Friday 11 September 2015

Jangan Diam Saja, Ayo Merubah !



Ahad, 6 September 2015
Pagi jam 6 menghadiri pengajian Ahad pagi, pengajian rutin satu bulan sekali. Jam 8 menuju salah satu desa di Kecamatan Purwoasri, sudah berkali-kali mengunjungi tapi lama baru sempat mengunjungi lagi. Menghadiri majelis taklim ibu-ibu di sebuah mushalla. Alhamdulillah penuh. Majelis taklim yang memang jarang diadakan, bisa dibilang setahun hanya 1 sampai 2 kali saja. Bukan karena masyarakatnya yang pemalas, tetapi keadaan yang memaksa. Mayoritas ibu-ibu di dusun tersebut adalah buruh tani. Mereka bekerja secara berkelompok. Ada saja pekerjaan mereka. Tandur, ngemes/ngrabuk, matun, derep, panen, icir dan lain sebagainya. Dari satu sawah ke sawah yang lain. Dan baru longgar ketika jeda musim tanam. Terharu dengan semangat para ibu yang bersedia datang dalam majelis taklim. Para ibu dengan wajah gembira duduk dalam majelis, mengobrol santai berkumpul di mushalla. Alhamdulillah, meski mereka hidup pas-pasan, semangat dalam majelis taklim.

Pulang, sengaja lewat jalan dalam. Melewati jalan-jalan yang baru pertama kali tahu, tembusnya desa Kepuh terus ke selatan tembus pasar barat perempatan Bogo, muter lagi lewat Payaman, tembus Mejono langsung menuju Pare.

Sore, dapat kabar anak tetangga yang rumahnya Gedangsewu meninggal. Setelah sholat ashar takziyah. Belum tahu rumahnya, meminta rute dari keluarganya. Perempatan Gedangsewu terus ke timur ada gang ke selatan. Waduh, sepertinya daerah terlarang. Bukan pertama kali berada di daerah tersebut. Pertama kali ada di tulisan ini  Mendukung penutupan lokalisasi , kedua kali saat  mencari rumah kenalan yang ada di perumahan baru dekat lokasi tersebut. Tapi rasanya masih bagaimana gitu, khawatir malah nyasar. Dan ternyata terjadi juga, muter-muter nyari gak ketemu-ketemu. Sudah bingung belum ketemu rumahnya, perasaan dipenuhi dengan su’udzon, khawatir bertemu orang yang ga bener. Bagaimana tidak curiga terus, mau nanya-nanya rasanya risih. Melihat beberapa laki-laki cangkrukan ngobrol bertato, tidak di satu tempat saja. Yang wanita pakaiannya tak ada yang menutup aurat dengan sempurna. Wajah-wajahnya mencurigakan, sepertinya tak sering terbasuh air wudhu. Matanya merah seolah kurang tidur begadang, dan tubuhnya pun tak segar bugar seolah tergerogoti minuman keras. Melewati masjid dan mushalla, lagi-lagi menaruh curiga, kok tak terlihat sejuk dan nyaman. Jangan-jangan jarang dipakai. Haduh, pikiran malah nggladrah. Padahal sudah menata hati dan pikiran, tidak usah mikir macam-macam tapi tetap saja pikiran tak tentram. Pagi hari terharu dengan suasana majelis taklim, sorenya istighfar terus berada di daerah yang kemaksiatan sepertinya legal dan biasa.

Daerah sekitar bong Gedangsewu, semakin padat saja penduduknya. Dari rumah-rumah yang dibangun terlihat mereka kalangan menengah ke bawah. Dahulu ada lokalisasi WTS, meski sudah ditutup tetap saja ada yang masih beroperasi. Kasihan, masih ada dampak dari lokalisasi. Kasihan, seharusnya dengan ditutupnya lokalisasi seharusnya masyarakat mulai hidup lebih baik lagi. Mereka bagian dari rakyat negeri ini, mereka bagian dari umat seharusnya tidak diabaikan.

Potret masyarakat, memang tidak semuanya tetapi tetap saja tidak boleh diabaikan. Ada yang kuat dengan keimanan meski hidup pas-pasan. Namun ada yang menggadaikan keimanan karena kemiskinan dan ketidaktahuan. Sama-sama berjuang mengais rezeki, bukan demi kemewahan, bukan untuk membeli baju mahal, tas mahal, sepatu mahal, bukan pula demi hobi mengoleksi. Tetapi mereka bekerja demi mempertahankan keberlangsungan hidup mereka.

Secara pribadi, memilih tidak berada di tengah mereka yang menggadaikan keimanan. Secara fakta lebih banyak mudharatnya, lebih besar subhatnya. Mereka adalah korban, berjuang untuk menyelesaikan akar masalah yang membuat mereka hidup seperti itu juga merupakan bentuk kepedulian terhadap mereka. Jika pun diperlukan untuk mengadakan kegiatan sosial, majelis ilmu, majelis qur’an dan majelis kebaikan lain lebih memilih untuk mengundang mereka keluar. Sekalian melatih mereka untuk berinteraksi dengan “dunia luar yang normal”.

Bagaimana pun harus ada usaha untuk merubah. Tidak boleh didiamkan begitu saja.  Perlu kepedulian. Secara individu aktif memberikan bantuan materi dan ilmu bekal dunia dan akhirat, jangan egois ngurus hidup sendiri. Tak perlu  berdalih mengurusi diri sendiri dan keluarga saja sudah susah kok ngurusi orang lain. Yakin, memudahkan urusan kaum muslimin di dunia akan dibalas kemudahan oleh Allah SWT. Aktif melakukan kebaikan di tengah masyarakat, bukan untuk pamer amal tetapi semata mengamalkan ajaran Islam. Berlomba dalam kebaikan. Secara berjamaah berdakwah melakukan perubahan sistemik, dan terus muhasabah mengingatkan para pemimpin dan penguasa negeri ini untuk mengurus rakyat sesuai syariat.

Negeri ini semakin karut-marut saja, kebijakan penguasa kapitalis semakin menyengsarakan rakyat, asing penjajah  semakin mendapat perlakuan istimewa. Rakyatnya semakin jauh dari syariat Allah, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin banyak. Pola pikirnya pun sudah rusak, egois, individualis, matre, maunya serba instan, daya juangnya rendah, tidak kreatif, kriminalitas semakin merebak (teringat cerita anak smp diperkosa berame-rame di Mukuh Kayenkidul, teringat prostitusi anak di kota Kediri, wis mbohlah. Ngeri, yang biasanya ada di berita TV sudah terjadi di sini). Mau jadi apa bangsa ini jika terus begini. Kekayaan alam habis terkuras dan generasi penerusnya tidak punya visi jelas, yang berprestasi sekaligus mempunyai kesiapan kecakapan hidup bisa dihitung dengan jari.

Ayo merubah, jangan berhenti pada perubahan diri. Jangan berkutat dengan diri sendiri. Hidup cuma demi harta, kebanggaan dunia, hanya berakhir sia-sia. Jadikan potensi kita, apapun itu demi berjuang di jalan Allah. Berlomba dalam kebaikan, atau minimal tidak menjegal orang yang berjuang demi terlaksananya Islam kaffah, tidak su’udzon dengan perjuangan syariah, jangan takut dengan khilafah, jika memungkinkan ayo bersama mengkaji perjuangan menegakkan khilafah.

Pare, 11 September 2015

No comments:

Post a Comment