Thursday, 31 January 2019

Jangan Hanya Terpesona Senyum Mereka



Beberapa hari yang lalu, melalui depan RS Baptis Kediri, dari arah Pesantren menuju Terminal lama, belok kiri langsung. Namun ada segerombolan ibu-ibu menyeberang jalan, agak terburu-buru. Ada yang sedikit tidak biasa. Ternyata di bagian tikungan yang sebelumnya pejalan kaki dengan cepat akan naik ke trotoar tapi waktu itu agak kesulitan. Baliho berukuran jumbo berderet  terpasang, tidak hanya menyulitkan pejalan kaki, juga menghalangi pandangan di tikungan, memang belok kiri jalan terus, namun tentu juga perlu pemastian dari arah yang berlawanan benar-benar aman.
Bukan sembarang baliho, dan bisa jadi hanya sebagian kecil baliho  yang semakin menjamur, apalagi kalo bukan baliho kampanye caleg. Mulai dari caleg DPR hingga DPRD II.  Dari segi layout memang beragam, personal caleg yang terpambang pun tidak sama, ada yang percaya diri memampang foto seorang diri, ada yang berdua, bahkan ada yang berempat. Ada yang sama-sama satu partai namun beda tingkat, ada yang bersama ketua umum partai, jarang yang sama-sama satu partai, satu dapil dan satu tingkatan, mungkinkah karena factor persaingan? Nebeng ketenaran, atau agar hemat pengeluaran?
Satu yang hampir sama dalam semua baliho kampanye caleg, semua mengumbar janji dan tidak ada yang menampakkan wajah menyeramkan, hampir semuanya tersenyum manis, sedikit yang meampakkan wajah datar biasa saja. Mungkin dengan senyuman berharap para pemilih sudah melirik mereka.
Pernah mencoba menghitung baliho kampanye yang terpasang dari Garuda Pare hingga perempatan Sukorejo Gurah, karena kurang konsentrasi tak pernah menghasilkan angka yang sama, mudahnya uncountable, banyak banget. Terkadang terpikir berapa total biaya  yang dikeluarkan hanya untuk pasang atribut kampanye berupa baliho seperti itu. Belum lagi jika mengadakan acara temu impatisan, bisa dipastikan tidak membiarkan para pendukun mereka pulang dengan tangan kosong. Pernah suatu hari berhenti lumayan lama di Jalan Anyelir Tulungrejo Pare. Padahal sudah tidak terlalu jauh dari rumah, tapi memang harus berhenti, becak-becak memenuhi jalanan, bercampur dengan mobil-mobil yang tak sabar. Ternyata ada pembagian sembako untuk tukang becak. Hanya tersenyum saja, sepertinya baru kali itu tahu di daerah tersebut ada bagi-bagi sembako. Memaklumi saja, ternyata yang bagi-bagi adalah salah satu caleg, yang  tinggal di daerah tersebut dan setahu saya bukan asli Jl. Anyelir. Dalam hati mendoakan semoga menjadi amal saleh dan tukang becaknya tidak memancing di air keruh, ke sana-kemari mengejar pembagian materi dari para caleg.
Dan hasil pemilunya? Tak perlu menumpukan harapan kepada mereka yang masih bergelut dengan system demokrasi, tak ada jaminan semua caleg akan menepati janji saat kampanye. Yang ada lebih banyak mengingkari. Jangan amnesia dengan anggota DPRD Malang yang berjamaah korupsi dan masuk bui. Jangan amnesia dengan caleg dan penguasa yang akhirnya hanya memikirkan diri sendiri dan para pemilik modal yang telah membiayai. Jadi pesta demokrasi hanyalah euphoria sesaat yang berlindung di balik jargon dari rakyat, oleh rakyat , untuk rakyat namun sejatinya adalah dari dan oleh rakyat namun untuk konglomerat. Demokrasi saat ini hanya topeng bagi ideology kapitalisme untuk tetap mencengkerap rayat Indonesia. Untuk memastikan negeri kaum muslimin terbesar di dunia ini tetap jauh dari penerapan Islam kaffah dalam naungan khilafah. Dan untuk memastikan tetap bisa menjajah negeri-negeri kaum muslimin, baik penjajahan secara ekonomi maupun politik.
Sudahlah, jangan berharap pada demokrasi. Cobalah mencari alternative pengganti, system Islam, Khilafah. Cobalah memahami dulu, abaikan kampanye negative terhadap khilafah. Cobalah untuk mengenal lebih dalam lagi system warisan baginda Nabi ini. Berpikirlah jauh ke depan hingga ke akhirat. Bersama siapakah kelak di akhirat kita akan dikumpulkan? Bersama penggagas dan pejuang demokrasi atau bersama baginda nabi yang diikuti khulafa’ur rasyidin yang terus menerapkan khilafah?
Saya simple saja, memilih khilafah yang jelas peninggalan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam.

