Wednesday, 27 March 2019

Reportase Peringatan Isra’ Mi’raj : Pembacaan Alquran – Tak Hanya Dibaca, Amalkan, Dakwahkan



Rencana tulisan reportase ini adalah :
Pembukaan
Pengumuman
Pembacaan Alquran
Sambutan
Materi
Kreasi
Serba-serbi

Setelah pengantar dari pembawa acara dan pengumuman dari tim media, pembawa acara secara resmi membuka acara Peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad saw : Sebuah Momentum Kebangkitan dan Persatuan Umat.
Dan setelah pembukaan acara berikutnya adalah pembacaan ayat suci Alquran. Seharusnya hamper semua muslim tahu, surat apa yang dibaca saat Peringatan Isra’ Mi’raj. Jangan kalah dengan murid saya di madrasah ibtidaiyah, selalu ada murid yang siap membaca Alquran meski diberi tugas mendadak, dan mereka tahu surat apa yang dibaca, menyesuaikan acaranya.

Ya, yang dibaca adalah awal surah Al isra’ atau surah Bani Israil. Surah yang mengabarkan tentang peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad saw. Insya Allah kupasan tentang peristiwa ini ada di tulisan materi.
Begitulah, ada ayat-ayat “langganan” , peringatan Isra’ Mi’raj yang dibaca awal surat al Isra’, maulid Nabi yang dibaca Al Ahzab 21, saat pernikahan Ar Ruum 21 dan An Nisa’ 1, saat hari ibu baca  Luqman 14, saat menjelang dan sepanjang Ramadan Al baqarah 183,  dan lain sebagainya. Ada banyak ayat yang familiar diperdengarkan dalam acara tertentu. Namun saying, tak semua disampaikan, cenderung terbiasa dengan ayat yang sebatas mengatur kehidupan pribadi. Ayat tentang qisas, rajam, potong tangan, perang, keharaman pemimpin kafir, kewajiban penguasa menarik zakat, peringatan bagi orang yang tak berhukum dengan hukum Allah dan sebagainya, yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara seringkali “disembunyikan”. Tabu untuk disampaikan, dianjurkan untuk diamalkan dan didakwahkan. Banyak hal menjadi alasan. Perbaiki diri saja dahulu, yang penting diri sendiri, jangan disampaiakan khawatir menyinggung, melanggar HAM hingga tuduhan kejam, ayat yang sudah tak relevan. Yang pasti akar darisemua  alasan  tersebut adalah merasuknya pemikiran secular alias mengabaikan syariat salah satunya yang ada dalam Alquran. Cukup amalkan syariat dalam ranah individu saja, agama jangan mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Memang sekularisasi ini dampaknya luar biasa. Ribuan ayat kalamullah seolah sah untuk diabaikan, tak perlu diterapkan cukup dibaca, dihafalkan bahkan dilombakan, tapi tak boleh diterapkan secara menyeluruh. Maka tak heran jika ribuan rumah tahfidz dibiarkan, musabaqah tilawatil quran diselenggaran secara besar-besaran, namun itu semua sebatas bacaan, maka tentu dibiarkan.

Berbeda halnya ketika terkait hukum publik, pemerintahan, perekonomian dan ayat lain yang memang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Satu ayat saja terlarang untuk disampaikan secara masif. Al Maidah 51 membuat seseorang gerah hingga berakhir pada opini haram pemimpin kafir, dan ketika terjungkal dalam pilkada, ormas Islam pengusung penerapan islam kaffah dalam naungan khilafah pun menjadi korban. Atau ayat tentang orang kafir tak perlu diumbar, bahkan sebutan kafir yang berulang di Alquran pun diminta untuk diganti. Ayat tentang permusuhan Allah dan Rasul terhadap pelaku riba jarang disampaikan, ayat tentang waris dianggap tak relevan emarginalkan perempuan.

