Monday, 30 March 2020

Tak Begini Caranya

Jl. Anyelir Tulungrejo Pare 
Perbatasan desa Tulungrejo dan Pelem 


Akhirnya jalan Anyelir Tulungrejo Pare dibatasi untuk umum. Salah satu jalan pusat kursusan di Kampung Inggris.

Memang sejak 25 Maret 2020, semua kursusan sudah tidak ada program. Jadilah suasana Pare yang biasanya ramai lalu-lalang anak kursusan berubah total, sepi.

Penjual makanan, warung, gerobak pkl hampir 90% tutup. Tinggal lapak penduduk asli yang masih bertahan menjemput rezeki.

Suasana gaduh laki perempuan yang biasa menghiasi jalan sudah tak ada lagi.

Tak begini caranya mengakhiri kegaduhan di Pare, dengan musibah.

Begitu pula dengan negeri ini. Tak perlu menunggu musibah untuk berubah. Kita tak tahu kapan ajal menjemput, kita tak tahun qadla Allah atas hidup kita. Namun kita punya wilayah yang bisa diusahakan, yang kelak dimintai pertanggungjawaban.  Berubah menuju kebaikan adalah pilihan, bukan paksaan.

Maka senyampang masih ada kesempatan, kita gunakan untuk kebaikan, ketaatan dan perjuangan.

Raga kita boleh terpenjara di rumah, namun gerak perjuangan untuk sebuah perubahan tidak akan terhenti.

Manfaatkan kesempatan untuk terus membentuk opini Islam. Ajak umat untuk taat, rindu terikat syariat.

Mumpung nafas masih di kandung badan.

Mumpung Allah masih memberikan waktu luang.

Pare, 30 Maret 2020

Friday, 27 March 2020

Catatan dan renungan : corona



Satu hal yang selalu saya kritik terkait data corona di lapangan, tidak jelas, tidak transparan, lamban.

Akhirnya setiap ada informasi yang muncul adalah dugaan hoax

Saling membantah saling ngotot

Dan akhirnya antara fakta dan hoax pun tipis batasnya, masyarakat menjadi bingung, terbaliklah kesimpulannya, yang fakta dikira hoax yang hoax dikira fakta

Seharusnya di sinilah peran negara yang dibutuhkan, cepat tanggap. Bukan malah memberi informasi mengambang bahkan ambigu

Tentang isu yang sejak beberapa hari ini beredar liar di Pare, sejak awal saya berusaha bertanya dan mengkonfirmasi pihak yang punya kewenangan atas urusan warga. Bertanya kepada ketua RT, mencari informasi tambahan orang yang tahu kondisi di lapangan, mengkonfirmasi kepada call Center Kabupaten. Memang tidak bisa memberi informasi secepat harapan, namun setidaknya ada sedikit rasa  tenang karena mereka pasti memikirkan warganya, memikirkan orang lain.

Dan hari ini sudah jelas.

Tentang Corona, bukan aib yang harus ditutupi. Malah sebaliknya harus transparan, memberikan informasi yang jelas dan memberikan edukasi agar warga paham.

Positif corona itu musibah yang bisa menimpa siapa saja. Namun yang pasti, bagi orang beriman apapun kondisinya akan dianggap sebagai peluang pahala. Tidak mencacinya, menerima dengdan ikhlas dan sabar disertai dengan usaha maksimal, bagi yang sakit ikhtiar sembuh bagi yang sehat wajib menghindar dari bahaya.

Semoga dengan musibah ini kita semakin sadar, ada banyak ketidakidealan akibat ulah kita sendiri, abai, menyepelekan, akhirnya kena getahnya.

Semakin sadar untuk taat kepada Allah, dan ketaatan itu akan mudah dan kaffah dalam naungan #Khilafah

Untuk yang berencana kursus di Pare, tunggu sampai suasana kondusif. Semua kursusan sudah off. Saling mendoakan semoga kami di sini diberi kesabaran, keikhlasan dan kesehatan, begitu juga dengan semua. Aamiin

Pare, 27 Maret 2020
Nur Aini

Saturday, 21 March 2020

Kesetaraan Gender Bukan Jaminan Pengentasan Kemiskinan

Sumber gambar : kemenpppa.go.id


Kemiskinan yang dialami jutaan perempuan saat ini mendorong para pegiat kesetaraan gender untuk terus menggaungkan idenya, meminta kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam bidang ekonomi. Maka lahirlah upaya pemberdayaan perempuan dan tuntutan kesamaan kesempatan akses pekerjaan. Sehingga yang terjadi adalah berbondong-bondongnya perempuan mengisi berbagai kegiatan ekonomi dan lapangan kerja. Apakah masalah kemiskinan terselesaikan? Tidak. Malah semakin memperburuk kondisi. Muncul masalah baru yang mendera perempuan dan keluarga. Keluarnya perempuan atas dalih pemberdayaan ekonomi perempuan serta membantu perekonomian keluarga dalam rangka menyelesaikan masalah kemiskinan telah membuat fungsi peran keibuan perempuan terganggu, anak terlantar hingga terjerumus masalah besar. Maka kesetaraan gender yang selama ini terus digaungkan dan menjadi tuntutan para aktivis gender jelas bukan solusi untuk mengatasi kemiskinan perempuan khususnya. Karena kemiskinan yang terjadi saat ini adalah kemiskinan yang sistematis, akibat permasalahan sistemik, yaitu diterapkan sistem kapitalisme terutama di bidang perekonomiannya. Sehingga yang perlu diperjuangkan bukanlah kesetaraan gender, namun perubahan sistemik.