Pare, 31 Januari 2019


Friday, 11 January 2019

Karena Kita Beda, Ada Ruh Dalam Amal Kita


Membaca komentar netizen di media social, menanggapi sakitnya dua orang ulama yang aktif membela Islam dan aktif dalam aksi 212 sejak awal muncul. Sakit kanker dan jantung. Dengan murahannya, tanpa ilmu, seenaknya berkomentar, yang intinya menyatakan bahwa sakitnya dua ulama tersebut sebagai akibat dari mendzalimi orang yang jelas menista Alquran dan berakhir dibalik jeruji penjara. Sebagai akibat mubahalah dengan mantan gubernur tak punya adab (dan semoga diberi hidayah selepas dari penjara). Yang pasti komentar para pembela penista agama yang mayoritas cinta buta dengan idolanya hingga menutup mata atas kedzaliman penguasa,  sangat tidak pantas terucap, apalagi jika itu keluar dari mulut seorang muslim, naudzubillah mindzalik. Sungguh, dendam kesumat mereka atas kekalahan sang jagoan telah membuat hati mereka membatu. Bergembira di atas duka, bersuka cita di atas derita, mencaci sesuka hati.

Aktivitas seorang muslim itu tak sama dengan orang kafir. Bisa jadi secara kasat mata sama di hadapan manusia, sama-sama hidup, mencari penghidupan, makan, tidur, bekerja, mencari ilmu, masak, mengurus anak, mengurus rumah dan aktivitas lainnya. Sama-sama bekerja sama-sama pula mendapat harta, sama-sama menuntut ilmu sama-sama pula mendapat ilmu, sama-sama makan maka sama-sama kenyang dan seterusnya. Namun sejatinya aktivitas tersebut sangatlah jauh berbeda, dengan catatan seorang muslim melakukan aktivitasnya dengan prinsip “mazju al maddah bi arruh” alias memadukan materi dengan ruh, menggabungkan aktivitas dengan ruh. Ruh bermakna idrak shilah billah atau kesadaran hubungan dengan Allah. Seorang muslim akan terikat pada hukum syara’, melakukan segala sesuatu berdasarkan tuntunan syara’, ikhlas melakukan semata mencari ridha Allah. Jadi berbeda, bekerja itu terkadang melelahkan namun bagi seorang muslim akan mengantarkan pada pahala, menuntut ilmu akan menjadikan tahu namun bagi seorang muslim akan meninggikan derajatnya. Makan itu sama mengenyangkan, namun bagi seorang muslim kenyang itu untuk beribadah, makan itu untuk beribadah. Seorang istri melayani suami, seorang anak berbakti kepada orang tuanya, seorang suami mencari nafkah, jika dia muslim dan ikhlas jelas jauh lebih mulia dan dia mendapat gelar khairul bariyyah, sebaik-baik makhluk. Karena muslim sejati tahu, bahwa dia adalah hamba Allah, hidup untuk menjalankan aturan Allah , kelak akan kembali kepada Allah, dan dihisab di akhirat.