Seharusnya umat Islam sadar, memelihara Alquran itu bukan sekadar membaca dan menghafalkan, namun memahami, merenungkan dan mengamalkan dalam kehidupan, totalitas, bukan prasmanan, diambil yang disukai dan dianggap menguntungkan saja. Seharusnya umat sadar bahwa system secular yang saat ini diterapkan membuat umat islam tak bisa menjadi muslim kaffah sebagaimana Rasulullah, para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabiin dahulu menjadi umat terbaik hanya dengan Islam, bukan dengan demokrasi bukan dengan kapitalisme, bukan dengan social komunis.

Maka untuk bisa menjadikan Alquran sebagai rahmat dalam kehidupan, hanya dengan menerapkannya secara kaffah dalam semua lini kehidupan, yang memang nyata tak mungkin terwujud dalam system secular, umat butuh khilafah untuk bisa menerapkan Alquran dan islam secara kaffah, sekali lagi kaffah, bukan setengah-setengah.



Pare, 27 Maret 2019

Tuesday, 26 March 2019

Demi Nasionalisme Saudi Membela China Yang Menumpahkan Darah Saudaranya

kompas.com

Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS) mendukung hak China untuk melakukan langkah-langkah "anti-terorisme" dan "de-ekstremisme". Para aktivis mencerca komentarnya dan dianggap sebagai pembelaan terhadap tindakan keras Beijing terhadap minoritas Muslim Uighur. Komentar Pangeran Mohammed disampaikan kepada Presiden China Xi Jinping pada hari Jumat selama kunjungan ke Beijing. Lawatan itu merupakan bagian terakhir dari tur Asia yang mencakup Pakistan dan India. Dalam pembicaraannya dengan Xi, MBS memuji hubungan Saudi dengan China yang bebas dari masalah. Mengutip Xinhua, Minggu (24/2/2019), Xi mendesak upaya bersama untuk melawan ekstremisme dan terorisme.(sindonews.com, 24/2/2019).
Begitu nyata sikap Putra Mahkota Saudi MBS. Memberi dukungan pemerintah China yang jelas menyengsarakan umat Islam Uighur. Padahal banyak negara yang mengecam tindakan kejam pemerintah China tersebut, bahkan PBB dan Human Right Watch sudah sama-sama memberikan peringatan keras kepada China. Sungguh ironi apa yang menjadi langkah MBS.
Mengapa MBS begitu teganya membiarkan darah saudara seakidah tertumpah? Setidaknya ada dua hal yang melatar belakangi. Pertama kentalnya nasionalisme dan kepentingan nasional,.sekat semu ini seolah menghapus pesan Rasulullah saw bahwa muslim bersaudara, ibarat satu tubuh. Mana mungkin saudara membiarkan saudaranya yang lain menderita, mana mungkin satu tubuh saling melukai. Namun ini menjadi hal yang lumrah ketika umat Islam telah tersekat nasionalisme. Ikatan nasionalisme adalah ikatan yang reaksioner, didominasi pada kepentingan mempertahankan negerinya. Maka tak heran jika keputusan MBS mendukung langkah pemerintah China terhadap muslim Uighur semata karena kepentingan calon penguasa Saudi saja, tanpa mempedulikan nasib umat Islam di Uighur.
Kedua, kepentingan para pemilik modal yang menjadi kaki tangan ideologi kapitalisme. Dukungan MBS terhadap pemerintah China bukanlah tanpa imbalan. Melalui MBS, Saudi meneken kerja sama bilateral dengan China.  “Pangeran Mohammed Bin Salman, meneken kerja sama senilai US$10 miliar atau sekitar Rp140 triliun dengan pemerintah Cina. Kerja sama ini termasuk pembangunan kompleks petrokimia dan penyulingan minyak di Cina. Penandatanganan ini dilakukan dalam kunjungan dua hari Pangeran Salman ke Beijing dan diakhiri dengan bertemu Presiden Cina, Xi Jinping, pada Jumat, 22 Februari 2019. (Tempo.co, 23/2/2019). Maka dukungan kepada pemerintah China juga dalam rangka menciptakan iklim investasi dan kerjasama perekonomian yang kondusif, dan kondisi ini akan tercipta ketika ada upaya untuk mencegah cikal-bakal ekstrimisme dan terorisme yang disematkan kepada muslim Uighur. Maka lagi-lagi semakin terlihat dengan jelas bahwa terorisme diidentikkan dengan Islam.
            Baik latar belakang nasionalisme dan kepentingan nasional serta kepentingan agen kapitalisme, itu semua hanya terjadi ketika umat Islam tercerai berai dalam ikatan nasionalisme dan tidak bersatu dalam satu kepemimpinan. Selama ini terjadi, umat Islam akan terus dihinakan dan menjadi bulan-bulanan penguasa muslim yang berkhianat. Oleh karena itu, umat Islam membutuhkan perisai dan pelindung, untuk menyatukan umat Islam dan membela umat Islam. Perisai itu adalah khilafah. Sebuah system pemerintahan yang tegak untuk menerapkan Islam secara kaffah, menyatukan umat Islam dalam satu kepemimpinan. Dengan khilafah, semua umat Islam akan ada yang membela. Sebagaimana  Rasulullah yang tegas mengusir Bani Qainuqa’ yang berkhianat dan mengganggu kehormatan seorang muslimah, Khalifah Umar bin Khathab dan Shalahudin Al Ayubi yang membela Palestina. Sebagaimana Khalifah Mu’tashim Billah yang mengirim ribuan tentara untuk menghukum tentara Romawi yang menghinakan seorang muslimah. Dengan khilafah darah dan kehormatan umat Islam akan terjaga.


