Reportase sebelumnya ada di tulisan : Reportase Peringatan Isra’ Mi’raj : Pengumuman – Mode Pesawat
Rencana tulisan reportase ini adalah :
Pembukaan
Pengumuman
Pembacaan Alquran
Sambutan
Materi
Kreasi
Serba-serbi
Setelah pengantar dari pembawa acara dan pengumuman dari tim
media, pembawa acara secara resmi membuka acara Peringatan Isra’ Mi’raj Nabi
Muhammad saw : Sebuah Momentum Kebangkitan dan Persatuan Umat.
Dan setelah pembukaan acara berikutnya adalah pembacaan ayat
suci Alquran. Seharusnya hamper semua muslim tahu, surat apa yang dibaca saat Peringatan
Isra’ Mi’raj. Jangan kalah dengan murid saya di madrasah ibtidaiyah, selalu ada
murid yang siap membaca Alquran meski diberi tugas mendadak, dan mereka tahu
surat apa yang dibaca, menyesuaikan acaranya.
Ya, yang dibaca adalah awal surah Al isra’ atau surah Bani
Israil. Surah yang mengabarkan tentang peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad
saw. Insya Allah kupasan tentang peristiwa ini ada di tulisan materi.
Begitulah, ada ayat-ayat “langganan” , peringatan Isra’ Mi’raj
yang dibaca awal surat al Isra’, maulid Nabi yang dibaca Al Ahzab 21, saat
pernikahan Ar Ruum 21 dan An Nisa’ 1, saat hari ibu baca Luqman 14, saat menjelang dan sepanjang
Ramadan Al baqarah 183, dan lain
sebagainya. Ada banyak ayat yang familiar diperdengarkan dalam acara tertentu. Namun
saying, tak semua disampaikan, cenderung terbiasa dengan ayat yang sebatas
mengatur kehidupan pribadi. Ayat tentang qisas, rajam, potong tangan, perang,
keharaman pemimpin kafir, kewajiban penguasa menarik zakat, peringatan bagi
orang yang tak berhukum dengan hukum Allah dan sebagainya, yang berkaitan
dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara seringkali “disembunyikan”.
Tabu untuk disampaikan, dianjurkan untuk diamalkan dan didakwahkan. Banyak hal
menjadi alasan. Perbaiki diri saja dahulu, yang penting diri sendiri, jangan
disampaiakan khawatir menyinggung, melanggar HAM hingga tuduhan kejam, ayat
yang sudah tak relevan. Yang pasti akar darisemua alasan tersebut
adalah merasuknya pemikiran secular alias mengabaikan syariat salah satunya
yang ada dalam Alquran. Cukup amalkan syariat dalam ranah individu saja, agama
jangan mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Memang sekularisasi ini dampaknya luar biasa. Ribuan ayat
kalamullah seolah sah untuk diabaikan, tak perlu diterapkan cukup dibaca,
dihafalkan bahkan dilombakan, tapi tak boleh diterapkan secara menyeluruh. Maka
tak heran jika ribuan rumah tahfidz dibiarkan, musabaqah tilawatil quran
diselenggaran secara besar-besaran, namun itu semua sebatas bacaan, maka tentu
dibiarkan.
Berbeda halnya ketika terkait hukum publik, pemerintahan,
perekonomian dan ayat lain yang memang mengatur seluruh aspek kehidupan
manusia. Satu ayat saja terlarang untuk disampaikan secara masif. Al Maidah 51
membuat seseorang gerah hingga berakhir pada opini haram pemimpin kafir, dan
ketika terjungkal dalam pilkada, ormas Islam pengusung penerapan islam kaffah
dalam naungan khilafah pun menjadi korban. Atau ayat tentang orang kafir tak
perlu diumbar, bahkan sebutan kafir yang berulang di Alquran pun diminta untuk
diganti. Ayat tentang permusuhan Allah dan Rasul terhadap pelaku riba jarang
disampaikan, ayat tentang waris dianggap tak relevan emarginalkan perempuan.
Seharusnya umat Islam sadar, memelihara Alquran itu bukan
sekadar membaca dan menghafalkan, namun memahami, merenungkan dan mengamalkan
dalam kehidupan, totalitas, bukan prasmanan, diambil yang disukai dan dianggap
menguntungkan saja. Seharusnya umat sadar bahwa system secular yang saat ini
diterapkan membuat umat islam tak bisa menjadi muslim kaffah sebagaimana
Rasulullah, para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabiin dahulu menjadi umat
terbaik hanya dengan Islam, bukan dengan demokrasi bukan dengan kapitalisme,
bukan dengan social komunis.
Maka untuk bisa menjadikan Alquran sebagai rahmat dalam
kehidupan, hanya dengan menerapkannya secara kaffah dalam semua lini kehidupan,
yang memang nyata tak mungkin terwujud dalam system secular, umat butuh
khilafah untuk bisa menerapkan Alquran dan islam secara kaffah, sekali lagi
kaffah, bukan setengah-setengah.
Pare, 27 Maret 2019