Selain jelas tak memberi solusi, kesetaraan gender juga perlu diwaspadai, karena sejatinya ide kesetaraan gender adalah racun yang diberikan kepada perempuan. Kesetaraan gender  saat ini hanyalah topeng dari ideologi kapitalisme untuk mengeksploitasi perempuan, menjerumuskan perempuan ke dalam jurang terjal sekaligus melalaikan perempuan dari kewajiban berjuang untuk melakukan perubahan. Didorongnya  perempuan berlomba mengisi lapangan kerja dan sibuk dengan program pemberdayaan ekonomi perempuan adalah akal bulus para pemilik modal untuk mendapatkan tenaga kerja murah dalam rangka mengelola bisnis mereka, bukan murni untuk menolong para perempuan. Jahatnya lagi itu semua dilakukan juga demi kepentingan para pemilik modal, agar perempuan tetap menjadi sasaran pasar produk dan jasa yang telah dihasilakan, agar tetap ada para perempuan yang punya daya beli. Perempuan mandiri yang siap membelanjakan penghasilannya tanpa membebani lelaki.

Tak hanya mengeksplotasi perempuan, ide kesetaraan gender juga telah merenggut peran keibuan perempuan. Kesetaraan gender di bidang ekonomi sejatinya hanya mencetak perempuan yang menstandarkan kehidupan pada materi, perempuan berdaya itu yang menghasilkan materi, perempuan berdaya itu yang mandiri, perempuan berdaya itu yang tak tergantung pada   wali atau suami. Dan sebaliknya, perempuan yang tak bekerja dianggap tak berdaya. Tidak hanya mencetak perempuan yang terkontaminasi peradaban kapitalis, seperti biasa pengusung kapitalisme akan mencari keuntungan lebih, sambil menyelam minum air, sambil mengambil manfaat juga sekaligus menghancurkan perempuan. Peran perempuan yang tidak wajib mencari nafkah dibalik menjadi pihak yang seolah harus menjadi tulang punggung keluarga. Jelas ini merusak peran domestik  perempuan. Perempuan yang seharusnya konsentrasi mengatur rumah, mendidik anak, mendapatkan kemuliaan, wajib dijaga kehormatannya, dengan sukarela atau kadang terpaksa meninggalkan peran tersebut. Akibat terabaikannya peran domestik, yang mungkin terjadi adalah berkurangnya energi dan waktu perempuan untuk mengurus rumah, keluarga, anak dan suami. Akibat terburuknya adalah rusaknya rumah tangga. Anak kurang kasih sayang, perceraian, hingga terabaikannya hak dan kewajiban perempuan.

Lalu apakah perempuan tidak boleh memberdayakan diri secara ekonomi? Tidak ada larangan khusus. Perempuan tetap punya hak di sektor publik. Dia boleh berkarier, boleh mencari uang, boleh sekolah, mencari ilmu, menyampaikan pendapat, bahkan juga tetap wajib melakukan dakwah untuk mewujudkan perubahan. Namun syarat dan ketentuan berlaku, selama tidak melanggar hukum syara'. Khusus untuk bekerja, tidak boleh mengubah status diri menjadi tulang punggung keluarga sehingga merasa berdosa ketika tak bekerja. Tetap posisikan suatu aktivitas sesuai ketetapan syara'. Bekerja mubah, jangan sampai mengorbankan yang wajib, jangan pula bercita-cita menggantikan posisi lelaki. Tetap memposisikan lelaki terutama suami sebagai pemimpin.

Dengan demikian, kesetaraan gender bukan jaminan pengentasan kemiskinan, malah membuat masalah bagi keluarga dan perempuan. Kemiskinan yang saat ini terjadi tak hanya mendera perempuan saja, namun semuanya. Kemiskinan yang begitu hebatnya menimpa sebagian penduduk dunia adalah sebagai akibat penerapan sistem kapitalisme. Sistem yang memberikan jalan hanya kepada para pemilik modal untuk menguasai sumber daya alam dan kekayaan, orang-orang kalangan menengah ke bawah dipaksa berebut sebagian kecil sisanya. Maka tak heran kesenjangan akan semakin terbuka lebar. Belum lagi kebijakan yang menempatkan negara sebatas regulator saja akan membuat para pemilik modal semakin leluasa mengeruk kekayaan alam yang melimpah ruah, penguasaan infrasuktur oleh swasta-asing menambah daftar panjang melambungnya berbagai harga layanan jasa. Rakyat dibiarkan berjuang sendiri memenuhi semua kebutuhan yang biayanya semakin menggila. Oleh karena itu, solusi atas kemiskinan ini adalah dengan meninggalkan biang keladinya, yaitu sistem kapitalismeuntuk selanjutnya diganti dengan sistem Islam.

