Saturday, 30 December 2017

Renungan Akhir 2017


2017 sebentar lagi berlalu, 2018 sudah di hadapan
Ada banyak hal yang belum bisa diwujudkan
Ada banyak hal yang tidak sesuai harapan
Namun selalu mengingat ada banyak kenikmatan
Jadi tak layak hidup berkubang penyesalan

Kembali mengingat siapa yang mencipkan kita
Untuk apa hidup di dunia
Kemana setelah tubuh tak lagi bernyawa
Apa saja yang sudah disiapkan sebagai bekal di alam baqa
Sudahkah menjalani hidup sesuai dengan syariatNya
Sudahkah menjauhi larangan yang sudah ditetapkanNya

Hidup di dunia hanya sementara
Tak seharusnya membuat kita lupa
Mengejar kebahagiaan dunia semata
Tanpa berpikir akan masuk surga atau neraka
Terjebak mengejar kenikmatan dunia yang hanya fatamorgana

Terus mensyukuri nikmat yang tak bisa dihitung
Terus memperbaiki diri sesuai dengan syariat dari Yang Maha Agung
Terus menambah ilmu agar tak seperti katak dalam tempurung
Berpedoman pada Alqur’an dan Hadits agar tidak bingung

Pare, 30 Desember 2017

Friday, 15 December 2017

Mubah Poligami Wajib Menafkahi

m.infospesial.net
(Abaikan banyaknya uang yang di gambar, nafkah itu tidak identik dengan banyaknya nominal)

Nulis ini karena dapat cerita dari orang yang diceritani orang lain (ga jelas kan?). Seorang istri yang dipoligami curhat pada temannya tentang nafkah belanja yang dia rasakan sangat kurang. Jika dapat cerita  seperti ini baper tingkat tinggi dech,  jujur tidak suka. Teorinya, menikah itu ibadah, ya sudah disyukuri saja ,sekuat mungkin tidak mengeluh ke orang lain. Masalah rumah tangga itu diusahakan diselesaikan secara personal dulu, langsung komunikasikan baik-baik dengan pasangan, belum tentu juga yang diceritani bisa langsung memberi solusi, belum tentu juga suaminya sadar akan kekurangannya. Beda lagi jika dalam system khilafah Islamiyah, dimana Negara bisa memberi tindakan tegas pada laki-laki mampu yang mangkir dari kewajiban memberi nafkah. Hari gini lapor ke pengadilan ,ke Komisi Perlindungan Anak dan Perempuan, lapor ke komnas HAM, lapor ke polisi ya hanya bikin susah saja. Tidak menyelesaikan masalah. Standarnya bukan hukum syara’.

Menanggapi tentang keluhan istri yang dipoligami, pertama tetap menghukumi poligami sebagai aktivitas mubah, dilakukan boleh tidak dilakukan juga boleh ( sudah ada dalam tulisan : Poligami dan Jika Tidak Poligami, Apa Alternatif Solusinya ? ). Namun salah satu hal yang harus selalu diperhatikan oleh suami adalah sikap agar tidak mendzalimi istri-istrinya :
Siapa  saja  yang  mempunyai  dua  orang  isteri,  lalu  ia  lebih cenderung kepada salah satu dan mengabaikan yang lain, niscaya ia akan datang pada hari Kiamat nanti berjalan sementara salah satu kakinya lumpuh atau pincang.” (HR Ibn Hibbân di dalam Shahîh-nya).

Salah satu kedzaliman yang mungkin terjadi adalah dalam hal nafkah belanja. Jadi masalah nafkah ini tidak boleh diabaikan begitu saja, apalagi Allah juga mengingatkan para suami agar memberikan yang terbaik untuk para istri : tempatkanlah (para istri) di tempat tinggal kalian, sesuai dengan kemampuan kalian, dan janganlah kalian menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka (QS: Ath Thalaq ayat 6).

Pada masa Rasulullah pernah ada yang mengadu :
Imam Bukhari dan Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Aisyah ra, bahwa Hindun binti Utbah mengatakan : Wahai Rasulullah, Abu Sufyan adalah orang yang bakhil, yang tidak pernah memberiku nafkah yang bisa mencukupiku serta anak-anakku, kecuali nafkah yang aku ambil darinya ketika dia tidak tahu (lengah). Jawab Nabi saw, “Ambillah, nafkah yang bisa mencukupimu serta anak-anakmu, sewajarnya saja.

