Catatan liqa’ syawal ( bagian 4 – selesai)
Quote bagian 3 : Saat dakwah menyeru khilafah itu dikriminalkan dan mendapatkan cibiran, teruslah bertahan, teruslah memperbaiki di saat yang lainnya merusak. Berbahagialah menjadi orang yang terasing.
Menjadikan dakwah sebagai visi hidup, juga visi keluarga adalah sebuah pilihan. Mencari kemuliaan dengan dakwah juga merupakan pilihan. Menjadi bagian dari jamaah dakwah juga pilihan. Maka siapapun berpeluang untuk memilihnya. Namun sayang, tidak semua orang memilih jalan tersebut.
Bahkan bukan sekadar tidak memilih, terkadang malah ada yang mengambil jalan sebaliknya, memilih menjadi penentang. Maka tak heran ketika ada yang melabeli dakwah dengan cap-cap negative, apalagi jika itu dakwah dalam rangka mengajak menegakkan khilafah, tak sedikit yang mencibir, merendahkan, melarang bahkan mengkriminalkan.
Halangan, hambatan dan ujian di jalan dakwah tentu tak akan menghentikan langkah. Meski menjadi terasing karena memilih jalan yang tak biasa, meski dihalang-halangi langkah dakwah pantang surut. Karena ini adalah pilihan, dan setiap pilihan pasti ada konsekuensinya. Memilih berdakwah dengan sabar dan ikhlas insya Allah akan berkonsekuensi dibalas dengan surga. Karena dakwah adalah aktivitas para nabi yang jelas berada di surga, maka para pewarisnya pun juga akan diberikan surga.
Akan tetapi jalan dakwah ini tentu bukanlah jalan yang tanpa liku tanpa ujian, akan ada seleksi alam untuk memilah mana yang sabar dan mana yang memilih berguguran. Dan salah satu hal yang bias memotivasi untuk terus berada di jalan dakwah adalah dengan merenungi salah satu hadits Nabi berikut ini :
Imam Muslim meriwayatkan dari Abû Hurairah, Rasulullah saw. bersabda:
Islam muncul pertama kali dalam keadaan terasing dan akan kembali terasing sebagaimana mulainya, maka berbahagialah orang-orang yang terasing tersebut.
Sifat orang-orang yang terasing, 5 di antaranya sebagai berikut (bab 16 buku pilar-pilar pengokoh nafsiyah islamiyah):
1. Senantiasa Melakukan Perbaikan ketika Manusia Sudah Rusak
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Auf bin Zaid bin Milhah al-Mazani ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Sesungguhnya agama (ini) akan terhimpun dan berkumpul menuju Hijaz layaknya terhimpun dan terkumpulnya ular menuju liangnya, dan sungguh (demi Allah) agama (ini) akan ditahan (untuk pergi)
dari Hijaz sebagaimana (ditahannya) panji (yang merupakan tempat kembali di mana kaum Muslim kembali padanya ) dari puncak gunung. Sesungguhnya agama ini muncul pertama kali dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing. Maka berbahagialah orang-orang yang terasing. Yaitu orang-orang yang memperbaiki sunahku yang telah dirusak oleh manusia setelahku. (Abû Issa berkata, “Hadits ini hasan”)
Al-Ghuraba dalam hadits di atas bukanlah para sahabat, karena mereka datang setelah ada manusia yang merusak metode kehidupan yang dibawa Rasulullah saw. Sedangkan para sahabat ra. tidak merusak metode kehidupan Rasul, dan metode tersebut belum rusak di jaman para sahabat.
Hadits yang diriwayatkan dari Sahal bin Sa’ad as-Saidi ra., Rasulullah saw. bersabda:
Islam muncul pertama kali dalam keadaan terasing dan akan kembali terasing sebagaimana mulainya, maka berbahagialah orang-orang yang terasing tersebut. Para sahabat berkata, “Wahai
Rasulullah, siapa al-ghuraba ini?” Rasulullah saw. bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang melakukan perbaikan ketika manusia sudah rusak.” (Hadits ini diriwayatkan oleh athThabrâni dalam al-Kabir).
Dalam al-Ausatdan ash-Shagirdiriwayatkan dengan lafadz: Mereka malakukan perbaikan ketika manusia telah rusak.
