Tuesday 15 November 2016

Khadijah ra, Wanita Salihat Layak Diingat Hingga Akhir Hayat



Buku Sistem Pergaulan Dalam Islam Bab Pernikahan Nabi Muhammad saw :
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..
Dengan merujuk pada kenyataan sejarah, kita akan menemukan bahwa, Nabi SAW mengawini Khadîjah RA pada saat beliau berusia 23 tahun. Khadîjah RA tetap menjadi satu-satunya isteri beliau selama 28 tahun. Khadîjah wafat pada tahun kesebelas setelah kenabian, atau dua  tahun  sebelum  hijrah,  beberapa  bulan  setelah  pembatalan pemboikotan (embargo), dan menjelang Nabi SAW pergi ke Thaif, yaitu pada tahun 620 M. Pada saat Khadîjah wafat, usia Nabi SAW sudah mencapai lima puluh tahun. Sejak menikah dengan Khadîjah RA sampai Khadîjah wafat, beliau tidak pernah berpikir untuk menikah lebih dari satu (berpoligami). Padahal, saat itu poligami sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat Arab. Beliau telah hidup bersama Khadîjah RA selama  tujuh  belas  tahun sebelum diangkat sebagai Rasul dengan kehidupan  yang penuh  kebahagiaan  dan  sukacita.  Setelah beliau diangkat menjadi rasul,  Rasul  SAW tetap hidup  bersama Khadîjah selama  kurang  lebih  sebelas tahun dalam  kehidupan dakwah  dan perjuangan melawan pemikiran-pemikiran kufur. Meski dalam kondisi demikian, beliau tidak berpikir untuk menikah lagi.

Sebelum dan setelah pernikahannya dengan Khadîjah, Rasul SAW tidak pernah dikenal sebagai lelaki yang tergoda oleh perempuan. Padahal, saat itu dandanan dan tingkah laku jahiliyah (dari para wanita) merupakan godaan bagi para lelaki. Karena itu, sangat aneh kalau kita sampai menemukan  bahwa, setelah berusia 50 tahun,  Nabi  SAW berubah dengan tiba-tiba, yaitu dengan tidak mencukupkan diri dengan menikahi satu orang isteri saja, melainkan menikah lagi dan menikah lagi sampai memiliki sebelas orang isteri. Di mana selama lima tahun dari dasawarsa keenam usianya, beliau menghimpun lebih dari tujuh orang isteri, dan selama tujuh  tahun akhir hayat beliau yaitu akhir dasawarsa keenam dan awal dasawarasa ketujuh dari usianya, beliau menghimpun sembilan orang isteri. Dalam usia ke sekian itu, apakah mungkin perkawinan beliau itu muncul karena dorongan keinginan terhadap  wanita  dan  dorongan pemenuhan  naluri seksual dalam manifestasi yang bersifat seksual? Ataukah justru karena motif-motif lain yang dituntut  oleh realitas kehidupan yang beliau jalani, yaitu kehidupan  yang  terkait  dengan  risalah  Islam  yang  mesti  beliau sampaikan kepada seluruh manusia? Untuk memahami hal itu, kami paparkan berbagai peristiwa pernikahan Nabi SAW.

Pada  tahun  kesebelas  setelah  kenabian  atau  pada  tahun Khadîjah RA wafat, Rasulullah SAW berpikir untuk menikah, sementara saat itu beliau berusia 50 tahun. Lalu beliau meminang ‘Aisyah binti Abû Bakar, putri sahabatnya yaitu Abû Bakar, salah seorang dari lakilaki yang pertama-tama beriman kepada beliau. Karena ‘Aisyah RA saat itu masih berusia enam tahun dan beliau telah menikahinya, tetapi beliau belum tinggal serumah dengan ‘Aisyah kecuali tiga tahun setelah itu, yaitu setelah beliau berhijrah dan ‘Aisyah telah berusia Sembilan tahun. Akan tetapi, pada tahun beliau menikahi ‘Aisyah, beliau juga menikah dengan Sawdah binti Zam‘ah, janda mendiang Sukran ibn ‘Amr ibn ‘Abdi Syams, salah seorang Muslim yang turut berhijrah ke Habsyah kemudian kembali ke Makkah dan wafat di sana. Sawdah telah masuk Islam bersama suaminya dan berhijrah ke Habsyah. Ia turut menderita berbagai penderitaan yang juga dialami oleh suaminya, dan menemui berbagai cobaan sebagaimana juga dialami suaminya.Setelah suaminya wafat,  Rasul  SAW menikahinya.  Dan  tidak  ada riwayat  yang  menyatakan  bahwa  Sawdah  termasuk  wanita  yang memiliki kecantikan, kekayaan, maupun kedudukan yang bisa membuat ambisi-ambisi  dunia turut berpengaruh (menjadi motif) pernikahan Rasulullah dengannya. Artinya, jika Rasulullah SAW menikahi Sawdah setelah  suaminya  meninggal,  maka  dapat  dipahami  bahwa  beliau menikahinya dalam rangka untuk menanggungnya dan mengangkat martabatnya menjadi Ummul Mukminin. Kemudian setelah Rasulullah SAW hijrah, beliau kemudian membangun tempat tinggal bagi Sawdah di sisi masjid. Itu merupakan rumah pertama yang beliau bangun untuk isteri-isteri    beliau.
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..

Sebuah fakta Rasulullah baru berpoligami setelah meninggalnya Khadijah ra. Dari sisi kemanusiaan sangat wajar jika Rasulullah sama sekali tidak terpikir untuk berpoligami ketika Khadijah masih hidup. Ya, Khadijah ra, wanita mulia yang menemani masa sulit Rasulullah, wanita mulia yang menyerahkan seluruh hartanya untuk dakwah Rasulullah, wanita mulia yang menguatkan dakwah Rasulullah di saat manusia lain mencibir, membenci, memusuhi bahkan menjauhi. Satu-satunya wanita mulia yang melahirkan putra-putri Rasulullah (Mariyah al kibtiyah juga melahirkan, namun meninggal saat anak-anak). Memang, Khadijah ra wanita salihat yang layak diingat hingga akhir hayat.

Setelah Khadijah meninggal barulah Rasulullah menikah lagi dan berpoligami, dan itu pun semata demi meraih ridla ilahi, bukan untuk mengikuti hawa nafsu belaka. Setiap pernikahan Rasulullah ada hikmah dan latar belakang yang sangat mulia. Bukan sekadar demi kebanggaan, namun dilakukan demi tujuan di dunia yang berlanjut pada tujuan akhirat.

Pernikahan Rasulullah setelah kematian Khadijah ra tidak bisa dikatakan sebagai “pengkhianatan” Rasulullah kepada Khadijah ra, bagaimana pun juga Khadijah adalah satu-satunya istri Rasulullah yang istimewa, bahkan masih dicemburui oleh istri Rasulullah yang lain padahal beliau sudah meninggal dunia. Lagi-lagi ini adalah hal yang wajar, Khadijah ra wanita mulia yang tak layak dilupakan. Apa yang beliau lakukan akan senantiasa ada dalam ingatan, akan selalu menjadi motivasi untuk menyamai dan melebihi apa yang telah beliau korbankan demi dakwah Rasulullah, demi agama Allah, demi kemuliaan Islam.


Pare, 15 November 2016

No comments:

Post a Comment