Termasuk pula ketika mendapat ujian dan musibah. Sikap secara manusiawi bisa jadi tak berbeda, namun penyikapan dan keridhaan atas apa yang diberikan Allah kepada seorang hamba akan sangat jauh berbeda antara seorang mukmin dengan kafir. Terkait dengan ujian, salah satunya sakit, bagi seorang muslim cukup berbekal ridha, sabar dan ikhlas akan berbalas surga

Sesungguhnya  hanya  orang-orang  yang  bersabarlah  yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.  (TQS. az-Zumar [39]: 10).

Sesungguhnya Allah Azza wajalla jika mencintai suatu kaum, maka Allah akan memberikan cobaan kepada mereka. Barangsiapa yang sabar, maka dia berhak mendapatkan (pahala) kesabarannya. Dan barangsiapa marah, maka  dia pun berhak mendapatkan  (dosa) kemarahannya.  (Telah dikeluarkan oleh Ahmad melalui jalur Mahmud bin Labid)

Seorang muslim yang diuji dengan rasa sakit karena  duri atau yang lebih  dari  itu,  maka  Allah  pasti  akan  menebus  kesalahan-kesalahannya  karena  musibah itu,  sebagaimana  suatu  pohon menggugurkan daunnya. (Mutafaq ‘alaih).

Setiap musibah yang menimpa seorang mukmin, berupa  sakit yang berterusan, sakit yang biasa, kebingungan, kesedihan, kegundahan hingga  duri  yang  menusuknya,  maka  pasti  musibah  itu akan menjadi  penghapus  bagi  kesalahan-kesalahannya.  (Mutafaq‘alaih).

Jelas sekali sangat jauh berbeda di hadapan Allah, amal seorang muslim yang ikhlas, muslim yang beramal tanpa ilmu, orang munafik yang berlagak baik, apalagi jika dibandingkan dengan aktivitas orang kafir yang hanya fatamorgana belaka. Yang diterima hanyalah amal yang dilakukan oleh seorang muslim yang ikhlas dan terikat pada syari’atNya.

Kembali tentang sakitnya dua ulama 212, tentu itu adalah kebahagiaan bagi beliau berdua. Karena Allah masih memberi ujian, karena Allah masih mengingatkan dan karena masih ada pintu pahala yang terbuka dengan lebar. Dan meski orang fasik, munafik, dan kafir saat ini sedang menikmati euphoria kekuasaan, maka itu hanyalah istidraj, kenikmatan yang sejatinya akan menghancurkan mereka secara perlahan, akibat kesombongan mereka. Sedangkan bagi seorang mukmin, apapun itu, bahagia atau duka semuanya adalah kenikmatan.

Bagi seorang muslim, ada keyakinan :  kebaikan dan keburukan sekecil apapun pasti ada balasannya, tak ada amal kebaikan yang sia-sia selama ikhlas menjalaninya, tak ada amal buruk yang luput balasannya. Semua pasti ada balasannya. Dan ini juga sekaligus menjawab tuduhan picik seorang plagiator liberal yang mempertanyakan kehebatan apa yang diberikan seorang pelacur hingga dibalas dengan puluhan juta. Amal zina pelacur sehebat apapun hanya akan berakhir pada panasnya siksa neraka, sedangkan amal seorang wanita salehah meski seringan bulu ketika dilakukan berdasarkan prinsip menggabungkan antara materi dengan ruh, dilakukan ikhlas lillah maka akan menjadi amalan yang membuat bidadari surga iri padanya. Puluhan juta tak layak menjadi imbalannya, terlalu murah, karena surga yang menjadi balasannya, surga yang luasnya seluas langit dan bumi.

Maka, siapapun kita, apapun aktivitas kita, cukup pastikan kita tetap menjadi seorang muslim yang beramal dengan ilmu sehingga tahu mana yang sesuai dengan perintah Allah dan RasulNya serta yang sebaliknya. Pastikan ikhlas beramal semata karena Allah, ridha dengan semua ujian dan musibah, pastikan husnul khatimah. Insya Allah kebahagiaan hakiki di akhirat menanti.