Kata idza (ketika) digunakan untuk menunjukkan masa yang akan datang. Di dalam hadits ini terdapat petunjuk bahwakerusakan tersebut terjadi setelah masa sahabat. al-Haitsami berkomentar tentang hadits ini, “ath-Thabrâni meriwayatkannya dalam atsTsalatsah, para perawinya shahih selain Bakr bin Sulaim. Ia adalah perawi terpercaya.”
2. Jumlahnya Sedikit
Ahmad dan ath-Thabrâni dari Abdullah bin Amru, ia berkata; Pada suatu hari saat matahari terbit aku berada di dekat Rasulullah saw., lalu beliau bersabda:
Akan datang suatu kaum pada hari kiamat kelak. Cahaya mereka bagaikan cahaya matahari. Abû Bakar berkata, “Apakah mereka itu kami wahai Rasulullah?” Rasulullah bersabda, “Bukan, dan khusus untuk kalian ada kebaikan yang banyak. Mereka adalah orang-orang fakir dan orang-orang yang berhijrah yang berkumpul dari seluruh pelosok bumi.” Kemudian beliau bersabda, “Kebahagian bagi orang-orang yang terasing, kebahagiaan bagi orang-orang yang terasing.” Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah orang-orang yang terasing itu?” Beliau saw. bersabda, “Mereka adalah orang-orang shalih di antara kebanyakan manusia yang buruk. Di mana orang yang menentang mereka lebih banyak dari pada yang menaatinya.” (al-Haitsami berkata hadits ini dalam al-Kabir mempunyai banyak sanad. Para perawinya shahih).
Kami katakan, perlu diingat bahwa keistimewaan karena terasing tidaklah lebih utama dari pada keistimewaan karena persahabatan (dengan Nabi). Mereka yang terasing itu tidaklah lebih istimewa dari para sahabat. Sebagian sahabat telah mendapat keistimewaan tertentu yang bukan keistimewaan karena persahabatan, tapi tetap saja keistimewaan itu tidak menjadikannya lebih utama dari pada Abû Bakar. Uwais al-Qarniy memiliki keistimewaan tertentu yang tidak menjadikannya lebih utama dari para sahabat, padahal ia adalah seorang tabi’in. Begitu juga kaum terasing (yang bukan tabi’in).
3. Mereka adalah Kaum yang Beraneka Ragam
Al-Hâkim meriwayatkan dalam al-Mustadrak, ia berkata, “Hadits ini shahih isnadnya, meski tidak dikeluarkan oleh al-Bukhari Muslim.” Dari Ibnu Umar ra., ia berkata; Rasulullah bersabda:
Sesunggunya Allah mempunyai hamba-hamba yang bukan para Nabi dan syuhada. Para Nabi dan syuhada pun ber-ghibthah pada mereka di hari kiamat karena kedekatan mereka dengan Allah dan kedudukan mereka di sisi Allah. Kemudian seorang Arab Badui (yang ada di tempat nabi berbicara) duduk berlutut, seraya berkata, “Wahai Rasulullah, jelaskanlah sifat mereka dan uraikanlah keadaan mereka pada kami!” Rasulullah bersabda,
“Mereka adalah sekelompok manusia yang beraneka ragam, yang terasing dari kabilahnya. Mereka berteman di jalan Allah, saling mencintai karena Allah. Allah akan membuat mimbar-mimbar dari cahaya bagi mereka di hari kiamat. Orang-orang merasa takut tapi mereka tidak takut. Mereka adalah kekasih Allah yang tidak memiliki rasa takut (pada selain Allah) dan mereka tidak bersedih.”
Dalam kamus Lisânul Arabdikatakan, “Kata afnasama dengan kata akhlath artinya campuran/bermacam-macam.” Kata tunggalnya adalah Finwun. Sifat ini terdapat juga dalam hadits Abi Malik al-Asy’ary riwayat Ahmad dengan lafazh:
Mereka adalah manusia yang beraneka ragam (bermacam-macam) dan yang terasingkan dari kabilah-kabilah.
Pada riwayat ath-Thabrâni dalam al-Kabirdiungkapkan dengan lafadz, “min buldan syattâ”artinya dari negeri-negeri yang berbeda-beda.
