Beberapa hari
yang lalu, melalui depan RS Baptis Kediri, dari arah Pesantren menuju Terminal
lama, belok kiri langsung. Namun ada segerombolan ibu-ibu menyeberang jalan,
agak terburu-buru. Ada yang sedikit tidak biasa. Ternyata di bagian tikungan
yang sebelumnya pejalan kaki dengan cepat akan naik ke trotoar tapi waktu itu
agak kesulitan. Baliho berukuran jumbo berderet terpasang, tidak hanya menyulitkan pejalan
kaki, juga menghalangi pandangan di tikungan, memang belok kiri jalan terus,
namun tentu juga perlu pemastian dari arah yang berlawanan benar-benar aman.
Bukan sembarang
baliho, dan bisa jadi hanya sebagian kecil baliho yang semakin menjamur, apalagi kalo bukan
baliho kampanye caleg. Mulai dari caleg DPR hingga DPRD II. Dari segi layout memang beragam, personal
caleg yang terpambang pun tidak sama, ada yang percaya diri memampang foto
seorang diri, ada yang berdua, bahkan ada yang berempat. Ada yang sama-sama
satu partai namun beda tingkat, ada yang bersama ketua umum partai, jarang yang
sama-sama satu partai, satu dapil dan satu tingkatan, mungkinkah karena factor persaingan? Nebeng ketenaran, atau agar hemat pengeluaran?
Satu yang hampir
sama dalam semua baliho kampanye caleg, semua mengumbar janji dan tidak ada
yang menampakkan wajah menyeramkan, hampir semuanya tersenyum manis, sedikit
yang meampakkan wajah datar biasa saja. Mungkin dengan senyuman berharap para
pemilih sudah melirik mereka.
Pernah mencoba
menghitung baliho kampanye yang terpasang dari Garuda Pare hingga perempatan
Sukorejo Gurah, karena kurang konsentrasi tak pernah menghasilkan angka yang
sama, mudahnya uncountable, banyak banget. Terkadang terpikir berapa total biaya
yang dikeluarkan hanya untuk pasang
atribut kampanye berupa baliho seperti itu. Belum lagi jika mengadakan acara
temu impatisan, bisa dipastikan tidak membiarkan para pendukun mereka pulang
dengan tangan kosong. Pernah suatu hari berhenti lumayan lama di Jalan Anyelir
Tulungrejo Pare. Padahal sudah tidak terlalu jauh dari rumah, tapi memang harus
berhenti, becak-becak memenuhi jalanan, bercampur dengan mobil-mobil yang tak
sabar. Ternyata ada pembagian sembako untuk tukang becak. Hanya tersenyum saja,
sepertinya baru kali itu tahu di daerah tersebut ada bagi-bagi sembako. Memaklumi
saja, ternyata yang bagi-bagi adalah salah satu caleg, yang tinggal di daerah tersebut dan setahu saya
bukan asli Jl. Anyelir. Dalam hati mendoakan semoga menjadi amal saleh dan
tukang becaknya tidak memancing di air keruh, ke sana-kemari mengejar pembagian
materi dari para caleg.
Dan hasil
pemilunya? Tak perlu menumpukan harapan kepada mereka yang masih bergelut
dengan system demokrasi, tak ada jaminan semua caleg akan menepati janji saat
kampanye. Yang ada lebih banyak mengingkari. Jangan amnesia dengan anggota DPRD
Malang yang berjamaah korupsi dan masuk bui. Jangan amnesia dengan caleg dan
penguasa yang akhirnya hanya memikirkan diri sendiri dan para pemilik modal yang
telah membiayai. Jadi pesta demokrasi hanyalah euphoria sesaat yang berlindung
di balik jargon dari rakyat, oleh rakyat , untuk rakyat namun sejatinya adalah
dari dan oleh rakyat namun untuk konglomerat. Demokrasi saat ini hanya topeng
bagi ideology kapitalisme untuk tetap mencengkerap rayat Indonesia. Untuk memastikan
negeri kaum muslimin terbesar di dunia ini tetap jauh dari penerapan Islam
kaffah dalam naungan khilafah. Dan untuk memastikan tetap bisa menjajah
negeri-negeri kaum muslimin, baik penjajahan secara ekonomi maupun politik.
Sudahlah,
jangan berharap pada demokrasi. Cobalah mencari alternative pengganti, system Islam,
Khilafah. Cobalah memahami dulu, abaikan kampanye negative terhadap khilafah. Cobalah
untuk mengenal lebih dalam lagi system warisan baginda Nabi ini. Berpikirlah jauh
ke depan hingga ke akhirat. Bersama siapakah kelak di akhirat kita akan
dikumpulkan? Bersama penggagas dan pejuang demokrasi atau bersama baginda nabi
yang diikuti khulafa’ur rasyidin yang terus menerapkan khilafah?
Saya simple
saja, memilih khilafah yang jelas peninggalan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wassalam.
Pare, 31
Januari 2019