Sejak dahulu ketika belajar
tajwid lebih sering diawali dengan hukum nun sukun dan tanwin, sampai ke hukum
mim sukun saja sudah merasa jauh, Alhamdulillah bisa sampai ke ikhfa’ syafawi.
Setelah itu tidak istiqamah, berhenti. Mulai lagi, dapat materi yang sama lagi,
berhenti lagi. Hukum mad pun paling-paling sebatas mad thabi’iy. Jadilah asing
dengan hukum seputar mad far’iy, apalagi dengan bacaan gharib dan musykilat.
Akhirnya wajar menganggap bacaan gharib itu sangat asing dan musykilat itu
sangat sulit.
Sejak dahulu ketika belajar id
bahasa Arab selalu dimulai dengan pembagian kalam. Pembahasan isim ya selalu
diawali dengan berdasarkan jumlah benda, berdasarkan jenisnya, baku atau tidak.
Pembahasan huruf paling-paling muter saja di huruf jar dan amil jar. Pembahasan
fi’il berhenti pada fi’il tsulatsi mujarrad, pusing dan ga nyambung ketika
masuk tsulatsi mazid. Tidak sanggup dengan hafalan wazan yang semakin mirip dan
membingungkan. Belum dapat nahwu sudah herhenti belajar bahasa Arab. Kenal
I’rab saja sudah luar biasa.
Sejak dahulu kajian kitab fikih
mulai dari thaharah. Macam-macam air, najis, sampai mandi wajib saja
Alhamdulillah. Jarang sampai bab mua’amalah, paling-paling langsung loncat ke
bab jenazah. Bab uqubat sering belum tersampaikan. Jamaah kajian semakin
berkurang. Dan akhirnya berhenti total. Bagaimana mau sampai ke bab khilafah yang
seringkali babnya di dalam kitab fikih diletakkan di belakang. Jadilah
beranggapan pembahasan khilafah dianggap sebagai materi tingkat tinggi.
Itulah nasib jika kurang
istiqamah dalam belajar. Ilmunya nambahnya sedikit-sedikit. Jika tidak ikhlas
ya akan merasa tidak nambah karena ketika mengulang memang itu-itu saja yang
dipelajari. Sudah gitu maunya belajar cara cepat. Sehari lancar membaca Alquran, satu jam
mengharakati kitab gundul, training sehari keislaman. Dan setelah itu merasa
puas.
Karena muridnya tidak istiqamah,
akhirnya guru mengajarnya juga mulai dari itu-itu saja. Belum sampai selesai
muridnya sudah menyusut dan akhirnya menghilang. Jadilah motivasi menambah
bahan ajar berkurang, karena ketika majelis dimulai lagi yang semangat sebagian
kecil murid lama dan sebagian besar murid baru, materinya pun diputuskan mulai
dari awal lagi. Terus saja berulang.
Begitulah, disaat pemikiran
kapitalis sekuler mendominasi akhirnya dunia dan materi menjadi orientasi. Ilmu
agama dianggap tidak bermanfaat dan bernilai. Apalagi dengan opini terorisme,
radikalisme yang diidentikkan dengan
orang-orang yang mengkaji Islam secara intensif. Sikap radikal sering dikaitkan
dengan keinginan untuk terikat pada hukum Islam secara kaffah dan semangat
untuk menerapkannya dalam semua lini kehidupan. Belajar Islam pun dianggap
semakin menakutkan. Tidak perlu fanatik, tidak perlu neko-neko. Dan taraf
berfikir umat pun tidak akan meningkat. Diajak bangkit pun sangat sulit, merasa
cukup dengan ilmu dan kondisi yang dimiliki. Bergembiralah musuh Islam, yang
sadar bahwa umat Islam tidak akan berbahaya selama mereka jauh dari hukum Islam.
Jadi istiqamah saja ketika sudah
berazzam untuk belajar. Baik itu terkait dengan ilmu diri sendiri, muamalah,
maupun sistem yang lebih luas lagi. Jangan buru-buru menganggap tajwid, bahasa
Arab itu sulit. Menganggap khilafah itu utopis. Belajar intensif tentang
khilafah saja belum, sudah mengatakan khilafah itu sistem yang tidak layak
diterapkan. Mari bersama menjaga keistiqamahan dalam kebaikan. Tidak bosan
saling mengingatkan dalam kebaikan.
Pare, 19 Januari 2016
No comments:
Post a Comment