Ghibthah artinya berangan-angan agar ada pada diri mereka apa yang ada pada diri hamba-hamba Allah tersebut, meski pada saat yang sama apa yang ada pada diri hamba-hamba tersebut tetap ada. (Lihat Imam al-Manawy, Faydhul Qadir Syarhu al-Jami’ ashShaghir).
4. Mereka saling mencintai dengan “ruh” Allah
Yang dimaksud (“ruh” Allah) adalah syariat nabi Muhammad. Maksudnya, perkara yang menjadi pengikat di antara mereka adalah ideologi (mabda‘) Islam, bukan yang lainnya. Mereka tidak diikat oleh ikatan yang lain, baik ikatan nasab, ikatan kekerabatan, ikatan kemaslahatan atau kemanfaatan duniawi.
Abû Dawud mengeluarkan hadits dengan para rawi yang terpercaya, dari Umar bin al-Khathab ra., ia berkata; Rasulullah bersabda:
Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada sekelompok manusia. Mereka bukan para nabi dan juga bukan syuhada. Tapi para nabi dan syuhada pun ber-ghibthah pada mereka di hari kiamat karena kedudukan mereka di sisi Allah Swt. Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepada kami siapa mereka itu?” Rasulullah bersabda, “Mereka adalah suatu kaum yang saling mencintai dengan “ruh” Allah, padahal mereka tidak memiliki hubungan rahim dan tidak memiliki harta yang mereka kelola bersama-sama. Demi Allah, wajah mereka adalah cahaya.
Mereka ada di atas cahaya. Mereka tidak takut ketika manusia takut. Mereka tidak bersedih ketika manusia bersedih.” Kemudian Rasulullah membacakan firman Allah, “Ingatlah sesungguhnya para kekasih Allah itu tidak mempunyai rasa takut (oleh selain Allah) dan tidak bersedih”.
Sifat hamba-hamba Allah ini, dalam riwayat al-Hâkimdari Ibnu Umar telah diceritakan sebelumnya dinyatakan denganlafadz:
Mereka saling berteman di jalan Allah dan saling mencintai karena Allah.
Dalam riwayat Ahmad dari hadits Abû Malik al-Asy’ari dinyatakan dengan lafadz :
Tidak ada hubungan rahim serta kekerabatan di antara mereka, mereka saling mencintai karena Allah dan saling berkawan di antara mereka.
Dalam riwayat ath-Thabrâni dari hadits Abi Malik juga dinyatakan dengan ungkapan:
Di antara mereka tidak ada rahim yang menjadi penyebab saling berhubungan karena Allah. Mereka saling mencintai dengan ikatan ruh Allah Maha Gagah Perkasa.
Dalam hadits riwayat ath-Thabrâni dari hadits Amru bin Abasah dengan sanad yang menurut al-Haitsami perawinya terpercaya, dan menurut al-Mundziri saling berdekatan serta tidak bermasalah, ia berkata; aku mendengar Rasulullah bersabda:
...Mereka adalah kumpulan manusia yang terdiri dari orangorang yang terasing dari kabilah-kabilah, mereka berkumpul atas dasar dzikir kepada Allah, kemudian memilih perkataan yang baik-baik sebagai-mana orang yang memakan buah buahan memilih yang baik-baik.
Berkumpul atas dasar dzikir kepada Allah (al-ijtima ala dzikrillah) berbeda dengan berkumpul untuk berdzikir kepada Allah (al-ijtima lidzikrillah). Berkumpul atas dasar dzikir kepada Allah berartidzikir itu merupakan perkara yang menjadi pengikat di antara mereka. Sama saja apakah mereka duduk bersama-sama ataukah mereka berpisah. Sedangkan berkumpul untuk dzikir kepada Allah adalah berkumpul yang akan berakhir dengan selesainya dzikir.
Ath-Thabrâni meriwayatkan dengan sanad yang dipandang hasan oleh al-Haitsami dan al-Mundziri dari Abû Darda, ia berkata; Rasulullah bersabda :
Mereka adalah kaum yang saling mencintai karena Allah, berasal dari kabilah yang berbeda-beda dan negeri yang berbeda-beda. Mereka berkumpul atas dasar dzikir kepada Allah.