Tidak hanya pada kasus poligami saja sih, monogami juga, intinya nafkah adalah kewajiban suami, jangan sampai yang wajib terlalaikan. Baiknya istri pandai bersyukur, suami maksimal memberikan yang terbaik. Lagian standar kecukupan nafkah itu sederhana saja tidak perlu dipersulit.


Terkait standar kecukupan nafkah bisa dibaca di tulisan K.H. Hafidz Abdurrahman berikut ini :
STANDAR KECUKUPAN NAFKAH & Siapa Yang Menafkahi Jika Suami Tidak Mampu?
Soal:
Apa ukuran dan kriteria kecukupan nafkah yang diberikan seorang suami kepada istri dan anak-anaknya menurut pandangan Islam? Siapa pula yang diwajibkan untuk memenuhi nafkah jika suami (atau ayah) tidak mampu?

Jawab:
            Salah satu kewajiban seorang suami terhadap anak-anak dan istrinya adalah kewajiban memberi nafkah. Allah Swt. memaparkannya di dalam al-Quran:

]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ[
Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. (QS al-Baqarah [2]: 233).

Yang dimaksudkan dengan rezeki pada ayat di atas adalah nafkah. Ibn Katsir menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut:

Seorang ayah harus memberikan nafkah dan pakaian kepada anak-anaknya (juga istrinya) dengan cara yang makruf. Yang dimaksud dengan makruf disini adalah yang sesuai dengan adat istiadat (kebiasaan) bagi para wanita di negeri tersebut, asalkan tidak boros dan tidak kekurangan; juga sesuai dengan kemampuan ayah (atau suami) secara proporsinal. (Ibn Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr, jld. I/351).

            Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa seorang suami atau ayah wajib hukumnya memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Cakupan pemberian nafkahnya meliputi: kebutuhan makan dan minum, pakaian, tempat tinggal, pembantu rumah tangga (jika istrinya tidak sanggup), dan kebutuhan-kebutuhan wajib/pokok lainnya yang biasa diperlukan bagi istri dan anak-anaknya. Hal ini diperkuat oleh firman Allah Swt. lainnya:

]أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ[
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu. (QS ath-Thalaq [65]: 6).

             Berkaitan dengan seberapa besarnya nafkah yang diberikan kepada anak-anak dan istri, al-Quran menggunakan kata-kata bi al-ma‘rûf (dengan cara yang makruf), yaitu sesuai dengan kebutuhan istri dan anak-anaknya, atau sesuai dengan standar hidup masyarakat di negeri tempat tinggal istri dan anak-anaknya, atau sesuai dengan tingkat/derajat sosial istri dan anak-anaknya di tengah-tengah masyarakat. Semua itu menjadi unsur-unsur penting bagi seorang ayah atau suami dalam memberikan nafkahnya. Rasulullah saw. menjelaskan lebih detail bentuk makruf tersebut dalam hadis berikut. Mu‘awiyah menuturkan bahwa al-Qusyairi pernah berkata, “Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah hak seorang istri dari kami kepada suaminya?” Rasulullah saw. menjawab:

«أَطْعِمُوهُنَّ مِمَّا تَأْكُلُونَ وَاكْسُوهُنَّ مِمَّا تَكْتَسُونَ وَلاَ تَضْرِبُوهُنَّ وَلاَ تُقَبِّحُوهُنَّ»
Engkau memberinya makan sesuai dengan apa yang engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian. Janganlah engkau memukul mukanya. Janganlah engkau menjelek-jelekkannya. (HR Abu Dawud).

Imam Malik berpendapat bahwa besarnya nafkah itu tidak ditentukan berdasarkan ketentuan syariat, melainkan           berdasarkan keadaan masing-masing suami dan istri. Hal ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan tempat (negeri), waktu, dan keadaan. Demikian pula pendapat Imam Abu Hanifah. (Lihat: Ibn Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid, jld. II/41).
Rasulullah saw. pernah memperoleh pengaduan dari istri Abu Sufyan yang tidak memperoleh nafkah yang mencukupi bagi dirinya dan anak-anaknya. Padahal, status sosial dan ekonomi Abu Sufyan di tengah-tengah masyarakat sangatlah memadai.

«عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي إلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ فَقَالَ خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ»

Aisyah menceritakan bahwa Hindun binti Utbah pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang kikir. Ia tidak mau memberi nafkah kepadaku dan anakku, sehingga aku mesti mengambil (nafkah)-nya tanpa sepengetahuannya.” Rasulullah menjawab, “Ambillah apa yang mencukupi bagimu dan anakmu dengan cara yang makruf.”  (HR. Bukhari dan Muslim).

Teks hadis tersebut menegaskan bahwa nafkah adalah hak bagi istri dan anak-anak. Apabila seorang ayah atau suami tidak memberikan nafkah secara mencukupi, padahal ia mampu, maka Rasulullah saw. membolehkan bagi istri untuk mengambilnya (walaupun) tanpa sepengetahuan suaminya secara mencukupi, artinya tidak berlebih-lebihan.
            Meskipun demikian, apabila seorang suami atau ayah—setelah berusaha keras atau karena suatu sebab—tetap tidak mampu mencukupi kebutuhan (nafkah) bagi istri dan anak-anaknya, maka Allah Swt. tidak memaksakan hal itu kepadanya. Allah Swt. berfirman:

]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا[
Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.  (QS al-Baqarah [2]: 233).

            Lalu, kepada siapa beban untuk mencukupi nafkah tersebut berpindah? Di dalam sistem ekonomi Islam yang berkaitan dengan kewajiban nafkah, problematika semacam ini—yang biasa dijumpai di tengah-tengah masyarakat—dipecahkan secara jitu melalui tahap peralihan beban, yaitu:

1.   Jika seorang ayah atau suami tidak mampu lagi memberikan nafkah kepada orang-orang yang wajib ditanggungnya, maka kewajiban tersebut berpindah kepada saudara-saudaranya atau karib kerabatnya, seperti kakaknya (yang laki-laki), pamannya, dan seterusnya.

2. Jika pihak saudara juga tidak mampu, maka kewajiban tersebut berpindah kepada kaum Muslim yang menjadi tetangganya.

3. Jika masyarakat (tetangga) yang menjadi komunitas tempat tinggalnya juga tidak mampu (baik karena miskin atau fakir), maka Islam mengalihkan beban tersebut kepada negara atau khalifah. Rasulullah saw. bersabda:

«اَلإِمَامُ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ»
Seorang imam (khalifah) itu bagaikan penggembala (pemimpin). Ia bertanggung jawab terhadap (keadaan) apa yang dipimpinnya. (HR al-Bukhari dan Muslim).

            Dengan demikian, sistem Islam adalah satu-satunya sistem yang memecahkan masalah nafkah dengan cara terintegrasi. Islam tidak membiarkannya begitu saja ditangani oleh individu-individu, karena bisa saja seorang suami atau ayah berada dalam kondisi yang tidak mampu; baik karena cacat, sakit, tua renta, atau sebab-sebab lain. Negara atau khalifahlah yang menjadi penanggung jawab atas seluruh keadaan masyarakatnya, karena memang itulah fungsi dan kewajiban negara, yaitu mengatur dan memelihara urusan-urusan masyarakat; termasuk kecukupan nafkah setiap rakyatnya.
Wallâhu a‘lam[KH. Hafidz Abdurrahman]


Thursday, 14 December 2017

Subuh Spesial di Darul Falah

Pagi hari arah timur, lantai 2 masjid Darul Falah

Subuh hari ini agak special, di masjid Darul Falah, dipimpin imam membacakan dua kali al fatihah.
Yang pertama untuk salah seorang pengurus dan jamaah yang meninggal dunia, Pak Mujari . memang sudah sepuh, saya sendiri juga sudah agak lupa dengan wajahnya, masih mengingat beliau karena dulu juga berburu tanda tangan saat Ramadan, salah satunya ke Pak Mujari.