Pare, 11 Januari 2019

Sunday, 6 January 2019

Catatan awal tahun 1 : Semangatmu Menyemangatiku

Sumber gambar : Anwariz.com

Akhir tahun 2018 yang luar biasa, Desember diawali sebuah agenda yang spektakuler, meski tak mengikuti langsung namun ikut merasakan suasana yang mengharu biru. 2 Desember, reuni 212, aksi bela tauhid. Lautan panji Rasulullah membanjiri Monas dan sekitarnya. Setelah setahun upaya mengenalkan panji Rasulullah banyak mengalami kendala, namun rencana Allah memang yang terbaik. Kegagalan bukan berarti akhir segalanya, namun ada jalan keberhasilan di depan mata yang sedikit tertunda. Persatuan umat pun semakin terajut. Berkumpulnya jutaan umat Islam tanpa sedikitpun keributan menjadi bukti bahwa Islam itu damai, umat Islam itu bukan pembuat masalah.

Dan akhir Desember 2018, aksi bela Uighur semakin menguatkan ukhuwah. Kesadaran bahwa ada kewajiban membela nasib saudara seakidah semakin membuncah, kesadaran akan butuhnya kekuatan pemersatu umat semakin menguat. Meski diiringi dengan persekusi dan kriminalisasi oleh rezim yang semakin menjadi, langkah membela umat Islam sedikitpun tidak surut.

Dan lagi-lagi memang tak langsung mengikuti, namun Alhamdulillah masih bisa memantau kabar beritanya, mengikuti informasi yang dibagi para saksi mata. Selain menjadi tahu, juga bersyukur masih banyak menjumpai teman yang meski tak berjumpa di dunia nyata, yang meski berpisah sekian lama, mereka masih istiqamah di jalan dakwah, masih istiqamah di jalan membela syariah. Dan semuanya mengikuti dan membagi informasi dengan semangatnya, bersama peserta lainnya. Bahagia itu melihat teman selalu istiqamah dalam kebaikan.

Lain lagi, mengikuti sebuah acara, atau bersama dalam forum dihadiri langsung oleh orang-orang yang penuh semangat, memberi nasehat dan motivasi, atau bahkan mengisi apapun itu dan yang menjadi peserta semangatnya sangat luar biasa, menjadi peristiwa yang sangat istimewa, semangat orang lain yang juga membuat diri ini semangat.
Di sinilah pentingnya bersama atau berteman dengan orang yang istiqamah, selalu bersama dengan orang yang semangat, secara tidak langsung akan membuat kita untuk juga bertahan dalam semangat. Maka jangan menyepelekan sebuah semangat, jangan mencibir orang yang selalu terus bersemangat meski kadang belum mengantarkan pada hasil terbaik, ketangguhannya menjaga semangat merupakan prestasi tersendiri. Dan begitu pula dengan diri kita, jagalah semangat, karena bisa jadi semangat kita akan menyemati orang lain.

Jadi kata kunci di awal tahun ini : Semangat
Semoga bisa istiqamah dalam kebaikan, semangat dalam kebaikan, meski hidup tak lepas dari permasalahan, yakinlah semangat itu pasti ada balasan, ketika semua dijalani dengan keikhlasan.


Pare, 6 Januari 2019

Friday, 4 January 2019

Catatan akhir tahun : Tak Perlu Menunggu Duda, Poligami Saja

Sumber gambar : voa-islam.id

Akhir tahun 2018. Dalam seminggu, dua kali ke Yogya, naik bis biasa. Satu kali jalan menghabiskan waktu sekitar 6 jam, maka total di dalam bis 24 jam. Dan selalu dalam bis diputar lagu dengan penyanyi hampir 90% wanita, jika 1 lagu berdurasi 5 menit maka selama satu kali jalan setidaknya menikmati 70 lagu, dan selama 2 kali PP total sektar 200 lagu, dengan asumsi ada pengulangan. Jadilah tahu macam Orkes Melayu, PH, nama artis, penciptanya. Dan tetap saja yang familiar Nella Kharisma dan Via Vallen saja. Dari segi penampilan jelas taka da yang syar’i, dari segi contain lirik lagu, banyak yang membuat tersenyum kecut, hampir semuanya berkisah tentang cinta, tapi dominan lebaynya. Hampir semua lagu versi koplo. Ada beberapa lagu yang isinya seputar peselingkuhan, kehidupan di jalanan, penyesalan ditinggal kekasih. Cuma tertarik dengan pilihan katanya saja, lumayan untuk menambah perbendaharaan kata. Ada juga lagu pop, namun tak jauh beda masih tentang percintaan. Yang pop ada Wali, Armada, Ada band dll.

