Arah perempatan Papar, Senin 26 Juni 2017
Sebelum Ramadan sudah beberapa
kali naik bis keluar kota, Kediri ke
selatan. Mau naik mobil pribadi tidak punya, naik sepeda motor ga kuat
dengan kondisi jalan. Jalan yang tidak
nyaman ditambah dengan saingan kendaraan besar yang berjalan dengan tidak
pelan. Jika naik bis setidaknya bisa istirahat, tiduran atau untuk makan bekal,
catatannya jika mendapat tempat duduk. Namun beberapa kali naik bis harus
berdiri, bahkan berdiri tegak pun tak bisa. Berjubel dengan penumpang lainnya,
di saat jam sibuk. Dan ironinya yang berjubel rata-rata adalah wanita. Memang
yang harus rela selalu berjubel masih banyak lagi, yang terpaksa tidak bisa
naik angkutan umum pun juga masih ada, intinya yang lebih sengsara dan
menderita masih ada. Sepertinya tak layak mengeluh. Namun bukan berarti tidak
boleh menyampaikan. Rakyat di negeri ini berhak untuk hidup lebih baik lagi.
Tidak dibiarkan begitu saja harus berusaha mati-matian bertahan hidup,
dibiarkan saja kerja keras membanting tulang memeras keringat, bersaing
bertahan hidup dengan orang-orang yang punya posisi karena harta yang mereka
miliki. Negeri dengan potensi alam yang tidak sedikit meski sudah tak melimpah
seperti dahulu kala, tak selayaknya membiarkan rakyatnya menderita.
Apalagi di saat mudik lebaran
seperti saat ini. Rakyat dengan anggaran pas-pasan mau tidak mau harus
memanfaatkan angkutan umum. Rela antri dan berjubel naik angkutan yang murah
meriah, sesuai dengan isi kantung mereka. Padahal tidak semua angkutan umum
ramah penumpang apalagi tepat waktu. Untuk angkutan umum merakyat yang masih
lumayan tepat waktu hanya KA saja ( pesawat juga, namun akses hanya terbatas
pada golongan berpunya saja). Prinsip kejar setoran masih jadi pedoman. Jadilah
penumpang berjubel dan ngetem lama menjadi hal yang biasa.
Ketika membaca tulisan pesan
layanan dari Dishub yang mempromosikan mudik dengan angkutan umum yang nyaman,
hanya bisa tersenyum kecut. Angkutan umum yang ada saat ini belum ramah kepada
semua penumpang. Lansia dan ibu membawa anak kecil seolah tereleminasi dengan
sendirinya, jangan harap nyaman naik angkutan umum (bukan KA). Pelayanan
perjalanan mudik belum maksimal dilakukan oleh Negara. Memang susahnya naik
angkutan umum terutama di daerah, tidak dirasakan oleh orang-orang ekonomi
menengah ke atas. Mereka lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi, namun
berapa persen rakyat Indonesia yang masuk golongan ini? Akan tetapi ini juga
tidak memberikan solusi tuntas. Malahan nambah masalah, volume kendaraan di
jalan raya semakin bertambah, potensi masalah kemacetan pun semakin berpeluang.
Selalu saja mudik dan transportasi angkutan umum berulang setiap tahun
menyisakan masalah.
Memang harus ada kepeduliaan dari
Negara untuk memberikan layanan transportasi yang murah dan nyaman. Dengan
catatan system perekonomian tidak berbasis ekonomi kapitalis liberal, tapi
berbasi system perekonomian Islam. Dan yang juga tidak kalah pentingnya adalah
komitmen untuk melakukan pemerataan pembangunan, pusat kegiatan ekonomi dan
fasilitas publik. Sehingga masyarakat tidak perlu berbondong-bondong
meninggalkan kampung halaman menuju tempat kerja yang hanya berpusat di
beberapa wilayah kota besar saja. Wajar saja jika masyarakat lebih nyaman di
kota besar, selain karena pekerjaan yang menjanjikan fasilitas pun mudah
diperoleh. Berbeda dengan kampung, minim fasilitas. Jika tidak meninggalkan kampung, maka peluang
mudik pun semakin kecil. Jadi tidak perlu ada perpindahan massal masyarakat
saat lebaran.
Negeri ini butuh perubahan,
menyelesaikan permasalahan yang silih berganti menanti. Butuh political will
untuk menjadikan negeri ini lebih baik lagi, tidak terus didera masalah, tidak
terus didikte kepentingan asing. Secara fakta demokrasi yang bersinergi dengan
kapitalisme hanya menimbulkan masalalah yang bertubi-tubi. Secara de jure pun
juga tidak sesuai dengan syariat Islam. Apalagi secara kemunculunnya, batil.
Tidak sesuai dengan fitrah manusia. Layak untuk ditinggalkan. Yang kita
butuhkan adalah solusi alternative, yaitu dengan mengambil solusi dari Islam.
Islam adalah agama sempurna, memberikan aturan untuk seluruh aspek kehidupan,
bermodal keyakinan ini saja sebenarnya sudah cukup memotivasi kita untuk
minimal merindukan diterapkannya Islam dalam kehidupan. Akan lebih yakin lagi
ketika kita mempunyai ilmunya. Belajar dan mengkaji Islam kaffah, yakin semua
yang berasal dari Al Khalik pasti membawa maslahat. Mendakwahkan Islam kaffah
kepada umat manusia agar mereka mengenal bahwa Islam akan menjadi rahmat untuk
seluruh alam. Tidak memandang besarnya harta, suku, ras , agama dan golongan.
Semua merasakan rahmat Islam. Dan Islam rahmatan lil’alamin hanya akan terwujud
dalam bingkai khilafah. Tidak akan
pernah terwujud dalam system kufur seperti saat ini.
Jadi tak perlu takut, terpenjara
dengan anggapan sendiri bahwa Islam bukan solusi, khilafah tak layak
diterapkan. Berpikirlah dengan jernih, mulailah mengkaji apa itu khilafah,
mengapa terus bertahan untuk memperjuangkannya. Jangan sampai menyesal,
meninggal sebagai penghalang dakwah khilafah, menyesal ketika kelak
khilafah tegak ternyata tidak seperti
yang difitnahkah. Menjadi pejuang, penonton, atau pencaci tegaknya khilafah
adalah pilihan, semua pilihan ada konsekuensinya, ada pertanggungjawabannya.
Pare, 29 Juni 2017