Maksudnya, perkara yang menjadi pengikat di antara mereka adalah dzikir kepada Allah, yaitu “Ruh” Allah yang termaktub dalam hadits yang sebelumnya.
5. Mereka memperoleh kedudukan itu tanpa menjadi syuhada
Hal ini dikarenakan dalam hadits dikatakan para syuhada tergiur oleh mereka. Tapi, ini tidak berarti mereka lebih utama dari pada para Nabi dan syuhada. Melainkan kedudukan itu hanyalah semata-mata menunjukkan keistimewaan mereka. Keistimewaan itu tidak menjadikan mereka lebih utama dari para Nabi dan syuhada (sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya) .
Ath-Thabrâni meriwayatkan -dalam al-Kabirdengan sanad yang baik dan perawinya terpercaya menurut al-Haitsami- dari Abû Malik al-Asy’ary, ia berkata; Suatu ketika aku ada di dekat Nabi saw, kemudian turunlah firman Allah :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu. (TQS. al-Mâidah [5]: 101).
Abû Malik berkata, maka kami bertanya kepada Rasulullah ketika beliau bersabda:
Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang bukan para nabi dan syuhada. Tapi para nabi dan syuhada tergiur oleh mereka karena dekatnya kedudukan mereka dari Allah di hari kiamat.
Abû Malik berkata, di antara orang-orang yang ada pada saat itu ada seorang Arab pedalaman, kemudian ia duduk berlutut dan menahan dengan kedua tangannya, seraya berkata; “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepada kami tentang mereka, siapa mereka itu?” Abû Malik berkata; aku melihat wajah Rasulullah menengok ke sana ke mari (mencari orang yang bertanya).
Kemudian beliau bersabda:
Mereka adalah hamba-hamba Allah dari negeri yang berbeda-beda dan dari berbagai suku bangsa yang berasal dari berbagai rahim; tapi mereka tidak mempunyai hubungan rahim (senasab) yang menjadi penyebab mereka saling menyambungkannya (silaturahim) karena Allah. Mereka tidak memiliki harta untuk saling memberi. Mereka saling mencintai dengan (ikatan) “ruh” Allah.
Allah menjadikan wajah mereka menjadi cahaya. Mereka memiliki mimbar-mimbar di hadapan ar-Rahmân. Manusia terkaget-kaget, tapi mereka tidak. Ketika manusia merasa takut, mereka tidak.
Seluruh riwayat telah menyepakati bahwa mereka bukan termasuk para nabi dan syuhada. Mereka memperoleh kedudukan seperti itu semata-mata karena memiliki sifat-sifat tersebut.
Itulah sebagian sifat-sifat yang menghias mereka. Adapun kedudukan mereka sungguh sudah sangat jelas sebagaimana dijelaskan dalam hadits–hadits di atas, tidak perludiulangi kembali. Siapa saja yang menelaahnya, maka pantas untuk bersegera meraih mimbar di hadapan ar-Rahmân Zat MahaTinggi. Semoga Allah merahmati keterasingannya dan mewujudkan segala keinginannya.
Maaf hanya menyalin, maklum akhir acara kurang konsen.
Alhamdulillah, catatan liqa’ syawal bersama keluar 1440 H telah selesai. Ramadaan memang sudah berlalu dan Syawal akan berakhir. Semoga kebaikan-kebaikan di bulan Ramadan terus bertahan. Dan semoga keistiqamahan dalam dakwah terus terjaga, terus bersama dengan keluarga, kerabat, sahabat dan seluruh orang yang kita kasihi serta sayangi meniti langkah mulia. Bersyukur bersama sudara dalam jamaah dakwah yang tak pernah lelah mengingatkan, yang tak pernah berhenti menggandeng saat langkah ini tertatih, saling menjaga dan saling membantu. Hingga langkah ini benar-benar terhenti semata karena Allah menghentikan, hingga ajal menjemput. Sehingga penyesalan di akhirat kelak tak akan begitu mendalam, sehingga di akhirat kelak diringankan di hari penghisaban. Aamiin ya rabbal ‘alamiin.