Ada beberapa lagu yang isinya hampir mirip. Tentang pasangan kekasih yang harus berpisah karena yang lelaki menikah dijodohkan orang tuanya, ada wanita yang jatuh cinta pada lelaki yang sudah beristri. Lucunya dalam lagu tersebut ada yang mendoakan mantannya untuk segera menjadi duda agar bisa kembali dan menikah lagi dengannya, ada yang memilih bertahan selingkuh, menjalin hubungan gelap.. Waduhh…buyar tenan.

Sebenarnya tak harus menjadi jahat, mendoakan mantan menjadi duda, tak perlu bermaksiat dengan berselingkuh, juga tak perlu menjadi pelakor. Sederhana, poligami saja.

Jadi ingat pernah nonton FTV lupa judulnya dan lupa artisnya, maklum agak kudet kalo masalah artis. Tokoh utamanya Syahdu, Ifan dan Sofi. Syahdu dan Ifan awalnya pasangan kekasih namun Syahdu terlebih dahulu menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya namun nasib baik tak berpihak pada Syahdu. Suami Syahdu temperamental, sering berbuat kekerasan dan akhirnya mengusir Syahdu dan berakhir dengan perceraian. Syahdu masih menyimpan hanti kepada Ifan dan berharap bisa kembali kepada Ifan, namun karena Ifan sudah tidak berharap pada Syahdu, Ifan bersedia menikah dengan gadis pilihan ibunya, Sofi. Singkat cerita Syahdu down dan karena iba, Sofi meminta Ifan menikahi Syahdu, dan singkat cerita lagi, karena merasa dinomorduakan Syahdu menuntut lebih kepada Ifan yang membuat Ifan marah, Syahdu meninggalkan rumah Ifan, kembali ke kampung dalam kondisi hamil tanpa diketahui Ifan dan Sofi. Akhirnya Syahdu melahirkan, terkena kanker, meninggal. Anaknya diasuh Ifan dan Sofi yang memang belum diberi momongan. Simple bukan, selalu ada hikmahnya. Tapi namanya juga film, seharusnya realitasnya lebih simple lagi, selama menjadikan syariat sebagai pijakan.

Yang lebih penting, poligami itu mubah, boleh, pilihan. Bukan sebuah syariat yang melanggar HAM. Akan selalu ada maslahat dibalik sebuah syariat.

Sangat jauh dengan apa yang dituduhkan salah satu ketua partai bau kencur. Melarang kadernya berpoligami, sesumbar akan melarang poligami ketika duduk dalam kursi dewan. Dan parahnya lagi salah seorang pengurusnya secara sepihak menuduh poligami sebagai biang kerok perceraian, padahal jelas salah total. Angka perceraian lebih banyak terjadi pada pernikahan monogamy bukan poligami. Seenaknya berbicara atas nama data namun hakikatnya sedang memanipulasi data. Memang partai ini harus diwaspadai, jika perlu dilarang. Partai secular yang sombong. Menolak perda syariah, melarang poligami, dan terakhir menyeru seluruh kadernya mengucapkan selamat natal meski tidak beragama Kristen, jelas sekali pemikiran liberal yang mereka usung. Jika dibiarkan sepak terjangnya akan semakin ngawur. Bukan sekadar menginjak-injak syariat, bukan tak mungkin Islam akan semakin dihinakan.

Memang menerima syariat tidak semudah membalikkan tangan, membutuhkan proses, butuh ilmu. Dan memang akan lebih nyata tergambar ketika kita hidup dalam system islam, khilafah. Ada banyak masalah yang kecil peluangnya akan muncul. Naik bis berjam-jam ditemani music tak jelas, terjebak macet, tak ada wanita yang bebas mengumbar aurat menjual diri demi sesuap nasi, pemikiran merusak akan diminimalisir. Dan apapun yang tidak bertentangan dengan syariat bebas diamalkan. Salah satunya poligami. Syarat dan ketentuan tetap berlaku. Semua harus disertai ilmu.

