Sumber gambar : indovoice.com
Permasalahan
kembali mendera pendidikan tinggi. Penerapan Ujian Tulis Berbasis Komputer
(UTBK) ketika masuk perguruan tinggi masih dipenuhi masalah ketersediaan
fasilitas. Saat meninjau simulasi Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) di
lokasi tes Kampus Universitas Diponegoro (Undip) di Semarang, Menteri Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir meminta Lembaga Tes Masuk
Perguruan Tinggi (LTMPT) dan panitia UTBK lokal untuk menginstall aplikasi UTBK
dan mengunduh seluruh soal sebelum Tes Gelombang Pertama UTBK dilakukan. Hal
ini untuk mengantisipasi koneksi internet yang terlalu padat apabila semua
lokasi tes mengunduh soal menjelang atau pada saat tanggal tes (ristekdikti.go.id). dan lagi-lagi permasalahannya adalah minimnya
biaya yang digelontorkan pemerintah demi peningkatan fasilitas pendidikan.
Permasalahan
mahalnya biaya pendidikan di perguruan tinggi pun masih mendominasi alasan
lulusan SMA/SMK tidak melanjutkan kuliah.
Seperti yang diberitakan Riset
yang dilakukan Haruka Evolusi Digital Utama (HarukaEDU) di 2018 menyebutkan,
79% lulusan SMA/SMK yang sudah bekerja tertarik untuk melanjutkan kuliah
lagi. Namun 66% responden di antaranya urung kuliah karena mengaku
terkendala biaya. Seperti hasil survei yang dimuat di m.medcom.id : CEO HarukaEDU,
Novistiar Rustandi mengungkapkan, tingkat aksesibilitas masyarakat terhadap
dunia pendidikan tergolong masih rendah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
(BPS), jumlah siswa di Indonesia yang melanjutkan ke perguruan tinggi meningkat
setiap tahunnya, yakni pada tahun ajaran 2010/2011 terdapat 1,08 juta mahasiswa
baru dan di tahun 2014/2015 mencapai 1,45 juta mahasiswa baru. "Namun,
hanya 8,15 persen dari total penduduk usia 15 tahun ke atas yang berhasil menyelesaikan
pendidikannya ke tingkat perguruan tinggi," kata Novistiar, di Jakarta,
Senin 24 Desember 2018. Salah satu kendala yang banyak ditemui oleh para
lulusan SMA dan SMK untuk langsung melanjutkan ke perguruan tinggi di antaranya
adalah persoalan biaya. Bahkan persoalan biaya juga masih membayangi para
lulusan SMA/SMK tersebut, meskipun mereka telah bekerja dan memiliki
penghasilan. "Dari hasil riset kami, ada 66% pekerja lulusan SMA/SMK
kesulitan biaya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. meskipun mereka ingini
sekali kuliah lagi," terang Dia.
Solusi yang ditawarkan pemerintah,
di antaranya adalah program Bidikmisi dan beasiswa LPDP belum dinikmati oleh
seluruh lulusan SMA/SMK. Bidikmisi sebagai implementasi
Program Indonesia Pintar (PIP) dan Program Keluarga Harapan (PKH) masih
sebatas ajang pencitraan, seolah pemerintah peduli dengan pendidikan, padahal
nyatanya program ini masih dipenuhi permasalahan minimnya penerima dan tidak
tepat sasaran untuk tujuan pendidikan. Sedangkan beasiswa LPDP juga hanya
dinikmati segelintir orang saja. Tentu semua ini sangat kontradiktif dengan
amanah undang-undang yang seharusnya pendidikan adalah hak seluruh warga
negara, tanpa pandang bulu, negara wajib menjamin seluruh rakyatnya untuk
mengenyam pendidikan setinggi mungkin.
Permasalahan
pembiayaan bidang pendidikan tidak bisa dilepaskan dari tata kelola APBN negeri
ini. Kebijakan rezim kapitalistis membuat negara menganaktirikan bidang
pendidikan. Karena pendidikan tidak terlalu memberikan kontribusi keuntungan
berupa masuknya pundi-pundi uang ke dalam APBN, yang ada malah menggerogoti
APBN. Akar masalahnya belum berhenti sampai di sini. Pembangunan berbasis utang
dan pemasukan yang ditopang pajak menjadi salah satu pemicu masalah minimnya
anggaran pendidikan. Belum lagi utang berkedok investasi yang semakin membelit pemasukan
negara. Sumber daya alam yang banyak dikuasai swasta dan asing, infrastruktur
yang dikelola asing membuat negara tidak mempunyai kewenangan penuh untuk
mengelola ditambah lagi dengan semakin tersanderanya negara oleh utang luar
negeri yang semakin membuat kebijakan negara didikte lembaga pemberi utang.
Oleh
karena itu, ketika negeri ini menginginkan pendidikan murah, sudah tentu tidak
boleh tetap menggunakan solusi tambal sulam yang tidak menyelesaikan
permasalahan utama, yaitu kesalahan tata kelola perekonomian negara. Untuk
mewujudkan pendidikan murah diperlukan gebrakan, perubahan mendasar yang
bersifat sistemik. Dan satu-satunya alternatife adalah dengan menggunakan cara
yang telah diwariskan Rasulullah saw dan dilanjutkan para khalifah setelah
beliau, yaitu dengan menerapkan sistem islam, baik dalam pembiayaan pendidikan
maupun sistem pendidikan itu sendiri. System yang berpijak pada syariat Islam
yang digali dari Alquran, Hadits dan Ijma’ sahabat.
Dalam
sistem islam, pendidikan dipandang sebagai kebutuhan mendasar seluruh warga
negara, maka negara berkewajiban untuk menjamin dan memastikan seluruh warga
negaranya memperoleh pendidikan setinggi mungkin. Pembiayaan pendidikan
diambilkan dari baitul mal. Ada beberapa pos pemasukan yang bisa
dibelanjakan untuk kepentingan kemaslahatan rakyat, di antaranya adalah
pendidikan. Di antara pos yang tersebut yaitu fa’i, kharaj dan pemasukan
dari pengelolaan kepemilikan umum. Jika dari pos-pos tersebut belum mencukupi
maka diperbolehkan menarik pajak, dengan catatan pajak hanya ditarik sementara
sesuai kebutuhan, bukan seperti sistem saat ini yang menjadikan pajak sebagai
penopang utama pemasukan APBN.
Untuk
saat ini, di saat khilafah belum tegak, pos yang bisa dijadikan sebagai sumber
pembiayaan adalah pos kepemilikan umum. Jika negara benar-benar peduli dengan
pendidikan, maka akan segera mengevaluasi tata kelola kepemilikan umum yang
salah satunya adalah sumber daya alam yang melimpah, atau SDA yang mengusai
hajat hidup rakyat Indonesia. Memang ini membutuhkan kemauan luat dari
pemerintah untuk mengambil alih pengeloaan SDA dari swasta-asing. Namun dengan
karakter penguasa yang menerapkan sistem kapitalis-sekular, memang peluangnya
sangat kecil. Oleh karena itu jika menginginkan perubahan total hanya bisa
diwujudkan dengan sistem khilafah yang akan menerapkan Islam secara kaffah dan
menjadikannya rahmat bagi seluruh alam. Wallahu a’lam bishawab.
No comments:
Post a Comment