Teruntuk seluruh pengemban dakwah khilafah, semoga istiqamah
Untuk seluruh saudara seaqidah, semoga terus terjalin ukhuwah
Semoga di akhirat bersama di jannah
Uhibbukum fillah
Pare, 30 Juni 2019
Quote bagian 3 : Saat dakwah menyeru khilafah itu dikriminalkan dan mendapatkan cibiran, teruslah bertahan, teruslah memperbaiki di saat yang lainnya merusak. Berbahagialah menjadi orang yang terasing.
Menjadikan dakwah sebagai visi hidup, juga visi keluarga adalah sebuah pilihan. Mencari kemuliaan dengan dakwah juga merupakan pilihan. Menjadi bagian dari jamaah dakwah juga pilihan. Maka siapapun berpeluang untuk memilihnya. Namun sayang, tidak semua orang memilih jalan tersebut.
Bahkan bukan sekadar tidak memilih, terkadang malah ada yang mengambil jalan sebaliknya, memilih menjadi penentang. Maka tak heran ketika ada yang melabeli dakwah dengan cap-cap negative, apalagi jika itu dakwah dalam rangka mengajak menegakkan khilafah, tak sedikit yang mencibir, merendahkan, melarang bahkan mengkriminalkan.
Halangan, hambatan dan ujian di jalan dakwah tentu tak akan menghentikan langkah. Meski menjadi terasing karena memilih jalan yang tak biasa, meski dihalang-halangi langkah dakwah pantang surut. Karena ini adalah pilihan, dan setiap pilihan pasti ada konsekuensinya. Memilih berdakwah dengan sabar dan ikhlas insya Allah akan berkonsekuensi dibalas dengan surga. Karena dakwah adalah aktivitas para nabi yang jelas berada di surga, maka para pewarisnya pun juga akan diberikan surga.
Akan tetapi jalan dakwah ini tentu bukanlah jalan yang tanpa liku tanpa ujian, akan ada seleksi alam untuk memilah mana yang sabar dan mana yang memilih berguguran. Dan salah satu hal yang bias memotivasi untuk terus berada di jalan dakwah adalah dengan merenungi salah satu hadits Nabi berikut ini :
Imam Muslim meriwayatkan dari Abû Hurairah, Rasulullah saw. bersabda:
Islam muncul pertama kali dalam keadaan terasing dan akan kembali terasing sebagaimana mulainya, maka berbahagialah orang-orang yang terasing tersebut.
Sifat orang-orang yang terasing, 5 di antaranya sebagai berikut (bab 16 buku pilar-pilar pengokoh nafsiyah islamiyah):
1. Senantiasa Melakukan Perbaikan ketika Manusia Sudah Rusak
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Auf bin Zaid bin Milhah al-Mazani ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Sesungguhnya agama (ini) akan terhimpun dan berkumpul menuju Hijaz layaknya terhimpun dan terkumpulnya ular menuju liangnya, dan sungguh (demi Allah) agama (ini) akan ditahan (untuk pergi)
dari Hijaz sebagaimana (ditahannya) panji (yang merupakan tempat kembali di mana kaum Muslim kembali padanya ) dari puncak gunung. Sesungguhnya agama ini muncul pertama kali dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing. Maka berbahagialah orang-orang yang terasing. Yaitu orang-orang yang memperbaiki sunahku yang telah dirusak oleh manusia setelahku. (Abû Issa berkata, “Hadits ini hasan”)
Al-Ghuraba dalam hadits di atas bukanlah para sahabat, karena mereka datang setelah ada manusia yang merusak metode kehidupan yang dibawa Rasulullah saw. Sedangkan para sahabat ra. tidak merusak metode kehidupan Rasul, dan metode tersebut belum rusak di jaman para sahabat.
Hadits yang diriwayatkan dari Sahal bin Sa’ad as-Saidi ra., Rasulullah saw. bersabda:
Islam muncul pertama kali dalam keadaan terasing dan akan kembali terasing sebagaimana mulainya, maka berbahagialah orang-orang yang terasing tersebut. Para sahabat berkata, “Wahai
Rasulullah, siapa al-ghuraba ini?” Rasulullah saw. bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang melakukan perbaikan ketika manusia sudah rusak.” (Hadits ini diriwayatkan oleh athThabrâni dalam al-Kabir).
Dalam al-Ausatdan ash-Shagirdiriwayatkan dengan lafadz: Mereka malakukan perbaikan ketika manusia telah rusak.
