Tuesday 18 September 2018

Demokrasi, Demi Kesejahteraan atau Kekayaan ?



Tujuh puluh tiga tahun sudah bangsa ini merayakan HUT RI, seharusnya semakin bertambah usia, kondisi negeri ini semaikn membaik, rakyatnya semakin sejahtera. Namun ironisnya, lagi-lagi rakyat disuguhi dengan kasus yang memilukan hati, yaitu semakin bertambahnya pejabat  yang  terjerat  kasus  korupsi. Bukannya fokus pada kepentingan rakyat, para pejabat korup tersebut malahan memperkaya diri. Sebut saja kasus terakhir yang semakin membuat mata terbelalak, mantan Mensos Idrus Marham dan mantan walikota Depok Nur Mahmudi. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Di saat rakyat harus berjuang untuk bertahan hidup dalam kondisi perekonomian yang semakin mencekik, masih saja ada pejabat tidak amanah, dan mereka adalah pejabat yang selama ini selalu memberi janji manis saat menuju tampuk kekuasaan.
Memang, pejabat korup hanyalah oknum, namun ternyata oknum itu jumlahnya tidak sedikit, maka tentu ini menjadi pertanyaan besar dalam benak kita, demokrasi yang terus disanjung sebagai sistem paripurna untuk mengatur negeri ini masihkah mampu membuat rakyat negeri ini sejahtera? Tentu pengamatan, data dan fakta selama negeri ini mengenyam kemerdekaan cukup menyadarkan kita, demokrasi hanya mencetak pejabat dengan mulut manis saat mengemis kekuasaan namun melupakan rakyat saat mereka memangku jabatan. Rakyat hanya dibutuhkan saat mereka meminta dipilih, segala cara dilakukan untuk membujuk rakyat, salah satunya dengan mengeluarkan modal yang sangat besar, yang terkadang secara nalar tak seimbang dengan gaji yang akan mereka dapatkan. Apakah mereka semua adalah pejabat yang semuanya tulus ikhlas melayani? Kemungkinannya sangat kecil, karena rakyat negeri ini didominasi pemikiran sekular, dimana aturan agama dalam seluruh aspek kehidupan tak dihiraukan. Tuhan hanya diingat dalam aspek invidu saja, nama Tuhan hanya disematkan dalam seremonial formal saja, selebihnya aturanNya dicampakkan. Lagi-lagi semua atas nama demokrasi, orang-orang sekular terus berlindung dibalik jargon suara rakyat adalah suara Tuhan.
Padahal sejatinya demokrasi hanyalah cara para pemilik modal alias kaum kapitalis memanfaatkan rakyat untuk mengumpulkan kekayaan. Buktinya, Indonesia dengan potensi SDA yang luar biasa, rakyatnya masih saja banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan, dan di sisi lain segelintir konglomerat yang menguasai sebagian besar kekayaan semakin berjumawa. Ya, sistem kapitalis yang dipelihara demokrasi hanya akan memberi kesempatan kepada para pemilik modal untuk semakin memperkaya diri dan semakin membuat orang miskin semakin jatuh dalam jurang kemiskinan. Dan golongan ekonomi menengah pun semakin terengah-engah mengumpulkan sisa-sisa kekayaan.
Maka, seharusnya kita semakin menyadari, demokrasi tidak akan pernah mengantarkan pada kesejahteraan, demokrasi hanya akan mencetak pejabat yang berebut kekuasaan demi kepentingan dunia, demi kekayaan, meski dengan jalan korupsi, karena itu sudah menjadi konsekuensi politik dalam sistem demokrasi, mengatasnamakan kesejahteraan rakyat namun sejatinya menjerumuskan rakyat. Sebagai muslim tentu kita tidak akan berdiam diri, janji yang  terucap setiap hari akan mendedikasi hidup dan mati hanya untuk Allah SWT perlu direalisasikan. Bukan sekadar ucapan rutin di mulut belaka, janji tanpa bukti. Kembali berpikir dan merenung, jika Nabi sallallahu ‘alaihi wassalam masih hidup, relakah beliau dengan keadaan kita saat ini? Dimana banyak teladan dari beliau tidak kita terapkan dalam kehidupan. Tidakkah ingin mewujudkan seruan Allah SWt untuk menerapakan Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan? Tidakkah kita takut dengan penghidupan yang sempit dan kesengsaraan di akhirat saat kita mengabaikan peringatan dari Allah? Tidakkah kita ingin bersama  Rasulullah di surga? Ataukah kita akan terus bertahan dengan sitem demokrasi dan hanya membiarkan pergantian pemimpin semata? Puaskah hanya mengganti pemimpin dengan tetap mengabaikan aturan  Allah ? tentu jangan seperti Bani Israel yang banyak tanya namun tak melaksanakan perintahNya. Kita sebagai muslim, cukup dengan kami mendengar dan kami taat, memperjuangkan ketaatan dengan menapaki kembali jalan kehidupan yang berdasar pada peninggalan agung baginda Nabi, Alquran dan Hadits, tentu tidak berharap pada demokrasi, namun percaya diri dengan sistem warisan Nabi,khilafah. Wallahu a’lam bishawab.

Nur Aini, S.Si
Pare Kediri Jawa Timur



2 comments:

  1. https://saifulmaulanasub.blogspot.com/
    mohon kritik dan saran dan saling followback

    ReplyDelete
    Replies
    1. He..he.. kok nguyahi segoro. Cuma bisa posting tulisan saja :). Gaptek, cara follow itu bagaimana? Kok pilihannya ketemu follow G+. bukan follow blog.

      Delete