m.infospesial.net
(Abaikan banyaknya uang yang di gambar, nafkah itu tidak identik dengan banyaknya nominal)
Nulis ini karena dapat cerita
dari orang yang diceritani orang lain (ga jelas kan?). Seorang istri yang
dipoligami curhat pada temannya tentang nafkah belanja yang dia rasakan sangat
kurang. Jika dapat cerita seperti ini
baper tingkat tinggi dech, jujur tidak
suka. Teorinya, menikah itu ibadah, ya sudah disyukuri saja ,sekuat mungkin
tidak mengeluh ke orang lain. Masalah rumah tangga itu diusahakan diselesaikan
secara personal dulu, langsung komunikasikan baik-baik dengan pasangan, belum
tentu juga yang diceritani bisa langsung memberi solusi, belum tentu juga
suaminya sadar akan kekurangannya. Beda lagi jika dalam system khilafah
Islamiyah, dimana Negara bisa memberi tindakan tegas pada laki-laki mampu yang
mangkir dari kewajiban memberi nafkah. Hari gini lapor ke pengadilan ,ke Komisi
Perlindungan Anak dan Perempuan, lapor ke komnas HAM, lapor ke polisi ya hanya
bikin susah saja. Tidak menyelesaikan masalah. Standarnya bukan hukum syara’.
Menanggapi tentang keluhan istri
yang dipoligami, pertama tetap menghukumi poligami sebagai aktivitas mubah,
dilakukan boleh tidak dilakukan juga boleh ( sudah ada dalam tulisan :
Poligami dan
Jika Tidak Poligami, Apa Alternatif Solusinya ? ). Namun salah satu hal yang harus selalu
diperhatikan oleh suami adalah sikap agar tidak mendzalimi istri-istrinya :
Siapa saja
yang mempunyai dua
orang isteri, lalu
ia lebih cenderung kepada salah
satu dan mengabaikan yang lain, niscaya ia akan datang pada hari Kiamat nanti
berjalan sementara salah satu kakinya lumpuh atau pincang.” (HR Ibn Hibbân di
dalam Shahîh-nya).
Salah satu kedzaliman yang
mungkin terjadi adalah dalam hal nafkah belanja. Jadi masalah nafkah ini tidak
boleh diabaikan begitu saja, apalagi Allah juga mengingatkan para suami agar
memberikan yang terbaik untuk para istri : tempatkanlah (para istri) di tempat
tinggal kalian, sesuai dengan kemampuan kalian, dan janganlah kalian
menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka (QS: Ath Thalaq ayat 6).
Pada masa Rasulullah pernah ada
yang mengadu :
Imam Bukhari dan Imam Ahmad
meriwayatkan hadits dari Aisyah ra, bahwa Hindun binti Utbah mengatakan : Wahai
Rasulullah, Abu Sufyan adalah orang yang bakhil, yang tidak pernah memberiku
nafkah yang bisa mencukupiku serta anak-anakku, kecuali nafkah yang aku ambil
darinya ketika dia tidak tahu (lengah). Jawab Nabi saw, “Ambillah, nafkah yang
bisa mencukupimu serta anak-anakmu, sewajarnya saja.
Tidak hanya pada kasus poligami
saja sih, monogami juga, intinya nafkah adalah kewajiban suami, jangan sampai yang wajib
terlalaikan. Baiknya istri pandai bersyukur, suami maksimal memberikan yang
terbaik. Lagian standar kecukupan nafkah itu sederhana saja tidak perlu
dipersulit.
Terkait standar kecukupan nafkah
bisa dibaca di tulisan K.H. Hafidz Abdurrahman berikut ini :
STANDAR KECUKUPAN NAFKAH & Siapa Yang
Menafkahi Jika Suami Tidak Mampu?
Soal:
Apa ukuran dan kriteria
kecukupan nafkah yang diberikan seorang suami kepada istri dan anak-anaknya
menurut pandangan Islam? Siapa pula yang diwajibkan untuk memenuhi nafkah jika
suami (atau ayah) tidak mampu?
Jawab:
Salah satu kewajiban seorang suami terhadap anak-anak dan istrinya adalah
kewajiban memberi nafkah. Allah Swt. memaparkannya di dalam al-Quran:
]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ[
Kewajiban
ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. (QS
al-Baqarah [2]: 233).
Yang dimaksudkan dengan rezeki pada ayat di atas adalah
nafkah. Ibn
Katsir menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut:
Seorang ayah harus memberikan
nafkah dan pakaian kepada anak-anaknya (juga istrinya) dengan cara yang makruf.
Yang dimaksud dengan makruf disini adalah yang sesuai dengan adat istiadat
(kebiasaan) bagi para wanita di negeri tersebut, asalkan tidak boros dan tidak
kekurangan; juga sesuai dengan kemampuan ayah (atau suami) secara proporsinal.
(Ibn Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr, jld. I/351).
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa seorang suami atau ayah wajib hukumnya
memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Cakupan pemberian nafkahnya
meliputi: kebutuhan makan dan minum, pakaian, tempat tinggal, pembantu rumah
tangga (jika istrinya tidak sanggup), dan kebutuhan-kebutuhan wajib/pokok
lainnya yang biasa diperlukan bagi istri dan anak-anaknya. Hal ini diperkuat
oleh firman Allah Swt. lainnya:
]أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ[
Tempatkanlah mereka (para
istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu. (QS ath-Thalaq [65]:
6).
