Bank
Indonesia (BI) melaporkan posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada Agustus
2016 tercatat sebesar 323,0 miliar dolar AS (Republika.co.id, 18/10/16).
Jika 1 dolar AS senilai dengan Rp 13.000,00
maka hutang luar negeri Indonesia sekitar Rp 4.000 T. Sungguh utang yang jumlahnya sangat banyak.
dan tidak semua rakyat mengetahui untuk siapa utang sebanyak itu, siapa yang
menikmati. Karena faktanya kondisi negeri ini tidak semakin baik. Kemiskinan
masih menghiasi, rakyat kecil harus berjuang sekuat tenaga untuk bisa bertahan
hidup di negeri sendiri, sedangkan para pemilik modal semakin menumpuk harta
kekayaan. Lagi-lagi rakyat kecil hanya bisa gigit jari, bahkan lebih parahnya
lagi harus ikut menanggung menopang APBN dengan kebijakan pajak yang tak
ubahnya sebagai pungutan dari tukang palak.
Tidak
hanya berhenti pada pertanyaan siapa yang menikmati utang luar negeri,
tingginya luar negeri seharusnya diwaspadai . Pertama, semakin banyak utang
Indonesia maka semakin tinggi pula bunga utang yang menjadi tanggungan. Maka
negeri ini akan semakin terbelit dengan utang. Membayar bunganya saja selalu
membuat kalang kabut, apalagi utang pokoknya yang juga terus bertambah. Sudah
susah mendapat dosa lagi, karena jelas bunga utang adalah masuk riba yang
diharamkan Allah SWT. Kedua, pembangunan
Indonesia semakin bergantung pada luar negeri, hal ini akan berpengaruh pada
mental rakyat yang akan terbiasa menjadi bermental penghutang. Ketiga, negeri
ini akan semakin dikendalikan oleh
lembaga keuangan yang memberi pinjaman atau dikendalikan oleh negara yang memberikan kontribusi paling besar
dalam memberi pinjaman. Maka wajarlah jika beberapa subsidi dicabut karena
dianggap membebani anggaran dan tidak membentuk kemandirian rakyat. Ini
merupakan konsekuensi yang akan selalu mengiringi karena begitulah pandangan
dalam kapitalisme. Negara cukup sebagai regulator saja, tidak boleh ikut campur
tangan.
Negeri ini
harus segera menghentikan utang ribawi. Penguasa perlu mengevaluasi pengeluaran
yang tidak untuk kepentingan rakyat banyak, kegiatan ekonomi makro dikaji
ulang, karena tidak menyentuh ekonomi rakyat sama sekali. Negara harus
menempatkan pengelolaan kekayaan alam sesuai dengan syariat. Tidak boleh ada
privatisasi kepemilikan umum, tidak menyerahkan pengelolaan SDA kepada swasta
dan asing. Pembangunan dan dana difokuskan pada sektor riil yang memang menjadi
aktivitas nyata seluruh rakyat. Dan yang paling penting adalah mengubah sistem
perekonomian neoliberal yang saat ini menjadi acuan kebijakan, menjadi sstem
perekonomian yang didasarkan pada akidah Islam, semata menjadikan hukum Allah
sebagai standar. Sistem yang memandang manusia mempunyai fitrah mulia, bukan
sistem yang menjadikan manusia hidup
untuk saling bersaing mendapatkan materi sebanyaknya. Dengan syariat Islam,
janji Allah yang menjadikan Islam sebagai rahmat untuk seluruh alam akan
terwujud.
No comments:
Post a Comment