di bidang kesehatan dan pendidikan. Dokter yang diberi gaji tinggi oleh pemerintah akan lebih tenang saat bertugas, begitu pula pentingnya penambahan dokter spesialis yang masih menjadi rebutan di banyak RS. Begitu juga dengan perhatian di bidang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, semisal pemerintah yang seharusnya menjamin pendidikan murah namun berkualitas, diharapkan bisa mencetak SDM yang berkualitas yang dibutuhkan rakyat. Inilah yang seharusnya menjadi skala prioritas pembangunan, membangun yang dibutuhkan rakyat banyak, bukan membangun infrastruktur yang hanya menguntungkan pengusaha saja.

Negara Lepas Tangan Dari Mengurusi Rakyat
Bandara adalah salah satu fasilitas yang dibutuhkan rakyat di bidang transportasi, keberadaannya memang tidak boleh diabaikan. Bandara adalah fasilitas umum yang seharusnya dibangun Negara untuk dinikmati oleh seluruh rakyatnya. Maka penyerahan pembangunan dan pengelolaan infrastruktur penting kepada swasta adalah bentuk lepas tangannya negara. Fungsi negara sebagai pelayan, pengayom dan pengurus urusan rakyat sedikit demi sedikit menghilang, berganti dengan relasi yang dijiwai aspek kewirausahaan (untung-rugi), dan minus aspek pelayanan, ketulusan, dan kasih sayang. Ini merupakan hal yang wajar terjadi dalam system sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme. Pengelolaan kekuasaan dan wewenang negara yang dilandaskan pada paradigma sekularisme Good Governance atau Reinventing Government, atau konsep New Public Management, yang ketiganya mengandung muatan paradigma yang sama. Yakni berintikan dua pandangan berbahaya kapitalisme. Yaitu pertama, barang pemenuh hajat hidup publik seperti pangan, air bersih, perumahan, energi, dan transportasi; maupun jasa seperti kesehatan dan pendidikan hanyalah komoditas ekonomi untuk dikomersialkan. Sehingga harganya terus bergejolak. Demi harga, meski banyak yang membutuhkan, para korporasi tak segan-segan melakukan pemusnahan. Seperti akan ada pemusnahan 10 juta bibit ayam atau “day old chick” (DOC) per minggu, di tengah puluhan juta orang yang kelaparan di Indonesia dan ratusan juta di dunia. Kedua, kewirausahaan atau untung rugi harus dijadikan spirit yang menjiwai hubungan pemerintah terhadap rakyat dan kehadiran pemerintah adalah untuk pelayanan korporasi. Kedua pandangan ini adalah inti paradigma good governance, reinventing government dan melahirkan sejumlah konsep berbahaya. Perusak fungsi asli negara sebagai pelayanan (raa’in) dan pelindung rakyat (junnah).[3]

Matinya fungsi negara sebagai pelayan dan pengurus rakyat adalah konsekuensi dari penerapan sistem kapitalisme di negeri ini, yang juga berpengaruh hingga ke daerah, termasuk dalam hal pembangunan bandara Kediri. Harus disadari bahwa Kediri dan sekitarnya saat ini sedang menjadai sasaran empuk untuk semakin mengukuhkan jati diri penguasa yang liberal dan sekular. Kebijakan yang diambil sama sekali bukan demi kepentingan seluruh rakyat, namun hanya demi kepentingan melanggengkan kekuasaan dan bersimbiosis mutualisme dengan para pemilik modal untuk menghisap potensi sumber daya alam dan ekonomi di seluruh penjuru negeri, tanpa lagi mempedulikan rakyat yang sebelumnya telah memberikan kepercayaan melalui pemilu.

Penutup
Pembangunan bandara Kediri saat ini perlu dipertimbangkan secara mendalam jika perlu ditunda, diperlukan kajian menyeluruh terkait dampak lingkungan, baik dari aspek alam maupun sosial kemasyarakatan. Bahkan jika perlu dihentikan jika masih bergantung pada swasta karena pasti bukan rakyat yang akan menikmati. Masih ada prioritas yang harus didahulukan untuk merealisasikan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia, yaitu dengan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan yang murah atau bahkan gratis dengan pelayanan terbaik. Memang permasalahan yang menimpa negeri ini adalah permasalahan sistemik, akibat penerapan sistem kapitalisme yang batil, oleh karena itu diperlukan upaya yang serius pula untuk mewujudkan sistem sahih yang menjamin kesejahteraan seluruh rakyat, yang mewujudkan peran negara sebagai pengurus urusan umat, mengurus umat sesuai dengan aturan terbaik dari Allah SWT, sistem itu adalah sistem Islam. Sistem Islam hanya akan terwujud dengan dakwah terus menerus untuk membentuk kesadaran umat, bahwa umat butuh untuk diatur dengan aturan Allah dan rasulNya. Maka hanya ada satu pilihan, terus menyampaikan Islam, menjadikan Islam sebagai standard dan solusi atas semua permasalahan, tidak hanya masalah bandara Kediri yang terselesaikan, namun permasalahan sebagai akibat penerapan sistem kapitalisme akan teratasi. Wallahu a’lam

Oleh : Nur Aini, S. Si


[1] https://money.kompas.com/read/2020/02/16/162624326/fakta-bandara-kediri-dibangun-perusahaan-rokok-pernah-ditolak-jokowi
[2] https://jatim.idntimes.com/news/jatim/ardiansyah-fajar/12-kabupaten-ini-miliki-angka-stunting-tertinggi-di-jatim
[3] https://www.muslimahnews.com/2019/12/11/reinventing-government-matinya-fungsi-negara/



No comments:

Post a Comment