Kata idza (ketika) digunakan untuk menunjukkan masa yang akan datang. Di dalam hadits ini terdapat petunjuk bahwakerusakan tersebut terjadi setelah masa sahabat. al-Haitsami berkomentar tentang hadits ini, “ath-Thabrâni meriwayatkannya dalam atsTsalatsah, para perawinya shahih selain Bakr bin Sulaim. Ia adalah perawi terpercaya.”
2. Jumlahnya Sedikit
Ahmad dan ath-Thabrâni dari Abdullah bin Amru, ia berkata; Pada suatu hari saat matahari terbit aku berada di dekat Rasulullah saw., lalu beliau bersabda:
Akan datang suatu kaum pada hari kiamat kelak. Cahaya mereka bagaikan cahaya matahari. Abû Bakar berkata, “Apakah mereka itu kami wahai Rasulullah?” Rasulullah bersabda, “Bukan, dan khusus untuk kalian ada kebaikan yang banyak. Mereka adalah orang-orang fakir dan orang-orang yang berhijrah yang berkumpul dari seluruh pelosok bumi.” Kemudian beliau bersabda, “Kebahagian bagi orang-orang yang terasing, kebahagiaan bagi orang-orang yang terasing.” Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah orang-orang yang terasing itu?” Beliau saw. bersabda, “Mereka adalah orang-orang shalih di antara kebanyakan manusia yang buruk. Di mana orang yang menentang mereka lebih banyak dari pada yang menaatinya.” (al-Haitsami berkata hadits ini dalam al-Kabir mempunyai banyak sanad. Para perawinya shahih).
Kami katakan, perlu diingat bahwa keistimewaan karena terasing tidaklah lebih utama dari pada keistimewaan karena persahabatan (dengan Nabi). Mereka yang terasing itu tidaklah lebih istimewa dari para sahabat. Sebagian sahabat telah mendapat keistimewaan tertentu yang bukan keistimewaan karena persahabatan, tapi tetap saja keistimewaan itu tidak menjadikannya lebih utama dari pada Abû Bakar. Uwais al-Qarniy memiliki keistimewaan tertentu yang tidak menjadikannya lebih utama dari para sahabat, padahal ia adalah seorang tabi’in. Begitu juga kaum terasing (yang bukan tabi’in).
3. Mereka adalah Kaum yang Beraneka Ragam
Al-Hâkim meriwayatkan dalam al-Mustadrak, ia berkata, “Hadits ini shahih isnadnya, meski tidak dikeluarkan oleh al-Bukhari Muslim.” Dari Ibnu Umar ra., ia berkata; Rasulullah bersabda:
Sesunggunya Allah mempunyai hamba-hamba yang bukan para Nabi dan syuhada. Para Nabi dan syuhada pun ber-ghibthah pada mereka di hari kiamat karena kedekatan mereka dengan Allah dan kedudukan mereka di sisi Allah. Kemudian seorang Arab Badui (yang ada di tempat nabi berbicara) duduk berlutut, seraya berkata, “Wahai Rasulullah, jelaskanlah sifat mereka dan uraikanlah keadaan mereka pada kami!” Rasulullah bersabda,
“Mereka adalah sekelompok manusia yang beraneka ragam, yang terasing dari kabilahnya. Mereka berteman di jalan Allah, saling mencintai karena Allah. Allah akan membuat mimbar-mimbar dari cahaya bagi mereka di hari kiamat. Orang-orang merasa takut tapi mereka tidak takut. Mereka adalah kekasih Allah yang tidak memiliki rasa takut (pada selain Allah) dan mereka tidak bersedih.”
Dalam kamus Lisânul Arabdikatakan, “Kata afnasama dengan kata akhlath artinya campuran/bermacam-macam.” Kata tunggalnya adalah Finwun. Sifat ini terdapat juga dalam hadits Abi Malik al-Asy’ary riwayat Ahmad dengan lafazh:
Mereka adalah manusia yang beraneka ragam (bermacam-macam) dan yang terasingkan dari kabilah-kabilah.
Pada riwayat ath-Thabrâni dalam al-Kabirdiungkapkan dengan lafadz, “min buldan syattâ”artinya dari negeri-negeri yang berbeda-beda.
