Tulisan tersimpan 9 Sep 2012, lima tahun yang lalu. Semoga tetap ingat
Kampus Perjuangan
Kampus, sebuah tempat yang tidak boleh diremehkan perannya dalam melahirkan agen perubah. Karena kampus adalah tempat penggemblengan para pemuda untuk menjadi kaum intelektual. Dan di kampus pula lahirlah aktivis dakwah. Bukan aktivis yang asal bergerak, namun para aktivis yang terbentuk di kampus adalah aktivis yang hampir semuanya mempunyai idealisme luar biasa. Tak mau melewatkan kesempatan yang dimiliki begitu saja. Memanfaatkan tiap detik untuk menempa diri. Kegiatan berbau akademik terus dijalani. Kuliah, praktikum, belajar, asistensi, ikut seminar di sana-sini dan segudang agenda lain terjadwal dengan rapi. Tak ketinggalan aktivitas di luar kuliah. Nanti sore kasih les privat, nanti malam bahasa Arab, besok malam kajian tafsir, besoknya lagi kajian ulumul qur’an besok pagi-pagi brieving buletin, besok lagi ngaji, besok lagi kontak ke teman, besok lagi kontak ke dosen, besok lagi main ke toko buku, begitulah seterusnya. Menjalani hari demi hari dengan penuh semangat.
Tak hanya itu, di kampus suasana pun begitu kondusif. Teman seperjuangan yang banyak, bekerjasama untuk menyukseskan agenda demi agenda, saling mengunjungi untuk sekedar silah ukhuwah, berdiskusi, meminjam buku, saling memotivasi hingga sharing masalah pribadi. Tak ada teman di kosan bisa main ke tempat kos lain, tak kuat sendiri bisa memilih rumah pembinaan. Ah ... emang enak kalo rame-rame... . Begitu juga dengan interaksi dan kontak dakwah. Kantin, masjid, lobi perpustakaan, taman, ruang kuliah, ruang dosen adalah tempat-tempat nyaman untuk menyampaikan ide. Masalah fasilitas tak perlu dipusingkan, bisa dipastikan di kampus fasilitas dan sarana bisa diandalkan. Gedung dengan teknologi super tinggi dan sarana transportasi yang mudah, mendukung gerak dakwah. Mempercepat arus informasi. Up date info cepat sekali, mau beli buku tinggal melangkahkan kaki. Buku, majalah, tabloid, buletin datang tepat waktu. Mau ke mana pun juga ada angkot yang memfasilitasi, mau keluar pagi, sore atau malam tak perlu khawatir tidak bisa pulang.
Begitulah suasana kampus yang pernah kujalani, perjuangan berat melawan ide kufur bisa dinikmati. Semangat perjuangan dalam dakwah senantiasa bergelora di hati. Namun, tak dapat dipungkiri terkadang onak dan duri pun menyapa, tapi itu semua bisa cepat teratasi. Karena teman seperjuangan yang selalu ada di samping untuk menyemangati di kala hati sedang gundah dan di saat idealisme sedikit goyah.
Kampung yang tak seindah kampus
Menjadi mahasiswa abadi tentu bukan menjadi cita-cita seorang mahasiswa. Lulus tepat waktu dengan nilai membanggakan adalah harapan setiap mahasiswa. Kalau pun molor tidak sampai DO. Dan adakalanya ketika ijazah sudah di tangan, kita memilih untuk kembali ke kampung halaman. Dengan berbagai alasan tentunya.
Sengaja pulang kampung dengan kesadaran sendiri, menemani orang tua yang renta atau sakit-sakitan, menikah, memutuskan bekerja di kampung, atau bahkan sudah bosan di kampus. Sepertinya kemungkinan yang terakhir jarang banget dech...
