Friday 11 January 2019

Karena Kita Beda, Ada Ruh Dalam Amal Kita


Membaca komentar netizen di media social, menanggapi sakitnya dua orang ulama yang aktif membela Islam dan aktif dalam aksi 212 sejak awal muncul. Sakit kanker dan jantung. Dengan murahannya, tanpa ilmu, seenaknya berkomentar, yang intinya menyatakan bahwa sakitnya dua ulama tersebut sebagai akibat dari mendzalimi orang yang jelas menista Alquran dan berakhir dibalik jeruji penjara. Sebagai akibat mubahalah dengan mantan gubernur tak punya adab (dan semoga diberi hidayah selepas dari penjara). Yang pasti komentar para pembela penista agama yang mayoritas cinta buta dengan idolanya hingga menutup mata atas kedzaliman penguasa,  sangat tidak pantas terucap, apalagi jika itu keluar dari mulut seorang muslim, naudzubillah mindzalik. Sungguh, dendam kesumat mereka atas kekalahan sang jagoan telah membuat hati mereka membatu. Bergembira di atas duka, bersuka cita di atas derita, mencaci sesuka hati.

Aktivitas seorang muslim itu tak sama dengan orang kafir. Bisa jadi secara kasat mata sama di hadapan manusia, sama-sama hidup, mencari penghidupan, makan, tidur, bekerja, mencari ilmu, masak, mengurus anak, mengurus rumah dan aktivitas lainnya. Sama-sama bekerja sama-sama pula mendapat harta, sama-sama menuntut ilmu sama-sama pula mendapat ilmu, sama-sama makan maka sama-sama kenyang dan seterusnya. Namun sejatinya aktivitas tersebut sangatlah jauh berbeda, dengan catatan seorang muslim melakukan aktivitasnya dengan prinsip “mazju al maddah bi arruh” alias memadukan materi dengan ruh, menggabungkan aktivitas dengan ruh. Ruh bermakna idrak shilah billah atau kesadaran hubungan dengan Allah. Seorang muslim akan terikat pada hukum syara’, melakukan segala sesuatu berdasarkan tuntunan syara’, ikhlas melakukan semata mencari ridha Allah. Jadi berbeda, bekerja itu terkadang melelahkan namun bagi seorang muslim akan mengantarkan pada pahala, menuntut ilmu akan menjadikan tahu namun bagi seorang muslim akan meninggikan derajatnya. Makan itu sama mengenyangkan, namun bagi seorang muslim kenyang itu untuk beribadah, makan itu untuk beribadah. Seorang istri melayani suami, seorang anak berbakti kepada orang tuanya, seorang suami mencari nafkah, jika dia muslim dan ikhlas jelas jauh lebih mulia dan dia mendapat gelar khairul bariyyah, sebaik-baik makhluk. Karena muslim sejati tahu, bahwa dia adalah hamba Allah, hidup untuk menjalankan aturan Allah , kelak akan kembali kepada Allah, dan dihisab di akhirat.

Termasuk pula ketika mendapat ujian dan musibah. Sikap secara manusiawi bisa jadi tak berbeda, namun penyikapan dan keridhaan atas apa yang diberikan Allah kepada seorang hamba akan sangat jauh berbeda antara seorang mukmin dengan kafir. Terkait dengan ujian, salah satunya sakit, bagi seorang muslim cukup berbekal ridha, sabar dan ikhlas akan berbalas surga

Sesungguhnya  hanya  orang-orang  yang  bersabarlah  yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.  (TQS. az-Zumar [39]: 10).

Sesungguhnya Allah Azza wajalla jika mencintai suatu kaum, maka Allah akan memberikan cobaan kepada mereka. Barangsiapa yang sabar, maka dia berhak mendapatkan (pahala) kesabarannya. Dan barangsiapa marah, maka  dia pun berhak mendapatkan  (dosa) kemarahannya.  (Telah dikeluarkan oleh Ahmad melalui jalur Mahmud bin Labid)

Seorang muslim yang diuji dengan rasa sakit karena  duri atau yang lebih  dari  itu,  maka  Allah  pasti  akan  menebus  kesalahan-kesalahannya  karena  musibah itu,  sebagaimana  suatu  pohon menggugurkan daunnya. (Mutafaq ‘alaih).

Setiap musibah yang menimpa seorang mukmin, berupa  sakit yang berterusan, sakit yang biasa, kebingungan, kesedihan, kegundahan hingga  duri  yang  menusuknya,  maka  pasti  musibah  itu akan menjadi  penghapus  bagi  kesalahan-kesalahannya.  (Mutafaq‘alaih).

Jelas sekali sangat jauh berbeda di hadapan Allah, amal seorang muslim yang ikhlas, muslim yang beramal tanpa ilmu, orang munafik yang berlagak baik, apalagi jika dibandingkan dengan aktivitas orang kafir yang hanya fatamorgana belaka. Yang diterima hanyalah amal yang dilakukan oleh seorang muslim yang ikhlas dan terikat pada syari’atNya.

Kembali tentang sakitnya dua ulama 212, tentu itu adalah kebahagiaan bagi beliau berdua. Karena Allah masih memberi ujian, karena Allah masih mengingatkan dan karena masih ada pintu pahala yang terbuka dengan lebar. Dan meski orang fasik, munafik, dan kafir saat ini sedang menikmati euphoria kekuasaan, maka itu hanyalah istidraj, kenikmatan yang sejatinya akan menghancurkan mereka secara perlahan, akibat kesombongan mereka. Sedangkan bagi seorang mukmin, apapun itu, bahagia atau duka semuanya adalah kenikmatan.

Bagi seorang muslim, ada keyakinan :  kebaikan dan keburukan sekecil apapun pasti ada balasannya, tak ada amal kebaikan yang sia-sia selama ikhlas menjalaninya, tak ada amal buruk yang luput balasannya. Semua pasti ada balasannya. Dan ini juga sekaligus menjawab tuduhan picik seorang plagiator liberal yang mempertanyakan kehebatan apa yang diberikan seorang pelacur hingga dibalas dengan puluhan juta. Amal zina pelacur sehebat apapun hanya akan berakhir pada panasnya siksa neraka, sedangkan amal seorang wanita salehah meski seringan bulu ketika dilakukan berdasarkan prinsip menggabungkan antara materi dengan ruh, dilakukan ikhlas lillah maka akan menjadi amalan yang membuat bidadari surga iri padanya. Puluhan juta tak layak menjadi imbalannya, terlalu murah, karena surga yang menjadi balasannya, surga yang luasnya seluas langit dan bumi.

Maka, siapapun kita, apapun aktivitas kita, cukup pastikan kita tetap menjadi seorang muslim yang beramal dengan ilmu sehingga tahu mana yang sesuai dengan perintah Allah dan RasulNya serta yang sebaliknya. Pastikan ikhlas beramal semata karena Allah, ridha dengan semua ujian dan musibah, pastikan husnul khatimah. Insya Allah kebahagiaan hakiki di akhirat menanti.


Pare, 11 Januari 2019

No comments:

Post a Comment