Ghibthah artinya berangan-angan agar ada pada diri mereka apa yang ada pada diri hamba-hamba Allah tersebut, meski pada saat yang sama apa yang ada pada diri hamba-hamba tersebut tetap ada. (Lihat Imam al-Manawy, Faydhul Qadir Syarhu al-Jami’ ashShaghir).
4. Mereka saling mencintai dengan “ruh” Allah
Yang dimaksud (“ruh” Allah) adalah syariat nabi Muhammad. Maksudnya, perkara yang menjadi pengikat di antara mereka adalah ideologi (mabda‘) Islam, bukan yang lainnya. Mereka tidak diikat oleh ikatan yang lain, baik ikatan nasab, ikatan kekerabatan, ikatan kemaslahatan atau kemanfaatan duniawi.
Abû Dawud mengeluarkan hadits dengan para rawi yang terpercaya, dari Umar bin al-Khathab ra., ia berkata; Rasulullah bersabda:
Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada sekelompok manusia. Mereka bukan para nabi dan juga bukan syuhada. Tapi para nabi dan syuhada pun ber-ghibthah pada mereka di hari kiamat karena kedudukan mereka di sisi Allah Swt. Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepada kami siapa mereka itu?” Rasulullah bersabda, “Mereka adalah suatu kaum yang saling mencintai dengan “ruh” Allah, padahal mereka tidak memiliki hubungan rahim dan tidak memiliki harta yang mereka kelola bersama-sama. Demi Allah, wajah mereka adalah cahaya.
Mereka ada di atas cahaya. Mereka tidak takut ketika manusia takut. Mereka tidak bersedih ketika manusia bersedih.” Kemudian Rasulullah membacakan firman Allah, “Ingatlah sesungguhnya para kekasih Allah itu tidak mempunyai rasa takut (oleh selain Allah) dan tidak bersedih”.
Sifat hamba-hamba Allah ini, dalam riwayat al-Hâkimdari Ibnu Umar telah diceritakan sebelumnya dinyatakan denganlafadz:
Mereka saling berteman di jalan Allah dan saling mencintai karena Allah.
Dalam riwayat Ahmad dari hadits Abû Malik al-Asy’ari dinyatakan dengan lafadz :
Tidak ada hubungan rahim serta kekerabatan di antara mereka, mereka saling mencintai karena Allah dan saling berkawan di antara mereka.
Dalam riwayat ath-Thabrâni dari hadits Abi Malik juga dinyatakan dengan ungkapan:
Di antara mereka tidak ada rahim yang menjadi penyebab saling berhubungan karena Allah. Mereka saling mencintai dengan ikatan ruh Allah Maha Gagah Perkasa.
Dalam hadits riwayat ath-Thabrâni dari hadits Amru bin Abasah dengan sanad yang menurut al-Haitsami perawinya terpercaya, dan menurut al-Mundziri saling berdekatan serta tidak bermasalah, ia berkata; aku mendengar Rasulullah bersabda:
...Mereka adalah kumpulan manusia yang terdiri dari orangorang yang terasing dari kabilah-kabilah, mereka berkumpul atas dasar dzikir kepada Allah, kemudian memilih perkataan yang baik-baik sebagai-mana orang yang memakan buah buahan memilih yang baik-baik.
Berkumpul atas dasar dzikir kepada Allah (al-ijtima ala dzikrillah) berbeda dengan berkumpul untuk berdzikir kepada Allah (al-ijtima lidzikrillah). Berkumpul atas dasar dzikir kepada Allah berartidzikir itu merupakan perkara yang menjadi pengikat di antara mereka. Sama saja apakah mereka duduk bersama-sama ataukah mereka berpisah. Sedangkan berkumpul untuk dzikir kepada Allah adalah berkumpul yang akan berakhir dengan selesainya dzikir.
Ath-Thabrâni meriwayatkan dengan sanad yang dipandang hasan oleh al-Haitsami dan al-Mundziri dari Abû Darda, ia berkata; Rasulullah bersabda :
Mereka adalah kaum yang saling mencintai karena Allah, berasal dari kabilah yang berbeda-beda dan negeri yang berbeda-beda. Mereka berkumpul atas dasar dzikir kepada Allah.