Solusi Islam dalam mengentaskan kemiskinan di antaranya adalah kebijakan perekonomian yang bebas dari riba, mengembangkan  usaha yang menggarap sektor produktif, menjamin pemenuhan kebutuhan mendasar manusia semisal pendidikan, kesehatan, dan keamanan dengan pembiayaan dari  kepemilikan umum yang salah satunya berupa SDA sehingga setiap keluarga bisa berkonsentrasi memenuhi kebutuhan individu, memberikan bantuan langsung kepada lelaki yang menjadi tulang punggung keluarga yang mempunyai keterbatasan tanpa mewajibkan perempuan bekerja, penerapan mata uang emas dan perak yang bebas inflasi. Negara benar-benar menjalankan fungsinya sebagai pengurus urusan rakyat, menjalankan relasi pelayanan bukan mencari keuntungan sebsarnya dari rakyatnya. Dengan kebijakan ini kemiskinan secara sistemik setidaknya bisa diminimalisir.


Nur Aini, S.Si
Aktivis Forum Peduli Muslimah dan Generasi (FORMASI) Pare Kediri

Friday, 20 March 2020

Menanti Penguasa Peduli



Pemerintah langsung cepat tanggap mendatangkan alat pendeteksi corona dari luar negeri

Semoga jika memang harus lockdown secepat itu pula memsuplai kebutuhan pokok masyarakat semisal beras, secara Pak Presiden habis sidak ke bulog cek persediaan beras yang katanya aman

Lagian jika pemerintah tetap "medhit" ke rakyatnya, terus benar-benar mewabah dan banyak yang mati emang siapa lagi yang mau "diperas"? Siapa yang mau beli itu beras? Horang kayah belum tentu mau beli.

Atau malah senang penduduknya berkurang?

Dan hari gini semua menghimbau taati pemerintah, namun rakyatnya masih banyak yang "ndableg", sedikit wajar karena selama ini pemerintah juga sesuka hati tak memikirkan rakyat kecil saat membuat kebijakan.

Maka di sini pemerintah harus mengevaluasi kebijakannya, sungguh - sungguh taubatan nasuha dari dzalim kepada rakyatnya. Mengedepankan suasana keimanan dalam membuat kebijakan, bukan malah terus mempermainkan syariat Tuhan.

Dan kita, tetap berusaha semaksimal mungkin melindungi diri sendiri, keluarga dan masyarakat kita. Peduli dengan sesama. Terus berdoa semua baik-baik saja, segera normal, pemerintah juga segera taubat, dan yang tak kalah penting terus dakwah menyampaikan islam adalah solusi semua masalah dan akan kaffah diterapkan dalam naungan khilafah

Pare, 20 Maret 2020

Thursday, 12 March 2020

Kampanye Internasional: Beijing+25: Apakah Kedok Kesetaraan Gender Telah Terbongkar?




Siaran Pers

Divisi Muslimah Kantor Media Pusat Hizb ut Tahrir Meluncurkan Kampanye Internasional: Beijing+25: Apakah Kedok Kesetaraan Gender Telah Terbongkar?

Tahun 2020 menandai peringatan ke-25 Deklarasi dan Kerangka Aksi Beijing (BPfA), sebuah dokumen yang panjang lebar hasil dari konferensi dunia keempat PBB terkait Perempuan pada September 1995 di Beijing, Tiongkok. Tujuannya adalah untuk meningkatkan hak-hak kaum perempuan dan kehidupan mereka secara global melalui penegakkan Kesetaraan Gender di seluruh bidang kehidupan: politik, ekonomi, dan sosial, serta untuk menggabungkan perspektif gender ke dalam seluruh kebijakan, hukum, dan program di dalam negara-negara dunia, Dokumen ini dielu-elukan sebagai agenda yang paling visioner untuk pemberdayaan perempuan dan remaja perempuan secara internasional, serta sebagai kerangka kebijakan global dan cetak biru aksi yang paling komprehensif dalam merealisasikan kesetaraan gender dan hak-hak asasi manusia bagi kaum perempuan dan remaja perempuan di seluruh dunia.

Deklarasi ini diadopsi oleh 189 negara termasuk mayoritas pemerintahan di negeri-negeri Muslim, yang sepakat untuk mengimplementasikan komitmen-komitmen di dalam deklarasi tersebut di negera mereka dan mempromosikan agenda ini di tengah-tengah bangsa mereka, Tujuan-tujuan yang terkandung di dalam deklarasi ini dipromosikan secara besar-besaran di dalam berbagai negara dunia.

Selama puluhan tahun, konsep Kesetaraan Gender yang terkandung di dalam BPfA dan berbagai perjaanjian internasional lainnya telah menjadi penanda secara internasional atas negara-negara yang beradab dan progresif, serta menjadi ukuran seberapa baik negara-negara yang ada memperlakukan kaum perempuan.

Ide ini dianggap sebagai sebuah nilai universal yang harus dirangkul oleh semua orang terlepas dari keyakinan budaya atau keyakinan agama mereka. Padahal, konsep ini adalah gagasan yang dilahirkan oleh Barat yang berlandaskan atas doktrin sekuler Barat. Memang, ide ini dipandang oleh banyak pihak sebagai cara yang ampuh untuk memberdayakan seluruh perempuan, meningkatkan kualitas kehidupan perempuan, dan mencapai pembangunan bangsa.