Tuesday, 19 March 2019

Reportase Peringatan Isra’ Mi’raj : Pengumuman – Mode Pesawat

Sumber gambar :didno76.com




Reportase sebelumnya ada di tulisan : Pengumuman - Bahasa Arab
Rencana tulisan reportase ini adalah :
Pembukaan
Pengumuman
Pembacaan Alquran
Sambutan
Materi
Kreasi
Serba-serbi

Setelah beberapak ali menyapa peserta dan memberikan pengantar, pembawa acara mempersilakan perwakilan dari Tim Media untuk memberi pengumuman dan arahan.

Sebelum dimulai semua peserta diminta untuk mengatur HP yang dibawa menjadi mode pesawat. Maka secara otomatis koneksi dan jaringan tidak aktif. Peserta dihimbau untuk hanya mengambil foto saja, menyimpan dulu. Tidak terburu untuk diunggah ke media social. Tujuannya apa ? Insya Allah ada di reportase  tentang serba-serbi. Dan pengauran mode pesawat pun tidak sampai pada akhir acara, hanya sementara.

Begitulah, ketika pembawa acara membuka acara dengan salam, yang memegang HP hanya sebatas mengambil foto, tidak lebih.

Sekali lagi terasa nyaman berada dalam forum dengan HP tidak terkoneksi dengan internet. Hampir semua peserta memanfaatkan kesempatan untuk serius mengikuti acara, sambil sesekali mengabadikan peristiwa istimewa.

Jika HP tetap  terkoneksi dengan internet bisa jadi akan ada peserta  tidak  tahan untuk update status atau story. Sedikit-sedikit upload foto, sedikit-sedikit update status, atau ngecek ada yang like tidak, atau balas komentar. Atau malah ada yang bosan dengan acara akhirnya berselancar di dunia maya. Dan  bisa jadi mengurangi konsentrasi mengikuti rangkaian acara. Dan hanya berbagi bicara dengan teman di dekatnya, bukan malah sibuk dengan HP masing-masing.

