Sunday 18 November 2018

Hati- hati Berbuat Baik?


Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS Al Maidah ayat 2)

Suatu hari, dinihari membelah sunyinya malam. Menyusuri jalan berkelok yang menghubungkan Kediri dan Malang. Suasana gelap dengan jurang di pinggiran membuat kendaraan melaju pelan. Sesaat tiba di sebuah kelokan dengan jurang menganga di pinggir jalan, sorotan lampu mobil tertuju pada sesuatu, ada sepeda motor yang tergeletak di bibir jurang. Lampu dan mesin masih menyala, tak jauh, ada sesosok tergeletak dan tampak masih bergerak.  Inna lillahi, ada kecelakaan. Tak Nampak kendaraan lain, entahlah, tabrak lari atau kecelakaan tunggal.

Awalnya kendaraan kami memperlambat laju, namun sedikit demi sedikit menambah kecepatan dan akhirnya meninggalkan korban kecelakaan.

Sesak dada ini, kami tak berani menolong. Sang sopir yang sudah berpengalaman melanglang buana tidak mau berhenti. Sudah biarkan saja, jika menolong bisa-bisa akan mempersulit. Akan menjadi saksi berurusan dengan aparat, atau malah dituduh sebagai pihak yang mencelakai, karena tak ada saksi.

Dada bertambah sesak, kepala semakin pusing, sudahlah jalan membuat pening ada musibah tak mau menolon lagig. Segera mengirim pesan ke nomor kontak yang kerja di laka lantas di salah satu polres, menelpon salah satu radio yang rajin update kondisi lalu lintas. Semua tak merespon. Tak menyalahkan, memang saatnya istirahat. Setelah matahari terbit, baru ada respon. Namun tak bisa memberi informasi lengkap, TKP. Tidak hafal wilayah Malang dan keadaan yang gelap gulita, sulit menerka itu di daerah mana. Dan entahlah bagaimana nasib orang yang kecelakaan tersebut.

Ingatan melayang pada seseorang yang pernah hilang tanpa kabar, dan akhirnya ditemukan di sebuah RS, kecalakaan di malam hari di daerah yang sepi. Kartu identitas tidak sama dengan domisili tinggal, masuk RS dalam keadaan tidak sadar. Ditambah dengan buruknya pelayanan RS yang tidak mau mengambil resiko biaya dan tuduhan malpraktik, korban hanya diberi pertolongan darurat padahal ada tindakan operasi besar yang seharusnya dilakukan.
Bagaimana jika yang tadi dujumpai juga bernasib sama? Hanya bisa beristighfar dan berdoa, semoga segera mendapatkan pertolongan.

Dan bukan sekali merasa takut menolong. Seringkali saat berkendara sendiri, melintasi persawahan yang tak berujung, jauh dari kampung, menjumpai orang yang berjalan kaki. Jelas hendak ke tempat di ujung persawahan, dan pasti akan menempuh jarak yang tidak jauh. Sempat terpikir untuk berhenti dan menawari tumpangan, namun seringkali mengurungkan niat, hanya berani ketika yang terlihat secara fisik jelas. Jelas membutuhkan, memakai seragam sekolah, atau yang sepertinya tidak akan mampu berbuat anaiaya. Entahlah, standar sepihak yang sangat dipengaruhi dugaan dan asumsi. Tak berani menolong sembarang orang, khawatir malah dirugikan, takut jika malah dicelakai. Padahal belum pernah mengalami, hanya bermodal informasi yang bertebaran akan maraknya kejahatan di pinggir jalan. Enggan memberi kepada peminta karena pernah tau fakta pengemis yang berpura-pura, padahal belum tentu yang lain berperilaku sama

Menolong dalam kebaikan dan takwa, jelas sekali perintah dari Allah SWT. Rasulullah juga pernah bersabda bahwa seseorang yang memudahkan urusan saudaranya, menghilangkan kesulitan pada saudaranya maka akan dimudahkan dan dihilangkan kesulitannya di akhirat kelak, bukan balasan yang remeh temeh, namun balasan luar biasa di akhirat. Namun fakta berbicara lain, sistem hukum yang karut-marut, kriminalitas yang sering terjadi, pelayanan aparat yang tak sepenuh hati, seringkali membuat diri ini mengurungkan niat untuk sekadar membantu orang lain.

Apalagi dalam sistem sekular dan penguasa yang dzalim, keadaan bisa berbalik. Yang baik dikriminalisasi yang buruk disanjung setinggi langit, ketika standar yang digunakan sebatas kepentingan dan materi. Lihat saja yang mudah terindera, perlakuan kepada muslimah yang berkerudung lebar atau bercadar, seolah pantas dicurigai sebagai penebar kejahatan. Sedangkan perempuan pengumbar aurat dibiarkan leluasa tanpa hukuman. Atau kasus hukum yang tebang pilih. Semua yang berseberangan dengan penguasa, rakyat miskin yang tak berharta, pegawai yang tak punya kuasa begitu semena-mena diperlakukan di hadapan hukum. Sedangkan penista agama, pengujar kebencian lambat kasusnya ditangani atau malah menguap begitu saja. Asal berkoar-koar mereka Pancasila, mereka berteriak NKRI harga mati, meski faktanya korupsi, tak mengapa. Asal mendukung penguasa.

Penguasa yang dzalim. Dzalim adalah lawan dari adil, ketika adil bermakna melaksanakan segala sesuatu sesuai timbangan syariat maka dzalim sebaliknya, tidak menggunakan syariat sebagai timbangan, semena-mena, menggunakan hukum sesuai hawa nafsu. Sistem yang individualis ini seolah berpesan kepada kita, jangan berbuat baik. Urusi saja kepentingan sendiri. Jangan mencampuri urusan orang lain. Suasana keimanan sangatlah jauh, visi hingga ke akhirat tak terbersit dalam benak, yang ada adalah kepentingan dunia semata. Dan inilah karakter ideology kapitalisme, akidahnya secular, liberalism menjadi rujukan.

Memang membutuhkan waktu untuk memahami batilnya sistem kapitalisme, memang membutuhkan waktu untuk menyadari fakta rusaknya kapitalisme, namun langkah itu harus diawali dengan komitmen untuk mengkajinya secara khusus, mengkaji sistem Islam dan sistem lain, agar semakin paham apa yang seharusnya dilakukan, agar bisa memulai langkah perubahan.


Pare, 18 November 2018

No comments:

Post a Comment