Thursday 29 June 2017

Berdiri Tegak Pun Tak Bisa


Arah perempatan Papar, Senin 26 Juni 2017


Sebelum Ramadan sudah beberapa kali naik bis keluar kota, Kediri ke  selatan. Mau naik mobil pribadi tidak punya, naik sepeda motor ga kuat dengan kondisi jalan. Jalan yang  tidak nyaman ditambah dengan saingan kendaraan besar yang berjalan dengan tidak pelan. Jika naik bis setidaknya bisa istirahat, tiduran atau untuk makan bekal, catatannya jika mendapat tempat duduk. Namun beberapa kali naik bis harus berdiri, bahkan berdiri tegak pun tak bisa. Berjubel dengan penumpang lainnya, di saat jam sibuk. Dan ironinya yang berjubel rata-rata adalah wanita. Memang yang harus rela selalu berjubel masih banyak lagi, yang terpaksa tidak bisa naik angkutan umum pun juga masih ada, intinya yang lebih sengsara dan menderita masih ada. Sepertinya tak layak mengeluh. Namun bukan berarti tidak boleh menyampaikan. Rakyat di negeri ini berhak untuk hidup lebih baik lagi. Tidak dibiarkan begitu saja harus berusaha mati-matian bertahan hidup, dibiarkan saja kerja keras membanting tulang memeras keringat, bersaing bertahan hidup dengan orang-orang yang punya posisi karena harta yang mereka miliki. Negeri dengan potensi alam yang tidak sedikit meski sudah tak melimpah seperti dahulu kala, tak selayaknya membiarkan rakyatnya menderita.

Apalagi di saat mudik lebaran seperti saat ini. Rakyat dengan anggaran pas-pasan mau tidak mau harus memanfaatkan angkutan umum. Rela antri dan berjubel naik angkutan yang murah meriah, sesuai dengan isi kantung mereka. Padahal tidak semua angkutan umum ramah penumpang apalagi tepat waktu. Untuk angkutan umum merakyat yang masih lumayan tepat waktu hanya KA saja ( pesawat juga, namun akses hanya terbatas pada golongan berpunya saja). Prinsip kejar setoran masih jadi pedoman. Jadilah penumpang berjubel dan ngetem lama menjadi hal yang biasa.

Ketika membaca tulisan pesan layanan dari Dishub yang mempromosikan mudik dengan angkutan umum yang nyaman, hanya bisa tersenyum kecut. Angkutan umum yang ada saat ini belum ramah kepada semua penumpang. Lansia dan ibu membawa anak kecil seolah tereleminasi dengan sendirinya, jangan harap nyaman naik angkutan umum (bukan KA). Pelayanan perjalanan mudik belum maksimal dilakukan oleh Negara. Memang susahnya naik angkutan umum terutama di daerah, tidak dirasakan oleh orang-orang ekonomi menengah ke atas. Mereka lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi, namun berapa persen rakyat Indonesia yang masuk golongan ini? Akan tetapi ini juga tidak memberikan solusi tuntas. Malahan nambah masalah, volume kendaraan di jalan raya semakin bertambah, potensi masalah kemacetan pun semakin berpeluang. Selalu saja mudik dan transportasi angkutan umum berulang setiap tahun menyisakan masalah.

Memang harus ada kepeduliaan dari Negara untuk memberikan layanan transportasi yang murah dan nyaman. Dengan catatan system perekonomian tidak berbasis ekonomi kapitalis liberal, tapi berbasi system perekonomian Islam. Dan yang juga tidak kalah pentingnya adalah komitmen untuk melakukan pemerataan pembangunan, pusat kegiatan ekonomi dan fasilitas publik. Sehingga masyarakat tidak perlu berbondong-bondong meninggalkan kampung halaman menuju tempat kerja yang hanya berpusat di beberapa wilayah kota besar saja. Wajar saja jika masyarakat lebih nyaman di kota besar, selain karena pekerjaan yang menjanjikan fasilitas pun mudah diperoleh. Berbeda dengan kampung, minim fasilitas.  Jika tidak meninggalkan kampung, maka peluang mudik pun semakin kecil. Jadi tidak perlu ada perpindahan massal masyarakat saat lebaran.

Negeri ini butuh perubahan, menyelesaikan permasalahan yang silih berganti menanti. Butuh political will untuk menjadikan negeri ini lebih baik lagi, tidak terus didera masalah, tidak terus didikte kepentingan asing. Secara fakta demokrasi yang bersinergi dengan kapitalisme hanya menimbulkan masalalah yang bertubi-tubi. Secara de jure pun juga tidak sesuai dengan syariat Islam. Apalagi secara kemunculunnya, batil. Tidak sesuai dengan fitrah manusia. Layak untuk ditinggalkan. Yang kita butuhkan adalah solusi alternative, yaitu dengan mengambil solusi dari Islam. Islam adalah agama sempurna, memberikan aturan untuk seluruh aspek kehidupan, bermodal keyakinan ini saja sebenarnya sudah cukup memotivasi kita untuk minimal merindukan diterapkannya Islam dalam kehidupan. Akan lebih yakin lagi ketika kita mempunyai ilmunya. Belajar dan mengkaji Islam kaffah, yakin semua yang berasal dari Al Khalik pasti membawa maslahat. Mendakwahkan Islam kaffah kepada umat manusia agar mereka mengenal bahwa Islam akan menjadi rahmat untuk seluruh alam. Tidak memandang besarnya harta, suku, ras , agama dan golongan. Semua merasakan rahmat Islam. Dan Islam rahmatan lil’alamin hanya akan terwujud dalam bingkai khilafah. Tidak akan  pernah terwujud dalam system kufur seperti saat ini.

Jadi tak perlu takut, terpenjara dengan anggapan sendiri bahwa Islam bukan solusi, khilafah tak layak diterapkan. Berpikirlah dengan jernih, mulailah mengkaji apa itu khilafah, mengapa terus bertahan untuk memperjuangkannya. Jangan sampai menyesal, meninggal sebagai penghalang dakwah khilafah, menyesal ketika kelak khilafah  tegak ternyata tidak seperti yang difitnahkah. Menjadi pejuang, penonton, atau pencaci tegaknya khilafah adalah pilihan, semua pilihan ada konsekuensinya, ada pertanggungjawabannya.


Pare, 29 Juni 2017





No comments:

Post a Comment