Wednesday 11 July 2018

Semanis Buncis


Anjuran makan dan minum dalam Islam sederhana saja, halal dan thayyib. Selama tidak ada dalil yang mengharamkan maka tak perlu menanyakan satu-persatu makanan dan minuman, apakah boleh dikonsumsi atau tidak.

Selain berkaitan dengan halal dan haram, motivasi memenuhi kebutuhan jasmani yang salah satunya makan ini, adalah agar bisa optimal dalam semua ibadah. Dengan makan yang halal dan thayyib setidaknya sudah mengupayakan kaidah sebab akibat menuju tubuh yang sehat.

Jika berpikir simple dalam hal makanan insya Allah tenaga, pikiran dan waktu tak hanya tercurah hanya untuk masalah urusan perut saja. Beda dengan saat ini, ada banyak masalah hanya karena masalah urusan harta demi bertahan hidup dengan sesuap nasi. Ditambah lagi dengan pola pikir yang sekular tanpa pikir cemerlang ada segelintir orang yang hobi kuliner, bangga dengan pesta pora, berakhir dengan membuang makanan sia-sia, namun juga ada banyak orang yang kelaparan. Ini bukan sekadar masalah individu, tapi juga masalah sistemik. Membudayanya pemikiran kapitalis sekular karena diberi ruang selebarnya sedangkan upaya menjaga pemikiran Islam sama sekali tidak ada bahkan dikekang hingga dikriminalkan dengan cap radikal, fundamental dan pengkhianat negeri.

Halal haram tidak lagi menjadi standar. Yang penting suka dan dianggap bermanfaat menurut akal manusia maka sah saja untuk diambil.

Kembali pada makanan, jika tidak terkooptasi dengan pemikiran rendahan, semisal makanan menuruti rasa gengsi, bangga dengan daya jelajah kuliner, hidup hanya sebatas dunia, maka hidup itu simple saja. Tidak pake repot, tidak pake cerewet, tidak pake ribet, halal pasti, thayyib relatif. Disesuaikan dengan kondisi personal.

Termasuk pula pertimbangan makanan seimbang dengan mengkonsumsi sayur. Namun fakta di lapangan, orang terkadang ada yang tidak suka sayuran. Jika pertimbangannya memang tidak baik untuk kesehatan, bisa dimaklumi, namun jika hanya karena asumsi belaka maka sungguh sayang.

Suka atau tidak pada makanan secara umum juga permasalahan yang terkait dengan pemikiran. Pemikiran akan membentuk pemahaman, pemahaman berpengaruh pada perbuatan, termasuk dalam hal memilih makanan. Pemikiran dipengaruhi informasi yang didapatkan.
Maka jika hendak membuat orang suka salah satunya adalah dengan memberikan pemahaman, memberikan informasi yang lengkap, itu untuk orang yang berakal yang masih bisa berpikir. Untuk selain yang berakal, anak kecil dan orang gila misalnya perlu diawali dengan pembiasaan.

Khusus untuk anak, pembiasaan dan memberi pemahaman juga disertai keteladanan. Peluangnya kecil ketika orang tua anti makanan tertentu anak menjadi suka, terutama sayuran. Jangan berharap lebih anak menjadi suka sayuran. Maka sebelum "memaksa" anak untuk konsumsi sayuran ada baiknya orang tua atau calon orang tua mengubah kebiasaan terkait makann, cukup gunakan standar sederhana, selama halal dan thayyib kenapa tidak suka? Jika memang belum terbiasa setidaknya tidak menunjukkan rasa tidak suka atau bahkan kebencian terhadap makanan tertentu secara berlebihan. Ini hanya masalah pemenuhan kebutuhan jasmani yang kadang disertai naluri, insya Allah bisa diatur.

Makan, bisa jadi perkara sepele, namun jika diabaikan bisa berpengaruh pada kesehatan, jika tidak sehat bagaimana akan optimal dalam aktivitas? Namun tetap ridla jika memang Allah memberi qadla yang kita anggap kurang menyenangkan, misal tidak bisa makan makanan tertentu karena alergi, ya sudah nikmati saja.

Pengalaman pribadi, alhamdulillah untuk saat ini bisa dibilang tidak ada makanan tidak suka, insya Allah secara umum tidak menolak semua makanan halal, untuk pertimbangan thayyib masih sedikit memilah, namun dalam kondisi tidak fit saja. Jika sehat, silakan menawari saya makanan apa saja. Atau ga perlu menawari, langsung beri saja he..hee. enak ya jadi omnivora itu, ga pake ribet.

Namun dahulu pernah tidak suka dengan buncis, tapi sekarang apa saja tidak masalah, termasuk dengan buncis. Dahulu jika menemukan buncis pasti dibuang atau disisihkan, jika termakan memilih memuntahkan. Entahlah...rasanya buncis itu tidak enak, mengerikan.

Tapi itu dahulu, awalnya terpaksa, dan akhirnya berpikir kenapa harus tidak suka, apa makan buncis bikin sakit, apa makan buncis bikin sengsara, bukannya malah tidak sehat  jika menghindar dadi sayuran dan seterusnya alhamdulillah terbiasa.
Sejak kapan suka buncis? Sejak jadi anak kos. Benar-benar merasakan sensasi jadi anak kos, melatih mandiri dan berpikir logis, tidak terbiasa dengan hal-hal serba praktis.

Jika ada tugas sampai malam, maka selalu keluar kampus malam pula dengan posisi belum makan malam. Maka pulang ke kosan tidak lupa beli makan malam, dan karena memang sudah malam tidak banyak pilihan warung, tapi tetap pertimbangan utama adalah pilih yang murah meriah.

Tapi celakanya hampir semua warung selalu ada menu oseng-oseng buncis, dan mirisnya jika malam sayuran yang tersisa hanya buncis. Awalnya memilih nasi lauk utama saja, lama-lama kok ngenes jadi jarang makan sayur. Dan sepertinya ibu warung juga hafal, akhirnya seringkali sedikit memaksa memberi buncis, dan sebagai iming-imingnya ditambahi bonus lauk lainnya. Ini salah satu keuntungan beli makan larut malam, ibu warung sadar bagaimana nasib anak kos, apa aja yang ada diberikan. Dan alhamdulillah akhirnya terbiasa, sekarang buncis itu juga serasa manis. Jadi yang masih milih-milih makanan, coba rasakan jadi anak kos, peluang jadi omnivora terbuka lebar. Kecuali memang sudah ga mau ribet.

Intinya nikmatilah makanan selama tidak membahayakan kesehatan. Sebelum badan harus membatasi konsumsi sayuran.
Jujur saya memilih sehat, memilih berusaha untuk bisa sehat, meski saat diberi sakit juga tetap tidak masalah, karena bisa jadi sakit itu menjadi pengingat, menjadi pelebur dosa karena banyaknya maksiat. Namun berusaha memanfaatkan sehat sebelum sakit, Insya Allah peluang beramal lebih banyak. Amal banyak saja belum tentu diterima apalagi amal sedikit.

Pare, 11 Juli 2018

Ganbar tumis buncis : vemale.com

No comments:

Post a Comment