Suatu hari membeli satu buku di toko
Me : “ Beli,
Dursul Lughah”
Penjual :
“ Jilid dua apa tiga ?”
Me : Njawab,
rodo isin, “ Satu “.
Penjual :
“ Ooo…satu ya” . Sepertinya ga percaya.
Mungkin dalam batinnya, harusnya ga jilid satu, mosok sih
belajar jilid satu.
Lain hari
Me : “ Beli
Nahwu Wadlih, jilid dua dan tiga”
Penjual :
“ Ibtidaiyah apa tsanawiyah?”
Me : Kaget,
bingung, memang sejak awal tidak tahu ada ibtidaiyah dan tsanawiyah. Membatin,
mosok ibtidiyah rek. PeDe jawab, “ Tsanawiyah”.
Penjual :
Mencarikan. “ Ini, tapi adanya jilid tiga saja”
Me : “ Ya ga pa
pa”. Buka-buka, ngecek isinya. Lha dalah… isine kok koyo ngene, pelajaran
tingkat dewa. Nanya lagi, “ Kalo yang ibtidaiyah ada?”
Penjual :
“ Ya, ada. Sebentar”. Tak berapa lama kasih dua buku
Me : “ Ya, ini
juga saya beli”. Karo mbatin, he…he…sakjane sing tak goleki iki. Nahwu untuk
ibtidaiyah.
Nyampe rumah, ngematke buku yang jilid satu
memang dengan jelas tertulis :
لمدارس المرحلة الأولى
الجزء الأول
Padahal kaidah-kaidahnya seperti itu lha kok
ya untuk ibtidaiyah.
Ketika pertama kali membaca-baca buku pelajaran Sejarah
Kebudayaan Islam (SKI) kelas 4 MI, nemu ayat
فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ
|
Maka sampaikanlah
olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan dan berpalinglah
dari orang-orang yang musyrik ( Al Hijr ayat 94)
|
Padahal ngeh dengan ayat tersebut ketika ngaji tahapan
dakwah Rasulullah saw, pas kuliah. Berarti dulu belajarnya materi anak
ibtidaiyah.
Memang dulu tidak sekolah di Madrasah, jadilah kuper n
kurin. Tak terpikir sama sekali mencari tahu apa saja aktivitas Rasulullah saw.
Pelajaran SKI kelas 3 tentang kehidupan Nabi Muhammad
sebelum jadi Rasulullah.
SKI kelas 4 tentang dakwah Rasulullah bersama para sahabat,
mulai dari sembunyi-sembunyi hingga terang-terangan. Juga tentang ujian dakwah.
SKI kelas 5 tentang dakwah Rasulullah di Madinah, setelah
Negara Madinah berdiri. Juga tentang berbagai peperangan Rasulullah.
SKI kelas 6 tentang Khulafurrasyidin dan penyebaran Islam hingga
ke Indonesia.
Dan itu semua baru tergambar dan teralur ketika belajar
kitab Daulah Islamiyah
Ngajine sih tingkatan Ibtidaiyah… tapi jika terus sabar
tidak hanya dapat materi kelas ibtidaiyah. Tidak berhenti belajar sebatas
informasi, ada analisis yang mendalam terkait dakwah Rasulullah saw mulai awal,
dilanjutkan para khalifah, hingga runtuhnya khilafah terakhir. Meneladani jejak
Rasul, mengambil pelajaran dari lemahnya hingga runtuhnya khilafah. Tidak
mengulangi kelamnya sejarah.
Tak apa belajar materi ibtidaiyah, jangan berhenti terus
menuntut ilmu, manfaatkan waktu yang tersisa untuk mengejar ketertinggalan.
Belajarlah dari Abu Hurairah. Masuk Islam di tahun ketujuh hijriyah, hanya
mengenyam waktu empat tahun bersama Rasulullah saw. Tidak melewatkan sedikitpun
kesempatan untuk terus berada di majelis Rasulullah. Dan hasilnya banyak sekali
kita dapati hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Beliau menyadari terlambat
mengenal Islam, namun tak menyiakan waktu yang tersisa bersama Rasulullah saw.
Tak ada kata terlambat untuk terus mencari ilmu, untuk
memastikan amal kita sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan Rasulullah.
Bukan amal asal-asalan tanpa ilmu.
Terlambat belajar Islam bukan berarti sudah tidak ada
kesempatan
Jangan berhenti menuntut ilmu selama nafas masih di kandung
badan
Kejarlah ketertinggalan dengan sungguh-sungguh dalam
menuntut ilmu
Jangan malah menyia-nyiakan waktu dengan aktivitas tak
bermutu
Mengejar dunia tanpa henti tanpa berpikir mencari bekal di
akhirat
Mengisi hari dengan mengejar materi karena takut melarat
Jangan biarkan rasa malas menguasai
Jangan biarkan rasa putus asa menghalangi
Never ending improvement
Pare, 14 November 2015
No comments:
Post a Comment