Wednesday 18 May 2016

Kapitalisme : Haram Tapi Dinilai Dengan Materi Tinggi


Pagi-pagi memilah sawi, “nglelesi”. Sawi yang mau dibuang sama pemiliknya, satu becak dibuang di tempat penampungan sampah sementara. Sudah tidak laku, harganya murah sekali. Daripada pusing ngurusi lebih baik dibuang saja. Memang tidak sekali ini saja, sayuran tak ada harganya dibuang begitu saja. Tomat, terong, mentimun juga pernah dibiarkan begitu saja. Jadi ingat berita dulu pernah di Brebes bawang merah dibuang di jalan-jalan.

Sekitar jam sembilan, bertemu wali murid yang pernah membayar keperluan sekolah anaknya, mengangsur dengan recehan. Ya, benar-benar recehan. Memang pernah mendengar bagaimana wali murid tersebut nyari tambahan uang, tapi ga mau mikir macem-macem, pekerjaan utamanya tukang becak.

Siang, jam 13.20  sampai lebih jam 14.30, editing baner, ongkosnya hanya delapan ribu rupiah. Ya, hanya delapan ribu rupiah. Harga yang begitu murahnya untuk ketrampilan disain meski sederhana. Mungkin saya ga telaten, tidak mau dan tidak bisa, apalagi selama satu jam hanya dibayar segitu, dulu ikut bantu ngerjakan analisis regresi mahasiswa jurusan “borju’ salah satu ptn saja dibalas dengan 2 loyang pizza bermerek ukuran sedang (sangat berkesan karena untuk pertama kalinya makan pizza yang iklannya ada di tivi). Padahal tidak minta imbalan, tapi setidaknya jadi tahu segitu ya mereka yang merasa butuh berani merogoh koceknya. 

Berbeda lagi, ketika bunga gelombang cinta buming, bibitnya baru ukuran cm saja sudah jutaan. Belum lagi buming ikan lohan, batu akik. Hanya demi tumbuhan, ikan, dan batu orang rela mengeluarkan uang yang tak masuk akal, bisa buat beli beras untuk orang sekampung. 

Begitulah, harga dalam system ekonomi kapitalisme sangat mudah dipermainkan. Nilai barang dan saja tidak diukur berdasarkan seberapa manusia membutuhkan, tapi berdasarkan seberapa manusia menginginkan. Maka tak heran, dibuatlah opini dan persepsi agar manusia menginginkan barang atau jasa tertentu, dan ketika manusia merasa pada puncak keinginan mereka rela mengeluarkan uang berapa pun besarnya. 

Sungguh ironi, di satu sisi ada benda atau jasa yang membutuhkan usaha tetapi sangat tak bernilai namun di sisi lain barang atau jasa yang bukan penentu hidup dan mati begitu melambung harganya. Usaha, tenaga dan biaya yang telah dikeluarkan seolah tak diperhitungkan sama sekali dengan alasan persediaannya melimpah dan manusia tidak menginginkannya. Maka, membuang barang yang halal  begitu saja dianggap tidak masalah, menjual barang haram namun diinginkan dianggap sah-sah saja, memberikan jasa haram tidak menjadi permasalahan. Selama masih ada yang menginginkan semua layak dimanfaatkan. Tidak memperdulikan lagi status halal haram. Miras dianggap barang ekonomi yang layak dipasarkan karena manusia menginginkan, pelacuran dianggap sah sebagai cara mencari uang selama ada yang menginginkan dan bersedia mengganti dengan uang.

Dalam system kapitalisme yang berasas manfaat dan sekularisme, sangat mungkin terjadi pekerjaan halal dengan pengorbanan tinggi tak dianggap bernilai ekonomi dan tak patut dihargai  namun sebaliknya, pekerjaan tanpa pengorbanan atau dengan pengorbanan yang sangat kecil dibuat sedemikian rupa agar diinginkan sehingga layak diberikan penghargaan materi melimpah. Puas itu ketika keinginan terwujud, ingin itu ketika kepuasan teraih. Anggapan yang wajar, karena kebebasan lah yang menjadi pendorong. Dan lagi-lagi kebebasan adalah salah satu ajaran inti dari ideology kapitalisme. 

Jika ini terus dibiarkan, yang kuat akan semakin bebas memiliki dan mengendalikan, yang bermodal akan semakin mencengkeram atas nama investasi. Yang lemah akan semakin terpuruk, yang miskin akan semakin tersisihkan. Yang kaya bebas menghamburkan kekayaan, yang miskin semakin hidup terhimpit. Yang kaya berpesta membuang makanan, yang miskin mengais sisa makanan di tempat sampah. 

Jangan dibiarkan, harus ada perubahan.

Bersambung

Pare, 17 Mei 2016

No comments:

Post a Comment