Thursday 17 November 2016

Utang Luar Negeri, Siapa Yang Menikmati?

Sumber gambar : www.jatimtech.com

Bank Indonesia (BI) melaporkan posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada Agustus 2016 tercatat sebesar 323,0 miliar dolar AS (Republika.co.id, 18/10/16). Jika 1 dolar AS senilai dengan Rp 13.000,00  maka hutang luar negeri Indonesia sekitar Rp 4.000 T.  Sungguh utang yang jumlahnya sangat banyak. dan tidak semua rakyat mengetahui untuk siapa utang sebanyak itu, siapa yang menikmati. Karena faktanya kondisi negeri ini tidak semakin baik. Kemiskinan masih menghiasi, rakyat kecil harus berjuang sekuat tenaga untuk bisa bertahan hidup di negeri sendiri, sedangkan para pemilik modal semakin menumpuk harta kekayaan. Lagi-lagi rakyat kecil hanya bisa gigit jari, bahkan lebih parahnya lagi harus ikut menanggung menopang APBN dengan kebijakan pajak yang tak ubahnya sebagai pungutan dari tukang palak.
Tidak hanya berhenti pada pertanyaan siapa yang menikmati utang luar negeri, tingginya luar negeri seharusnya diwaspadai . Pertama, semakin banyak utang Indonesia maka semakin tinggi pula bunga utang yang menjadi tanggungan. Maka negeri ini akan semakin terbelit dengan utang. Membayar bunganya saja selalu membuat kalang kabut, apalagi utang pokoknya yang juga terus bertambah. Sudah susah mendapat dosa lagi, karena jelas bunga utang adalah masuk riba yang diharamkan Allah SWT.  Kedua, pembangunan Indonesia semakin bergantung pada luar negeri, hal ini akan berpengaruh pada mental rakyat yang akan terbiasa menjadi bermental penghutang. Ketiga, negeri ini akan semakin dikendalikan  oleh lembaga keuangan yang memberi pinjaman atau dikendalikan oleh negara   yang memberikan kontribusi paling besar dalam memberi pinjaman. Maka wajarlah jika beberapa subsidi dicabut karena dianggap membebani anggaran dan tidak membentuk kemandirian rakyat. Ini merupakan konsekuensi yang akan selalu mengiringi karena begitulah pandangan dalam kapitalisme. Negara cukup sebagai regulator saja, tidak boleh ikut campur tangan.

Negeri ini harus segera menghentikan utang ribawi. Penguasa perlu mengevaluasi pengeluaran yang tidak untuk kepentingan rakyat banyak, kegiatan ekonomi makro dikaji ulang, karena tidak menyentuh ekonomi rakyat sama sekali. Negara harus menempatkan pengelolaan kekayaan alam sesuai dengan syariat. Tidak boleh ada privatisasi kepemilikan umum, tidak menyerahkan pengelolaan SDA kepada swasta dan asing. Pembangunan dan dana difokuskan pada sektor riil yang memang menjadi aktivitas nyata seluruh rakyat. Dan yang paling penting adalah mengubah sistem perekonomian neoliberal yang saat ini menjadi acuan kebijakan, menjadi sstem perekonomian yang didasarkan pada akidah Islam, semata menjadikan hukum Allah sebagai standar. Sistem yang memandang manusia mempunyai fitrah mulia, bukan sistem yang  menjadikan manusia hidup untuk saling bersaing mendapatkan materi sebanyaknya. Dengan syariat Islam, janji Allah yang menjadikan Islam sebagai rahmat untuk seluruh alam akan terwujud.

No comments:

Post a Comment