Fatihah kedua untuk pencuri kotak amal masjid sehari sebelumnya, kotak amal kayu yang lumayan besar dan berat diambil pencuri, tengah malam. Memang ada cctv tapi sepertinya, pencuri sudah tahu. Wajahnya sengaja ditutup dan selalu membelakangi kamera. Sengaja dibacakan al fatihah, mendokan semoga pencuri kotak amal masih diberi kesempatan untuk bertaubat.

Dua sosok yang didoakan dengan profil yang bertolakbelakang. Semoga amal Pak Mujari diterima oleh Allah, dosanya diampuni, diluaskan kuburnya dan ditempatkan di surga. Aamiin

Sedangkan untuk pencuri kotak amal, semoga segera bertaubat, semoga hanya khilaf mencuri sekali saja. Namun ini membuat prihatin, kotak amal yang isinya belum tentu banyak menjadi sasaran, sudah mencuri, hasilnya sedikit, jelas berdosa. Tetapi namanya mencuri, sedikit banyak tetap saja berdosa.

Lemah iman miskin harta, maksiat biasa. Mungkin seperti itu. Dan tidak perlu malu mengakui, bisa jadi pencurinya juga muslim, muslim tapi tega banget mengambil harta umat Islam.

Inilah yang harus menjadi renungan kita, muslim di negeri ini mayoritas namun mayoritas pelaku kriminalitas juga muslim. seolah gelar terbaik untuk umat Islam tidak ada pengaruhnya sama sekali.

Dari segi individu, muslim yang terbiasa dengan kemaksaiatan karena tidak paham, tidak berpikir tentang konsekuensi syahadat, tidak paham dengan kewajiban taat kepada Allah dan Rasulullah. Tidak merasa dekat dengan Allah, ringan melanggar hukum syara’,  bisa jadi karena  tidak tahu dan tidak mau tahu, yang penting bertahan hidup, mau menjalani hidup seperti apa, mereka tidak berpikir panjang. Dan ini sangat berkaitan dengan system yang diterapkan dalam kehidupan.  Dalam system yang saat ini melingkupi negeri ini, edukasi untuk semakin paham dengan ajaran Islam menjadi tanggung jawab individu ulama, dan itu pun sangat dibatasi. Edukasi hanya sebatas hal-hal yang bersifat individual (ibadah mahdhah),  penyampaian Islam kaffah dari hal individu, hingga dalam segala bidang termasuk dalam hal politik dan pemerintahan belum optimal dilakukan. Dan ironinya ketika ada yang menyampaikannya geraknya dibatasi hingga dikriminalisasi. Negara yang mengadopsi pemikiran secular, mengatasnamakan bahwa Negara bukan milik satu agama saja berlepas tangan atas upaya pembentukan pribadi muslim selevel para sahabat,tabiin dan tabiut tabiin.

Memang jutaan hafidz masih lahir di negeri ini, musabaqah tilawatil quran pun sering digelar, namun menerapkan seluruh perintah dan larangan di dalam Alquran belum bisa dilaksanakan, jika hanya sebagian memang masih bisa.

Pesantren dan lembaga keislaman yang mengajarkan tsaqafah Islam masih mudah didapatkan, namun apa yang diajarkan lebih banyak sebatas teori belaka, ketika ingin menerapkan Islam secara kaffah dalam kehidupan selalu diberangus dengan dalih ini bukan Negara Islam. 

Karena begitulah karakter Negara secular, agama diakui namun tidak boleh dijadikan pedoman dalam seluruh sendi kehidupan. System seperti ini sangat berpeluang besar melahirkan banyak orang miskin namun dekat dengan maksiat, miskin tapi tidak takut dosa. Juga melahirkan orang kaya yang tidak pandai mensyukuri nikmat. Melahirkan pemimpin yang hanya berpikir pada kepentingan dunia, tidak bervisi hingga ke akhirat. Melahirkan individu yang hanya berpikir akan keselamatan diri sendiri,yang penting memperbaiki diri sendiri, cuek dengan permasalahan umat.

