Friday 13 May 2016

Mengapa Khilafah Terus ?


Ehm..ehm..ehm.. sepertinya khilafah semakin hangat diperbincangkan. Baik yang sangat kontra, sedikit kontra, bilangnya netral saja, mendukung tapi malu-malu, ragu untuk mendukung tapi agak sepakat, pro dan mendukung dengan sepenuh jiwa. Mau pilih yang mana ? Ya terserah saja, yang penting ga masuk kriteria fitnah, ga masalah. Toh semua keputusan kita sendiri yang dimintai pertanggungjawaban. Putuskan semua dengan ilmu bukan semata karena hawa nafsu. Saya pribadi insya Allah masuk yang terakhir, dan semoga tetap istiqamah. Amin.

Mungkin ada yang bertanya, “ Ngomongnya khilafah terus, ga da kerjaan lain apa? “. Waduh, ga gitu juga kali, kalo saya sih banyak kerjaan, banyak juga yang dipikirkan. Namun ketika sudah berazam untuk berdakwah melanjutkan kehidupan Islam, maka menjadikan dakwah sebagai poros adalah sebagai konsekuensi dari keputusan tersebut. Jika tidak menjadikannya poros ya hasilnya belum tentu optimal. Aktivitas selain dakwah ya tetap jalan, dakwah itu salah satu kewajiban bagi muslim, masih ada kewajiban-kewajiban lain yang kelak juga akan dimintai pertanggungjawaban. Tapi juga bukan berarti beranggapan, lebih baik optimalkan kewajiban-kewajiban lain, dakwah biar dilakukan orang-orang yang mampu saja. Tidak. Terus melayakkn diri untuk menjadi pengemban dakwah. Agar tetap bisa menyampaikan Islam, mencegah kemungkaran. Kuatkan aqliyah dan nafsiyah, insya Allah apapun masalahnya, bisa terus dihadapi.

Atau ada yang berkata, “ Tidak usah khilafah terus lah, apa-apa kok solusinya khilafah”. Sistem kehidupan di dunia ini yang akan menentukan corak kehidupan bermasyarakat dan bernegara setidaknya ada tiga : komunisme, kapitalisme dan Islam. Ketiga system tersebut mempunyai cara pandang yang khas dalam memaknai kehidupan. Secara akidah komunisme tidak mengakui keberadaan Allah, maka wajar tidak mau pake hukum Allah. Kapitalisme, mengakui agama dan pencipta tapi ga mau pake aturan dari Allah dalam kehidupan bernegara, maka wajar jika kapitalisme mengambil demokrasi mengatasnamakan rakyat dalam menentukan hukum. Islam, menjadikan rukun iman sebagai landasan. Allah sebagai pencipta sekaligus pengatur, Malaikat sebagai “penghubung” antara Allah dan manusia, Nabi dan Rasul sebagai pembawa risalah, kitab suci sebagai pedoman dalam kehidupan, sadar bahwa yang dijalani di dunia hanya sementara dan akan dimintai pertanggungjawaban setelah datangnya kiamat, pasrah dengan qadla Allah berusaha untuk optimal menjalankan potensi yang ditakdirkan Allah. Diantara ketiga system itu, secara logis akan membuat seorang muslim kaffah dalam beragama ya hanya system Islam. Dan Islam akan menjadi corak kehidupan ketika sistemnya khilafah. Dengan khilafah, semuanya menjadi jelas. Tidak setengah-setengah, tidak seperti saat ini ketika kapitalisme menjadi system yang mencengkeram di negeri ini. Keinginan untuk menerapkan Islam akan selalu saja dijegal. jangan bawa-bawa Islam, jangan sok suci, jangan memaksakan kebenaran, adanya begini ya sudah jalani saja. Akan terus begitu. Hukum Islam yang mengatur semua lini kehidupan, baik hubungan manusia dengan dirinya, hubungan bermasyarakat dan hubungan dengan Allah hanya bisa diterapkan secara sempurna dalam system Islam. Bukan system yang lain. Yang belum sepakat dengan khilafah memang wajar, namun juga harus bertanya. Benarkah demokrasi warisan Nabi, benarkah sekulerisme yang menjadi jalan para sahabat, benarkah system Islam begitu kejam dan buruknya hingga tak layak diterapkan kembali. Benarkah demokrasi kapitalisme adalah system yang diridhoi Allah SWT.

Memang perlu waktu untuk meyakinkan bahwa seharusnya umat menuntut tegaknya khilafah bukan yang lainnya. Terus menyadarkan bukan malah menghentikan. Terus berada pada thariqah dakwah Rasulullah. Maka teruslah mengkaji agar semakin tahu bagaimana khilafah rasyidah tegak dengan metode yang syar’I, bagaimana khilafah bisa memberi solusi, bagaimana khilafah memperlakukan non muslim, bagaimana khilafah bisa mewujudkan Islam sebagai rahmat untuk seluruh alam.


Pare, 13 Mei 2016



No comments:

Post a Comment