Bagaimana, masih memilih menunggu dan mendokan agar secepatnya menduda? Atau pilih poligami saja?
Peace ya sis!

Pare, 4 Januari 2019



Wednesday, 2 January 2019

Catatan akhir tahun part 1: Muliakanlah Wanita



31 Desember 2018

🚍Angkot Pare – Jombang, pagi-pagi.
Seorang wanita tua dengan susah payah naik ke angkot, minibus.
Me : Badhe tindak pundi mbah ?
Nenek : Pasar  Cukir
Me : Dalemipun  pundi ?
Nenek : Keling ( sebuah desa di Kecamatan Kepung, sekitar 10 km dari Pare)
Me : Kok tebih blonjo teng Cukir
Nenek : Mboten blonjo, nyuwun.
Me : (Kaget dengan jawan polos si nenek)
Bla..bla..sedikit demi sedikit menyakan hal lain.
Nenek tersebut dalam seminggu mengunjungi tempat berbeda, lebih sering mengunjungi pasar, untuk meminta-minta. Masih punya keluarga. Itu saja infonya, tak tega dan sepertinya tak elok bertanya lebih banyak lagi, bisa  jadi akan mengingatkan hal yang tak layak diingat. Dan yang terpenting, sudah bisa tergambar, tidak hanya sekali ini menjumpai wanita-wanita yang memilih jadi peminta. Dan apalah daya diri ini, mengorek informasi namun tak bisa banyak membantu, berharap kerabatnya diberi kelimpahan rezeki, berharap sistem kapitalisme yang mencengkeram negeri ini segera tumbang, diganti dengan sistem Islam.

🚃 Sekitar pukul 16.50 – 18.15 (Shelter transjogja UNY)
Padahal baru pertama kali naik TJ, PeDe banget nunggu dan berharap TJ lewat, awalnya harap-harap cemas, tak lama ada beberapa orang yang juga menunggu, tapi hanya bertahan sekitar 30 menitan, dan saya masih setia menunggu. Hari semakin gelap jalanan sedikit sepi karena sudah masuk waktu maghrib. Ternyata jalanan hampir semua statusnya merah, macet dimana-mana. Dijemput juga pasti akan lama karena macet dimana-mana. Naik kendaraan online tidak menjamin drivernya perempuan, apalagi mobil/taksi, tak mungkin karena posisi sedang sendiri. Benar sekali jika Islam mewajibkan seorang wanita bersafar tidak sendirian, ditemani mahramnya. Meski sebenernya belum terkategori safar dan sudah berkali-kali ke yogya, pada akhirnya tak berkutik, mencoba mencari ojek pangkalan, mengunjungi gerombolan pengemudi ojek online. Sudah beberapa kali ketika terpaksa harus ngojek biasanya menyewa ojek lebih dari satu. Sewa dua motor, abang ojeknya boncengan saya naik sendiri. Biar tidak boncengan dengan nonmahram. Semua tidak mau, lumayan jauh dan resiko macet. Mending terima order yang dekat saja. Padahal sudah menawarkan harga yang  tidak murah.

Alhamdulillah mendapat no kontak ojek khusus wanita, meski sempat lost kontak dan agak ragu akhirnya datang juga.  Hujan deras. Awalnya kaget, drivernya ibu-ibu yang  tak muda dengan motor yang tak baru. Ibu tersebut meminta maaf karena terlambat. Hanya berucap :"iya..tidak apa-apa". Si ibu masih saja bercerita mengapa terlambat. Dan saya pun hanya tersenyum sambil mengangguk-angguk saja. Deal berangkat, meski hujan.  Dan benarlah, kendaraan padat merayap. Bismillah.