Sangat berbeda jika system Islam yang menjadi pijakan. System yang kedaulatan ada di hukum syara’ dan pelaksana kekuasaan tetap ada pada manusia. Dan system Islam akan bisa berjalan ketika system pemerintahannya berbentuk khilafah. Memang pelaksananya manusia bukan malaikat, bukan makhluk yang sempurna peluang terjadi penyimpangan juga sangat mungkin ada, namun setidaknya mengamalkan syariat adalah ibadah, meneladani Rasulullah adalah ibadah, menjalankan warisan dan wasiat Rasulullah adalah ibadah, mencintai Allah dan Rasulullah dengan menerapkan aturanNya adalah ibadah.

Apakah menjalankan demokrasi adalah ibadah?

Apakah menerapkan system secular adalah ibadah?


Pare, 14 Desember 2017

Friday, 8 December 2017

Meja Sekolahku dan Pembangunan Infrastruktur



Salah satu hal yang dibanggaakan di era pemerintahan saat ini adalah keberhasilan pembangunan infrastruktur. Secara teori infrastruktur adalah semua fasilitas public yang dibutuhkan yang akan menjadi katalisator dalam pembangunan.

Infrastruktur  diharapkan bisa menjadi penghubung masyarakat dengan sumber daya alam dan bisa meningkatkan produktivitas ekonomi, entahlah pusing  baca makalah  hasil searching salah satunya di sini eprints.undip.ac.id, kata kunci pembangunan infrastruktur kok teoritis banget. Langsung saja dihubungkan dengan realitas saat ini saja.


Anggaran pembangunan infrastruktur untuk tahun 2018 adalah sebesar 409 T rupiah, sedangkan tahun 2017  sebesar 387,7 T rupiah. Dana pembangunan infrastruktur dalam RPJM 2015-2019 yang dibuat Bappenas prosentasenya sebagai berikut : 41,3% pemerintah pusat dan daerah, 22,2% BUMN dan 36% swasta (indopremier.com, 05/12/2017). Jika dijumlah 99,5%  entahlah yang 0,5% ditanggung siapa. Pembangunan infrastruktur yang dikerjakan oleh BUMN hanya sebatas sampai selesai membangun, selebihnya pengeloaan akan diserahkan ke swasta. Entahlah, karena pemerintah tidak mampu mengelola atau memang sudah janjian dengan swasta sebagai balas budi karena swasta dulu pernah berjasa mengantarkan penguasa saat ini menuju tampuk kekuasaan. Dan atas arahan siapakah prioritas pembangunan infrastruktur di negeri ini? Permintaan mayoritas rakyat? Pemilik modal atau investor asing?


Yang pasti pembangunan infrastruktur ini sangat menguntungkan para pemilik modal. Mereka menanamkan investasi ketika sudah jadi tinggal menikmati memalak rakyat yang dengan terpaksa mau tidak mau membutuhkan keberadaan infrastruktur. Namun ternyata tidak semua infrastruktur bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat, tidak semua rakyat membutuhkannya, tidak semua rakyat bias menikmatinya. Tidak semua butuh jalan tol, tidak semua butuh bandara, tidak semua butuh jalan trans sebagaimana dibangun di pulau luar Jawa.


Yang dibutuhkan rakyat adalah terpenuhinya kebutuhan pokok. Rakyat butuh makan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, rasa aman, rasa tenang beribadah dan mempersembahkan hidup ini semata untuk Allah SWT. Bukan sekadar terpenuhi materi yang faktanya juga sangat sulit dicari.

Tak perlu jauh-jauh, di tataran pendidikan, masih banyak sekali fasilitas pendidikan yang sangat kurang. Sarana dan prasarana seadanya banyak digunakan untuk mendidik generasi penerus bangsa. Padahal generasi adalah asset termahal masa depan negeri ini. Di sekolah saya yang dikelola sebuah yayasan swasta harus memutar otak sekuat tenaga ketika ingin memperbaiki sarana. Harus pandai mencari utang ketika dana BOS datang terlambat, harus memutar otak untuk mencari buku pegangan yang murah muriah agar tidak memberatkan orang tua siswa. Harus gigit jari ketika bantuan siswa miskin hanya di acc 10% dari ajuan. Entahlah, kami tidak menikmati hasil pembangunan infrastruktur yang selama ini digembor-gemborkan, amanah kami di sekolah rasanya masih berat dan kami pikul sendiri. Sudah ada donatur, sudah ada wali murid yang berbaik hati menyumbang, sudah ada infak harian untuk pembangunan, tapi tetap saja sarana dan prasarana  yang digunakan seadanya. Padahal kami tidak korupsi, padahal kami yang guru swasta biasa digaji jauh di bawah UMR.  Dan kami masih beruntung, masih banyak lagi sekolah yang keadaannya lebih memprihatinkan.

