Ahad, 6 September 2015
Pagi jam 6 menghadiri pengajian
Ahad pagi, pengajian rutin satu bulan sekali. Jam 8 menuju salah satu desa di
Kecamatan Purwoasri, sudah berkali-kali mengunjungi tapi lama baru sempat
mengunjungi lagi. Menghadiri majelis taklim ibu-ibu di sebuah mushalla. Alhamdulillah
penuh. Majelis taklim yang memang jarang diadakan, bisa dibilang setahun hanya
1 sampai 2 kali saja. Bukan karena masyarakatnya yang pemalas, tetapi keadaan
yang memaksa. Mayoritas ibu-ibu di dusun tersebut adalah buruh tani. Mereka
bekerja secara berkelompok. Ada saja pekerjaan mereka. Tandur, ngemes/ngrabuk,
matun, derep, panen, icir dan lain sebagainya. Dari satu sawah ke sawah yang
lain. Dan baru longgar ketika jeda musim tanam. Terharu dengan semangat para
ibu yang bersedia datang dalam majelis taklim. Para ibu dengan wajah gembira
duduk dalam majelis, mengobrol santai berkumpul di mushalla. Alhamdulillah,
meski mereka hidup pas-pasan, semangat dalam majelis taklim.
Pulang, sengaja lewat jalan
dalam. Melewati jalan-jalan yang baru pertama kali tahu, tembusnya desa Kepuh
terus ke selatan tembus pasar barat perempatan Bogo, muter lagi lewat Payaman,
tembus Mejono langsung menuju Pare.
Sore, dapat kabar anak tetangga
yang rumahnya Gedangsewu meninggal. Setelah sholat ashar takziyah. Belum tahu
rumahnya, meminta rute dari keluarganya. Perempatan Gedangsewu terus ke timur
ada gang ke selatan. Waduh, sepertinya daerah terlarang. Bukan pertama kali
berada di daerah tersebut. Pertama kali ada di tulisan ini Mendukung penutupan lokalisasi , kedua kali
saat mencari rumah kenalan yang ada di
perumahan baru dekat lokasi tersebut. Tapi rasanya masih bagaimana gitu,
khawatir malah nyasar. Dan ternyata terjadi juga, muter-muter nyari gak
ketemu-ketemu. Sudah bingung belum ketemu rumahnya, perasaan dipenuhi dengan
su’udzon, khawatir bertemu orang yang ga bener. Bagaimana tidak curiga terus,
mau nanya-nanya rasanya risih. Melihat beberapa laki-laki cangkrukan ngobrol
bertato, tidak di satu tempat saja. Yang wanita pakaiannya tak ada yang menutup
aurat dengan sempurna. Wajah-wajahnya mencurigakan, sepertinya tak sering
terbasuh air wudhu. Matanya merah seolah kurang tidur begadang, dan tubuhnya
pun tak segar bugar seolah tergerogoti minuman keras. Melewati masjid dan
mushalla, lagi-lagi menaruh curiga, kok tak terlihat sejuk dan nyaman. Jangan-jangan
jarang dipakai. Haduh, pikiran malah nggladrah. Padahal sudah menata hati dan
pikiran, tidak usah mikir macam-macam tapi tetap saja pikiran tak tentram. Pagi
hari terharu dengan suasana majelis taklim, sorenya istighfar terus berada di
daerah yang kemaksiatan sepertinya legal dan biasa.
Daerah sekitar bong Gedangsewu,
semakin padat saja penduduknya. Dari rumah-rumah yang dibangun terlihat mereka
kalangan menengah ke bawah. Dahulu ada lokalisasi WTS, meski sudah ditutup
tetap saja ada yang masih beroperasi. Kasihan, masih ada dampak dari
lokalisasi. Kasihan, seharusnya dengan ditutupnya lokalisasi seharusnya
masyarakat mulai hidup lebih baik lagi. Mereka bagian dari rakyat negeri ini,
mereka bagian dari umat seharusnya tidak diabaikan.
Potret masyarakat, memang tidak
semuanya tetapi tetap saja tidak boleh diabaikan. Ada yang kuat dengan keimanan
meski hidup pas-pasan. Namun ada yang menggadaikan keimanan karena kemiskinan
dan ketidaktahuan. Sama-sama berjuang mengais rezeki, bukan demi kemewahan,
bukan untuk membeli baju mahal, tas mahal, sepatu mahal, bukan pula demi hobi
mengoleksi. Tetapi mereka bekerja demi mempertahankan keberlangsungan hidup
mereka.
Secara pribadi, memilih tidak
berada di tengah mereka yang menggadaikan keimanan. Secara fakta lebih banyak
mudharatnya, lebih besar subhatnya. Mereka adalah korban, berjuang untuk
menyelesaikan akar masalah yang membuat mereka hidup seperti itu juga merupakan
bentuk kepedulian terhadap mereka. Jika pun diperlukan untuk mengadakan
kegiatan sosial, majelis ilmu, majelis qur’an dan majelis kebaikan lain lebih
memilih untuk mengundang mereka keluar. Sekalian melatih mereka untuk
berinteraksi dengan “dunia luar yang normal”.
Bagaimana pun harus ada usaha
untuk merubah. Tidak boleh didiamkan begitu saja. Perlu kepedulian. Secara individu aktif
memberikan bantuan materi dan ilmu bekal dunia dan akhirat, jangan egois ngurus
hidup sendiri. Tak perlu berdalih
mengurusi diri sendiri dan keluarga saja sudah susah kok ngurusi orang lain.
Yakin, memudahkan urusan kaum muslimin di dunia akan dibalas kemudahan oleh
Allah SWT. Aktif melakukan kebaikan di tengah masyarakat, bukan untuk pamer
amal tetapi semata mengamalkan ajaran Islam. Berlomba dalam kebaikan. Secara
berjamaah berdakwah melakukan perubahan sistemik, dan terus muhasabah
mengingatkan para pemimpin dan penguasa negeri ini untuk mengurus rakyat sesuai
syariat.
Negeri ini semakin karut-marut
saja, kebijakan penguasa kapitalis semakin menyengsarakan rakyat, asing
penjajah semakin mendapat perlakuan
istimewa. Rakyatnya semakin jauh dari syariat Allah, yang kaya semakin kaya,
yang miskin semakin banyak. Pola pikirnya pun sudah rusak, egois, individualis,
matre, maunya serba instan, daya juangnya rendah, tidak kreatif, kriminalitas
semakin merebak (teringat cerita anak smp diperkosa berame-rame di Mukuh
Kayenkidul, teringat prostitusi anak di kota Kediri, wis mbohlah. Ngeri, yang
biasanya ada di berita TV sudah terjadi di sini). Mau jadi apa bangsa ini jika
terus begini. Kekayaan alam habis terkuras dan generasi penerusnya tidak punya
visi jelas, yang berprestasi sekaligus mempunyai kesiapan kecakapan hidup bisa
dihitung dengan jari.
Ayo merubah, jangan berhenti pada
perubahan diri. Jangan berkutat dengan diri sendiri. Hidup cuma demi harta,
kebanggaan dunia, hanya berakhir sia-sia. Jadikan potensi kita, apapun itu demi
berjuang di jalan Allah. Berlomba dalam kebaikan, atau minimal tidak menjegal
orang yang berjuang demi terlaksananya Islam kaffah, tidak su’udzon dengan
perjuangan syariah, jangan takut dengan khilafah, jika memungkinkan ayo bersama
mengkaji perjuangan menegakkan khilafah.
Pare, 11 September 2015
No comments:
Post a Comment