Akibatnya, setiap kepercayaan, budaya, atau ideologi apapun yang berseberangan dengan ide kesetaraan gender ini akan dikecam dan dilabeli sebagai sesuatu yang anti perempuan, terbelakang, dan menindas. Hukum-hukum sosial dan keluarga Islam telah menjadi target utama dari tuduhan ini.  Rezim demi rezim di dunia Muslim berupaya untuk mereformasi atau menghapus hukum-hukum Islam di negeri mereka, dengan dalih untuk mengamankan hak-hak perempuan serta mencapai moderenisasi dan kemajuan. Namun kenyataannya, pemberlakuan intensif akan konsep Barat tentang kesetaraan gender di negara-negara mayoritas Muslim dan komunitas Muslim di seluruh dunia hanyalah cara lain yang digunakan oleh negara-negara kapitalis kolonial di dalam perjuangan ideologis mereka melawan Islam. Mereka juga ingin mencegah kebangkitannya di dunia Muslim sebagai sebuah sistem politik: yakni Khilafah yang berdasarkan metode kenabian, yang akan menantang hegemoni mereka dan mengancam kepentingan mereka di dunia. Memang, pernikahan antara feminisme dan kolonialisme telah lama berlangsung.



Deklarasi BPfA telah berusia duapuluh lima tahun, dan agendanya yang intensif untuk semakin mendorong perkara kesetaraan gender secara global, namun masalah-masalah politik, ekonomi, lingkungan, dan sosial yang dihadapi oleh kaum perempuan di seluruh dunia, termasuk di negeri-negeri Muslim, semkain memburuk hari demi hari. Janji-janji tentang membawakan pemberdayaan dan kemajuan bagi kehidupan perempuan belum juga dipenuhi.

Oleh karena itu, pada bulan Maret ini, Divisi Muslimah Kantor Media Pusat Hizb ut Tahrir meluncurkan sebuah kampanye global berjudul Beijing+25: Apakah Kedok Kesetaraan Gender Telah Terbongkar? yang akan mencapai puncaknya pada peluncuran sebuah buku tentang masalah ini dalam seminar perempuan yang akan diselenggarakan di berbagai negara di seluruh dunia, insya Allah.

Kampanye ini bertujuan untuk menentang narasi dominan tentang Kesetaraan Gender dan klaim-klaimnya dalam memajukan hak-hak kaum perempuan dan kemajuan bangsa; menjelaskan benarkah kesetaraan gender merupakan sebuah nilai yang universal; membahas penyebab kegagalan dari kebijakan-kebijakan dan undang-undang tentang kesetaraan gender dalam meningkatkan kehidupan perempuan; menjelaskan akar penyebab yang sistemik dan ideologis dari banyaknya permasalahan yang dihadapi perempuan saat ini; membongkar agenda yang sebenarnya di balik Deklarasi Beijing dan perjanjian-perjanjian perempuan internasional lainnya.



Kampanye ini juga akan menjelaskan bagaimana cetak biru Islam yang komprehensif dan unik tentang prinsip-prinsip, hukum, dan sistem secara terperinci, sebagaimana diimplementasikan oleh sistem politiknya yaitu Khilafah yang berdasarkan metode kenabian, akan menyediakan sebuah alternatif visi yang kredibel dan telah terbukti dalam sejarah untuk meningkatkan status perempuan, mengamankan hak-hak perempuan, meningkatkan standar hidup mereka, serta mencapai kemajuan sejati dalam sebuah negara. Bagi siapa saja yang benar-benar berharap untuk dapat membangun masa depan yang lebih makmur, adil, dan aman bagi kaum perempuan di seluruh dunia, kami mengundang Anda untuk mengikuti dan mendukung kampanye penting ini.

Kampanye ini dapat diikuti melalui:

Halaman Facebook:
https://www.facebook.com/kesetaraangenderunmasked/

Twitter : @GenderUnmasked

Instagram : @kesetaraangenderunmasked

Dr. Nazreen Nawaz
Direktur Divisi Muslimah Kantor Media Pusat Hizb ut Tahrir

Wednesday, 11 March 2020

Pemberdayaan Ekonomi Lelaki

Foto yang sudah sering dipakai di blog ini. 
Penjual buah keliling di Kampung Inggris, berjalan menuntun sepeda menyusuri kampung, sembari menawarkan buah yang dijual, selalu merasa terharu dengan usaha beliau

Kalau pemberdayaan ekonomi perempuan alias PEP sudah sering dengar kan?

Tapi jangan mau dikelabui, PEP itu hanya akal-akalan orang liberal kapitalis untuk merusak perempuan, keluarga dan umat Islam.

Bilangnya membantu perekonomian perempuan, membantu perekonomian keluarga, tapi sejatinya menghancurkan perempuan dan keluarga.

PEP itu akal bulusnya para pemilik modal agar terus muncul konsumen yang beruang, agar roda produksi barang dan jasa  yang mereka jalankan terus berputar. Agar tetap ada konsumen yang mempunyai daya beli. Maka diciptakanlah lapangan kerja seluasnya untuk perempuan, biar perempuan mandiri mengatur keuangan biar perempuan menjadi konsumen tanpa membebani lelaki.

Biar perempuan mudah dieksploitasi dibuatlah regulasi yang mendukung, biar nyambung dituntutlah perempuan sebagai pengambil kebijakan, ikut serta dalam regulasi peraturan, maka selanjutnya muncul tuntutan kuota perempuan 30:70 hingga planet 50:50. Jargonnya indah, karena perempuan yang paling tahu dengan masalah perempuan.

Tapi jangan lupakan prinsip hakiki dalam sistem kapitalisme, no free lunch. Tidak ada nilai kemanusiaan, akhlak bahkan ruhiyah dalam ideologi Kapitalisme. Yang ada hanya nilai manfaat dan materi. Begitu pula dengan program PEP yang digaungkan kaum feminis liberal yang diasuh  dan dibesarkan ideologi Kapitalisme.