Memang Allah memberi manusia naluri atau  gharizah, salah satunya adalah  gharizah baqa’. Yaitu naluri untuk menunujukkan eksistensi dirinya kepada dunia. Dan salah satu perwujudannya adalah memberitahukan aktivitasnya kepada orang lain. Memang tidak selalu berakhir dengan maksud pamer, ada banyak latar belakang orang menginfokan apa yang dia lakukan di media social. Ini adalah perkara yang alami. Namun baru menjadi masalah ketika tidak bisa memilah kapan dan apa yang akan dibagi.

Tentang berbagi di media social, mengingatkan diri sendiri lagi, menata hati, meniatkan agar tidak terjerumus pada amalan sia-sia, terbersit niat untuk pamer. Semoga terhindar dari hal yang demikian. Bagaimanapun juga semua aktivitas kita di dunia akan dimintai pertanggungjawabkan di akhirat kelak, dan pasti ada malaikat yang sudah mencatat. Jadi tidak semua hal bisa kita bagi di media social, pilah apa yang akan dibagi, berpikir ulang akankan mendatangkan kemaslahatan, atau malah mengakibatkan kemudharatan. Benarkah ikhlas untuk kebaikan atau hanya sekadar memuaskan keinginan.

Tentang sibuk dengan media social, pertimbangkan waktu yang digunakan. Jangan sampai aktif di media social namun lupa untuk bersosialisasi dengan orang di sekitar. Jangan sampai sering berbagai di media social namun orang di dekatnya terabaikan.

Jadi, tak masalah sesekali menikmati waktu  saat beragenda tanpa koneksi internet, tanpa update status tanpa sedikit-sedikit upload kegiatan, apapun di upload tanpa berpikir dampaknya.

Dan semoga kita menjadi bagian dari orang-orang yang senantiasa berbagi dalam kebaikan. Memanfaatkan sarana yang ada untuk semakin meningkatkan takwa, menyebar opini dakwah di dunia maya dan dunia nyata. Menyampaikan kepada dunia tentang Islam, syariah dan khilafah. Menjadi pejuang khilafah yang akan menerapkah islam kaffah dan menjadikan islam sebagai berkah untuk seluruh penjuru dunia. Aamiin


Pare, 19  Maret 2019

Monday, 18 March 2019

Reportase Peringatan Isra’ Mi’raj : Pembukaan - Bahasa Arab


Alhamdulillah masih diberi kesempatan menghadiri peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad saw dengan tema : Sebuah Momentum Kebangkitan dan Persatuan Umat.

Memasuki ruangan, masih belum banyak peserta, sebagian besar kursi belum terisi, mencari tempat duduk dan mengkondisikan semua anggota rombongan. Masih ada rombongan Pare yang belum datang. Karena yang ketinggalan salah satunya adalah anak kursusan yang notabene belum kenal medan, berinisiatif untuk menunggu mereka di dekat pintu masuk.

Peserta lain sudah mulai memenuhi kursi yang tersedia. Pembawa acara pun menyapa peserta. Tidak dengan bahasa Indonesia, menggunakan Bahasa Arab. Dan sepanjang acara pun juga lebih banyak menggunakan bahasa Arab sebagai pengantar.

Alhamdulillah, mendengar sapaan dan deskripsi acara dalam bahasa Arab itu terasa beda.

Ya, bahasa Alquran, bahasa Hadits. Bahasa yang istimewa bagi umat Islam.
Ada banyakkeutamaan dan alasan pentingnya belajar Bahasa Arab, di antaranya sebagai berikut (diambil dari materi belajar bahasa Arab dalam 11 pertemuan, materi berupa PPT lupa dapat darimana, silakan kirim alamat email jika menginginkan filenya) :

“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa
Al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (TQS. Yusuf [12]: 2)
“dan Sesungguhnya Al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, * Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), * ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, * dengan bahasa Arab yang jelas.”
(TQS. Asy-Syu’ara [26]: 192-195)