Pulang kampung, itulah yang menjadi keputusan diri ini beberapa tahun yang lalu. Insya Allah dengan alasan yang syar’i. Sebelum mengambil keputusan, ngobrol dengan senior, sharing kelebihan dan kekurangan pindah tempat tinggal yang secara otomatis pindah lahan dakwah. Akhirnya tanpa keraguan sedikit pun, menargetkan untuk pulang kampung. Mulai mengumpulkan informasi tentang kampung halaman. Meski kampung sendiri, bukan tak mungkin kita sudah tak mengenali. Karena sebelum kuliah, ketika belum mengenal dunia dakwah hampir tak pernah peduli dengan realitas kampung halaman. Cuek dan begitu egois, yang penting menjalani hidup, masalah masyarakat emang gue pikiran. Perubahan fasilitas, kebijakan pemerintah daerah, perubahan masyarakat adalah sebagaian informasi yang harus ada di tangan. Tak hanya itu, informasi seputar agenda dakwah pun harus tahu. Mengontak teman seperjuangan yang sudah terlebih dahulu bergerak di daerah. Bagaimana kajian rutinnya, dimana saja biasa mengadakan agenda publik, bagaimana kontak tokohnya, bagaimana tanggapan masyarakat terhadap dakwah khilafah, tokoh mana saja yang sudah merespon, bagaimana responnya, bagaimana kuantitas SDM pengemban dakwah, bagaimana penyebaran tempat tinggal mereka. Itu semua dilakukan ketika belum pindah. Sedia payung sebelum hujan. Mengenal lahan dakwah sebelum terjun itulah yang menjadi tujuan. Jika suasana kampung halaman tak jauh berbeda dengan kampus mungkin tak menjadi masalah, namun jika kampung halaman hanyalah daerah kecil minim fasilitas, apalagi terpencil sungguh itu akan menjadi masalah.
Menyiapkan tempat tinggal yang kondusif. Juga tak boleh diabaikan. Memang kembali tinggal dengan keluarga, namun sekali lagi bisa jadi kita adalah sosok yang berbeda antara dulu ketika meninggalkan rumah dan sekarang ketika kembali ke rumah. Pemikiran berbeda, sikap berbeda, penampilan fisik yang berubah dan tentu saja aktivitas yang tak sama.
Memanfaatkan saat-saat pulang ke rumah untuk ngobrol dengan orang tua dan keluarga besar. Menginteraksikan ide, memahamkan keluarga dan meminta dukungan mereka, karena bagaimana pun juga mereka adalah orang-orang terdekat yang seharusnya tak menghambat aktivitas. Mencari info pekerjaan karena dengan status sarjana tak mungkin berharap banyak masih diberi uang oleh orang tua. Mencoba mandiri meski belum bisa mengandalkan diri sendiri, namun yang pasti ada Allah Yang Maha Kaya, jadilah pekerjaan bukan masalah yang perlu dipusingkan.
Rajin mengumpulkan makalah, contoh undangan mulai dari yang gaul hingga undangan resmi, mengumpulkan proposal berbagai agenda, mengumpulkan banyak bukti fisik. Mungkin kelak bisa dimanfaatkan.Barangkali di kampung semua itu tak ada. Jika di kampus, mungkin tinggal pinjam, tinggl ngopi, tinggal minta tolong ke anggota tim. Mudah dech....
Akhirnya, hari itu pun tiba. Kembali pulang setelah sekian lama meninggalkan kampung halaman. Awalnya kangen dengan teman-teman kuliah yang masih bertahan di kampus, kangen dengan teman seperjuang, rindu dengan para senior yang sabar membimbing dalam dakwah, rindu mengikuti agenda-agenda dakwah di kampus. Ingin ikut masirah, ingin ikut mabit, ingin ngisi kajian remaja yang dulu dihandle.
Kembali ke kampung halaman yang meski termasuk kota kecamatan namun dakwah belum tergarap dengan optimal, daerah dengan SDM pengemban dakwah yang masih sedikit. Sempat kaget ketika pertama kali ngaji di tempat yang jauh ke pelosok. Dulu jarang sekali pergi jauh dari rumah. Jarang naik naik angkutan, dan tak punya motor. Pertama kali mengunjungi sebuah daerah, masih satu kabupaten namun belum pernah mengunjunginya. Sebuah desa yang jaraknya sekitar 15 km dari Pare. Naik angkutan oper dua kali. Di saat naik angkot pertama hati sudah was-was, lamaaaa sekali angkot tidak muncul, dan pelaaan banget jalannya. Sudah gitu tidak tahu lagi mana itu Bogo. Dan lebih takut lagi angkotnya sepi penumpang dan jalurnya kanan-kiri adalah persawahan orang Jawa bilang bulak. Alhamdulillah sampai juga di Bogo, menunggu di perempatan Bogo, sambil nunggu angkutan kedua yang juga lamaaa tak muncul-muncul. Mengamati seorang remaja berseragam SMP, dia duduk di hadapan penjual VCD sambil tangannya memilih-milih. Ikut penasaran, sedikit-demi sedikit melangkah mendekat. Ooo...ternyata CD film dan lagu. Dari covernya sudah kelihatan mengerikan “ wanita mengumbar aurat”, hampir semuanya begitu. Padahal bisa dibilang saat itu Bogo adalah daerah yang belum ramai, ironis penyebaran VCD perusak generasi ternyata sudah menjangkau pelosok daerah. Belum sepenuhnya bisa optimal dalam gerak dakwah eee...tantangan sudah di depan mata. Bagaimana pun juga ini adalah sebuah pilihan yang telah diambil. Namun terkadang masih saja keputusan pindah dari kampus ke kampung menjadi pemicu lemahnya gerak dakwah.
