Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS Al
Maidah ayat 2)
Suatu
hari, dinihari membelah sunyinya malam. Menyusuri jalan berkelok yang
menghubungkan Kediri dan Malang. Suasana gelap dengan jurang di pinggiran
membuat kendaraan melaju pelan. Sesaat tiba di sebuah kelokan dengan jurang
menganga di pinggir jalan, sorotan lampu mobil tertuju pada sesuatu, ada sepeda
motor yang tergeletak di bibir jurang. Lampu dan mesin masih menyala, tak jauh,
ada sesosok tergeletak dan tampak masih bergerak. Inna lillahi, ada kecelakaan. Tak Nampak kendaraan
lain, entahlah, tabrak lari atau kecelakaan tunggal.
Awalnya
kendaraan kami memperlambat laju, namun sedikit demi sedikit menambah kecepatan
dan akhirnya meninggalkan korban kecelakaan.
Sesak
dada ini, kami tak berani menolong. Sang sopir yang sudah berpengalaman
melanglang buana tidak mau berhenti. Sudah biarkan saja, jika menolong bisa-bisa
akan mempersulit. Akan menjadi saksi berurusan dengan aparat, atau malah
dituduh sebagai pihak yang mencelakai, karena tak ada saksi.
Dada bertambah
sesak, kepala semakin pusing, sudahlah jalan membuat pening ada musibah tak mau
menolon lagig. Segera mengirim pesan ke nomor kontak yang kerja di laka lantas di
salah satu polres, menelpon salah satu radio yang rajin update kondisi lalu
lintas. Semua tak merespon. Tak menyalahkan, memang saatnya istirahat. Setelah
matahari terbit, baru ada respon. Namun tak bisa memberi informasi lengkap,
TKP. Tidak hafal wilayah Malang dan keadaan yang gelap gulita, sulit menerka
itu di daerah mana. Dan entahlah bagaimana nasib orang yang kecelakaan
tersebut.
Ingatan
melayang pada seseorang yang pernah hilang tanpa kabar, dan akhirnya ditemukan
di sebuah RS, kecalakaan di malam hari di daerah yang sepi. Kartu identitas
tidak sama dengan domisili tinggal, masuk RS dalam keadaan tidak sadar. Ditambah
dengan buruknya pelayanan RS yang tidak mau mengambil resiko biaya dan tuduhan
malpraktik, korban hanya diberi pertolongan darurat padahal ada tindakan
operasi besar yang seharusnya dilakukan.
Bagaimana
jika yang tadi dujumpai juga bernasib sama? Hanya bisa beristighfar dan berdoa,
semoga segera mendapatkan pertolongan.
Dan bukan
sekali merasa takut menolong. Seringkali saat berkendara sendiri, melintasi
persawahan yang tak berujung, jauh dari kampung, menjumpai orang yang berjalan
kaki. Jelas hendak ke tempat di ujung persawahan, dan pasti akan menempuh jarak
yang tidak jauh. Sempat terpikir untuk berhenti dan menawari tumpangan, namun
seringkali mengurungkan niat, hanya berani ketika yang terlihat secara fisik
jelas. Jelas membutuhkan, memakai seragam sekolah, atau yang sepertinya tidak
akan mampu berbuat anaiaya. Entahlah, standar sepihak yang sangat dipengaruhi
dugaan dan asumsi. Tak berani menolong sembarang orang, khawatir malah
dirugikan, takut jika malah dicelakai. Padahal belum pernah mengalami, hanya
bermodal informasi yang bertebaran akan maraknya kejahatan di pinggir jalan. Enggan
memberi kepada peminta karena pernah tau fakta pengemis yang berpura-pura,
padahal belum tentu yang lain berperilaku sama
Menolong
dalam kebaikan dan takwa, jelas sekali perintah dari Allah SWT. Rasulullah juga
pernah bersabda bahwa seseorang yang memudahkan urusan saudaranya,
menghilangkan kesulitan pada saudaranya maka akan dimudahkan dan dihilangkan kesulitannya
di akhirat kelak, bukan balasan yang remeh temeh, namun balasan luar biasa di
akhirat. Namun fakta berbicara lain, sistem hukum yang karut-marut,
kriminalitas yang sering terjadi, pelayanan aparat yang tak sepenuh hati,
seringkali membuat diri ini mengurungkan niat untuk sekadar membantu orang lain.
Apalagi
dalam sistem sekular dan penguasa yang dzalim, keadaan bisa berbalik. Yang baik
dikriminalisasi yang buruk disanjung setinggi langit, ketika standar yang
digunakan sebatas kepentingan dan materi. Lihat saja yang mudah terindera,
perlakuan kepada muslimah yang berkerudung lebar atau bercadar, seolah pantas
dicurigai sebagai penebar kejahatan. Sedangkan perempuan pengumbar aurat
dibiarkan leluasa tanpa hukuman. Atau kasus hukum yang tebang pilih. Semua yang
berseberangan dengan penguasa, rakyat miskin yang tak berharta, pegawai yang
tak punya kuasa begitu semena-mena diperlakukan di hadapan hukum. Sedangkan penista
agama, pengujar kebencian lambat kasusnya ditangani atau malah menguap begitu
saja. Asal berkoar-koar mereka Pancasila, mereka berteriak NKRI harga mati,
meski faktanya korupsi, tak mengapa. Asal mendukung penguasa.
Penguasa
yang dzalim. Dzalim adalah lawan dari adil, ketika adil bermakna melaksanakan
segala sesuatu sesuai timbangan syariat maka dzalim sebaliknya, tidak
menggunakan syariat sebagai timbangan, semena-mena, menggunakan hukum sesuai
hawa nafsu. Sistem yang individualis ini seolah berpesan kepada kita, jangan
berbuat baik. Urusi saja kepentingan sendiri. Jangan mencampuri urusan orang
lain. Suasana keimanan sangatlah jauh, visi hingga ke akhirat tak terbersit
dalam benak, yang ada adalah kepentingan dunia semata. Dan inilah karakter ideology
kapitalisme, akidahnya secular, liberalism menjadi rujukan.
Memang
membutuhkan waktu untuk memahami batilnya sistem kapitalisme, memang
membutuhkan waktu untuk menyadari fakta rusaknya kapitalisme, namun langkah itu
harus diawali dengan komitmen untuk mengkajinya secara khusus, mengkaji sistem
Islam dan sistem lain, agar semakin paham apa yang seharusnya dilakukan, agar
bisa memulai langkah perubahan.
Pare,
18 November 2018
No comments:
Post a Comment