Imam Asy-Syafi’i: “Hendaknya setiap muslim mempelajari lisan Arab (bahasa Arab) sampai batas usaha keras yang dia bisa.” (Ar-Risalah: 48)

Ibn Taimiyyah: “Sesungguhnya bahasa Arab itu adalah bagian dari agama, dan mengetahuinya adalah keharusan yang wajib, (karena) sesungguhnya memahami Al-Qur’an dan Hadits adalah fardhu, yang tidak dapat dipahami kecuali dengan memahami Bahasa Arab (terlebih dahulu), dan setiap perkara yang suatu kewajiban tidak sempurna tanpanya maka hukum perkara tersebut adalah wajib.”  (Iqtidhâ’ Ash-Shirâth Al-Mustaqîm: 207)

Syaikh Taqyuddin An-Nabhani: “Adapun penyebab kemunduran (dunia Islam) ini maka kembali kepada satu hal, yaitu sangat lemahnya pemahaman terhadap Islam. Kelemahan ini disebabkan karena pemisahan antara KEKUATAN ARAB dengan KEKUATAN ISLAM, yaitu dengan diremehkannya peran bahasa Arab dalam memahami dan menerapkan Islam sejak awal abad VII Hijriyyah. Selama kekuatan Arab tidak disatukan dengan kekuatan Islam, yaitu dengan cara menempatkan bahasa Arab –yang merupakan bahasa Islam- sebagai unsur yang sangat penting yang tidak terpisahkan dari Islam, maka kemuduran akan tetap melanda kaum muslim.” (Mafâhîm Hizb At-Tahrîr: 1)

Asy-Syafi’i ra berkata: “Saudaraku, engkau tidak akan pernah mendapatkan ilmu kecuali dengan enam perkara, saya akan merincinya dengan jelas, (yaitu): kecerdasan, ketamakan, kesungguhan, harta, bergaul dengan ustadz, dan (menyediakan) waktu yang panjang.” (Diwan Asy-Syafi’i)

Semoga Allah masih memberi kesempatan kepada kita untuk terus istiqamah dalam belajar Bahasa  Arab. Aamiin.

Pare, 18 Maret 2019

Thursday, 14 March 2019

Miss, Mister, Hei Tayo!


Awalnya tidak nyaman dengan panggilan Miss atau Mister, terasa asing di telinga tapi akhirnya terbiasa juga. Tapi saya tetap tidak mau dipanggil Ms, tetap tidak nyaman.

Di Pare, yang memang banyak tempat kursus bahasa Inggris panggilan Miss dan Mister sudah biasa. Terutama untuk memanggil pengajar kursus.  Namun lama-kelamaan panggilan itu digunakan secara umum di antara sesama teman yang sedang kursus. Bahkan meluas kepada siapapun yang terlibat di kursusan.

Terlepas panggilan Miss dan Mister sudah menjadi kebiasaan, tetap saja ada pembedaan, tidak sembarangan digunakan. Masih memandang siapa yang akan disapa. Intinya kondisional saja. Ga usah dibikin ribet.

Meski kadang kurang tepat, karena sudah biasa akhirnya memaklumi saja. Entah menggunakan sapaan Mr, Mrs, Miss, Ms sudahlah intinya mereka hendak memanggil.

Itu tentang pilihan kata panggilan dan sapaan. Semua orang pasti berusaha menyesuaikan, tidak berucap sembarangan.

Tentang Hei Tayo
Beberapa waktu lalu sempat tren memanggil seseorang dengan hei, namun bukannya melanjutkan dengan nama, dan benar-benar sengaja memanggil, hanya berakhir dengan candaan dan ketidakseriusan. Hanya sebatas candaan dan menggoda saja karena, akhirnya berkata : Hei,Tayo!

Di kelas saya, jika ada yang menyengaja menggoda temannya dengan panggilan “ Hei, Tayo!” maka akan mendapat peringatan, jika berulang akan diberi sanksi, untuk memberi pelajaran agar tidak sembarangan memanggil orang lain, tidak iseng.

