Tuesday, 31 August 2021

Perang Baliho, Potret Politisi Minim Simpati



Kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 memang masih jauh. Namun, para bakal kandidat sudah mulai ancang-ancang dengan memasang baliho. Baliho berukuran besar banyak menghiasi jalan, bukan sekadar baliho biasa, namun baliho yang disertai jargon-jargon khas kampanye.

Bukan menuai simpati malah makian dan protes rakyat karena para politisi yang menawarkan diri menjadi pemimpin adalah sosok yang tak punya kepekaan terhadap kondisi rakyat dan hanya bertarung demi mendapat kursi. Rakyat memang pantas tak puas, tentu dengan alasan yang masuk akal. Alasan pertama, baliho terpasang pasti mengeluarkan uang yang tak sedikit, di saat rakyat terdampak langsung adanya pandemi, rakyat harus ekstra membanting tulang, memeras keringat, memutar otak mencari uang untuk memenuhi kebutuhan, para politisi begitu egois membuang uang demi menunjukkan eksistensinya. Kedua, dalam sistem demokrasi harus diakui persaingan politisi dalam merebut hati rakyat mengharuskan mereka mengeluarkan modal yang besar. Maka bisa dipastikan saat menjabat ada upaya mengembalikan modal, lagi-lagi ini demi diri sendiri, bukan demi rakyat. Jargon dan janji manis kepada rakyat tidak akan pernah terwujud.

Fakta seperti ini, semestinya menjadi cambuk bagi rakyat untuk sadar keburukan sistem demokrasi yang niscaya hasilkan politisi pengabdi kursi bukan pelayan rakyat. Rakyat tidak boleh amnesia dengan kelakuan politisi dalam sistem demokrasi, jargon dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat hanya gencar disampaikan saat musim kampanye saat para politisi butuh suara rakyat, setelah terpilih rakyat hanya diingat sesaat. Sayangnya ini terus berulang, saat pemilu masih saja berharap politisi dalam sistem demokrasi akan membawa angin segar perubahan.

Biaya mahal, saingan ketat antar politisi, serta motivasi mencari kekuasaan demi eksistensi materi dan kekuasaan dalam sistem demokrasi adalah hal yang wajar, maka wajar pula jika yang lahir adalah politisi tanpa simpati akan nasib rakyat yang sesungguhnya.

Demokrasi tak layak diharapkan, apalagi jika dilihat dari sudut pandang perbuatan dan produk hukum yang dihasilkan, demokrasi membuat aturan hukum berdasarkan hawa nafsu manusia padahal ini jelas pandangan yang salah, yang membuat para politisi tak pernah berpikir tentang halal haram, yang ada adalah politisi sekular.

Fakta demikian harusnya membuka mata semua rakyat, demokrasi tak layak diharapkan. Namun tak berhenti hanya tak berharap pada demokrasi, saatnya rakyat berharap perubahan dari sistem selain demokrasi. Maka pilihannya tinggal dua, berharap pada sistem komunis atau pada sistem Islam.

Sudah tayang di :

 https://retizen.republika.co.id/posts/12831/perang-baliho-potret-politisi-minim-simpati

Sunday, 22 August 2021

Masak terong

 



Terong bumbu seadanya (maksud hati hendak membuat rendang terong)


Bahan : terong (harusnya ditambah daging sapi), telur rebus. 


Bumbu dihaluskan :

Cabe

Bawang putih

Bawang merah

Kunyit

Lengkuas

Jahe

Pala

Merica

Kemiri

Gula putih

Gula merah

Garam


Bumbu tambahan 

Daun salam

Daun jeruk purut

Daun kunyit

Sereh digeprek

Santan


Bumbu dihaluskan digoreng hingga harum

Masukkan bumbu tambahan

Beri air secukupnya

Masukkan telur

Masukkan terong


Ukuran bumbu suka-suka

Rendang kok dominan kuning

Tidak usah nanya bagaimana rasanya

Saturday, 21 August 2021

Mengakui Baha'i, Menguatkan Moderasi Beragama

 Friday, 06 Aug 2021, 11:24 WIB

Setelah ucapan hari raya Baha'i oleh Menteri Agama, pembelaan terhadap pengikut Baha'i semakin menguat. Para aktivis kebebasan beragama menyambut hangat hal ini. Namun bagi umat Islam, kebebasan ini tentulah sebuah musibah. Baha'i yang secara ritual dan keyakinan ada kemiripan dengan agama Islam, jika diakui sebagai agama atau setidaknya diakui eksistensinya maka dengan kata lain juga menjadi pengakuan atas kebolehan untuk mengacak-acak ajaran Islam.

