Sumber gbr : syababindonesia.com
16 Juni 2015, 3 – 4.30 pm
Posisi sudah di dalam terminal,
menunggu bis jurusan Pare. Satu pun tak ada, bahkan patas pun juga tak masuk
terminal. Bis jurusan Pare baru ada setelah 1,5 jam menunggu. Penuh, tidak
dapat tempat duduk. Cerita dari penumpang yang sudah naik dari Surabaya, juga
nunggu 2 jam. Armada bis Surabaya Pare memang sedikit ditambah dengan volume
kendaraan yang sangat padat, jadilah bis sangat terlambat.
Selama di terminal Mojokerto
hanya duduk diam dan sedikit ngobrol. Duduk di ruang tunggu penumpang, ada
calon penumpang lainnya. Tetapi lebih banyak yang duduk-duduk adalah para
pedagang asongan dan pengamen. Pedagang asongannya lebih banyak bapak-bapak,
sedangkan pengamennya banyak wanita dengan make up yang cenderung menor.
Mendengar obrolan dan guyonan para pedagang dan pengamen.
Sudah sore, pedagang asongan
berbagi bis untuk dinaiki pulang, ada yang mengatur pembagian urutan jatah bis.
Dalam satu bis tidak boleh ada pedagang yang sejenis, hanya ada 1 pengamen.
Mungkin biar tidak saingan dan awak bus membatasi penjual dan pengamen yang
ikut numpang gratis. Berhubung jarak kedatangan antar bis lama sepertinya
mereka gelisah, berarti mundur juga jadwal kepulangan mereka.
Mendengar obrolan para pengamen,
ada satu pengamen laki-laki yang gaulnya dengan pengamen ibu-ibu, tiba-tiba
duduk di lantai di depan para ibu. Ada sesuatu di tangannya yang berusaha
dibukanya, lotion pemutih wajah, setelah berhasil membuka langsung ambil di
telapak tangannya dan mengoles ke wajah, padahal tangannya terlihat kotor,
kukunya hitam-hitam. Salah satu ibu menyeletuk “ Gak pantes arek lanang kok
nganggo pemutih, wajahmu tambah nggilani lho”. Pengamen laki-laki sepertinya
cuek, ambil cermin dan meratakan lotion ke seluruh wajahnya dan sebagian leher.
Ada ibu lain yang nimbrung “ Anakku yo tak tukokne koyo ngono”. Hanya membatin
“ Lotion mahal, susah-susah ngamen hanya buat beli barang tidak penting”.
Obrolan mereka selama satu jam
lebih seputar hasil ngamen dan jualan, mengeluh alat musiknya rusak. Diselingi
guyon dan berbicara kotor, saling menggoda, saling mengejek, tangan rangkul
sana rangkul sini tidak risih, seolah biasa dengan pergaulan yang tidak layak
dilakukan antar non mahram.
Tidak bisa menyalahkan mereka.
Perilaku mereka cerminan pemikiran mereka, mereka berpikir apa yang dilakukan
sah-sah saja, tidak salah. Dan apa yang mereka lakukan dianggap sudah biasa. Jauh
dari perilaku akhlak mulia, jauh dari obrolan bermutu ilmiah dan visioner.
Omongannya dangkal tak berarah, ra nggenah blas.
Memang sudah biasa, dalam system
kapitalisme. Pikirannya hanya materi, tidak terlalu ambil pusing dengan halal
haram yang dikerjakan. Perekonomian yang hanya memihak para pemilik modal,
orang miskin harus membanting tulang demi pendapatan yang sedikit namun biaya
hidup semakin melambung. Negara hanya berperan sangat sedikit. Fungsi Negara
sebagai pengurus urusan umat jauh api dari panggang. Negara hanya regulator,
ciri Negara neolib, rakyat dibiarkan dengan permasalahan mereka sendiri, tak memberi
solusi menyeluruh. Padahal banyak dari masyarakat yang tak terdidik, tak biasa
berpikir kritis dan cemerlang. Seolah hidup hanya untuk mencari sesuap nasi
demi keluarga. Sudah titik, tidak mikir jauh ke depan, ke depan hingga akhirat.
Begitulah, masyarakat terbentuk
dari individu yang berinteraksi, mempunyai perasaan, pemikiran dan aturan hidup
yang sama. Ketika sistem yang melingkupi mereka adalah system kapitalis sekuler
individualis materialistis, maka itu pula yang terbentuk dalam masyarakat. Masyarakat
kebanyakan hanya mengikuti arus. Apapun perubahannya, mereka ikut saja.
Ya sudahlah, setidaknya kelak
ketika perubahan yang terwujud adalah perubahan yang sahih, syar’I mereka juga
akan mengikuti dan lama-lama menjadi terbiasa.
Terus saja berusaha melakukan
perubahan yang syar’I, perubahan yang telah dicontohkan Rasulullah saw,
mengubah masyarakat jahiliyyah menjadi masyarakat mulia. Rasulullah tidak
berjuang demi langgenggnya kebatilan, tapi Rasulullah berjuang menghilangkan
kebatilan. Kapitalisme itu batil, demokrasi itu ide kufur tak layak
dipertahankan, tak layak diperjuangkan. Terus saja meyakinkan bahwa yang layak
diterapkan hanya system khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Khilafah yang
dijalankan berdasarkan metode kenabian. Negara yang diatur sebagaimana
Rasulullah dan para khulafa’ rasyidin menjalaninya. Terus saja belajar,
khilafah tidak hanya 30 tahun saja, khilafah bukan kerajaan, khilafah tidak
utopis. Teruslah bersabar menapaki tahapan dakwah Rasulullah saw. Tak perlu
mundur karena celaan, terus memperbaiki cara berinteraksi, terus menambah ilmu,
sabar dengan ujian.
Perjuangan ini tidak hanya demi
diri sendiri yang akan mempertangunggjawabkan amalan sendiri di akhirat kelak,
tetapi juga demi umat, mereka berhak hidup dalam system yang mulia, umat berhak
hidup dalam rangka beribadah kepada
Allah dalam berbagai aspek kehidupan, umat berhak menyandang gelar umat
terbaik.
Pare, 22 Juni 2015
No comments:
Post a Comment