Saturday 6 August 2016

Menutup dan Mengakhiri Lokalisasi



Ngobrol dengan seorang ibu tentang tuntutan penutupan lokalisasi di Kediri, ibu ini  biasa ngobrol dengan purel. Purel, sebenarnya tugas utamanya pelayan di kafe, tapi banyak tugas plus nya. Ngeri juga dengar cerita dari ibu tersebut. Sudah bukan rahasia lagi, purel-purel tersebut juga melayani keinginan para lelaki hidung belang. Ironinya lagi, purel yang diajak ngobrol si ibu hampir semuanya tidak malu jadi purel, malah sering ngajak remaja-remaja cantik untuk mengikuti jejaknya. Dengan enteng bilang : “ Kerja dalam hitunga jam uang ratusan ribu hingga jutaan sudah ada dalam genggaman”. Bahkan ada yang sudah dinikahi (meski kadang secara siri), masih saja ada yang rela kembali, lagi-lagi alasannya menurut saya kurang ajar banget. Katanya ingin main, kangen minum, kangen dugem. Jika benar mayoritas purel seperti ini, bisa jadi alasan ekonomi hanya kambing hitam saja. Lebih banyak yang termotivasi menuruti hawa nafsu. Nafsu mencari materi dengan mudah namun tidak halal, nafsu menikmati dunia. Maka tak heran, ada yang memilih menjadi pelacur dan beroperasi di lokalisasi, tempat legal

Kembali pada masalah penutupan lokalisasi, lokalisasi di negeri ini adalah tempat legal menjajakan diri, tempat legal berzina. Tak ada ceritanya penggrebekan pasangan zina di lokalisasi. Yang ada adalah razia di hotel, tempat kos, kawasan wisata, tempat umum. Karena bukan tempatnya, karena mengganggu kepentingan umum. Jika zina dilakukan di tempat pribadi ataupun di tempat “ yang telah disediakan” tidak dianggap sebagai pelanggaran, tidak bisa langsung dipidanakan. Pelacur dan pelanggannya hanya divonis mengidap penyakit sosial, paling banter sanksinya sebatas sanksi sosial. Tidak ada standar halal haram. Yang  rai gedhek, muka tembok, muka badak, muka beton pasti akan cuek, tidak peduli. Jadi sanksi sosial tidak akan pernah menjadi solusi. 

Harus ada penyelesaian sistemik, karena pemicunya juga sistemik. Setidaknya dua masalah besar yang harus menjadi perhatian, system ekonomi dan dan system social kemasyarakatan.  Pemicu ekonomi muncul karena kebijakan ekonomi yang berbasis kapitalis neolib. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Pengelolaan SDA diserahkan kepada swasta dan asing, Negara lepas tangan. Perekonomian difokuskan pada sector non riil, sector riil yang lansung bersentuhan dengan masyarakat dianaktirikan. Penerimaan Negara bertumpu pada pajak, semua rakyat kena palak. Atas nama investasi, asing menguras kekayaan. Atas nama pinjaman luar negeri asing mengobok-obok kebijakan. Atas nama kemandirian, subsidi dicabut, pelayanan kebutuhan pokok dibisniskan. Hubungan penguasa dengan rakyat tidak mengedepankan pelayanan tapi sebatas meraih keuntungan sebesarnya bagi penguasa sebagai pemilik kebijakan. Simbiosis mutualisme hanya berlaku bagi penguasa dan pemilik modal yang mempengaruhi kebijakan. Rakyat kecil hanya dianggap sebagai parasit yang yang membebani Negara, menggerogoti anggaran belanja Negara. Dan akhirnya rakyat dituntut untuk mandiri, rakyat harus menguras tenaga, memutar akal, memeras keringat, membanting tulang memenuhi kebutuhan sehari-hari. Akhirnya halal haram pun tak pernah jadi pertimbangan. Solusinya, tinggalkan system ekonomi kepitalis yang saat ini mencengkeram negeri ini. Terapkan system perekonomian Islam yang jelas berasal dari Allah SWT dan menempatkan manusia sesuai dengan fitrahnya. Tidak mengumbar manusia untuk memuaskan keinginannya. Mengajak manusia produktif dalam kehidupan, memenuhi kebutuhan, mengejar kebahagiaan dunia tanpa mengabaikan masa depan hakiki di akhirat. 

Kedua, masalah social kemasyarakatan yang dipicu oleh rusaknya akidah umat. Tak bisa dipungkiri, Indonesia adalah Negara muslim terbesar di dunia, maka pelacur dan pelanggannya pun juga bisa jadi mayoritas muslim. Namun sayangnya umat ini seolah sudah terbiasa dengan masalah social ini. Pergaulan bebas semakin marak, perzinaan sudah bukan hal yang tabu, sah-sah saja mencari mangsa di lokalisasi. Konsep pergaulan yang benar, relasi pria dan wanita yang syar’I sangat jauh dari pemikiran umat. Akidah sekuler, memisahkan agama dari kehidupan tertancap kuat dalam benak umat. Syariat Allah diabaikan, Rasulullah diingat sebatas salawatan namun tidak dijadikan teladan dalam seluruh aspek kehidupan. Jadi tak heran jika masih banyak pelaku zina penyuka STMJ, salat terus maksiat jalan. Di bulan Ramadan mereka menghentikan kegiatan di luar Ramadan aksi semakin digencarkan. 

Solusinya satu, terapkan system Islam dalam naungan khilafah. Umat Islam seharusnya hidup dalam system Islam bukan system kufur kapitalisme. Sebagai individu, berlomba dalam kebaikan, mengajak umat bersama menerapkan syariat. Bersama jamaah dakwah melakukan aktivitas politik dan edukasi pemikiran menyadarkan umat, mengingatkan penguasa agar mengatur urusan umat dengan syariat. Menuju tegaknya memang bukan proses yang mudah, namun langkah yang mutlak diperlukan. Wajib dilakukan penyadaran umat, bahwa umat harus mengambil Islam sebagai ideologi. Penyadaran oleh individu juga oleh jamaah dakwah sebagai institusi pemikiran. Menyadarkan umat ko bahwa Negara seharusnya menjadi institusi penerap hukum Allah SWT. 

Negara ini membutuhkan perubahan mendasar, dari tidak menerapkan hukum Islam  menjadi Negara yang menerapakan Islam, yang akan menjadi rahmat untuk seluruh alam. Islam hanya bisa diterapkan secara sempurna jika sistemnya khilafah. Bukan yang lain. Maka teruslah mengenal system khilafah, teruslah menyampaikan khilafah, hingga saat Allah mengijinkan khilafah tegak umat ridlo menerima. 

No comments:

Post a Comment