Wednesday 17 June 2015

Sama dan Beda ( Jalan dan Alun-alun Jombang – Bangil – Jogja )




Hampir di semua daerah, tidak hanya di Jombang, Bangil dan Jogja letak alun-alun selalu berdekatan dengan masjid, pusat pemerintahan, pasar dan kampung kauman.  Mirip dengan apa yang dicontohkan Rasulullah saw. Sejak hijrah ke Madinah, pertamakali yang dibangun adalah Masjid Nabawi, rumah Rasulullah sebagai kepala Negara juga tidak jauh dari masjid Nabawi. Dan Rasulullah menjalankan roda pemerintahan dengan masjid sebagai pusatnya.

Dahulu pada masa kesultanan Islam alun-alun adalah tanah kosong yang luas, biasa digunakan untuk berbagai kegiatan. Terutama aktivitas yang berkaitan antara hubungan penguasa dan rakyat, tempat rakyat menyalurkan aspirasi, tempat penguasa bertemu rakyat, tempat eksekusi hukuman pelaku criminal dll.Dan sekarang, hampir semua alun-alun jadi taman kota. Penguasanya Cuma butuh suara rakyat pas pemilu saja, habis itu lupa dengan janji saat kampanye, aspirasi rakyat hanya ditampung saja tanpa tindak lanjut yang berarti. Kebijakan pun tak sesuai kehendak mayoritas rakyat, kebijakan hanya menguntungkan segelintir orang yang dulu menjadi penyandang dana kampanye. Ga perlu alun-alun lagi, apalagi di mata pengembang tanah luas pasti tak kan dibiarkan begitu saja. Coba amati sekitar  alun-alun, pasti ada mall, supermarket atau setidaknya minimarket.

Berhubung belum pernah mengunjungi banyak tempat, hanya tahu beberapa tempat saja.

Jombang - Bangil
Sekitar alun-alaun Jombang dan Bangil sepanjang  jalannya dihiasi tulisan asmaul husna, semoga selalu mengingat maknanya. Bukan sekadar hiasan saja. Jombang dan Bangil suasana wilayahnya hampir sama. Banyak ponpes, madrasah dan ma’had. Sama-sama layak mendapat julukan kota Santri, semoga menjadi motivasi untuk tetap mempertahankan perilaku santri yang selalu terikat dengan aturan Allah SWT. 

Jombang – Jogja
Di beberapa ruas jalan utama di Jombang Jogja sama-sama ada tulisan kalimat thayyibah, di Jogja dulu menjumpai di lingkar selatan, menuju terminal Giwangan.

Bangil – Jogja
Jika di Jogja semua nama jalan disertai tulisan huruf Jawa honocoroko, maka nama jalan di Bangil disertai tulisan Arab pego. Di jogja melestarikan tulisan Jawa, di Bangil melestarikan tulisan Arab.

Jadi ingat dengan cerita seorang nenek di majelis taklim, mengaku buta huruf. Bilanganya tidak bisa baca tulis, hanya bisa nulis dan baca Arab pego saja. Jadi menurut pemahaman nenek tersebut jika hanya bisa baca tulis Arab pego masih dikatakan buta huruf, dan dulu tidak ikut sekolah PBH pemberantasan buta huruf. Dulu juga pernah dengar langsung dari seseorang yang pernah menjadi guru PBH, tugasnya adalah mengajar huruf latin. Terjadi pada saat penjajahan Belanda. Jadi Belanda melatih beberapa guru yang kemudian para guru  inilah yang kemudian mengajari masyarakat. Sepertinya baik hati sekali penjajah Belanda, rela mendidik bangsa jajahannya. Iya, baik hati jika Belanda memberi setulus hati, itu jika tetap membiarkan tulisan Arab dipertahankan, meski dengan tambahan yang lain (tulisan latin )  . Tapi ternyata tidak, ada maksud jahat di balik semua taktiknya. PBH hanyalah sarana untuk menjauhkan rakyat Indonesia dari tulisan Arab, bangsa ini mengenal tulisan Arab jauh sebelum Belanda datang. Karena memang sudah menjadi kelebihan Islam, ketika melakukan dakwah dan futuhat berhasil melebur dengan masyarakat. Karena Islam tidak datang untuk menjajah tetapi untuk mengajak masyarakat menjemput hidayah, maka dengan dakwah memahamkan umat dengan Islam meengajarkan Al Qur’an dan bahasa Arab, Islam dengan mudah diterima siapa saja. Dengan penyatuan potensi Islam dan Bahasa Arab,kokohlah posisi Islam.

Kembali pada PBH, atas nama pemberantasan buta huruf, tulisan Arab semakin tidak dikenal bangsa ini. Kemampuan berbahasa Arab dan kebiasaan menulis Arab semakin menurun. Maka kedekatan dan pemahaman terhadap Al Qur’an dan Hadits yang berbahasa Arab semakin jauh. Jika tidak memahami Al Qur’an dan Hadits maka wajar jika akhirnya semakin jauh dari tuntunan Al Qur’an dan Hadits. Dan akhirnya seperti saat ini, umat Islam semakin jauh dari syariat Islam yang jelas berasal dari Allah SWT dan Rasulullah saw.

Berhasillah penjajah Barat, melemahkan umat Islam. Mencengkeram pemikiran umat, mencekoki dengan pemikiran kapitalisme. Jauh dari bahasa Arab, jauh dari Al Qur’an, jauh dari Hadits dan asing dengan syariat Islam. Umat tidak bisa membedakan antara hadlarah-peradaban dengan madaniyah- yang mubah diambil.

Maka jika bangsa ini benar-benar ingin lepas dari penjajahan, harus melepas dan meninggalkan semua pemikiran dan peradaban warisan penjajah. Penjajah dulu yang membawa pemikiran kapitalis sekuler, berhasil ditancapkan kepada rakyat jajahan, hingga saat ini. Ide Negara bangsa – nation state lahir dari pemikiran yang diarahkan Barat. Bukan warisan dan cita-cita para pejuang pengusir penjajah yang ikhlas berjihad demi mempertahankan bumi pertiwi.

Jika mencintai Indonesia tentu tidak akan membiarkan kapitalisme, neoliberalisme, neoimperialisme semakin kokoh bercokol di negeri tercinta ini. Kembali memperjuangkan cita-cita para syuhada yang telah menumpahkan darah demi mengusir penjajah, berjuang semata demi tegaknya hukum Allah, tidak rela kehormatan bangsa ini diinjak  penjajah  .

Ideology kapitalisme hanya akan bisa dilawan dengan ideology juga, tentu bukan ideology social komunis yang kita pilih. Hanya ideology Islam saja satu-satunya pilihan. Dan ideology Islam akan sempurna dalam system Khilafah, menerapkan syariah Islam untuk mewujudkan rahmat bagi seluruh alam, mengayomi semua warga negaranya tak membedakan agama, suku dan bangsa. 



Pare, 17 Juni 2015

No comments:

Post a Comment