Kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 memang masih jauh. Namun, para bakal kandidat sudah mulai ancang-ancang dengan memasang baliho. Baliho berukuran besar banyak menghiasi jalan, bukan sekadar baliho biasa, namun baliho yang disertai jargon-jargon khas kampanye.
Bukan menuai simpati malah makian dan protes rakyat karena para politisi yang menawarkan diri menjadi pemimpin adalah sosok yang tak punya kepekaan terhadap kondisi rakyat dan hanya bertarung demi mendapat kursi. Rakyat memang pantas tak puas, tentu dengan alasan yang masuk akal. Alasan pertama, baliho terpasang pasti mengeluarkan uang yang tak sedikit, di saat rakyat terdampak langsung adanya pandemi, rakyat harus ekstra membanting tulang, memeras keringat, memutar otak mencari uang untuk memenuhi kebutuhan, para politisi begitu egois membuang uang demi menunjukkan eksistensinya. Kedua, dalam sistem demokrasi harus diakui persaingan politisi dalam merebut hati rakyat mengharuskan mereka mengeluarkan modal yang besar. Maka bisa dipastikan saat menjabat ada upaya mengembalikan modal, lagi-lagi ini demi diri sendiri, bukan demi rakyat. Jargon dan janji manis kepada rakyat tidak akan pernah terwujud.
Fakta seperti ini, semestinya menjadi cambuk bagi rakyat untuk sadar keburukan sistem demokrasi yang niscaya hasilkan politisi pengabdi kursi bukan pelayan rakyat. Rakyat tidak boleh amnesia dengan kelakuan politisi dalam sistem demokrasi, jargon dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat hanya gencar disampaikan saat musim kampanye saat para politisi butuh suara rakyat, setelah terpilih rakyat hanya diingat sesaat. Sayangnya ini terus berulang, saat pemilu masih saja berharap politisi dalam sistem demokrasi akan membawa angin segar perubahan.
Biaya mahal, saingan ketat antar politisi, serta motivasi mencari kekuasaan demi eksistensi materi dan kekuasaan dalam sistem demokrasi adalah hal yang wajar, maka wajar pula jika yang lahir adalah politisi tanpa simpati akan nasib rakyat yang sesungguhnya.
Demokrasi tak layak diharapkan, apalagi jika dilihat dari sudut pandang perbuatan dan produk hukum yang dihasilkan, demokrasi membuat aturan hukum berdasarkan hawa nafsu manusia padahal ini jelas pandangan yang salah, yang membuat para politisi tak pernah berpikir tentang halal haram, yang ada adalah politisi sekular.
Fakta demikian harusnya membuka mata semua rakyat, demokrasi tak layak diharapkan. Namun tak berhenti hanya tak berharap pada demokrasi, saatnya rakyat berharap perubahan dari sistem selain demokrasi. Maka pilihannya tinggal dua, berharap pada sistem komunis atau pada sistem Islam.
Sudah tayang di :
https://retizen.republika.co.id/posts/12831/perang-baliho-potret-politisi-minim-simpati