Ini adalah salah satu poin pentingnya, akan berbeda jika Baha'i tidak mencampuradukkan ajarannya dengan ajaran Islam. Belum lagi terkait ajaran baha'i yang jelas menentang ajaran Islam, semisal jihad yang haram, bolehnya riba. Jelaslah, pengakuan terhadap Baha'i adalah pelecehan terhadap syariat Islam.

Belum lagi terkait dengan menguatnya desakan untuk mengakui Baha'i sebagai agama dengan alasan kebebasan beragama. Alasan ini juga harus diwaspadai umat Islam. Sungguh ironi, negara yang mengaku berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, di satu sisi mengekang pelaksanaan sebagian syariat Islam dengan tuduhan radikal, ekstrim hingga berakhir pada pencabutan beberapa ormas Islam karena dianggap bertentangan dengan Pancasila, namun di sisi lain hendak mengakui agama yang melecehkan syariat.

Sangat paradoks. Jika memang mengatasnamakan kebebasan beragama ketika mengakui Baha'i mengapa tidak pula membiarkan umat Islam yang hendak mengamalkan ajaran agamanya semisal berjuang menegakkan khilafah? Maka alasan kebebasan beragama hanyalah dalih saja ketika digunakan untuk mengakui Baha'i sebagai agama yang sah di negeri ini.

Yang tak kalah penting untuk diwaspadai adalah pengakuan Baha'i sebagai bagian dari agenda internasional untuk semakin menguatkan moderasi beragama. Salah satu indikator kuatnya moderasi beragama adalah desakan untuk mengakui agama lain sebagai agama yang benar, tidak menganggap agamanya sendiri saja yang paling benar, prinsip ini jelas akan menggerus makna toleransi yang sebenarnya, bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Tidak boleh ada pemaksaan agama, mengakui dan menghormati agama lain namun tak boleh mencampuradukkan ajaran agama, tidak boleh sesuka hati mengambil syariat dan sesuka hati mencampakkan syariat lain.

Jika benar pengakuan Baha'i di Indonesia adalah bagian dari moderasi beragama, maka umat islam harus mewaspadai dan jika perlu menolak dengan tegas. Dalam islam yang benar dan salah sudah jelas bedanya, tidak butuh sikap moderat yang bermakna mengkompromikan ajaran Islam dengan kemauan manusia. Moderasi beragama juga berbahaya ditinjau dari kemungkinan semakin mencuatnya stigma negatif kepada umat islam yang berpegang teguh pada ajaran islam yang dianggap sebagai umat yang tidak moderat, tidak siap menerima perbedaan dan berpeluang menghancurkan persatuan. Jelas ini adalah tuduhan yang keji jika dipandang dari sudut pandang moderasi beragama.

Oleh karena itu, ucapan hari raya atau bahkan pengakuan terhadap Baha'i harus diwaspadai sebagai pintu gerbang menguatnya moderasi beragama di Indonesia. Umat islam tidak boleh membiarkan. Terus mengkritik kebijakan pemerintah yang salah, mengingatkan umat dan membekali umat dengan akidah yang kuat. Dan yang tak kalah pentingnya adalah segera mewujudkan institusi syar'i agar islam tidak terus dilecehkan, agar islam menjadi rahmat untuk seluruh alam.