Kebijakan pembangunan Infrastruktur untuk masyarakat dalam Islam *)
Sistem ekonomi Islam dibangun di atas pondasi akidah Islam. Ini adalah akidah yang haq karena berasal dari Allah yang dibawa kepada umat manusia melalui Muhammad Rasulullah saw. Akidah Islam merupakan akidah yang memuaskan akal, menenteramkan jiwa, dan sesuai dengan fitrah manusia. Karenanya, peraturan yang terpancar dari akidah Islam, seperti sistem ekonomi Islam, memiliki karakter yang khas dan manusiawi.

Dalam konteks individu, kegiatan ekonomi dilandasi oleh nilai-nilai ibadah. Bukan materi yang menjadi orientasi (profit oriented), tetapi keridhaan Allah. Mencari materi merupakan perkara mubah dan menjadi wajib bagi seseorang yang menjadi penanggungjawab nafkah dalam keluarga. Mencari nafkah tentu tidak dengan menghalalkan segala cara melainkan harus terikat dengan hukum syariah. Dalam konteks negara, kegiatan ekonomi merupakan salah satu wujud pengaturan dan pelayanan urusan rakyat. Inilah tugas umum negara. Untuk merealisasikannya, negara menerapkan syariah Islam baik dalam urusan ekonomi di dalam negeri maupun di luar negeri.

Pembangunan berbagai macam infrastruktur merupakan tanggung jawab negara yang pengelolaannya harus di tangan negara bukan diserahkan kepada swasta, bukan sebagaimana banyak dilakukan saat ini. Infrastruktur yang dibangun negara . Ada empat poin penting pembangunan infrastruktur publik dalam Islam. Pertama, dalam sistem ekonomi Islam dan politik Islam, pembangunan infrastruktur adalah tanggung jawab negara bukan sebagai ajang mencari keuntungan atau melancarkan hubungan diplomatik dengan negara lain.  Prinsip ini sangat berbeda dengan pola pembangunan infrastruktur dalam sistem kapitalistik yang menjadikan proyek infrastruktur sebagai ajang mencari keuntungan.

Kedua ,sistem ekonomi Islam telah membahas secara rinci  pilar-pilar ekonomi Islam yaitu, kepemilikan, pengelolaan kepemilikan dan distribusi di tengah-tengah masyarakat. Dengan menerapkan sistem ekonomi Islam, Khilafah akan memiliki sumber kekayaan yang cukup untuk membiayai penyelenggaraan negara. Termasuk memastikan terpenuhinya kebutuhan seluruh kebutuhan dasar rakyat, baik kebutuhan pribadi maupun kelompok, seperti sandang, pangan dan papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan.

Ketiga, rancangan tata kelola ruang dan wilayah dalam Daulah Islam didesain sedemikian rupa sehingga mengurangi kebutuhan transportasi. Sebagai contoh, ketika Bahgdad dibangun sebagai ibu kota, dibangunlah masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri, tempat singgah bagi musafir, pemandian umum yang terpisah, pemakaman umum dan tempat pengelolaan sampah. Dengan demikian warga tak perlu menempuh perjalanan jauh hari untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, baik untuk menuntut  ilmu atau bekerja semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar dan semua memiliki kualaitas standar yang sama.

