Tuesday 19 January 2016

Mad Far’iy, Gharib-Musykilat, Sharaf dan Khilafah




Sejak dahulu ketika belajar tajwid lebih sering diawali dengan hukum nun sukun dan tanwin, sampai ke hukum mim sukun saja sudah merasa jauh, Alhamdulillah bisa sampai ke ikhfa’ syafawi. Setelah itu tidak istiqamah, berhenti. Mulai lagi, dapat materi yang sama lagi, berhenti lagi. Hukum mad pun paling-paling sebatas mad thabi’iy. Jadilah asing dengan hukum seputar mad far’iy, apalagi dengan bacaan gharib dan musykilat. Akhirnya wajar menganggap bacaan gharib itu sangat asing dan musykilat itu sangat sulit.

Sejak dahulu ketika belajar id bahasa Arab selalu dimulai dengan pembagian kalam. Pembahasan isim ya selalu diawali dengan berdasarkan jumlah benda, berdasarkan jenisnya, baku atau tidak. Pembahasan huruf paling-paling muter saja di huruf jar dan amil jar. Pembahasan fi’il berhenti pada fi’il tsulatsi mujarrad, pusing dan ga nyambung ketika masuk tsulatsi mazid. Tidak sanggup dengan hafalan wazan yang semakin mirip dan membingungkan. Belum dapat nahwu sudah herhenti belajar bahasa Arab. Kenal I’rab saja sudah luar biasa.

Sejak dahulu kajian kitab fikih mulai dari thaharah. Macam-macam air, najis, sampai mandi wajib saja Alhamdulillah. Jarang sampai bab mua’amalah, paling-paling langsung loncat ke bab jenazah. Bab uqubat sering belum tersampaikan. Jamaah kajian semakin berkurang. Dan akhirnya berhenti total.  Bagaimana mau sampai ke bab khilafah yang seringkali babnya di dalam kitab fikih diletakkan di belakang. Jadilah beranggapan pembahasan khilafah dianggap sebagai materi tingkat tinggi.

Itulah nasib jika kurang istiqamah dalam belajar. Ilmunya nambahnya sedikit-sedikit. Jika tidak ikhlas ya akan merasa tidak nambah karena ketika mengulang memang itu-itu saja yang dipelajari. Sudah gitu maunya belajar cara cepat.  Sehari lancar membaca Alquran, satu jam mengharakati kitab gundul, training sehari keislaman. Dan setelah itu merasa puas.

Karena muridnya tidak istiqamah, akhirnya guru mengajarnya juga mulai dari itu-itu saja. Belum sampai selesai muridnya sudah menyusut dan akhirnya menghilang. Jadilah motivasi menambah bahan ajar berkurang, karena ketika majelis dimulai lagi yang semangat sebagian kecil murid lama dan sebagian besar murid baru, materinya pun diputuskan mulai dari awal lagi. Terus saja berulang.

Begitulah, disaat pemikiran kapitalis sekuler mendominasi akhirnya dunia dan materi menjadi orientasi. Ilmu agama dianggap tidak bermanfaat dan bernilai. Apalagi dengan opini terorisme, radikalisme yang  diidentikkan dengan orang-orang yang mengkaji Islam secara intensif. Sikap radikal sering dikaitkan dengan keinginan untuk terikat pada hukum Islam secara kaffah dan semangat untuk menerapkannya dalam semua lini kehidupan. Belajar Islam pun dianggap semakin menakutkan. Tidak perlu fanatik, tidak perlu neko-neko. Dan taraf berfikir umat pun tidak akan meningkat. Diajak bangkit pun sangat sulit, merasa cukup dengan ilmu dan kondisi yang dimiliki. Bergembiralah musuh Islam, yang sadar bahwa umat Islam tidak akan berbahaya selama mereka jauh dari hukum Islam.

Jadi istiqamah saja ketika sudah berazzam untuk belajar. Baik itu terkait dengan ilmu diri sendiri, muamalah, maupun sistem yang lebih luas lagi. Jangan buru-buru menganggap tajwid, bahasa Arab itu sulit. Menganggap khilafah itu utopis. Belajar intensif tentang khilafah saja belum, sudah mengatakan khilafah itu sistem yang tidak layak diterapkan. Mari bersama menjaga keistiqamahan dalam kebaikan. Tidak bosan saling mengingatkan dalam kebaikan. 

Pare, 19 Januari 2016

No comments:

Post a Comment