Dan yang sebelumnya heboh, usulan penggunaan kata nonmuslim untuk menggantikan kata kafir. Kata kafir dianggap intoleran dan membahayakan kesatuan serta kebhinekaan bangsa.

Terlepas dari kontroversi yang muncul, mari mengembalikan bagaimana seharusnya bersikap dalam kehidupan bermasyarakat.

Saat ini, dimana Islam belum diterapkan secara kaffah, belum tegak khilafah bukan berarti seorang muslim tidak memperhatikan adab dalam pergaulan.

Insya Allah muslim yang paham adab, tidak akan memanggil kerabat, tetangga atau teman yang tidak beragama Islam dengan embel-embel kafir. Karena ini dalam ranah akidah, selama tidak ada pemaksaan, wajib saling menghormati, tidak boleh mencampuradukkan akidah. Tidak perlu menjadi sebab permusuhan. Dalam realitas, tidak pernah menjumpai orang memanggil dengan kata “ Hei, kafir!”

Berbeda ketika berbicara terkait pembahasan akidah, terutama dalam majelis ilmu. Baik majelis homogen muslim maupun heterogen. Pandangan tentang iman dan kafir harus dikembalikan pada dalil, mendefinisikan kafir secara istilah syara’, bukan sesuai keinginan semata.

Sedangkan ketika system khilafah yang diterapkan, ada kejelasan posisi orang kafir. Islam mempunyai pandangan yang jelas tentang kedudukan orang kafir. Orang kafir yang tunduk di bawah aturan Islam dan menjadi warga Negara khilafah adalah kafir dzimmi. Secara umum mempunyak hak dan kewajiban yang sama dengan muslim dalam konteks sama-sama sebagai warga Negara. Kafir dzimmi dijamin keamanan, kehormatan, dilindungi harta dan nyawanya.

Kafir musta’min, orang kafir yang memasuki wilayah khilafah dengan aman. Sesuai dengan namanya, maka ketika berada dalam wilayah khilafah, keamanan kafir musta’min dijamin oleh Negara khilafah.

Kafir mu’ahid, orang kafir yang sedang mengikat perjanjian dengan Negara khilafah, maka akan diperlakukan sesuai dengan isi perjanjian.

Kafir harbi, orang kafir yang memusuhi Islam dan khilafah. Terbagi menjadi 2, kafir harbi secara hukum yang sedang mengikat perjanjian, diperlakukan sesuai perjanjian yang ada batasnya dan kafir harbi hakiki secara nyata memusuhi Negara Khilafah, tidak ada kerjasama dengan kafir harbi hakiki.

Maka jika ingin memperjelas posisi nonmuslim, terapkan saja system khilafah, standarnya jelas, hukum syara’. Bukan HAM apalagi sentimen politik. Sungguh usulan rendahan yang penuh intrik kepentingan, seolah nampak toleran di permukaan, namun sejatinya mereka sedang mengobok-obok ajaran Islam.

Jadi, belajar saja, tambah ilmu, luruskan niat semata untuk menaikkan derajat takwa agar tidak mudah menimbulkan kegaduhan. Tidak memecah belah umat.

Terus belajar Islam kaffah, mendakwahkan khilafah agar semua diatur sesuai syariah, bukan seperti saat ini, hidup dalam naungan kapitalisme, memisahkan agama dari kehidupan, hanya akan menimbulkan kebingungan dan berakhir pada kesengsaraan.


Di tulisan Nonmuslim Juga Sepakat saya memilih menggunakan kata nonmuslim, bukan kafir. Tetapi di tulisan Puteri Muslimah vs Putri Kafir ? dan Menghormati Akidah Orang Kafir saya menggunakan kata kafir, karena konteksnya berbeda. 


Pare, 14 Maret 2019