Di kampung, suasana dakwah tak begitu ramai, teman seperjuangan tak banyak, tempat tinggal pun cenderung menyebar. Jadilah seolah berjuang sendiri tanpa teman di sisi. Bergabung dengan saudara seperjuangan yang mempunyai kebiasaan dan uslub berbeda. Ditambah lagi ketika pulang kampung dengan status single dan belum mempunyai penghasilan sendiri padahal orang tua sudah tak membiayai. Kelimpungan mencari kerja. Sebelumnya ketika meninggalkan kampung untuk kuliah atau bekerja di kota belum mengenal dakwah memperjuangkan khilafah. Sebelumnya hanya menjadi manusia biasa yang tak peduli masalah umat, cuek dengan realitas di sekitar, menjadi anak manja yang kemana-mana selalu diantar. Merasa asing di kampung halaman. Tidak hanya itu, keluarga yang belum terkontak dan belum paham dengan dakwah tak jarang menjadi kendala dalam dakwah. Dilarang sering keluar rumah, tidak diberi fasilitas, hingga ancaman pengusiran ketika masih bersikukuh dalam dakwah.
Di pelosok, fasilitas sangat minim. Kajian keislaman sangat jarang. Toko buku nan jauh di mata, buletin dan majalah sering datang terlambat. Informasi begitu lambat. Tempat kajian sangat jauh membutuhkan pengorbanan waktu, biaya, dan tenaga. Masyarakat belum terbiasa menerima hal-hal baru. Masyarakat masih menganggap asing dakwah khilafah. Belum lagi harus berhadapan dengan sebagian masyarakat yang berpemahaman salah. Jadilah pengemban dakwah merasa tak bisa mengembangkan diri dan tak berkutik ketika berinteraksi dengan orang-orang yang cenderung tak peduli dengan orang baru. Akhirnya bingung harus berbuat apalagi. Dan idelisme pun mulai tergerus. Ya sudahlah...mungkin harus ikut arus. Bukannya menjadi sosok yang mendobrak semangat tetapi malah menjadi beban. Astaghfirullah...semoga tak terbersit lagi dalam hati.
Ketika ketidaknyamanan akibat tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan baru terus berlanjut tidak menutup kemungkinan semangat dakwah akan semakin tergerus. Tak hanya karena permasalahan yang berkaitan dengan faktor lingkungan namun bisa juga karena permasalahan pribadi yang semakin membelit. Sungguh merasa prihatin dan dada terasa sesak ketika mendapat berita seseorang yang baru pindah tak mau ngaji lagi. Alasannya beragam, tidak dihubungi berbulan-bulan, terlanjur sibuk dengan kegiatan lain, dilarang keluarga, tidak mempunyai sarana sehingga terisolasi. Tidak siap dengan tantangan baru, tidak kuat dalam memberikan pengorbanan. Tidak siap dengan suasana baru. Hanya menangis sendiri menyesali diri. Dan penyesalan pun menyusup ke dalam relung hati, bertanya lagi tepatkah keputusan ini ?
Anugerah terindah
“Dek di mana pun kita berada, insya Allah itu adalah tempat terbaik yang diberikan Allah ke kita “ Satu pesan yang tak pernah terlupakan. Berusaha bangkit di saat diri ini terpuruk. Tak boleh menyerah. Go..go..semangat !!! Han Ji En dalam K-Drama Full House yang kafir saja bisa semangat menjalani hidup masak pengemban dakwah mlempem ketika disapa ujian... bukannya menjadikannya sebagai teladan hanya berusaha menyemangati diri ... sekali lagi go..go semangat !!!
Meski banyak yang berubah harus tetap isriqomah. Merintis kajian remaja, mengajukan proposal ke sekolah. Memanfaatkan link yang sudah ada. Alhamdulillah...tak terlalu mendapat masalah. Salah satu kelebihan berdakwah di kampung adalah rasa persaudaraan yang masih erat. Jika di kampus tetangga radius 500 m saja bisa jadi tak kenal, tapi di kampung radius 10 km insya Allah masih kenal. Jadilah SKSD alias sok kenal sok dekat jadi jurus andalan dalam berinteraksi, meski belum tahu nama tapi tahu rumahnya. Ngobrol dengan gayeng, memanfaatkan momen pertemuan untuk menyampaikan ide. Naik angkot dengan durasi yang lama digunakan untuk ngorol dengan penumpang, nunggu angkot yang super lama juga dimanfaatkan. Meminjam masjid juga lebih mudah karena memang sudah kenal. Tentu saja itu tak bisa dilakukan dalam sekejap mata, terus menerus berinterakasi dan kontak.
