Hampir di semua daerah, tidak
hanya di Jombang, Bangil dan Jogja letak alun-alun selalu berdekatan dengan
masjid, pusat pemerintahan, pasar dan kampung kauman. Mirip dengan apa yang dicontohkan Rasulullah
saw. Sejak hijrah ke Madinah, pertamakali yang dibangun adalah Masjid Nabawi,
rumah Rasulullah sebagai kepala Negara juga tidak jauh dari masjid Nabawi. Dan
Rasulullah menjalankan roda pemerintahan dengan masjid sebagai pusatnya.
Dahulu pada masa kesultanan Islam
alun-alun adalah tanah kosong yang luas, biasa digunakan untuk berbagai
kegiatan. Terutama aktivitas yang berkaitan antara hubungan penguasa dan
rakyat, tempat rakyat menyalurkan aspirasi, tempat penguasa bertemu rakyat,
tempat eksekusi hukuman pelaku criminal dll.Dan sekarang, hampir semua
alun-alun jadi taman kota. Penguasanya Cuma butuh suara rakyat pas pemilu saja,
habis itu lupa dengan janji saat kampanye, aspirasi rakyat hanya ditampung saja
tanpa tindak lanjut yang berarti. Kebijakan pun tak sesuai kehendak mayoritas
rakyat, kebijakan hanya menguntungkan segelintir orang yang dulu menjadi
penyandang dana kampanye. Ga perlu alun-alun lagi, apalagi di mata pengembang
tanah luas pasti tak kan dibiarkan begitu saja. Coba amati sekitar alun-alun, pasti ada mall, supermarket atau
setidaknya minimarket.
Berhubung belum pernah
mengunjungi banyak tempat, hanya tahu beberapa tempat saja.
Jombang - Bangil
Sekitar alun-alaun Jombang dan
Bangil sepanjang jalannya dihiasi
tulisan asmaul husna, semoga selalu mengingat maknanya. Bukan sekadar hiasan
saja. Jombang dan Bangil suasana wilayahnya hampir sama. Banyak ponpes,
madrasah dan ma’had. Sama-sama layak mendapat julukan kota Santri, semoga
menjadi motivasi untuk tetap mempertahankan perilaku santri yang selalu terikat
dengan aturan Allah SWT.
Jombang – Jogja
Di beberapa ruas jalan utama di
Jombang Jogja sama-sama ada tulisan kalimat thayyibah, di Jogja dulu menjumpai
di lingkar selatan, menuju terminal Giwangan.
Bangil – Jogja
Jika di Jogja semua nama jalan
disertai tulisan huruf Jawa honocoroko, maka nama jalan di Bangil disertai
tulisan Arab pego. Di jogja melestarikan tulisan Jawa, di Bangil melestarikan
tulisan Arab.
Jadi ingat dengan cerita seorang
nenek di majelis taklim, mengaku buta huruf. Bilanganya tidak bisa baca tulis,
hanya bisa nulis dan baca Arab pego saja. Jadi menurut pemahaman nenek tersebut
jika hanya bisa baca tulis Arab pego masih dikatakan buta huruf, dan dulu tidak
ikut sekolah PBH pemberantasan buta huruf. Dulu juga pernah dengar langsung
dari seseorang yang pernah menjadi guru PBH, tugasnya adalah mengajar huruf
latin. Terjadi pada saat penjajahan Belanda. Jadi Belanda melatih beberapa guru
yang kemudian para guru inilah yang
kemudian mengajari masyarakat. Sepertinya baik hati sekali penjajah Belanda,
rela mendidik bangsa jajahannya. Iya, baik hati jika Belanda memberi setulus
hati, itu jika tetap membiarkan tulisan Arab dipertahankan, meski dengan tambahan yang lain (tulisan latin ) . Tapi ternyata tidak, ada maksud jahat di balik semua taktiknya. PBH hanyalah
sarana untuk menjauhkan rakyat Indonesia dari tulisan Arab, bangsa ini mengenal
tulisan Arab jauh sebelum Belanda datang. Karena memang sudah menjadi kelebihan
Islam, ketika melakukan dakwah dan futuhat berhasil melebur dengan masyarakat.
Karena Islam tidak datang untuk menjajah tetapi untuk mengajak masyarakat
menjemput hidayah, maka dengan dakwah memahamkan umat dengan Islam meengajarkan
Al Qur’an dan bahasa Arab, Islam dengan mudah diterima siapa saja. Dengan
penyatuan potensi Islam dan Bahasa Arab,kokohlah posisi Islam.
Kembali pada PBH, atas nama
pemberantasan buta huruf, tulisan Arab semakin tidak dikenal bangsa ini.
Kemampuan berbahasa Arab dan kebiasaan menulis Arab semakin menurun. Maka
kedekatan dan pemahaman terhadap Al Qur’an dan Hadits yang berbahasa Arab
semakin jauh. Jika tidak memahami Al Qur’an dan Hadits maka wajar jika akhirnya
semakin jauh dari tuntunan Al Qur’an dan Hadits. Dan akhirnya seperti saat ini,
umat Islam semakin jauh dari syariat Islam yang jelas berasal dari Allah SWT dan
Rasulullah saw.
Berhasillah penjajah Barat,
melemahkan umat Islam. Mencengkeram pemikiran umat, mencekoki dengan pemikiran
kapitalisme. Jauh dari bahasa Arab, jauh dari Al Qur’an, jauh dari Hadits dan
asing dengan syariat Islam. Umat tidak bisa membedakan antara
hadlarah-peradaban dengan madaniyah- yang mubah diambil.
Maka jika bangsa ini benar-benar
ingin lepas dari penjajahan, harus melepas dan meninggalkan semua pemikiran dan
peradaban warisan penjajah. Penjajah dulu yang membawa pemikiran kapitalis
sekuler, berhasil ditancapkan kepada rakyat jajahan, hingga saat ini. Ide
Negara bangsa – nation state lahir dari pemikiran yang diarahkan Barat. Bukan
warisan dan cita-cita para pejuang pengusir penjajah yang ikhlas berjihad demi
mempertahankan bumi pertiwi.
Jika mencintai Indonesia tentu
tidak akan membiarkan kapitalisme, neoliberalisme, neoimperialisme semakin
kokoh bercokol di negeri tercinta ini. Kembali memperjuangkan cita-cita para
syuhada yang telah menumpahkan darah demi mengusir penjajah, berjuang semata
demi tegaknya hukum Allah, tidak rela kehormatan bangsa ini diinjak penjajah .
Ideology kapitalisme hanya akan
bisa dilawan dengan ideology juga, tentu bukan ideology social komunis yang
kita pilih. Hanya ideology Islam saja satu-satunya pilihan. Dan ideology Islam akan
sempurna dalam system Khilafah, menerapkan syariah Islam untuk mewujudkan
rahmat bagi seluruh alam, mengayomi semua warga negaranya tak membedakan agama,
suku dan bangsa.
Pare, 17 Juni 2015
No comments:
Post a Comment