PEP sejatinya hanya mencetak perempuan yang menstandarkan kehidupan pada materi, perempuan berdaya itu yang menghasilkan materi, perempuan berdaya itu yang mandiri, perempuan berdaya itu yang tak tergantung pada   wali atau suami. Dan sebaliknya, perempuan yang tak bekerja dianggap tak berdaya.

Tidak hanya mencetak perempuan yang terkontaminasi peradaban kapitalis, seperti biasa pengusung kapitalisme akan mencari keuntungan lebih, sambil menyelam minum air, sambil mengambil manfaat juga sekaligus menghancurkan perempuan. Peran perempuan yang tidak wajib mencari nafkah dibalik menjadi pihak yang seolah harus menjadi tulang punggung keluarga. Jelas ini merusak peran domestik  perempuan. Perempuan yang seharusnya konsentrasi mengatur rumah, mendidik anak, mendapatkan kemuliaan, wajib dijaga kehormatannya, dengan sukarela atau kadang terpaksa meninggalkan peran tersebut. Akibat terabaikannya peran domestik, yang mungkin terjadi adalah berkurangnya energi dan waktu perempuan untuk mengurus rumah, keluarga, anak dan suami. Akibat terburuknya adalah rusaknya rumah tangga. Anak kurang kasih sayang, perceraian, hingga terabaikannya hak dan kewajiban perempuan.


Lalu apakah perempuan tidak boleh memberdayakan diri secara ekonomi?Tidak ada larangan khusus. Perempuan tetap punya hak di sektor publik. Dia boleh berkarier, boleh cari uang, boleh sekolah, mencari ilmu, menyampaikan pendapat, bahkan juga tetap wajib melakukan dakwah untuk mewujudkan perubahan. Namun syarat dan ketentuan berlaku, selama tidak melanggar hukum syara'. Khusus untuk bekerja, tidak boleh mengubah status diri menjadi tulang punggung keluarga sehingga merasa berdosa ketika tak bekerja. Tetap posisikan suatu aktivitas sesuai ketetapan syara'. Bekerja mubah, jangan sampai mengorbankan yang wajib, jangan pula bercita-cita menggantikan posisi lelaki. Tetap memposisikan lelaki terutama suami sebagai pemimpin.


Kembali pada PEP, jangan sampai terjebak pada program PEP yang dinarasikan Barat. Sadari PEP bukanlah program gratis demi kebaikan perempuan, PEP dalam perspektif Barat jelas berbahaya. Bukan meninggikan derajat kaum wanita, malah menjerumuskan perempuan pada eksploitasi.

Jika benar peduli, harusnya lebih bersungguh-sungguh memastikan pemberdayaan ekonomi lelaki. Memastikan lelaki bisa mencari nafkah secara halal, membuka lapangan kerja seluasnya untuk lelaki, karena merekalah yang wajib mencari nafkah.  Inilah yang seharusnya dilakukan negara. Juga termasuk memberikan bantuan kepada setiap warganya yang mempunyai keterbatasan untuk mendapatkan sumber ekonomi, memberikan pos khusus kepada mereka yang berhalangan untuk mencari nafkah.

Wednesday, 4 March 2020

Dinasti Kediri Akankah Tak Terbendung Lagi?

Sumber gambar : Tempo.co

Akhirnya pemilihan bupati Kediri dipastikan tanpa diikuti bakal pasangan calon (bapaslon) perseorangan. Karena hingga batas yang telah ditentukan tidak ada  satu pun bapaslon perseorangan yang menyerahkan berkas yang telah disyaratkan. Seperti yang diketahui, syarat pencalonan perseorangan untuk Kabupaten Kediri salah satunya harus menyertakan dukungan dari 6,5% penduduk yang sudah masuk  DPT, yaitu sebanyak 79.715 dukungan. Memang jumlah yang tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan total DPT Kabupaten Kediri yang sebesar 1.226.382.  Namun tak bisa dipungkiri, Kabupaten Kediri yang telah berpuluh tahun dikuasai Dinasti Sutrisno akan menjadi daerah yang sulit ditaklukkan oleh bapaslon perorangan jika tanpa dukungan dari dinasti. Dengan tidak adanya bapaslon perseorangan masyarakat tinggal menunggu tarik ulur bapaslon dari partai politik yang akan berebut dukungan dari dinasti atau setidaknya dari partai politik yang selama ini mencengkeram, yang tidak lain dan tidak bukan juga merupakan kendaraan politik bagi dinasti yang berkuasa pada pilkada sebelumnya. Dan jika ini benar terjadi maka kekuatan dinasti akan sulit dibendung.  Memang bisa jadi penguasa selanjutnya tidak dari keluarga dinasti, namun tetap saja kemungkinan terbesarnya adalah kroni dinasti.