Tak berpuas diri, mulai latihan bergerak di kampung dengan obyek dakwah yang heterogen. Dengan keterbatasan SDM jadilah tim serba bisa. Bisa ngisi kajian remaja, bisa ngisi kajian ibu-ibu yang jenis kajiannya beragam. Sekedar majelis ta’lim, yasinan, bahkan seminar. Meski sudah dibentuk tim khusus masih saja semua harus terjun bersama. Yang menggarap sekolah ya harus kontak ke masyarakat, yang kontak ke birokrat juga harus kontak ke kalangan ustadzah. Mau menolak ? Bisa- bisa dakwah berhenti sama sekali. Beda dengan di kampus dulu, lebih banyak menjumpai obyek dakwah yang homogen. Dengan tim spesialis. Obyek dakwah heterogen, masalah yang di hadapi pun juga heterogen. Mengisi kajian ibu-ibu juga sekaligus menghadapi masalah yang dihadapi para ibu. Demikianlah, menjalani hari demi hari di tempat baru dengan sabar.
Selalu mengingat tujuan setiap aktivitas, yaitu meraih ridha Allah. Menjadikannya bekal dalam menjalani kehidupan. Menjadikan motivasi ruhiyah sebagai satu-satunya penyemangat. Karena sekecil apa pun yang dilakukan tak kan pernah sia-sia di hadapan Allah. Dan seberat apa pun masalah masih ada Allah Yang Maha Besar yang akan menolong orang-orang yang berjuang menegakkan hukum Islam. Meski tak sedikit yang berguguran di jalan dakwah, sedikit pun tak ada niat untuk mengendurkan langkah atau bahkan menghentikan langkah. Ketika kegagalan mendera, ketika rasa lelah menyapa, ketika hambatan di depan mata jangan menyerah begitu saja, jangan merasa menjadi orang yang paling menderita di seluruh dunia. Mengingat perjuangan Rasulullah manusia mulia, mengingat penderitaan kaum muslimin dan mengingat bagaimana para pengemban dakwah yang tak lepas dari ujian. Mulai dari siksaan fisik hingga penghilangan nyawa. Sudahkah itu semua dirasakan ?
Dan yang tak boleh diabaikan. Selalu menjalani kehidupan dengan melaksanakan kaidah sababiyah. Termasuk ketika menjalani aktivitas dakwah di tempat baru. Karena perpindahan tempat dakwah bisa jadi tak bisa dihindari. Entah itu karena sudah terencana maupun pindah secara mendadak. Maka menyiapkan segala sesuatu jauh-jauh hari mutlak diperlukan. Jangan hanya bermodal semangat saja. Membekali diri dan menguatkan motivasi diri. Tetap tsiqah dalam tahapan dakwah, menjalani dengan penuh kesabaran. Selalu mengevaluasi diri dan tak lupa mengembangkan kemampuan secara mandiri, dan yang tak kalah pentingnya adalah menjalani itu semua dengan kontinyu dan disiplin.
Tak lupa selalu menjaga kerja sama dengan saudara seperjuangan, saling membantu, saling memotivasi, perjuangan akan terasa indah ketika ada ukhuwah. Subhanallah semuanya bisa dilaksanakan bersama jamaah dakwah. Karena di mana pun pengemban dakwah berada, itulah tempat terbaik yang dianugrahkan Allah SWT, sebuah nikmat yang harus disyukuri dengan mengoptimalkan potensi diri. Tak peduli di kampus atau di kampung, di kota atau di desa, di pusat kota atau pelosok, dakwah menyadarkan umat tentang penerapan syariah di bawah naungan khilafah harus terus dilakukan. Meski tak tersorot media namun tetap saja itu semua sangat berarti dalam menyiapkan umat.
Masalah pekerjaan ? Tak perlu khawatir, sekali lagi Allah Maha Kaya, binatang melata saja diberi rezeki apalagi manusia yang dikaruniai akal. Memang tak semudah di kampus atau di kota. Tak pernah lelah mencoba, melamar pekerjaan hingga berusaha berwiraswasta. Gagal coba lagi, gagal lagi mencoba lagi begitu seterusnya.
Begitulah, tak ada kata menyerah bagi pengemban dakwah. Selama hayat masih di kandung badan terus menjadikan dakwah sebagai poros. Terus menginteraksikan ide Islam ke seluruh penjuru dunia. Hingga Allah meminta kembali nyawa kita, hingga maut menjemput.