Sekitar pukul 20.20 an. Sepanjang jalan hanya memilih diam, sesekali mengobrol dengan driver. Pikiran melayang kemana-mana. Sedih saja, malam-malam masih saja seorang wanita menerima orderan, namun jika tak diterima bisa jadi tak membantu orang lain. Qimah / nilai yang hendak diraih, utamanya adalah qimah madiyah alias materi, namun tak bisa dipungkiri nilai kemanusiaan dan ruhiyah juga bisa diraih. Seandainya saja sistem Islam yang diterapkan, tak akan begini jadinya. Wanita tak harus berkutat pada hal-hal yang bisa membahayakan dirinya, seharusnya wanita dimuliakan, dijaga kehormatannya. Wanita tak wajib bekerja, tugas khususnya lebih banyak mengurus rumah, anak dan keluarganya. Wanita seharusnya hidup bersama jamaah wanita, ditemani para mahramnya.

Namun keadaan lah yang memaksa. Untuk sekedar ingin terikat pada hukum syara’ saja, misalnya tidak berkhalwat atau ikhltilat,  sulitnya luar biasa. Belum lagi dengan system ekonomi kapitalisme yang  tidak memanusiakan manusia, wanita juga terpaksa mencari tambahan nafkah keluarga. Akhirnya sampai tujuan, dan sebelum berpisah kembali driver meminta maaf karena keterlambatannya, bercerita saat menuju   titik penjemputan meski tahu terlambat, jika ternyata yang order tidak ada maka sadar itu salahnya. Wallahu a’lam belum pernah mengerti system pesanan jasa ojek perempuan, bagaimana mekanisme evaluasinya. Lagi-lagi perasaan ini tercabik, mungkin ibu drivernya memang butuh tambahan uang. Pukul 21.20 sampai tujuan, padahal biasanya sekitar 20 menitan saja.

🚌Dan seminggu ini dua kali ke yogya, karena memang tidak terencana, tiket KA ekonomi habis, naik bis saja. Dan memilih bis biasa. Murah meriah meski harus berlama-lama. Sekali perjalanan sekitar 6 jam naik bis. Dua kali PP berarti sekitar 24 jam menikmati suasana di dalam bis, yang semuanya selalu memutar tayangan music, dan hampir semuanya penyanyi wanita. Dengan penampilan yang mengumbar aurat dan lirik lagu picisan nan murahan . Meski pernah naik patas, juga diputar jenis music yang sama. Memaklumi saja, mungkin kru bis juga butuh teman, penumpang bisa tiduran, sedangkan kru bis terutama sopir harus tetap menjaga mata agar terbuka lebar. Kembali tentang artis panggung yang menemani perjalanan, kasihan mereka. Memang bisa jadi materi tercukupi, namun kehormatan mereka tercederai. Tak harusnya wanita seperti itu, menjual fisiknya demi materi.

Dan semua fakta ini akan sangat kecil terjadi ketika Islam yang diterapkan. Wanita dimuliakan, wanita dihormati, wanita diperlakukan agar siap mengemban tugas sebagai penyandang pemilik surga  di telapak kaki. Bukan tak ridho dengan pengorbanan dan perjuangan yang harus dilakukan seorang wanita saat ini, namun ini adalah kewajiban, kewajiban mengembalikan segala sesuatu pada tempatnya, menjalankan kehidupan sesuai aturan Allah, bukan sesuka hati menuruti hawa nafsu, bukan mengikuti arus sekularisasi yang menjauhkan umat dari aturan Allah. Menapaki jalan hidup ini sesuai arahan ilahi, dengan keyakinan aturan Allah yang terbaik, pasti ada maslhat di dunia, pasti menjadi penyelamat hingga ke akhirat.  Maka tak ada pilihan, bertahan untuk tetap terikat dengan hokum syara’, tidak menikmati terjerumus dalam kubangan system kapitalisme, dan yang tak kalah pentingnya, berjuang agar system Islam segera tegak, khilafah rasyidah ‘ala minhajinnubuwah. Dan perjuangan ini kewajiban semuanya, pria dan wanita.

Pare, 1 Januari 2019

Nb. Ket foto : Islamic Book Fair GOR UNY, @Khat.arts