Wednesday 10 April 2019

Pendidikan Murah, Hanya Dengan Sistem Khilafah


Sumber gambar : indovoice.com

Permasalahan kembali mendera pendidikan tinggi. Penerapan Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) ketika masuk perguruan tinggi masih dipenuhi masalah ketersediaan fasilitas. Saat meninjau simulasi Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) di lokasi tes Kampus Universitas Diponegoro (Undip) di Semarang, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir meminta Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) dan panitia UTBK lokal untuk menginstall aplikasi UTBK dan mengunduh seluruh soal sebelum Tes Gelombang Pertama UTBK dilakukan. Hal ini untuk mengantisipasi koneksi internet yang terlalu padat apabila semua lokasi tes mengunduh soal menjelang atau pada saat tanggal tes (ristekdikti.go.id). dan lagi-lagi permasalahannya adalah minimnya biaya yang digelontorkan pemerintah demi peningkatan fasilitas pendidikan.
Permasalahan mahalnya biaya pendidikan di perguruan tinggi pun masih mendominasi alasan lulusan SMA/SMK tidak melanjutkan kuliah.  Seperti yang diberitakan Riset yang dilakukan Haruka Evolusi Digital Utama (HarukaEDU) di 2018 menyebutkan, 79% lulusan SMA/SMK yang sudah bekerja tertarik untuk melanjutkan kuliah lagi.  Namun 66% responden di antaranya urung kuliah karena mengaku terkendala biaya. Seperti hasil survei yang dimuat di m.medcom.id : CEO HarukaEDU, Novistiar Rustandi mengungkapkan, tingkat aksesibilitas masyarakat terhadap dunia pendidikan tergolong masih rendah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah siswa di Indonesia yang melanjutkan ke perguruan tinggi meningkat setiap tahunnya, yakni pada tahun ajaran 2010/2011 terdapat 1,08 juta mahasiswa baru dan di tahun 2014/2015 mencapai 1,45 juta mahasiswa baru. "Namun, hanya 8,15 persen dari total penduduk usia 15 tahun ke atas yang berhasil menyelesaikan pendidikannya ke tingkat perguruan tinggi," kata Novistiar, di Jakarta, Senin 24 Desember 2018. Salah satu kendala yang banyak ditemui oleh para lulusan SMA dan SMK untuk langsung melanjutkan ke perguruan tinggi di antaranya adalah persoalan biaya.  Bahkan persoalan biaya juga masih membayangi para lulusan SMA/SMK tersebut, meskipun mereka telah bekerja dan memiliki penghasilan. "Dari hasil riset kami, ada 66% pekerja lulusan SMA/SMK kesulitan biaya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. meskipun mereka ingini sekali kuliah lagi," terang Dia.
Solusi yang ditawarkan pemerintah, di antaranya adalah program Bidikmisi dan beasiswa LPDP belum dinikmati oleh seluruh lulusan SMA/SMK. Bidikmisi sebagai implementasi Program Indonesia Pintar (PIP)  dan Program Keluarga Harapan (PKH) masih sebatas ajang pencitraan, seolah pemerintah peduli dengan pendidikan, padahal nyatanya program ini masih dipenuhi permasalahan minimnya penerima dan tidak tepat sasaran untuk tujuan pendidikan. Sedangkan beasiswa LPDP juga hanya dinikmati segelintir orang saja. Tentu semua ini sangat kontradiktif dengan amanah undang-undang yang seharusnya pendidikan adalah hak seluruh warga negara, tanpa pandang bulu, negara wajib menjamin seluruh rakyatnya untuk mengenyam pendidikan setinggi mungkin.
Permasalahan pembiayaan bidang pendidikan tidak bisa dilepaskan dari tata kelola APBN negeri ini. Kebijakan rezim kapitalistis membuat negara menganaktirikan bidang pendidikan. Karena pendidikan tidak terlalu memberikan kontribusi keuntungan berupa masuknya pundi-pundi uang ke dalam APBN, yang ada malah menggerogoti APBN. Akar masalahnya belum berhenti sampai di sini. Pembangunan berbasis utang dan pemasukan yang ditopang pajak menjadi salah satu pemicu masalah minimnya anggaran pendidikan. Belum lagi utang berkedok investasi yang semakin membelit pemasukan negara. Sumber daya alam yang banyak dikuasai swasta dan asing, infrastruktur yang dikelola asing membuat negara tidak mempunyai kewenangan penuh untuk mengelola ditambah lagi dengan semakin tersanderanya negara oleh utang luar negeri yang semakin membuat kebijakan negara didikte lembaga pemberi utang.
Oleh karena itu, ketika negeri ini menginginkan pendidikan murah, sudah tentu tidak boleh tetap menggunakan solusi tambal sulam yang tidak menyelesaikan permasalahan utama, yaitu kesalahan tata kelola perekonomian negara. Untuk mewujudkan pendidikan murah diperlukan gebrakan, perubahan mendasar yang bersifat sistemik. Dan satu-satunya alternatife adalah dengan menggunakan cara yang telah diwariskan Rasulullah saw dan dilanjutkan para khalifah setelah beliau, yaitu dengan menerapkan sistem islam, baik dalam pembiayaan pendidikan maupun sistem pendidikan itu sendiri. System yang berpijak pada syariat Islam yang digali dari Alquran, Hadits dan Ijma’ sahabat.
Dalam sistem islam, pendidikan dipandang sebagai kebutuhan mendasar seluruh warga negara, maka negara berkewajiban untuk menjamin dan memastikan seluruh warga negaranya memperoleh pendidikan setinggi mungkin. Pembiayaan pendidikan diambilkan dari baitul mal. Ada beberapa pos pemasukan yang bisa dibelanjakan untuk kepentingan kemaslahatan rakyat, di antaranya adalah pendidikan. Di antara pos yang tersebut yaitu fa’i, kharaj dan pemasukan dari pengelolaan kepemilikan umum. Jika dari pos-pos tersebut belum mencukupi maka diperbolehkan menarik pajak, dengan catatan pajak hanya ditarik sementara sesuai kebutuhan, bukan seperti sistem saat ini yang menjadikan pajak sebagai penopang utama pemasukan APBN.
Untuk saat ini, di saat khilafah belum tegak, pos yang bisa dijadikan sebagai sumber pembiayaan adalah pos kepemilikan umum. Jika negara benar-benar peduli dengan pendidikan, maka akan segera mengevaluasi tata kelola kepemilikan umum yang salah satunya adalah sumber daya alam yang melimpah, atau SDA yang mengusai hajat hidup rakyat Indonesia. Memang ini membutuhkan kemauan luat dari pemerintah untuk mengambil alih pengeloaan SDA dari swasta-asing. Namun dengan karakter penguasa yang menerapkan sistem kapitalis-sekular, memang peluangnya sangat kecil. Oleh karena itu jika menginginkan perubahan total hanya bisa diwujudkan dengan sistem khilafah yang akan menerapkan Islam secara kaffah dan menjadikannya rahmat bagi seluruh alam. Wallahu a’lam bishawab.











No comments:

Post a Comment