Entah apa yang merasuki rezim ini. Semakin hari
semakin represif dan melakukan apa saja untuk membungkam siapapun yang tak
sejalan dengan penguasa. Peringatan keras kepada ASN yang mengkritik pemerintah
melalui media sosial, pencopotan jabatan beberapa anggota TNI karena status
para istri, hingga proses hukum yang cepat atas para pengkritik dengan alasan
ujaran kebencian. Belum lagi tindakan represif aparat saat demonstrasi menyampaikan aspirasi.
Rentetan peristiwa yang sangat bertolak belakang dengan klaim sebagai penguasa
yang demokratis dan terpilih melalui pesta demokrasi. Kebebasan berpendapat
yang dijamin dalam sistem demokrasi seolah hanya omong kosong belaka, sebatas
jargon pemanis kata.
Namun dibungkamnya kebebasan berpendapat, perlahan
namun pasti akan terjadi meski berada dalam sistem demokrasi. Kedok jahat
demokrasi yang menjadi andalan sistem pemerintahan kapitalis sekular akan
semakin terbuka. Sejatinya tidak ada kebebasan menyampaikan aspirasi dalam
demokrasi, yang ada adalah usaha mempertahankan kekuasaan dengan segala cara
dan menjamin kepentingan para pemilik modal saja. Kepentingan dan suara rakyat
sama sekali tak mendapat ruang selama tidak berpihak pada penguasa. Tirani
minoritas yang berkuasa akan menindas mayoritas. Dengan demikian kita tinggal
menanti lonceng kematian demokrasi berbunyi.
Memang inilah wajah asli demokrasi, jargon dari,
oleh dan untuk rakyat hanya kedok belaka, sejatinya para pemilik modallah yang
menentukan segalanya, kritik dari rakyat hanya akan dianggap sebagai angin
lalu, bahkan jika perlu dikriminalkan.
Sangat berbeda jauh dengan sistem Islam yang
membuka lebar pintu kritik, masukan dan muhasabah kepada penguasa. Dalam
Islam, selama masih dalam koridor akidah dan hukum Islam, kritik atau muhasabah
adalah kontrol pada penguasa di saat menjalankan amanahnya sebagai pengurus
urusan rakyat. Sebagaimana yang dilaksanakan Rasulullah dan para khalifah
terdahulu. Rasulullah saw tak sungkan meminta masukan dari para sahabat,
seabagaimana Umar Khattab ra. menerima kritikan atas kebijakannya membatasi
mahar, Muawiyah ra. yang tak marah dikritik Jariyah bin Qudama as-Sa’adi di
depan menteri Romawi yang sedang berkunjung, dan masih banyak lagi peristiwa
lainnya, dengan kesimpulan yang satu, penguasa yang menjalankan sistem Islam
bukanlah pemimpin yang alergi mendengarkan aspirasi.