Friday 4 May 2018

Menanti Kematian Demokrasi Dalam Sidang Putusan Gugatan HTI di PTUN




Jika tidak ada aral melintang, Senin 7 Mei 2018 Majelis Hakim akan membacakan kesimpulan sekaligus keputusan atas gugatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) terhadap Kemenkumham yang telah mencabut SK Badan Hukum Perkumpulan (BHP) HTI. Apapun keputusan majelis hakim, lonceng kematian demokrasi semakin dekat.

Sejak awal pencabutan SK BHP HTI sudah penuh dengan aroma kebusukan demokrasi. Langkah pencabutan SK BHP HTI ini diawali dengan langkah gegabah pemerintah yang menerbitkan PERPPU Ormas. Pemerintah secara sepihak mencari jalan pintas. UU yang ada dianggap tidak sejalan dengan keinginan menghentikan dakwah HTI. Demokrasi yang selalu berlindung di balik jargon kebebasan dan suara mayoritas, sama sekali tak memberi ruang pada HTI untuk memberi penjelasan. Setelah PERPPU disahkan menjadi UU, tanpa surat peringatan apapun, tanpa pembinaan apapun Kemenkumham mencabut SK BHP HTI. Dari sini nilai demokrasi telah dilanggar pemerintah, tindakan otoriter semakin terlihat dengan jelas, padahal selama ini pemerintah menganggap sebagai pemerintahan yang menjunjung tinggi nilai demokrasi namun faktanya kebijakannya otoriter. Bukankah demokrasi sangat menentang kebijakan otoriter? Satu langkah menuju kematian demokrasi.

Dan kematian demokrasi akan semakin mendekat, SK yang dikeluarkan Kemenkumham lagi-lagi penuh dengan kecacatan yang seharusnya tak layak diterbitkan.  SK tidak menyebutkan pasal yang dilanggar HTI beserta alasan yang mendasarinya. Padahal jelas dalam UU Ormas, pencabutan SK BHP harus disertai dengan adanya pelanggaran yang dilakukan sebuah ormas. Dan hingga akhir persidangan Kemenkumham tidak bisa menunjukkan bukti pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan HTI. Sungguh kecerobohan dari pemerintah yang mengaku terpilih secara demokratis namun langkahnya sangat apatis. Surat tilang dari polisi lalu lintas saja pasti disertai pasal-pasal pelanggaran, namun ini yang menyangkut kumpulan orang sama sekali tanpa disertai alasan sesuai konstitusi yang sah. Konstitusi yang merupakan produk sistem demokrasi dilanggar sendiri oleh pemerintah. Demokrasi semakin di ujung tanduk.

Ketika sidang berlangsung, semua bukti yang diajukan pemerintah lemah dan tidak layak dijadikan sebagai bukti. Dalam persidangan pemerintah baru memyampaikan bentuk pelanggaran yang dilakukan HTI yaitu menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila. Untuk menguatkan alasannya pemerintah menghadirkan bukti kegiatan HTI dan buku-buku yang dikeluarkan HTI serta buku yang menyudutkan HTI. Jelas ini lagi-lagi langkah nekat, jika yang dipermasalahkan adalah ide HTI tentang khilafah maka ini sungguh bukti keegoisan penguasa. Secara sepihak menafsirkan Pancasila demi menjegal khilafah, padahal tidak ada satupun putusan pengadilan yang menyatakan khilafah adalah ajaran terlarang yang bertentangan dengan Pancasila, jadi pemerintah sekali lagi telah bertindak otoriter, menjadi rezim represif anti Islam.

Bukti-bukti pelanggaran HTI pun baru bisa dihadirkan jauh hari setelah pencabutan SK BHP, ibarat guru, menghukum siswanya terlebih dahulu baru memberitahukan pelanggaran yang dilakukan. Dan lebih ironinya lagi, yang dijadikan bukti adalah buku-buku yang selama ini tidak ada larangan beredar, juga rekaman-rekaman kegiatan HTI bertahun-tahun yang lalu. Kegiatan yang legal, mendapat ijin bahkan dijaga aparat keamanan rekamannya dijadikan bukti bahwa SK BHP HTI layak dicabut. Yang menjadi pertanyaannya sebelum itu kemana saja aparat keamanan dan pemerintah? Atau sebenarnya langkah pencabutan ini hanyalah bukti kemarahan rezim terhadap opini yang didakwahkan HTI yang telah membuat umat Islam semakin memiliki kesadaran akan pemimpin yang layak dipilih yang secara langsung berhasil membuat beberapa calon yang digadang-gadang terseok-seok langkahnya menuju tampuk kekuasaan. Komitmen untuk menjunjung tinggi demokrasi salah satunya berlapang dada menerima kekalahan dalam pilkada lagi-lagi terciderai. Semakin membuktikan bahwa demokrasi hanyalah ide khayal yang tak mungkin diwujudkan, ada banyak ketidakkonsistenan yang disajikan dalam sistem demokrasi ini. Semuanya bebas berpendapat, semuanya bebas, tapi tidak untuk dakwah Islam. Topeng yang menutupi jahatnya demokrasi mulai terbuka.

Dan masih banyak lagi tanda-tanda mendekatnya lonceng kematian demokrasi dalam kasus pencabutan SK BHP HTI. Jika putusan majelis hakim memenangkan kemenkumham, matilah demokrasi di negeri ini, jelas ini berita gembira bagi pejuang syariah dan khilafah, umat akan semakin sadar bahwa demokrasi hanyalah ilusi, tidak ada realitasnya. Dan jika majelis hakim memenangkan HTI, demokrasi juga akan tetap mati, karena perjuangan menegakkan khilafah, melanjutkan kembali kehidupan Islam akan semakin menguat dan itu adalah pertanda dicampakkannya demokrasi.
Maka, apapun keputusan majelis hakim di sidang PTUN terkait gugatan HTI, tidak akan berpengaruh pada semangat juang para pengemban dakwah, tidak akan menyurutkan langkah para pejuang syariah dan khilafah, karena satu yang pasti, khilafah akan tegak kembali dan demokrasi akan hancur berkeping-keping, hancur tanpa ampun. Demokrasi yang dijadikan tameng dalam sistem kapitalisme akan menemui ajalnya.

Oleh karena itu, bagi siapa pun yang masih bisa berpikir dengan jernih, kedzaliman yang ditimpakan kepada HTI nampak jelas, maka HTI layak menang dalam sidang PTUN. Dengan kemenangan ini langkah menuju kejayaan Islam akan semakin mendekat, dan semua umat Islam yang kuat imannya pasti merindukannya. Kemenangan di sidang ini bukan demi HTI, namun demi dakwah Islam, karena sampai kiamat nanti khilafah adalah ajaran Islam, ajaran yang wajib diwujudkan oleh umat Islam dan tak boleh dihina begitu saja. Dukungan terhadap dakwah khilafah semakin nyata, maka hanya ada satu pilihan untuk semuanya, jadilah para penolong agama Allah. Tetapkan diri di barisan penjaga Islam bukan penghalang kebangkitan Islam.

Pare, 3 Mei 2018

No comments:

Post a Comment