Nur Aini, S. Si, Guru - Tinggal di Kediri Jawa Timur


Tulisan sudah tayang di https://retizen.republika.co.id/posts/12597/mengakui-bahai-menguatkan-moderasi-beragama#

    Mengambil Hikmah Hijrah Rasulullah Di Tengah Wabah


    Dua kali sudah umat islam memperingati tahun baru hijriyah dalam suasana wabah. Tahun baru hijriyah yang biasa diperingati dengan meriah harus dijalani dalam suasana pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang sudah diperpanjang sebanyak 3 kali. Lagi-lagi suasana peringatan tahun baru hijriyah kali ini dalam suasana sunyi senyap. Tak ada pawai ta'aruf para santri, tidak ada gebyar Muharram, tidak ada kemeriahan perlombaan. Tidak hanya sunyi dalam peringatan tahun baru hijriyah, negeri ini juga terus dilanda duka karena wabah, korban meninggal akibat covid- 19 terus bertambah, yang terinveksi dan terdampak pun semakin banyak.

    Hampir semua lini kehidupan terimbas. Dalam bidang pendidikan, nasib generasi dipertaruhkan, di bidang perekonomian masyarakat semakin merasakan kesempitan, pendapatan terus menurun sedangkan kebutuhan semakin meningkat. Di bidang kesehatan juga semakin memprihatinkan. Pasien covid terus bertambah sedangkan fasilitas kesehatan tidak mampu memberikan pelayanan maksimal, selain karena keterbatasan sarana juga diperparah dengan semakin banyaknya tenaga kesehatan yang meninggal, maka lengkap sudah macam penderitaan yang dialami rakyat.

    Wabah yang berlangsung hampir dua tahun ini seharusnya menjadi momen untuk muhasabah, mengapa ujung wabah ini seolah belum nampak juga. Apalagi dengan peringatan tahun baru hijriyah ini, menjadi kesempatan yang tepat untuk melakukan perubahan. Karena tahun baru hijriyah tidak bisa dilepaskan dari peristiwa hijrah Rasulullah saw dari Mekah ke Madinah, tonggak perubahan kehidupan umat islam. Hijrah Rasulullah saw adalah contoh nyata perubahan total dalam kehidupan. Di Mekah umat islam tidak leluasa menjalankan agama Islam, tidak bebas mendakwahkan agama Allah.

    Hijrah Rasulullah saw adalah bukti perubahan total menuju umat terbaik dengan menerapkan syariah kaffah. Dan dari kehidupan Rasulullah saw yang diteruskan para sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in ini pula kita juga bisa meneladani bagaimana beliau para generasi terbaik menyikapi wabah.

    Pertama, meneladani sikap ridha terhadap apapun yang ditetapkan Allah, yakin ini adalah yang terbaik dari Allah meski terkadang buruk dalam kacamata manusia. Kedua, muhasabah dan taubat, bisa jadi wabah ini adalah musibah sekaligus ujian untuk umat Islam dan umat manusia agar semua kembali mengevaluasi bisa jadi telah banyak kemaksiatan dilakukan, bisa jadi membiarkan terjadinya kemaksiatan. Taubat dan segera berubah untuk taat. Ketiga, meneladani teknis penanganan wabah.

    Sebagaimana dahulu Khalifah Umar bin Khattab yang bersungguh-sungguh menyelesaikan wabah thaun. Memisahkan yang sakit dengan yang sehat. Menjamin kebutuhan yang sehat, memulihkan yang sakit dengan cepat dengan fasilitas terbaik. Maka ini pun juga bisa segera diterapkan meski terlambat. Tracing, test dan treatment adalah langkah wajib agar segera diketahui mana yang terkena virus dan berpotensi menularkan, agar yang tertular mengalami gejala segera bisa disembuhkan. Sedangkan yang sehat tetap diberikan kebebasan beraktivitas. Bukan malah membuat kebijakan yang bertele-tele, menyepelekan bahkan menantang wabah.

    Semoga dengan datangnya tahun baru hijriyah ini semua bisa mengambil hikmah dari wabah ini, secepatnya kembali taubat dan taat, menghentikan semua maksiat, meninggalkan sejauhnya hukum kufur, bersegera menuju ampunan Allah dengan terikat syariah secara kaffah, pasti selamat dunia dan akhirat. Wallahu a'lam

    Nur Aini, S.Si

    Guru - Tinggal di Pare Kediri Jawa Timur


    Tulisan sudah tayang di https://retizen.republika.co.id/posts/12676/mengambil-hikmah-hijrah-rasulullah-di-tengah-wabah