Buku Sistem Pergaulan Dalam Islam
Bab Pernikahan Nabi Muhammad saw :
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..
Dengan merujuk pada kenyataan
sejarah, kita akan menemukan bahwa, Nabi SAW mengawini Khadîjah RA pada saat
beliau berusia 23 tahun. Khadîjah RA tetap menjadi satu-satunya isteri beliau
selama 28 tahun. Khadîjah wafat pada tahun kesebelas setelah kenabian, atau dua tahun
sebelum hijrah, beberapa
bulan setelah pembatalan pemboikotan (embargo), dan
menjelang Nabi SAW pergi ke Thaif, yaitu pada tahun 620 M. Pada saat Khadîjah
wafat, usia Nabi SAW sudah mencapai lima puluh tahun. Sejak menikah dengan
Khadîjah RA sampai Khadîjah wafat, beliau tidak pernah berpikir untuk menikah
lebih dari satu (berpoligami). Padahal, saat itu poligami sudah menjadi tradisi
di kalangan masyarakat Arab. Beliau telah hidup bersama Khadîjah RA selama tujuh
belas tahun sebelum diangkat
sebagai Rasul dengan kehidupan yang
penuh kebahagiaan dan
sukacita. Setelah beliau diangkat
menjadi rasul, Rasul SAW tetap hidup bersama Khadîjah selama kurang
lebih sebelas tahun dalam kehidupan dakwah dan perjuangan melawan pemikiran-pemikiran
kufur. Meski dalam kondisi demikian, beliau tidak berpikir untuk menikah lagi.
Sebelum dan setelah pernikahannya
dengan Khadîjah, Rasul SAW tidak pernah dikenal sebagai lelaki yang tergoda
oleh perempuan. Padahal, saat itu dandanan dan tingkah laku jahiliyah (dari
para wanita) merupakan godaan bagi para lelaki. Karena itu, sangat aneh kalau
kita sampai menemukan bahwa, setelah
berusia 50 tahun, Nabi SAW berubah dengan tiba-tiba, yaitu dengan
tidak mencukupkan diri dengan menikahi satu orang isteri saja, melainkan
menikah lagi dan menikah lagi sampai memiliki sebelas orang isteri. Di mana
selama lima tahun dari dasawarsa keenam usianya, beliau menghimpun lebih dari
tujuh orang isteri, dan selama tujuh
tahun akhir hayat beliau yaitu akhir dasawarsa keenam dan awal
dasawarasa ketujuh dari usianya, beliau menghimpun sembilan orang isteri. Dalam
usia ke sekian itu, apakah mungkin perkawinan beliau itu muncul karena dorongan
keinginan terhadap wanita dan
dorongan pemenuhan naluri seksual
dalam manifestasi yang bersifat seksual? Ataukah justru karena motif-motif lain
yang dituntut oleh realitas kehidupan
yang beliau jalani, yaitu kehidupan
yang terkait dengan
risalah Islam yang
mesti beliau sampaikan kepada
seluruh manusia? Untuk memahami hal itu, kami paparkan berbagai peristiwa
pernikahan Nabi SAW.
Pada tahun
kesebelas setelah kenabian
atau pada tahun Khadîjah RA wafat, Rasulullah SAW
berpikir untuk menikah, sementara saat itu beliau berusia 50 tahun. Lalu beliau
meminang ‘Aisyah binti Abû Bakar, putri sahabatnya yaitu Abû Bakar, salah
seorang dari lakilaki yang pertama-tama beriman kepada beliau. Karena ‘Aisyah
RA saat itu masih berusia enam tahun dan beliau telah menikahinya, tetapi beliau
belum tinggal serumah dengan ‘Aisyah kecuali tiga tahun setelah itu, yaitu
setelah beliau berhijrah dan ‘Aisyah telah berusia Sembilan tahun. Akan tetapi,
pada tahun beliau menikahi ‘Aisyah, beliau juga menikah dengan Sawdah binti
Zam‘ah, janda mendiang Sukran ibn ‘Amr ibn ‘Abdi Syams, salah seorang Muslim
yang turut berhijrah ke Habsyah kemudian kembali ke Makkah dan wafat di sana.
Sawdah telah masuk Islam bersama suaminya dan berhijrah ke Habsyah. Ia turut
menderita berbagai penderitaan yang juga dialami oleh suaminya, dan menemui
berbagai cobaan sebagaimana juga dialami suaminya.Setelah suaminya wafat, Rasul
SAW menikahinya. Dan tidak
ada riwayat yang menyatakan
bahwa Sawdah termasuk
wanita yang memiliki kecantikan,
kekayaan, maupun kedudukan yang bisa membuat ambisi-ambisi dunia turut berpengaruh (menjadi motif)
pernikahan Rasulullah dengannya. Artinya, jika Rasulullah SAW menikahi Sawdah setelah suaminya
meninggal, maka dapat
dipahami bahwa beliau menikahinya dalam rangka untuk
menanggungnya dan mengangkat martabatnya menjadi Ummul Mukminin. Kemudian
setelah Rasulullah SAW hijrah, beliau kemudian membangun tempat tinggal bagi
Sawdah di sisi masjid. Itu merupakan rumah pertama yang beliau bangun untuk isteri-isteri
beliau.
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..
Sebuah fakta Rasulullah baru
berpoligami setelah meninggalnya Khadijah ra. Dari sisi kemanusiaan sangat
wajar jika Rasulullah sama sekali tidak terpikir untuk berpoligami ketika
Khadijah masih hidup. Ya, Khadijah ra, wanita mulia yang menemani masa sulit
Rasulullah, wanita mulia yang menyerahkan seluruh hartanya untuk dakwah
Rasulullah, wanita mulia yang menguatkan dakwah Rasulullah di saat manusia lain
mencibir, membenci, memusuhi bahkan menjauhi. Satu-satunya wanita mulia yang
melahirkan putra-putri Rasulullah (Mariyah al kibtiyah juga melahirkan, namun
meninggal saat anak-anak). Memang, Khadijah ra wanita salihat yang layak
diingat hingga akhir hayat.
Setelah Khadijah meninggal
barulah Rasulullah menikah lagi dan berpoligami, dan itu pun semata demi meraih
ridla ilahi, bukan untuk mengikuti hawa nafsu belaka. Setiap pernikahan
Rasulullah ada hikmah dan latar belakang yang sangat mulia. Bukan sekadar demi
kebanggaan, namun dilakukan demi tujuan di dunia yang berlanjut pada tujuan
akhirat.
Pernikahan Rasulullah setelah
kematian Khadijah ra tidak bisa dikatakan sebagai “pengkhianatan” Rasulullah kepada
Khadijah ra, bagaimana pun juga Khadijah adalah satu-satunya istri Rasulullah
yang istimewa, bahkan masih dicemburui oleh istri Rasulullah yang lain padahal
beliau sudah meninggal dunia. Lagi-lagi ini adalah hal yang wajar, Khadijah ra
wanita mulia yang tak layak dilupakan. Apa yang beliau lakukan akan senantiasa
ada dalam ingatan, akan selalu menjadi motivasi untuk menyamai dan melebihi apa
yang telah beliau korbankan demi dakwah Rasulullah, demi agama Allah, demi
kemuliaan Islam.
Pare, 15 November 2016
No comments:
Post a Comment