Berkaitan dengan seberapa besarnya nafkah yang diberikan kepada anak-anak
dan istri, al-Quran menggunakan kata-kata bi al-ma‘rûf (dengan
cara yang makruf), yaitu sesuai dengan kebutuhan istri dan anak-anaknya, atau
sesuai dengan standar hidup masyarakat di negeri tempat tinggal istri dan
anak-anaknya, atau sesuai dengan tingkat/derajat sosial istri dan anak-anaknya
di tengah-tengah masyarakat. Semua itu menjadi unsur-unsur penting bagi seorang
ayah atau suami dalam memberikan nafkahnya. Rasulullah saw. menjelaskan lebih
detail bentuk makruf tersebut dalam hadis berikut. Mu‘awiyah menuturkan bahwa
al-Qusyairi pernah berkata, “Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah hak
seorang istri dari kami kepada suaminya?” Rasulullah saw. menjawab:
«أَطْعِمُوهُنَّ مِمَّا تَأْكُلُونَ وَاكْسُوهُنَّ مِمَّا تَكْتَسُونَ وَلاَ تَضْرِبُوهُنَّ وَلاَ تُقَبِّحُوهُنَّ»
Engkau memberinya makan sesuai dengan apa yang engkau makan.
Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian. Janganlah engkau
memukul mukanya. Janganlah engkau menjelek-jelekkannya. (HR Abu Dawud).
Imam Malik berpendapat bahwa
besarnya nafkah itu tidak ditentukan berdasarkan ketentuan syariat,
melainkan
berdasarkan keadaan masing-masing suami dan istri. Hal ini
berbeda-beda sesuai dengan perbedaan tempat (negeri), waktu, dan keadaan.
Demikian pula pendapat Imam Abu Hanifah. (Lihat: Ibn Rusyd, Bidâyah
al-Mujtahid, jld. II/41).
Rasulullah saw. pernah memperoleh pengaduan dari istri
Abu Sufyan yang tidak memperoleh nafkah yang mencukupi bagi dirinya dan
anak-anaknya. Padahal, status sosial dan ekonomi Abu Sufyan di tengah-tengah
masyarakat sangatlah memadai.
«عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي إلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ فَقَالَ خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ»
Aisyah menceritakan bahwa
Hindun binti Utbah pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan
adalah orang yang kikir. Ia tidak mau memberi nafkah kepadaku dan anakku,
sehingga aku mesti mengambil (nafkah)-nya tanpa sepengetahuannya.” Rasulullah
menjawab, “Ambillah apa yang mencukupi bagimu dan anakmu dengan cara yang
makruf.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Teks hadis tersebut menegaskan bahwa nafkah adalah hak
bagi istri dan anak-anak. Apabila seorang ayah atau suami tidak memberikan
nafkah secara mencukupi, padahal ia mampu, maka Rasulullah saw. membolehkan
bagi istri untuk mengambilnya (walaupun) tanpa sepengetahuan suaminya secara
mencukupi, artinya tidak berlebih-lebihan.
Meskipun demikian, apabila seorang suami atau ayah—setelah berusaha keras atau
karena suatu sebab—tetap tidak mampu mencukupi kebutuhan (nafkah) bagi istri
dan anak-anaknya, maka Allah Swt. tidak memaksakan hal itu kepadanya. Allah Swt. berfirman:
]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا[
Kewajiban
ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf.
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. (QS
al-Baqarah [2]: 233).
Lalu, kepada siapa beban untuk mencukupi nafkah tersebut berpindah? Di dalam
sistem ekonomi Islam yang berkaitan dengan kewajiban nafkah, problematika
semacam ini—yang biasa dijumpai di tengah-tengah masyarakat—dipecahkan secara
jitu melalui tahap peralihan beban, yaitu:
1. Jika
seorang ayah atau suami tidak mampu lagi memberikan nafkah kepada orang-orang
yang wajib ditanggungnya, maka kewajiban tersebut berpindah kepada
saudara-saudaranya atau karib kerabatnya, seperti kakaknya (yang laki-laki),
pamannya, dan seterusnya.
2. Jika
pihak saudara juga tidak mampu, maka kewajiban tersebut berpindah kepada kaum
Muslim yang menjadi tetangganya.
3. Jika
masyarakat (tetangga) yang menjadi komunitas tempat tinggalnya juga tidak mampu
(baik karena miskin atau fakir), maka Islam mengalihkan beban tersebut kepada
negara atau khalifah. Rasulullah saw. bersabda:
«اَلإِمَامُ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ»
Seorang imam (khalifah) itu
bagaikan penggembala (pemimpin). Ia bertanggung jawab terhadap (keadaan) apa
yang dipimpinnya. (HR
al-Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, sistem Islam adalah satu-satunya sistem yang memecahkan
masalah nafkah dengan cara terintegrasi. Islam tidak membiarkannya begitu saja
ditangani oleh individu-individu, karena bisa saja seorang suami atau ayah
berada dalam kondisi yang tidak mampu; baik karena cacat, sakit, tua renta,
atau sebab-sebab lain. Negara atau khalifahlah yang menjadi penanggung jawab
atas seluruh keadaan masyarakatnya, karena memang itulah fungsi dan kewajiban
negara, yaitu mengatur dan memelihara urusan-urusan masyarakat; termasuk
kecukupan nafkah setiap rakyatnya.
Wallâhu a‘lam. [KH. Hafidz
Abdurrahman]