Keempat, pendanaan pembangunan infrastruktur khilafah berasal dari dana Baitul mal, tanpa memungut dana masyarakat hal ini memungkinkan karena kepemilikan umum dan negara secara umum dikelola oleh negara.
Negara menerapkan hukum-hukum Allah sebagai koridor kegiatan ekonomi dan bisnis untuk mencegah aktivitas ekonomi yang zalim, eksploitatif, tidak transparan, dan menyengsarakan umat manusia. Negara menerapkan politik ekonomi agar warga dapat hidup secara layak sebagai manusia menurut standar Islam. Negara juga menjalin hubungan secara global dan memberikan pertolongan agar umat manusia di seluruh dunia melihat dan merasakan keadilan sistem Islam.
Islam memiliki metode untuk membalikkan posisi krisis seperti yang dialami dunia saat ini menjadi sejahtera. Metode tersebut tentu dengan menerapkan sistem ekonomi Islam dalam pola hubungan ekonomi global melalui Khilafah Islamiyah.


*) Lupa sumbernya, sejak rezim represif anti Islam menutup banyak situs Islam yang kritis sulit mencari jejak artikel yang terlanjur tersimpan dalam bentuk word.

Wednesday, 6 December 2017

Karena Mereka Istimewa



Untuk pertama kalinya  jadi wali kelas, setelah belasan tahun menjadi guru. Dan Alhamdulillah berada di kelas special. Mau-tidak mau hampir setiap hari berada di kelas yang sama. Ada banyak suka dan duka, tapi yang lebih terasa adalah belum maksimal memberikan ilmu dan mendidik para siswa. Lebih sering sekadar mengajar saja. Entahlah berapa banyak ilmu yang bisa mereka serap dengan cara mengajar yang biasa saja.

Sekolah biasa dengan input tanpa seleksi akademis. Asal memenuhi syarat administrasi insya Allah pasti bisa masuk di madrasah ini, jika ditolak kemana lagi mereka harus menuntut ilmu?

Mengajar dalam sistem kapitalis dengan kurikulum yang secular memang akan banyak mengalami tantangan, ada banyak ketidakidealan dalam berbagai hal. Namun inilah realitas  yang harus dihadapi. Di satu sisi tetap memperbaiki sekuat tenaga, tetap memberikan yang terbaik, di sisi lain terus melakukan perubahan mendasar. Perubahan sistemik, berjuang menerapkan sistem Islam, menerapkan syariat  Islam secara kaffah.

Kembali ke siswa, tak bisa dipungkiri dalam satu kelas pasti ada banyak karakter siswa. Ada yang menyejukkan mata, ada yang menentramkan hati dan ada pula yang sering bikin makan hati. Namun dengan keyakinan bahwa mereka adalah manusia, ciptaan Allah yang dikaruniaiakal, insya Allah pasti ada jalan untuk membuat siswa bisa memahami ilmu yang diberikan. Pasti ada jalan untuk membuat mereka menjadi lebih baik . Optimis. Karena setiap siswa itu istimewa, pasti ada kelebihan yang bisa dikembangkan.

Siswa, senakal apapun, selama masih mau mendengarkan nasihat, terlepas nasihatnya digunakan atau sebatas melintas di telinga saja, siswa seperti ini insya Allah masih ada harapan untuk menjadi lebih baik. Namun jika kenakalan yang sudah pada pelanggaran hukum syara’ yang berulang dengan kesengajaan apalagi jika siswa sudah baligh, maka harus ada tindakan tegas. Akan tetapi, dalam dunia pendidikan, harus tetap mengedepankan edukasi dan menasehati.

Bagi guru,tak ada sedikit pun rasa ingin membuat siswa menjadi orang yang tak berguna atau bahkan menjadi ahli maksiat, setiap guru pasti menginginkan siswa menjadi yang terbaik, tentu terbaik dalam timbangan Allah dan Rasulullah. Dan arti bahagia bagi seorang guru itu sederhana melihat dan mendampingi siswa untuk terus menjadi anak saleh dan salihah. 

Namun mengandalkan guru di sekolah saja tidak cukup, perlu kerjasama dari orang tua, masyarakat dan Negara. Untuk menjadikan siswa menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berguna di dunia dan selamat diakhirat.
Mengajar di sekolah membutuhkan dukungan system yang manusiawi, system yang memuliakan manusia, system yang berasal dari Allah SWT Pencipta sekaligus Pengatur seluruh isi alam raya.
Bukan sistem kapitalisme yang tidak ada bedanya dengan hokum rimba. Yang kuat yang akan bertahan hidup, yang bermodal melahap kekayaan, yang miskin semakin terpinggirkan.