Tuesday 25 June 2019

Demokrasi Berdarah Masihkah Dipertahankan ?


Pesta demokrasi pemilu memang telah usai, bukan bahagia yang ada namun duka yang tersisa. Tak hanya menorehkan luka atas meninggalnya anggota KPPS, Bawaslu dan pengaman pemilu. Darah kembali tertumpah pada tanggal 21 dan 22 Mei 2019. Kematian 9 peserta unjuk rasa masih terselubung misteri. Bukan malah selesai dengan kejelasan perkara, luka berdarah ini semakin menganga dengan semakin lebarnya kasus dengan penangkapan orang-orang tertentu yang dituduh sebagai pihak yang mendalangi kerusuhan atau bahkan dituduh hendak melakukan makar. Sungguh bukan tuduhan yang ringan. Dan tak main-main, beberapa orang ditahan, yang patut disayangkan adalah mereka yang ditahan selama ini berada pada pihak yang berseberangan dengan penguasa. Benarkah mereka dalang kerusuhan? Benarkah makar menjadi rencananya? Atau sebenarnya karena mereka aktif mengkritik penguasa?

Korban kerusuhan 21-22 Mei 2019 adalah bagian dari anak bangsa, tokoh-tokoh yang ditahan pun selama ini mempunyai sikap kritis demi kontrol kebijakan penguasa, namun sungguh ironi nasib mereka, darah tertumpah di negeri demokrasi. Suara dibungkam, kritik dihentikan. Masihkah layak demokrasi menjadi kebanggaan?
Wajar jika demokrasi akan terus memakan korban. Demokrasi bukanlah sistem suci, malah sebaliknya sistem hipokrit yang berlindung atas nama suara rakyat, namun sejatinya hanya demi kepentingan para konglomerat. Benar suara rakyat dielukan saat pemilu, namun setelah itu kepentingan rakyat dilupakan bahkan nasib rakyat dicampakkan. Lihat saja hasiilnya saat ini. Bukan malah menjadi Negara besar, negeri ini semakin terpuruk. Utang semakin melangit, biaya kehidupan semakin mencekik, pembangunan infrastruktur hanya kemegahan tanpa bisa dinikmati seluruh rakyat, namun seluruh rakyat menjadi korban untuk melunasi utang akibat kerugian dari pembangunan infrastruktur yang tidak tepat. Tidak semua rakyat menikmati mulusnya jalan tol, tidak semua fasilitas terjangkau rakyat. Dan jika bisa dinikmati lagi-lagi harus membayar dengn harga tinggi.

Demokrasi hanyalah topeng bagi para penguasa khianat yang berkolaborasi dengan pengusaha jahat. Atas nama rakyat utang berkedok investasi menjebol APBN, akibatnya pajak pun semakin mencekik. Atas nama rakyat infrastruktur dan SDA dilepaskan pengelolaannya pada asing. Penguasa dan pengusaha memang akan mendapatkan untung, namun rakyat hanya bernasib buntung. Esensi demokrasi adalah pengabaian hak rakyat yang seharusnya dipenuhi dan diayomi. Demokrasi hanyalah alat untuk menjauhkan rakyat dari pengaturan syariat. Atas nama suara rakyat aturan yang dipenuhi nafsu belakan dilahirkan, atas nama kepentingan rakyat perundangan yang menguntungkan swasta asing digolkan.

Tak selayaknya demokrasi dijadikan jalan perubahan. Demokrasi hanya akan membuat negeri ini semakin jauh dari tujuan penciptaan manusia sebagai hamba Allah. Dan jika kesenjangan dan kesewenangan atas nama demokrasi dibiarkan, tak ayal korban pun akan semakin berjatuhan. Maka saatnya negeri ini berpaling dari demokrasi, mengambil alternatif lain untuk mewujudkan perubahan. Mengapa tidak kembali kepada syariat Islam saja? Kembali kepada aturan ilahi. Mengapa tidak kembali menerapkan sistem warisan Rasulullah saja? Kembali kepada khilafah metode kenabian. 

No comments:

Post a Comment