Tidak adanya bapaslon perseorangan seharusnya menjadi pelajaran bagi semua. Setidaknya ada dua pelajaran yang bisa diambil. Pertama, karakter masyarakat yang lebih memilih berada di zona aman. Tidak terlalu mau berpikir jauh ke depan, lebih memilih mengamankan kepentingannya daripada mengambil resiko perubahan, meskipun perubahan itu menjanjikan perbaikan keadaan. Karakter ini lebih banyak dimiliki oleh masyarakat yang sudah dekat dengan kekuasaan, daripada kehilangan jabatan  ataupun posisi nyaman, mereka lebih memilih melanjutkan estafet kekuasaan agar tetap berada di zona aman. Ini adalah karakter yang tidak sepenuhnya berdampak positif pada pembangunan Kabupaten Kediri mengingat pembangunan yang masih dibutuhkan, dengan catatan dan garis bawah tebal, pembangunan yang menyejahterakan seluruh warga, bukan sekadar kroni penguasa. Kabupaten Kediri harusnya mempunyai pemimpin yang mempunyai kemauan kuat untuk menggarap seluruh potensi  Kabupaten Kediri demi kepentingan rakyat, karena sudah bukan rahasia lagi, pembangunan di Kabupaten Kediri saat ini hanya melibatkan segelintir orang saja, dan pelaksana proyek strategis hanya berkutat pada kroni dinasti.

Kedua, minimnya dukungan bapaslon perseorangan harus diakui karena kecilnya dukungan modal dana yang dimiliki. Bapaslon perseorangan akan sulit mengumpulkan dukungan tanpa iming-iming materi, jargon perubahan seolah sudah tak mempan, mengingat karakter masyarakat yang mudah terbeli hanya karena imbalan materi. Ini juga sudah bukan rahasia lagi, di era yang serba materialistis seperti saat ini yang ada dalam benak rakyat adalah mendapat materi atau uang untuk mempertahankan hidup, uang lebih penting daripada janji manis perubahan yang belum tentu dapat diwujudkan. Maka wajar jika masih saja ditemui warga yang mau mendukung asal diberi imbalan uang.

Oleh karena itu, ke depan harus ada edukasi untuk menyadarkan masyarakat agar tidak terjebak di zona aman, namun masyarakat harus disadarkan bahwa ada kondisi yang harus diubah agar Kabupaten Kediri menjadi daerah yang lebih baik lagi. Dan edukasi penyadaran ini tidak sebatas menjelang pilkada saja, namun dilakukan setiap waktu. Sedangkan fakta masyarakat yang masih mengandalkan uang, adalah bukti kuatnya politik uang dalam demokrasi kapitalisme, ini juga membutuhkan usaha keras untuk mengubah paradigma berpikir materialistis, masyarakat harus sadar bahwa politik untuk meraih kekuasaan bukanlah untuk mengembalikan modal atau mengeruk kekayaan, namun politik adalah upaya untuk mengurus urusan rakyat, upaya serius untuk menyejahterakan seluruh rakyat bukan hanya konglomerat. Juga mengurusi urusan rakyat agar selamat di dunia dan akhirat.

Nur Aini, S.Si
Aktivis Forum Muslimah Peduli Generasi- Formasi Pare Kediri

Tuesday, 3 March 2020

Bandara Kediri, Siapa Yang Menikmati?




Bandara Kediri yang diinisiasi perusahaan rokok PT Gudang Garam Tbk (GGRM) akan mulai dibangun pada April 2020. Bandara baru ditargetkan bisa melayani 2,5 juta penumpang, lalu berkembang bertahap hingga 10 juta penumpang per tahun. Pembangunan diperkirakan berlangsung dua tahun dengan target bandara beroperasi pada 2022. Gudang Garam menjadi investor berkolaborasi dengan pemerintah, baik pusat maupun pemda, dalam proyek pembangunan Bandara Kediri. Pembangunan bandara itu menggunakan skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), dimana dana pembangunan bandara seluruhnya dibiayai Gudang Garam. “Pertama kali swasta full menginvestasikan suatu bandara. Dan inipun dilakukan dengan KPBU. Artinya bagian tanah-tanah tertentu diserahkan ke kita, terus Gudang Garam mendapatkan suatu konsesi bisa 30 tahun atau 50 tahun,” kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dalam keterangannya, Minggu (16/2/2020). (Kompas.com)[1]. Dari rencana tersebut, setidaknya ada tiga hal yang perlu dikritisi dari pembangunan bandara ini, pertama terkait pelibatan penuh swasta, kedua skala prioritas pembangunan dan ketiga lepasnya negara dari peran mengurusi rakyat.

Swasta Menguasai Infrastruktur
Pembangunan bandara Kediri yang seluruh dananya dibiayai oleh swasta yang dalam hal ini adalah Gudang Garam adalah bukti nyata bahwa pembangunan infrastuktur dikuasai oleh swasta, maka jelas yang akan mengambil keuntungan lebih adalah pihak swasta bukan negara. Ini bukan hal pertama di Indonesia. Sudah banyak infrastruktur yang dibangun dengan menggunakan dana swasta atau bahkan investasi asing. Untuk bandara Kediri memang kesepakatannya adalah konsensi antara 30 hingga 50 tahun. Maka selama itu pula pihak swasta lah yang akan sangat diuntungkan. Dan bukan rahasia lagi, ketika swasta menguasai pengelolaan infrastruktur maka hilanglah fungsi pelayanan publik, yang ada relasi antara perusahaan dengan konsumen, yaitu hitungan untung rugi, bukan mengabdi demi kepentingan seluruh rakyat. Iming-iming keberadaan bandara akan berkontribusi pada kesejahteraan warga sekitar, akan mendongkrak roda perekonomian sejatinya hanyalah pemanis saja, jika pun ada keuntungan maka rakyat hanya menikmati recehan atau bahkan tetesan keuntungan yang kecil sekali jika dibandingkan dengan keuntungan yang didapatkan perusahaan swasta pengelola.

