Perjalanan naik kereta duduk di
pinggir jendela, Jombang –Yogya. Bisa melihat kondisi di luar kereta.
Sebelumnya tidak terlalu memperhatikan, sesekali suara khas kereta terdengar.
Ternyata hanya dibunyikan beberapa saat sebelum lintasan penyeberangan rel.
Baik yang resmi dengan penjaga dan palang pintu atau perlintasan kecil, sepi,
tanpa palang pintu. Artinya masinis sudah hafal dengan jalur yang dilaluinya.
Tahu kapan harus memberi tanda bahwa kereta sebentar lagi akan melintas.
Berusaha mengingatkan agar bisa mencegah terjadinya kecelakaan. Jika masih saja
ada kecelakaan karena tertabrak kereta bisa jadi lebih karena factor kelalaian
penyeberang.
Maka jika masih saja terjadi
kecelakaan salah satu hal yang harus ditingkatkan adalah kewaspadaan pengguna
jalan selain kereta, karena bagaimanapun juga, kereta adalah salah satu
kendaraan yang mendapat prioritas untuk melintas.
Begitulah, kewaspadaan dan usaha
maksimal untuk mencegah kemungkinan musibah yang akan terjadi demi
menyelamatkan nyawa manusia, wajib dilaksanakan. Jangan sampai kesalahan terus
terulang tanpa ada upaya untuk mengantisipasi dan mencegah.
Dan saat ini, yang seharusnya
bisa dicegah atau setidaknya diminimalisir adalah polusi berbahaya akibat
kebakaran hutan dan lahan. Memang butuh keseriusan dan kepedulian semua pihak.
Warga yang cepat tanggap, perusahaan yang berkepentingan pada pembukaan lahan
dan keseungguhan pemerintah dalam mencegah dengan upaya preventif berupa
antisipasi berdasarkan rekam data dan pemberian hukuman tegas agar berefek
jera.
Terkadang warga lalai, perusahaan
seenaknya sendiri hanya berfikir keuntungan materi pribadi dan negara tidak
serius mengurusi urusan warganya. Maka
teruslah musibah berulang, dan akibatnya semua merasakan.
Pihak yang seharusnya paling
mampu karena mempunyai kekuasaan adalah penguasa, pemimpin, terutama kepala
Negara dengan dibantu aparaturnya. Pertanyaannya adalah benarkah penguasa
peduli dan amanah dengan urusan rakyatnya? Atau sekadar mempunyai jabatan demi
kepentingan pribadi dan golongan?
Kembali pada kebakaran hutan dan
lahan, jika benar-benar peduli, asap akibat karhutla adalah bencana yang bisa
diprediksi, maka bisa juga diantisipasi. Yang jelas adalah dengan meminimalisir
titik api karena ulah manusia dan ini peran Negara dalam menegakkan hukum. Jika
tidak ada kesadaran penguasa maka wajar jika masih ada yang memanfaatkan
kelemahan ini. Kecuali jika penguasa bersimbiosis mutualisme dengan pengusaha,
maka dalam system kapitalisme pasti rakyat yang menjadi korbannya.
Sedangkan adanya titik api akibat
factor alam maka bisa dipantau dengan serius seperti apa yang dilakukan BMKG,
dengan memantau fenomena alam. Sedangkan secara data, kemungkinan terjadinya
kebakaran dan dampaknya juga bisa diprediksi. Ada beberapa bencana yang
sifatnya musiman, karhutla berpeluang besar terjadi di musim kemarau panjang,
sedangkan banjir berpeluang besar terjadi di musim hujan dengan bulan yang
curah hujannya besar.
Dengan kolaborasi ilmuwan, aparat
yang memegang amanat, dan penguasa yang takwa, semua menjadi mudah. Untuk
pengolahan data prediksi bencana alam, cukup diserahkan pada mahasiswa
statistic yang sudah dapat mata kuliah analisis time series. Tak perlu memberi
imbalan melimpah, mahasiswa dapat data dan diberi kepercayaan mengolah data itu
sudah menjadi kebahagiaan yang luar biasa. Apalagi dalam rangka membantu sesama
pastilah akan membantu dengan suka cita. Memang pemanfaatan data untuk
memprdediksi (forecasting) tidak selamanya akurat, namun setidaknya ada
informasi awal agar bisa mencegah bencana.
Selanjutnya yang juga tak kalah
penting adalah tindakan kuratif jika memang bencana tak bisa dihindari,
lagi-lagi tetap membutuhkan kepedulian individu, gerak cepat masyarakat dan
tentu yang paling penting adalah langkah nyata penguasa.
Pare, 19 September 2019