Maksudnya, perkara yang menjadi pengikat di antara mereka adalah dzikir kepada Allah, yaitu “Ruh” Allah yang termaktub dalam hadits yang sebelumnya.
5. Mereka memperoleh kedudukan itu tanpa menjadi syuhada
Hal ini dikarenakan dalam hadits dikatakan para syuhada tergiur oleh mereka. Tapi, ini tidak berarti mereka lebih utama dari pada para Nabi dan syuhada. Melainkan kedudukan itu hanyalah semata-mata menunjukkan keistimewaan mereka. Keistimewaan itu tidak menjadikan mereka lebih utama dari para Nabi dan syuhada (sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya) .
Ath-Thabrâni meriwayatkan -dalam al-Kabirdengan sanad yang baik dan perawinya terpercaya menurut al-Haitsami- dari Abû Malik al-Asy’ary, ia berkata; Suatu ketika aku ada di dekat Nabi saw, kemudian turunlah firman Allah :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu. (TQS. al-Mâidah [5]: 101).
Abû Malik berkata, maka kami bertanya kepada Rasulullah ketika beliau bersabda:
Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang bukan para nabi dan syuhada. Tapi para nabi dan syuhada tergiur oleh mereka karena dekatnya kedudukan mereka dari Allah di hari kiamat.
Abû Malik berkata, di antara orang-orang yang ada pada saat itu ada seorang Arab pedalaman, kemudian ia duduk berlutut dan menahan dengan kedua tangannya, seraya berkata; “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepada kami tentang mereka, siapa mereka itu?” Abû Malik berkata; aku melihat wajah Rasulullah menengok ke sana ke mari (mencari orang yang bertanya).
Kemudian beliau bersabda:
Mereka adalah hamba-hamba Allah dari negeri yang berbeda-beda dan dari berbagai suku bangsa yang berasal dari berbagai rahim; tapi mereka tidak mempunyai hubungan rahim (senasab) yang menjadi penyebab mereka saling menyambungkannya (silaturahim) karena Allah. Mereka tidak memiliki harta untuk saling memberi. Mereka saling mencintai dengan (ikatan) “ruh” Allah.
Allah menjadikan wajah mereka menjadi cahaya. Mereka memiliki mimbar-mimbar di hadapan ar-Rahmân. Manusia terkaget-kaget, tapi mereka tidak. Ketika manusia merasa takut, mereka tidak.
Seluruh riwayat telah menyepakati bahwa mereka bukan termasuk para nabi dan syuhada. Mereka memperoleh kedudukan seperti itu semata-mata karena memiliki sifat-sifat tersebut.
Itulah sebagian sifat-sifat yang menghias mereka. Adapun kedudukan mereka sungguh sudah sangat jelas sebagaimana dijelaskan dalam hadits–hadits di atas, tidak perludiulangi kembali. Siapa saja yang menelaahnya, maka pantas untuk bersegera meraih mimbar di hadapan ar-Rahmân Zat MahaTinggi. Semoga Allah merahmati keterasingannya dan mewujudkan segala keinginannya.
Maaf hanya menyalin, maklum akhir acara kurang konsen.
Alhamdulillah, catatan liqa’ syawal bersama keluar 1440 H telah selesai. Ramadaan memang sudah berlalu dan Syawal akan berakhir. Semoga kebaikan-kebaikan di bulan Ramadan terus bertahan. Dan semoga keistiqamahan dalam dakwah terus terjaga, terus bersama dengan keluarga, kerabat, sahabat dan seluruh orang yang kita kasihi serta sayangi meniti langkah mulia. Bersyukur bersama sudara dalam jamaah dakwah yang tak pernah lelah mengingatkan, yang tak pernah berhenti menggandeng saat langkah ini tertatih, saling menjaga dan saling membantu. Hingga langkah ini benar-benar terhenti semata karena Allah menghentikan, hingga ajal menjemput. Sehingga penyesalan di akhirat kelak tak akan begitu mendalam, sehingga di akhirat kelak diringankan di hari penghisaban. Aamiin ya rabbal ‘alamiin.
Teruntuk seluruh pengemban dakwah khilafah, semoga istiqamah
Untuk seluruh saudara seaqidah, semoga terus terjalin ukhuwah
Semoga di akhirat bersama di jannah
Uhibbukum fillah
Pare, 30 Juni 2019