Masyarakat Kediri harusnya belajar dan membuka mata dengan fakta penguasaan pembangunan dan pengelolaan infrastruktur oleh swasta atau asing di negeri ini. Dengan penguasaan swasta atau asing maka mereka pulalah yang menjadi penentu kebijakan pengelolaan, maka jangan heran ketika suatu saat nanti komersialisasi fasilitas yang dibutuhkan rakyat akan menguras kantong rakyat. Dan rakyat yang merasa butuh tanpa bisa berbuat apa-apa hanya bisa menerima. Tidak hanya itu, penguasaan infrastruktur oleh sekelompok orang saja juga akan sangat mungkin terjadi, Gudang Garam berhak memilih pihak yang akan diajak kerjasama dalam mengelola bandara, boleh menggandeng PT Angkasa Pura boleh juga bekerjasama dengan konsorsium yang dibentuk oleh Gudang Garam. Lagi-lagi ini juga bukan rahasia lagi, dalam sistem kapitalisme tidak mungkin relasi antar perusahaan pengelola sebatas tolong-menolong tanpa imbalan, namun jelas demi mengejar keuntungan sebesarnya. Dan rakyat hanya bisa gigit jari. Masyarakat harus membuka mata dengan keputusan pemerintah yang telah banyak menyerahkan pengelolaan berbagai infrastruktur ke tangan  BUMN, swasta atau asing. Penyerahan kepada BUMN pun masih membuka celah penguasaan saham oleh swasta asing meski tidak mendominasi, apalagi jika pengelolaan infrastruktur diserahkan kepada swasta atau asing sepenuhnya.

Bisa jadi pemerintah akan berkelit menggunakan alasan bahwa pengelolaan swasta pada infrastruktur strategis hanya sebatas Hak Pengelolaan Terbatas (Limited Concession Scheme/LCS). Yang berarti pemerintah masih menjadi pemilik sah infrastruktur. Tentu saja alasan ini tak seindah faktanya, pemerintah hanya sebagai pemilik di atas kertas selama masa konsensi belum berakhir, dengan kata lain memiliki namun tak menikmati. Ini dari aspek keuntungan pengelolaan. Sedangkan dari pemanfaatan, tentu tidak semua warga Kediri dan sekitarnya membutuhkan keberadaan bandara. Malah dengan adanya bandara penguasaan swasta pada perekonomian juga akan semakin menguat. Roda perekonomian yang digerakkan oleh para pemilik modal diprediksi akan semakin kencang berputar, arus investasi dan pengelolaan  SDA  di jalur selatan semisal potensi emas di Trenggalek dan potensi bentang alam di Tulungagung akan semakin mudah. Tentu ini menguntungkan perusahaan yang telah mendapatkan hak untuk mengelola dan mengeruk kekayaan alam. Dengan demikian bisa disimpulkan, yang menikmati bandara Kediri bukanlah seluruh warga Kediri dan sekitarnya, bukan rakyat namun segelintir konglomerat.

Bandara, Perlu Namun Belum Penting
Dinas Kesehatan Jawa Timur pada April 2019 merilis data  12  kabupaten di Jawa Timur yang mengalami stunting, 3 di antaranya adalah Kediri, Nganjuk dan Trenggalek[2]. Memang sudah ada upaya untuk menurunkan angka stunting, akan tetapi ketiga kabupaten yang masuk 12 besar Jawa Timur tersebut adalah wilayah yang menjadi sasaran pengaruh pembangunan Bandara Kediri. Artinya, ada permasalah penting yang seharusnya menjadi perhatian, yaitu memastikan tidak adanya kasus stunting, karena membiarkan kasus stunting berarti telah mengabaikan hak warga dan menggadaikan masa depan generasi.

Tidak hanya masalah stunting, pembangunan yang belum merata di daerah seharusnya menjadi skala prioritas. Pembangunan jalan yang layak hingga seluruh pelosok desa, menambah fasilitas kesehatan, pendidikan dan memberikan dukungan dana untuk pengembangan dan peningkatan kualitas SDM lebih dibutuhkan rakyat daripada sekadar rasa bangga memiliki bandara. Menambah jumlah puskemas yang memiliki sarana lengkap, RS dengan fasilitas terbaik namun bisa dijangkau rakyat, pemberian gaji terbaik untuk tenaga kesehatan dan sebagainya. Mengingat pula Kediri dan sekitarnya adalah wilayah yang menjadi langganan beberapa penyakit semisal DBD. Berikutnya adalah memperbaiki dan melengkapi fasilitas pendidikan. Tidak bisa ditutupi, banyak sekolah negeri yang hanya menikmati fasilitas seadanya, sedangkan sekolah swasta harus mati-matian bertahan, jika ingin melengkapi fasilitas hanya bisa membebankan kepada orang tua siswa. Sedangkan kebutuhan SDM di beberapa bidang juga sangat diperlukan, terutama di bidang kesehatan dan pendidikan. Dokter yang diberi gaji tinggi oleh pemerintah akan lebih tenang saat bertugas, begitu pula pentingnya penambahan dokter spesialis yang masih menjadi rebutan di banyak RS. Begitu juga dengan perhatian di bidang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, semisal pemerintah yang seharusnya menjamin pendidikan murah namun berkualitas, diharapkan bisa mencetak SDM yang berkualitas yang dibutuhkan rakyat. Inilah yang seharusnya menjadi skala prioritas pembangunan, membangun yang dibutuhkan rakyat banyak, bukan membangun infrastruktur yang hanya menguntungkan pengusaha saja.

Negara Lepas Tangan Dari Mengurusi Rakyat
Bandara adalah salah satu fasilitas yang dibutuhkan rakyat di bidang transportasi, keberadaannya memang tidak boleh diabaikan. Bandara adalah fasilitas umum yang seharusnya dibangun Negara untuk dinikmati oleh seluruh rakyatnya. Maka penyerahan pembangunan dan pengelolaan infrastruktur penting kepada swasta adalah bentuk lepas tangannya negara. Fungsi negara sebagai pelayan, pengayom dan pengurus urusan rakyat sedikit demi sedikit menghilang, berganti dengan relasi yang dijiwai aspek kewirausahaan (untung-rugi), dan minus aspek pelayanan, ketulusan, dan kasih sayang. Ini merupakan hal yang wajar terjadi dalam system sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme. Pengelolaan kekuasaan dan wewenang negara yang dilandaskan pada paradigma sekularisme Good Governance atau Reinventing Government, atau konsep New Public Management, yang ketiganya mengandung muatan paradigma yang sama. Yakni berintikan dua pandangan berbahaya kapitalisme. Yaitu pertama, barang pemenuh hajat hidup publik seperti pangan, air bersih, perumahan, energi, dan transportasi; maupun jasa seperti kesehatan dan pendidikan hanyalah komoditas ekonomi untuk dikomersialkan. Sehingga harganya terus bergejolak. Demi harga, meski banyak yang membutuhkan, para korporasi tak segan-segan melakukan pemusnahan. Seperti akan ada pemusnahan 10 juta bibit ayam atau “day old chick” (DOC) per minggu, di tengah puluhan juta orang yang kelaparan di Indonesia dan ratusan juta di dunia. Kedua, kewirausahaan atau untung rugi harus dijadikan spirit yang menjiwai hubungan pemerintah terhadap rakyat dan kehadiran pemerintah adalah untuk pelayanan korporasi. Kedua pandangan ini adalah inti paradigma good governance, reinventing government dan melahirkan sejumlah konsep berbahaya. Perusak fungsi asli negara sebagai pelayanan (raa’in) dan pelindung rakyat (junnah).[3]

Matinya fungsi negara sebagai pelayan dan pengurus rakyat adalah konsekuensi dari penerapan sistem kapitalisme di negeri ini, yang juga berpengaruh hingga ke daerah, termasuk dalam hal pembangunan bandara Kediri. Harus disadari bahwa Kediri dan sekitarnya saat ini sedang menjadai sasaran empuk untuk semakin mengukuhkan jati diri penguasa yang liberal dan sekular. Kebijakan yang diambil sama sekali bukan demi kepentingan seluruh rakyat, namun hanya demi kepentingan melanggengkan kekuasaan dan bersimbiosis mutualisme dengan para pemilik modal untuk menghisap potensi sumber daya alam dan ekonomi di seluruh penjuru negeri, tanpa lagi mempedulikan rakyat yang sebelumnya telah memberikan kepercayaan melalui pemilu.

Penutup
Pembangunan bandara Kediri saat ini perlu dipertimbangkan secara mendalam jika perlu ditunda, diperlukan kajian menyeluruh terkait dampak lingkungan, baik dari aspek alam maupun sosial kemasyarakatan. Bahkan jika perlu dihentikan jika masih bergantung pada swasta karena pasti bukan rakyat yang akan menikmati. Masih ada prioritas yang harus didahulukan untuk merealisasikan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia, yaitu dengan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan yang murah atau bahkan gratis dengan pelayanan terbaik. Memang permasalahan yang menimpa negeri ini adalah permasalahan sistemik, akibat penerapan sistem kapitalisme yang batil, oleh karena itu diperlukan upaya yang serius pula untuk mewujudkan sistem sahih yang menjamin kesejahteraan seluruh rakyat, yang mewujudkan peran negara sebagai pengurus urusan umat, mengurus umat sesuai dengan aturan terbaik dari Allah SWT, sistem itu adalah sistem Islam. Sistem Islam hanya akan terwujud dengan dakwah terus menerus untuk membentuk kesadaran umat, bahwa umat butuh untuk diatur dengan aturan Allah dan rasulNya. Maka hanya ada satu pilihan, terus menyampaikan Islam, menjadikan Islam sebagai standard dan solusi atas semua permasalahan, tidak hanya masalah bandara Kediri yang terselesaikan, namun permasalahan sebagai akibat penerapan sistem kapitalisme akan teratasi. Wallahu a’lam

Oleh : Nur Aini, S. Si


[1] https://money.kompas.com/read/2020/02/16/162624326/fakta-bandara-kediri-dibangun-perusahaan-rokok-pernah-ditolak-jokowi
[2] https://jatim.idntimes.com/news/jatim/ardiansyah-fajar/12-kabupaten-ini-miliki-angka-stunting-tertinggi-di-jatim
[3] https://www.muslimahnews.com/2019/12/11/reinventing-government-matinya-fungsi-negara/